30 May 2013

Kisah Seekor Keledai

Suatu hari seekor keledai milik seorang petani jatuh ke dalam sumur kering. Hewan itu menangis dengan memilukan selama berjam-jam sementara si petani memikirkan apa yang harus dilakukannya.

Akhirnya, ia memutuskan bahwa hewan itu sudah tua dan sumur juga perlu ditimbun (ditutup karena berbahaya); jadi tidak berguna untuk menolong si keledai.

Dia kemudian mengajak tetangga-tetangganya untuk datang membantunya. Mereka membawa sekop dan mulai menyekop tanah ke dalam sumur.

Pada mulanya, ketika si keledai menyadari apa yang sedang terjadi, ia menangis penuh kengerian. Tetapi kemudian, semua orang takjub, karena si keledai menjadi diam. Setelah beberapa sekop tanah lagi dituangkan ke dalam sumur, si petani melihat ke dalam sumur dan tercengang karena apa yang dilihatnya.

Walaupun punggungnya terus ditimpa oleh bersekop-sekop tanah dan kotoran, si keledai melakukan sesuatu yang menakjubkan, la mengguncang- guncangkan badannya agar tanah yang menimpa punggungnya turun ke bawah, lalu menaiki tanah itu.

Sementara orang-orang terus menerus menuangkan tanah dan kotoran ke atas punggung hewan itu, si keledai juga terus mengguncangkan badannya dan melangkah naik, berpijak pada tanah timbunan yang terus meninggi. Segera saja setelah sumur nyaris penuh tertimbun, semua orang terpesona ketika si keledai meloncati tepi sumur dan melarikan diri.

Demikianlah, ibarat kehidupan ini yang terus saja menuangkan tanah dan kotoran kepada kita. Cara untuk keluar dari ’sumur’ (kesedihan, masalah, dsb) adalah dengan mengguncangkan segala tanah dan kotoran dari diri kita (pikiran dan hati kita) dan melangkah naik dari ’sumur’ dengan menggunakan hal-hal tersebut sebagai pijakan.

Setiap masalah yang kita hadapi merupakan satu batu pijakan untuk melangkah. Kita dapat keluar dari ’sumur’ yang terdalam dengan terus berjuang dan jangan pernah menyerah!

dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (QS Yusuf: 87)

28 May 2013

Iman: Keyakinan, Ucapan, dan Amalan


Dalam keyakinan yang benar yaitu keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sesuai pemahaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, iman itu tidak cukup keyakinan dalam hati, tetapi harus diucapkan di lisan dan dibuktikan dalam amal perbuatan anggota badan. Jadi, ada tiga komponen di dalam iman. Jika seseorang mengucapkan laa ilaha illallah, namun tiada amalan dalam hidupnya, seperti enggan untuk shalat sama sekali, maka pengakuannya sebagai muslim hanyalah pengakuan yang dusta.

Dalam hadits dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

“Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.” (HR. Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35).

Cabang Iman
Iman secara bahasa berarti tashdiq (membenarkan). Sedangkan secara istilah syar’i, iman adalah perkataan di lisan, keyakinan dalam hati, amalan dengan anggota badan, bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.

Disebutkan dalam hadits di atas bahwa cabang iman yang tertinggi ialah kalimat ‘laa ilaha illalah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah). Kalimat tersebut adalah pokok Islam dan Iman. Kalimat tersebut merupakan rukun pertama dari Islam dan yang bisa membuat seseorang masuk Islam.

Sedangkan cabang iman yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, yang dimaksud di sini adalah menyingkirkan setiap gangguan apa pun. Sedangkan meletakkan gangguan di jalanan termasuk sesuatu yang terlarang. Semisal memarkir mobil di tengah jalan dan mengganggu kendaraan yang lalu lalang, ini termasuk meletakkan gangguan di jalan. Mengalirkan air sehingga mengganggu orang lain di jalan, ini pun termasuk yang terlarang. Begitu pula meletakkan batu sehingga mengganggu di jalan, ini pun terlarang. Apalagi jika sampai meletakkan bom di jalanan, meskipun disebut sebagai jihad! Jika seseorang menyingkirkan gangguan-gangguan tadi dari jalanan, itu menunjukkan keimanannya.

Malu pun termasuk cabang iman. Seseorang yang memiliki sifat malu, maka dirinya akan semakin mempesona dengan akhlaknya yang mulia tersebut. Malu ada dua macam sebagaimana dijelaskan oleh guru kami, Syaikh Sholih Al Fauzan:
Malu yang terpuji: Malu yang bisa mengantarkan pada kebaikan dan mencegah dari kejelekan.
Malu yang tercela: Malu yang menghalangi seseorang dair berbuat baik, dari menuntut ilmu dan malu bertanya dalam perkara yang dibingungkan.

Cabang iman sebenarnya amatlah banyak, sebagaimana disebutkan ada 60 atau 70 sekian cabang. Bahkan Imam Al Baihaqi memiliki karya tulis dalam masalah cabang-cabang iman ini, yaitu dalam kitab Syu’abul Iman dan kitab ringkasannya pun sudah ada yang tercetak (dalam versi Arabic).
Beberapa Keyakinan dalam Masalah Iman
Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Iman adalah keyakinan dalam hati, perkataan dalam lisan dan amalan dengan anggota badan.
Dalil yang menunjukkan keyakinan ahlus sunnah adalah hadits Abu Hurairah yang telah disebutkan di atas. Perkataan ‘laa ilaha illallah’ menunjukkan bahwa iman harus dengan ucapan di lisan. Menyingkirkan duri dari jalanan menunjukkan bahwa iman harus dengan amalan anggota badan. Sedangkan sifat malu menunjukkan bahwa iman harus dengan keyakinan dalam hati, karena sifat malu itu di hati. Inilah dalil yang menunjukkan keyakinan ahlu sunnah di atas. Sehingga iman yang benar jika terdapat tiga komponen di dalamnya yaitu (1) keyakinan dalam hati, (2) ucapan di lisan, dan (3) amalan dengan anggota badan.


Secara jelas keyakinan Ahlus Sunnah mengenai iman termaktub dalam perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah di mana beliau berkata,فَصْلٌ : وَمِنْ أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ أَنَّ الدِّينَ وَالْإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ ، قَوْلُ الْقَلْبِ وَاللِّسَانِ ، وَعَمَلُ الْقَلْبِ وَاللِّسَانِ وَالْجَوَارِحِ ، وَأَنَّ الْإِيمَانَ يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ ، وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَةِ .

“Fasal: Di antara pokok akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwa agama dan iman terdiri dari: perkataan dan amalan, perkataan hati dan lisan, amalan hati, lisan dan anggota badan. Iman itu bisa bertambah dengan melakukan ketaatan dan bisa berkurang karena maksiat.”
Murji’ah: Iman adalah keyakinan dalam hati dan ucapan di lisan saja.
Karomiyah: Iman adalah ucapan di lisan saja.
Jabariyyah: Iman adalah pengenalan dalam hati saja.
Mu’tazilah: Iman adalah keyakinan dalam hati, ucapan dalam lisan dan amalan anggota badan. Namun ada sisi yang membedakan Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah. Mu’tazilah menganggap bahwa pelaku dosa besar hilang darinya cap iman secara total dan kekal di neraka. Sedangkan Ahlus Sunnah, pelaku dosa besar masih diberi cap iman, akan tetapi ia dikatakan kurang imannya dan tidak kekal dalam neraka jika memasukinya.

Pembahasan akidah berikutnya yang akan Muslim.Or.Id ulas adalah bahasan iman itu bertambah dan berkurang. Tidak seperti keyakinan sebagian kalangan bahwa iman itu hanya terus ajeg (tetap).

Semoga Allah memudahkan kita untuk memahami iman dengan benar.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.


Dari artikel 'Iman: Keyakinan, Ucapan, dan Amalan — Muslim.Or.Id'

26 May 2013

Sedekah Gemar Rezeki Lancar

Rezeki dari Allah itu bukan soal matematik!" Begitu kata seorang ustadz bernama Ahmad Yasin Ibrahim dalam taushiyahnya. "Jangan pernah khawatir akan rezeki dari-Nya. Allah tidak akan menyia-nyiakan hidup makhluk yang Ia ciptakan dengan tangan- Nya sendiri!" sang ustadz menambahkan.

"Tapi Ustadz, bagaimana kalau seorang hamba merasakan penghasilannya selalu kurang?" Seorang jamaah bermimik serius mencoba menyela.

"Kalau ingin rezeki lapang, selalu ada saat kita membutuhkan, jangan lupa menolong orang. Coba deh, berbagi dengan sesama! Sebab rezeki Allah bisa kita dapatkan, kita raih, kita beli dengan cara berinfak."

Ustadz Ahmad kemudian menjelaskan sebuah konsep. Ia menyatakan bahwa ‘nafkah yang selalu dicari manusia dalam bahasa Arab memiliki akar kata yang sama dengan kata ‘infak`. Nafkah berarti rezeki yang kita dapatkan, sementara infak adalah rezeki yang kita berikan kepada orang lain. Dalam Bahasa Arab, keduanya berasal dari kata nafaqa.

Hal menarik adalah saat Ustadz Ahmad menjelaskan bahwa orang Arab menyebut terowongan, terusan, selokan, dan saluran air dengan kata nafaq. Bila diperhatikan, sebuah terowongan pastilah memiliki lubang di kedua ujungnya. Kondisi yang terbaik adalah apabila kedua lubang itu lancar mengalir tanpa tersumbat! Bila ‘lubang masuk` yang dialiri air lancar, sementara ‘lubang keluar` tersumbat, maka yang akan terjadi adalah musibah banjir, penimbunan sampah serta kotoran dan banyak jentik nyamuk yang menyebabkan demam berdarah.

Begitulah gambarannya saat manusia hanya mengumpulkan nafkah namun tidak mau berinfak, maka yang akan terjadi adalah musibah dan bencana. Semakin besar lubang yang dibuat pada ‘lubang keluar,` maka akan semakin besar pula air yang masuk dan mengalir dari ‘lubang masuk.` Apalagi jika saluran itu mampu menampung air yang lebih banyak.

Siapa yang ingin diberikan harta atau nafkah yang banyak oleh Tuhan, sebaiknya ia banyak berinfak dan bersedekah di jalan Allah. Demikian Ustadz Ahmad menjelaskan.

Usai mendengarkan ceramah, seorang jamaah bernama Hadi, masih belum meyakini konsep yang telah dijelaskan ustadz. Tibalah sebuah kesempatan setelah beberapa bulan berselang setelah pengajian itu.

Hari itu sedang ‘bulan tua` bagi orang-orang gajian. Uang di tas Hadi hanya tersisa 50 ribu rupiah saja. Ia berniat uang itu akan digunakan sebagai ongkos jalan, sekaligus membelikan susu untuk anaknya seharga lebih-kurang 30 ribu rupiah. Ia tahu bahwa setelah ini ia dan keluarganya harus mengencangkan ikat pinggang dan bersabar menunggu datangnya tanggal 25, yaitu hari gajian yang dinanti-nanti.

Sesampainya Hadi di kantor, ada seorang sahabat yang mengeluhkan sebuah masalah keuangan yang sedang dihadapinya. Sahabat itu meminta bantuan Hadi. Sebagai teman, Hadi merogoh sakunya dan ia berikan selembar uang 50 ribuan yang ia punya. Aneh, tidak ada perasaan berat saat uang itu ia keluarkan. Namun setelah uang itu ia serahkan kepada teman, beberapa langkah setelah mereka berpisah, setan mengusik hatinya dengan perasaaan was¬was dan wajah mungil anaknya pun tergambar di benak dengan air mata menetes, merengek minta susu. Setan mulai merasuki hatinya, tapi Hadi masih berharap pertolongan Allah turun padanya.

Kini, saatnya Hadi perlu pembuktian konsep infak yang pernah Ustadz Ahmad Yasin ceritakan.
Allah tidak pernah mengelak dari janji yang pernah Ia ucapkan. Siapa yang mampu berinfak, Allah pasti akan membalas, menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi. Bahkan bila hidup sempit, pasti Allah akan membuat lapang hidup hamba yang mau berinfak. Allah Swt sampaikan dalam ayat, "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yangdisempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadarj apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan(QS. Ath-Thalaq [65]: 7)

Dalam hadits Qudsi, Allah memastikan eksistensi (keberadaan) sebuah hukum kausalitas. Hukum kausalitas absolut yang ia buat sendiri dalam firman-Nya:

"Allah Swt berfirman, ‘Wahai anak cucu Adam, berinfaklah, niscaya Aku pun berinfak padamu. " (Muttafaq ‘Alaihi)
Hadi melanjutkan pekerjaannya hari itu. Usai waktu istirahat, Manager HRD membuat acara rutin bulanan yang melibatkan seluruh karyawan. Salah satu agenda acara tersebut adalah pemilihan karyawan terbaik tahunan. Hadi tidak pernah menduga, namanya masuk nominasi karyawan terbaik tahun itu. Semua karyawan berharap mendapatkan gelar itu, karena iming-iming yang cukup menggiurkan yaitu uang tunai sebesar 10 juta rupiah. "Manusia berusaha, Allah punya kehendak!" Begitu kata pepatah.

Saat pemenang diumumkan, semua yang hadir tersenyum dengan jantung berdegup cepat. Begitu juga yang dialami oleh Hadi. Jantung itu hampir copot, seolah mau melompat keluar. Saat namanya, Hadi Purwanto, disebut oleh Direktur Operasional sebagai karyawan terbaik perusahaan tahun itu.

Hadi merasa senang, bahagia, dan gembira. Ia mendapatkan ucapan selamat dari seluruh rekan sejawat juga atasannya. Hal yang lebih membuat hadirin berteriak riuh rendah dan bertepuk tangan adalah saat pak direktur menyerahkan sehelai cheque kontan tertuliskan 10 juta rupiah untuknya.

Setelah ruang pertemuan agak sepi. Hadi saat itu sedang mengenakan kaos kakinya dan duduk di kursi. Sambil membungkukkan punggung untuk mengenakan kaos kaki dan sepatu, ia bergumam dalam hati, "Maha benar janji-Mu... ya Tuhanku!" Ia teringat sekelabatan akan sebuah kejadian tadi pagi ia berinfak, siangnya Allah sungguh membayar berlipat-lipat. "Segala puji bagi-Mu, ya Allah!" gumamnya dalam hati.

Rezeki mungkin terkadang sulit untuk diraih, apalagi dalam kehidupan dunia yang penuh persaingan ini. Mendapatkan pekerjaan saja sudah lumayan, maka tidak usah ngoyo untuk mencari pendapatan yang besar. Sudah mendapat bekerja saja, Alhamdulillah!

Namun, memang perasaan gundah dan khawatir masih sering bersarang di hati, dan hal itu membuat manusia was-was akan peruntungan nasib.

24 May 2013

Hidup Secukupnya

Pemburu-pemburu kenikmatan. Mungkin itu sebutan yang tepat bagi orang yang hidup di zaman modern ini. Mereka yang mempercayai kapitalisme sebagai mesin pendorong peradaban, malah menyebut kenikmatan sebagai awal dari pertumbuhan dan kemajuan. Kalau tanpa kenikmatan, bukankah semuanya jadi tidak hidup dan stagnan? Demikianlah kira-kira pertanyaan awal mereka dalam melakukan pencarian.

Dari sinilah kemudian lahir setiap hari jutaan pemburu kenikmatan. Ada yang memburunya melalui jalur seks. Ada yang mencarinya melalui hobi seperti motor gede, mobil built up, main golf, rumah mewah secara sangat berlebihan. Ada yang mengejarnya melalui tangga-tangga kekuasaan. Serta masih banyak lagi yang lainnya. Digabung menjadi satu, benar kata kaum kapitalis, kenikmatanlah awal dari kemajuan dan pertumbuhan.

Bukan kapasitas saya untuk meninjau persoalan ini secara ekonomi maupun sosiologi. Sebagaimana biasa, saya meng­ajak Anda berefleksi atau bercermin. Bukan untuk membe­narkan atau menyalahkan kehidupan seperti ini, namun untuk menarik garis merah kehidupan ke depan dari sini.

Dalam sebuah perjamuan makan malam di hotel Borobudur beberapa waktu lalu, saya bertemu es puter yang sesuai selera. Karena sudah lama tidak makan es itu, maka ada nafsu untuk memakan sepuas-puasnya. Dan lupa kalau memiliki penyakit maag. Tidak lama kemudian, penyakit maag datang menyiksa tidak kurang dari tiga hari.

Seorang sahabat bertutur tentang nasib keponakannya. Dengan latar belakang masa muda yang demikian ketat, maka begitu orangtuanya meninggal hampir semua kenikmatan—terutama kenikmatan seks—dikejarnya habis-habisan. Tidak lama kemudian, tidak hanya sekolahnya yang berantakan. Dia pun mulai kena penyakit seks yang sangat menakutkan.

Sebenarnya masih ada banyak sekali cerita sejenis dengan makna serupa. Yang jelas, segala bentuk kenikmatan yang datang dari luar—entah makanan, seks, harta dan lain-lain— memerlukan kesiapan badan dan jiwa. Di tingkat yang tepat(tidak kurang dan tidak lebih), kenikmatan dari luar tadi menjadi sahabat. Di tingkatan yang tidak tepat—apa lagi sangat berlebihan—maka dia menjadi musuh yang sangat berbahaya. Bagi Anda yang suka sekali nasi goreng, makanlah sepuluh piring. Pencinta sate kambing, makanlah seribu tusuk. Dengan semua langkah ini, bukankah neraka langsung menghadang di depan mata?

Sebagai ilustrasi lain, lihat saja sendiri, bagaimana banyak orang kaya dijebak dan dibuat menderita oleh kekayaannya. Harta yang berlimpah memproduksi ketakutan akan kehi­langan yang bisa membuat insomnia. Asuransi kehidupan ’ yang menggunung membuat sejumlah orangtua mencurigai anak-anaknya. Sisa harta kehidupan yang melimpah (baca: warisan) tidak jarang membuat anak cucu pecah beran­takan. Demikian juga sebaliknya. Orang yang teramat miskin juga dibuat menderita oleh kemiskinan. Kelaparan,

kekurangan gizi, penyakit hanyalah sebagian saja dari perangkap-perangkap kemiskinan yang mencelakakan.

Belajar dari sini, penting dan teramat penting untuk sesegera mungkin menemukan titik cukup dalam kehidupan. Titik ini memang tidak absolut, bisa diperdebatkan, dan berbeda dari satu orang ke orang lain. Makanya ada petanyaan yang berbunyi: when is enough enough?

Entah bagaimana Anda menemukan hidup yang cukup Bagi saya, kata kuncinya ada pada pengeluaran. Sebab. dia lebih controlable dibandingkan dengan pendapatan Dengan persentase pengeluaran yang tidak boleh lebih dan lima puluh persen dari pendapatan, siapa pun akan aman secara keuangan. Garis pembatas cukup, dalam kehidupan saya adalah setengah dari pendapatan. Sisanya, kami sisakan untuk persiapan hari depan.

Ada juga rekan yang bertanya tentang godaan untuk tidak melebihi limit lima puluh persen. Godaan sebenarnya bukan datang dari luar, tetapi seberapa cermat kita menjaga jen­dela-jendela’ hawa nafsu. Mata, mulut, hidung, telinga. perasaan adalah jendela-jendela hawa nafsu yang sebaiknya kita jaga secara cermat.

Sebagai ilustrasi, saya dan keluarga mengurangi untuk datang ke pameran-pameran yang barangnya tidak kami butuhkan. Ia hanya menimbulkan kebutuhan-kebutuhan baru yang membuat kami berhitung, untuk kemudian me­nyimpulkan bahwa uang tidak cukup. Saya mendidik diri untuk tidak membandingkan diri dengan teman maupun tetangga. Anak-anak kami didik sejak awai untuk hidup lentur. Ketika hidup naik, kita nikmati kenikmatan hidup di tingkat yang lebih tinggi. Demikian juga kalau sebaliknya, Dan yang paling penting, sesering mungkin mengatakan cukup pada jumlah uang yang kami miliki.

Awalnya memang tidak mudah. Namun, dengan sedikit kesabaran dan disiplin diri, serta komitmen bersama, sinyal- sinyal hidup secukupnya pun cukup sering datang dalam kehidupan kami.

Mirip dengan tanaman, pupuk yang terlalu banyak bisa membuat dia mati. Tidak pernah diberi pupuk juga bisa membuatnya mati. Kadar pupuk yang cukup sangatlah pen­ting. Kita manusia juga sama. Kekayaan dan kekuasaan yang kita kejar dengan kerja sangat keras, menguras banyak energi bahkan menanggung risiko sakit sekalipun. Setelah kita peroleh ternyata hanya menciptakan racun dan petaka baru. hidup akan penuh dengan kesia-siaan, kalau setelah berlari kencang sangat jauh menghabiskan keringat, ternyata garis finishnya hanya sebuah tiang gantungan?

23 May 2013

Kikirnya Manusia

Fulan sedang dirundung kesulitan. Sudah berbagai usaha dilakukan agar keluar dari kesulitan tersebut. Namun, nasib baik belum bersahabat dengan dirinya. Fulan lalu bertanya kepada seorang bijak.

"Tuan, sudilah kiranya kau menunjukkan jalan keluar dari masalahku ini," pinta Fulan.
"Sesungguhnya, Allah yang berkehendak memasukkan dan mengeluarkan seseorang kepada suatu keadaan," jawab orang bijak itu.

"Apakah yang harus aku lakukan?" tanya Fulan.
"Tunjukkanlah kesungguhanmu. Mudah-mudahan, Dia bermurah hati kepadamu," kata orang bijak.
"Baiklah. Aku akan bersungguh-sungguh. Jika kesulitanku pergi, aku akan menjual rumah dan segala isinya. Lalu, aku akan membelikan seluruh hasil penjualan rumah itu kepada fakir miskin. Aku berjanji!" tegas Fulan yang sudah tidak kuat lagi menanggung beban masalah yang ada dirinya.

Sebelum Fulan itu pergi, orang bijak memberinya nasihat.
"Ingatlah, Allah tidak akan memberi perintah di luar kesanggupan. Sesungguhnya, masalah yang menimpa setiap manusia adalah ujian dari keimanan dan penebus dari dosa-dosa. Dia ingin menjadikan setiap hambanya menjadi lebih baik. Jadi, janganlah kauperdaya Tuhanmu."

Namun, Fulan sudah tidak mendengarkan lagi. Ia ingin segera pulang ke rumahnya untuk membuktikan kesungguhannya. Sesampainya di rumah, Fulan segera menyebarluaskan berita bahwa ia ingin menjual rumahnya. Sementara kabar itu menyebar, tidak berapa lama, atas izin Allah, tuntaslah permasalahan-permasalahan Fulan.

Ketika orang-orang yang hendak membeli rumahnya berdatangan, setan mulai menggoda. Dimunculkan sifat kikir dari dalam diri Fulan. Ia tidak ingin memberikan uang hasil penjualan rumahnya kepada fakir miskin sesuai dengan janjinya dulu. Fulan kemudian mencari akal.

Ia menyampaikan kepada para calon pembeli, rumahnya dijual dengan harga murah. Namun, dengan satu syarat. Setiap orang boleh mendapatkan rumahnya seharga Rp l.000,00, tetapi harus membeli kucingnya juga yang harganya Rp500 juta.

Melihat rumahnya yang bagus, salah seorang pembeli setuju dengan syarat itu. Maka ia pun memberikan uang Rp l.000,00 untuk pembayaran rumah dan Rp500 juta untuk pembayaran kucing.

Karena Fulan telah beijanji memberikan uang hasil penjualan rumah, ia hanya mengeluarkan uang Rpl.000,00 kepada fakir miskin. Sementara yang Rp500 juta, ia masukkan ke kantongnya sendiri.

Fulan mengira Allah bisa diperdaya, padahal Allah Maha Perkasa dan Maha Kuasa. Allah akan membalasnya dengan cara apa pun yang dikehendaki-Nya. Baik itu di dunia ataupun nanti di akhirat. Sebenarnya, Fulan sendirilah yang telah memperdayai dirinya sendiri. Nau- zubillah. 

"Hendaknya, manusia waspada terhadap salah satu sifat buruknya. Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Apabila diberi kelapangan, ia kikir. "

21 May 2013

Ingat Kematian, Hidup Sangat Berarti

Hidup dan kematian seolah dua lembah yang saling berpisah. Satu sama lain seperti tak berhubungan. Sebagian orang pun mengatakan, bersenang-senanglah di lembah yang satu. Dan, jangan pedulikan lembah lainnya. Padahal, hidup dan kematian tak ubahnya seperti dua pintu dalam satu ruang. Orang tak akan paham makna hidup, sebelum ia merasai bagaimana kematian. 

Tak ada sebuah hadiah yang begitu berarti buat seorang mukmin sepanjang hidupnya melebihi kematian. Itulah hadiah Allah yang hanya mampu diterjemahkan oleh mereka yang begitu rindu dengan Kekasihnya yang sejati. Dunia, seberapa pun indahnya, tak lebih dari penjara yang membelenggu diri dalam ketidaknyamanan dan keterpaksaan. 

Seperti itulah ungkapan Rasulullah saw dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Abid Dunya, Thabarani dan Hakim. “Hadiah yang pelik untuk seorang mukmin ialah kematian.” 

Itulah kematian. Ia bagaikan garis pemisah antara panggung kepura-puraan dengan kehidupan yang sebenarnya. Garis yang memisahkan aneka lakon dan peran dengan sosok asli seorang manusia. Garis yang akhirnya menyatakan kesudahan segala peran dan dikembalikannya segala alat permainan. 

Sayangnya, tak sedikit manusia yang lebih cinta dengan dunia pura-pura. Mereka pun berkhayal, andai kepura-puraan bisa buat selamanya. Bisa berpuas diri dengan aneka lakon dan peran. Tanpa disadari, kecintaan itu pun berujung pada kebencian. Benci pada kematian. 

Seperti itulah tabiat anak kecil yang begitu asyik dengan main-mainnya. Mereka lupa kalau sore sudah hampir lewat, dan malam pun akan menjelang. Bahkan, mereka pun lari ketika diminta mandi. Padahal, mandi menjadikan tubuhnya terasa nyaman berteman malam. Dan kemana pun sang anak lari, mereka tak akan mampu bersembunyi dari kemestian malam. 

Allah swt menggambarkan orang-orang yang lari dari kematian. Seperti dalam firmanNya di surah Al-Jumu’ah ayat 8, “Katakanlah: kematian yang kamu lari daripadanya itu sesungguhnya akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada Tuhan Maha Tahu hal yang tersembunyi dan yang terang, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” 

Ketakutan adalah alasan yang paling lumrah buat mereka yang tetap lari dari kematian. Banyak alasan kenapa harus takut. Pertama, mereka takut berpisah dengan kehidupan. Bagi mereka, perpisahan ini berarti usai sudah pesta kenikmatan. Karena kehidupan sudah terlanjur mereka terjemahkan sebagai kenikmatan. Hanya kenikmatan. 

Kedua, ada ungkapan batin yang tidak mereka sadari. Bahwa, mereka enggan berjumpa dengan Allah. Sebagaimana, mereka selalu menghindar dari perjumpaan dengan Allah dalam ibadah yang mereka lakukan. Keengganan itu sebenarnya bukan cuma milik mereka. Karena Allah pun enggan bertemu mereka, sebagaimana mereka enggan bertemu Allah. 

Rasulullah saw menjelaskan hal itu dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim. “Barangsiapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah juga benci bertemu dengan orang itu.” 

Keengganan itu sangat bertolak belakang dengan kerinduan yang diungkapkan seorang sahabat Rasul, Hudzaifah. Ketika tak lama lagi ajal kematian menyambang, beliau r.a. berujar, “….Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa kemiskinan itu lebih baik bagiku daripada kekayaan, sakit itu lebih baik daripada kesehatan, dan mati itu lebih membuatku bahagia daripada hidup, maka permudahkanlah kematian itu untukku. Sehingga aku dapat bertemu dengan-Mu.” 

Ketiga, boleh jadi ketakutan terhadap kematian lebih karena ketidaktahuan. Persis seperti anak kecil yang lari ketika diminta mandi. Karena yang diketahui anak tentang mandi tak lebih dari dingin, dipaksa ibu, dan berhenti dari permainan. Begitu pun tentang kematian. Kematian bagi mereka tak lebih dari rasa sakit, berpisah dengan keluarga, harta dan jabatan; serta rasa kehinaan ketika jasad terkubur dalam tanah. 

Di situlah perbedaan mendasar antara hamba Allah yang baik dengan yang buruk. Abdullah bin Umar pernah mendapat pelajaran tentang kematian dari Rasulullah saw. “Aku mendatangi Nabi saw sebagai orang yang kesepuluh dari sepuluh yang mendatangi Rasul. Kemudian, ada seorang dari kaum Anshar bertanya, ‘Siapakah orang yang paling pandai dan mulia, ya Rasulullah?’ Beliau saw menjawab, ‘Yaitu, orang yang terbanyak ingatnya kepada kematian, dan yang paling siap menghadapi kematian. Itulah orang-orang yang akan pergi dengan kemuliaan dunia dan akhirat.” (HR. Ibnu Majah) 

Bagi hamba Allah, tak ada kemuliaan apa pun dari tetap menjaga ingatannya dengan kematian. Bahkan, seorang yang berada pada puncak kekuasaan sekalipun. Setidaknya, itulah yang hendak diungkapkan seorang Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hampir sepanjang usia kekuasaannya, tak pernah ia lewatkan satu malam pun untuk mengingat kematian. Caranya begitu manis. Ia panggil para pakar fikih, lalu satu sama lain saling mengingatkan tentang kematian, hari kiamat, dan kehidupan akhirat. Kemudian, semuanya pun menangis. Seakan-akan, di samping mereka ada jenazah yang sedang ditangisi. 

Itulah mungkin, kenapa Khalifah yang punya kekuasaan luas ini menjadi sosok yang terpuji. Semasa kekuasaannya, hampir tak satu pun rakyatnya yang mengeluh. Mereka hidup sejahtera. Dan inilah sebuah bukti, betapa hidup Umar bin Abdul Aziz begitu berarti ketika kematian menjadi pengingat sejati. 

Jadi, kehidupan dan kematian tak lagi menjadi dua lembah yang saling terpisah. Kematian mengingatkan kehidupan agar tetap menjadi sesuatu yang berarti. Bahkan, teramat berarti. Dan kehidupan mengingatkan kematian sehingga menjadi sesuatu yang dinanti. Kematian mendidik kehidupan, dan kehidupan merindukan kematian.

19 May 2013

Rintihan Hati

  • . sengaja aku solat ke mesjid, kalian bilang "wis hebat"
  • . Sengaja setiap subuh ku tutup pintu kamar dengan keras, kalian bilang "keren subuh uda bangun"
  • . Sengaja aku membeli 4 sejadah, kalian bilang "persiapannya lengkap"
  • . sengaja aku adzan tiap waktu, kalian bilang "suaranya merdu"
  • . sengaja aku mengaji di rumah dengan agak keras. "kalian bilang sholeh"
  • . sengaja di mading sekolah ku buat tulisa tentang menjauhi pacaran, kalian bilang "calon wartawan"

Padahal itu semua bukan MAKSUD KU!! aku ingin menangis ketika aku shala di mesjid hanya berdua, aku ingin menangis ketika aku bangun subuh sendirian, aku ingin menangis ketika aku adzan tak ada yang datang, aku ingin menangis ketika di di pojok sekolah banyak yg maksiat dan pacaran, dan aku telah menangis ketika aku gagal mengajak pada kebaikan . . .

dan hatiku hancur ketika aku berkata "Ayo kita . . ." kalian malah bilang "sok alim, sok pintar, gak ada kerjaan, dan . . . " bukan itu maksudku . . . 

maksudku adalah aku menyayangi kalian, aku ingin kalian tau dekat dengan Nya adalah kebahagiaan yang sempurna, dan melakukan larangan Nya adalah dosa. itu saja T_T

18 May 2013

Hidup Adalah Permainan

``Dan tiadalah kehidupan di dunia ini, melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesunguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan kalau mereka mengetahui`` Al-Ankabut ayat 64

Seakan telah menjadi bagian yang sangat standar dari skenario kehidupan ini, bahwa hampir sepanjang rentang usia dunia hingga saat ini, betapa banyak orang yang selama hidupnya begitu disibukkan oleh kerja keras, peras keringat banting tulang dalm mencari penghidupan, persis seperti ketakutan tidak kebagian makan. Apa yang telah diperolehnya dikumpul-kumpulkan dan ditimbun dengan seksama demi agar anak-anaknya terjamin masa depannya.

Ada juga orang yang dalam hidupnya teramat merindukan penghargaan dan penghormatan, sehingga hari-harinya begitu disibukan dengan memperindah rumah, mematut-matut diri, membeli aneka asesori, dan sebagainya, yang semua itu notabene dilakukan semata-mata ingin dihargai orang.

Inilah fenomena kehidupan yang menunjukan betapa manusia dalam kehidupannya akan selalu berpeluang dekat dengan hawa nafsu yan merugikan. Oleh sebab itu, bagi siapa pun yang berniat mengayuh bahtera rumah tangga, hendaknya jangan membayangkan rumah tangga akan beroleh kebahagiaan dan ketenangan bila hanya dipenuhi dengan hal-hal duniawi belaka. Karena, segala asesoris duniawi diberikan oleh Alloh kepada orang yang terlaknat sekalipun.

Sekiranya tujuan sebuah rumah tangga hanya duniawi belaka, maka batapa para penghuninya akan merasakan letih lahir batin karena energinya akan lebih banyak terkuras oleh segala bentuk pemikiran tentang taktik dan siasat, serta nafsu menggebu untuk mengejar-ngejarnya terus menerus siang malam. Padahal, apa yang didapatkannya tak lebih dari apa yang telah ditetapkan Alloh untuknya. Walhasil, hari-harinya akan terjauhkan dari ketenteraman batin dan keindahan hidup yang hakiki karena tak ubahnya seorang budak. Ya, budak dunia !

Alloh Azza wa jalla memang telah berfirman untuk siapa pun yang menyikapi dunia dengan cara apa pun : cara hak maupun cara bathil. ``Hai dunia, titah-Nya, ``ladeni orang yang sungguh-sungguh mengabdikan dirinya kepada-Ku. Akan tetapi sebaliknya, perbudak orang yang hidupnya hanya menghamba kepada-Mu`` !

Rumah tangga yang hanya ingin dipuji karena asesoris duniawi yang dimilikinya, yang sibuk hanya menilai kebahagiaan dan kemuliaan datang dari perkara duniawi, adalah rumah tangga yang pasti akan diperbudak olehnya.

Rumah tangga yang tujuannya hanya Alloh, ketika mendapatkan karunia duniawi, akan bersimpuh penuh rasa syukur kehadiratnya. Sama sekali tidak akan pernah kecewa dengan seberapa pun yang Alloh berikan kepada-Nya. Demikian pun manakala Alloh mengamininya kembali dari tangannya, sekali-kali tiidak akan pernah kecewa karena yakin bahwa semua ini hanyalah titipannya belaka.

Pendek kata adanya duniawi di sisinya tidak membuatnya sombong tiadanya pun tiada pernah membuatnya menderita dan sengsara, apalagi jadi merasa rendah diri karenanya. Lebih-lebih lagi dalam hal ikhtiar dalam mendapatkan karunia duniawi tersebut. Baginya yang penting bukan perkara dapat atau tidak dapat, melainkan bagaimana agar dalam rangka menyongsong hati tetap terpelihara, sehingga Alloh tetap ridha kepadanya. Jumlah yang didapat tidaklah menjadi masalah, namun kejujuran dalam menyongsongnya inilah yang senantiasa diperhatikan sungguh-sungguh. Karena, nilainya bukanlah dari karunia duniawi yang diperolehnya, melainkan dari sikap terhadapnya.

Oleh karena itu, rumah tangga yang tujuannya Alloh Azza wa Jalla sama sekali tidak akan silau dan terpedaya oleh ada atau tidak adanya segala perkara duniawi ini. Karena, yang penting baginya,ketika aneka asesoris duniawi itu tergenggam di tangan, tetap membuat Alloh suka. Sebaliknya, ketika semua itu tidak tersandang, Alloh tetap ridha. Demikian pun gerak ikhtiarnya akan membuahkan cinta darinya.

Merekalah para penghuni rumah tanggga yang memahami hakikat kehidupan dunia ini. Dunia, bagaimana pun hanyalah senda gurau dan permainan belaka, sehingga yang mereka cari sesungguhnya bukan lagi dunianya itu sendiri, melainkan Dzat yang Maha memiliki dunia. Bila orang-orang pencinta dunia bekerja sekeras-kerasanya untuk mencari uang, maka mereka bekerja demi mencari dzat yang Maha membagikan uang kalau orang lain sibuk mengejar prestasi demi ingin dihargai dan dipuji sesama manusia, maka mereka pun akan sibuk mengejar prestasi demi mendapatkan penghargaan dan pujian dari Dia yang Maha menggerakan siapapun yang menghargai dan memuji

Perbedaan itu, jadinya begitu jelas dan tegas bagaikan siang dan malam. Bagi rumah tangga yang tujuannya yang hanya asesoris duniawi pastilah aneka kesibukannya itu semata-mata sebatas ingin mendapatkan ingin mendapatkan yang satu itu saja sedangkan bagi rumah tangga yang hanya Alloh yahg menjadi tujuan dan tumpuan harapannnya, maka otomatis yang dicarinya pun langsung tembus kepada Dzat Maha pemilik dan penguasa segala-galanya.

Pastikan rumah tangga kita tidak menjadi pencinta dunia. Karena, betapa banyak rumah tangga yang bergelimang harta, tetapi tidak pernah berbahagia. Betapa tak sedikit rumah tangga yang tinggi pangkat, gelar dan jabatannya, tetapi tidak pernah menemukan kesejukan hati. Memang, kebahagian yang hakiki itu hanyalah bagi orang-orang yang disukai dan dicintai oleh-Nya.

``Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, periasam dan bermegah-megahan diantara kamu, serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya menguning, kemudian menjadi hancur dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Alloh serta keridoannya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.`` [Q.S.Al-Hadid ayat 20]. 

Wallahu alam

16 May 2013

Pria yang Tidak Lalai dari Mengingat Allah

Inilah sifat pria yang tidak lalai dari mengingat Allah. Kesibukan dunia mereka tidak membuat mereka berpaling dari ketaatan dan perintah Allah. Perdagangan dan jual beli pun tidak membuat mereka jauh dari Allah. Ketika ada panggilan shalat, mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Dan lisan mereka tidaklah lepas dari dzikrullah.

Allah Ta’ala berfirman,

رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An Nur: 37)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menerangkan,

Ia adalah pria yang dunianya tidak membuatnya jauh dari Rabbnya. Sama sekali kesibukan perniagaan dan mencari nafkah tidaklah mempengaruhinya. Tijaroh (perniagaan) di sini mencakup segala bentuk perdagangan untuk meraih upah. Sedangkan bai’ (jual beli) adalah bentuk lebih khusus dari perniagaan. Karena dalam perniagaan lebih banyak ditemukan transaksi jual beli. Pujian pada pria di sini bagi mereka yang berdagang dan melakukan jual beli, dan asalnya perbuatan tersebut tidaklah terlarang. Meskipun tidak terlarang, akan tetapi hal-hal tadi tidaklah mempengaruhi mereka dari mengingat Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Bahkan mereka menjadikan ibadah dan ketaatan pada Allah sebagian tujuan hidup mereka. Jadi perdagangan tadi tidaklah sama sekali menghalangi mereka menggapai ridho Allah.

Namun hati kebanyakan orang adalah sangat menaruh perhatian pada dunia. Mereka sangat mencintai penghidupan mereka. Dan sangat sulit mereka –pada umumnya- meninggalkan dunia mereka. Bahkan mereka pun bersusah payah hingga meninggalkan kewajiban pada Allah. Berbeda dengan yang disebutkan dalam ayat ini, mereka begitu takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. Karena mengingat kegoncangan hari kiamat tersebut, akhirnya mereka pun semakin mudah beramal dan meninggalkan hal yang melalaikan mereka dari Allah. (Taisir Al Karimir Rahman, 569)

Yang dimaksud dengan dzikir pada Allah (dzikrullah) dalam ayat di atas, ada tiga pendapat:
Shalat lima waktu
Mengerjakan hak Allah
Dzikir pada Allah dengan lisan.

Sedangkan yang dimaksud dengan menegakkan shalat adalah mengerjakan tepat waktu dan menyempurnakannya. (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi)

Sa’id bin Abul Hasan dan Adh Dhohak berkata,

لا تلهيهم التجارة والبيع أن يأتوا الصلاة في وقتها

“Yang dimaksud ayat tersebut adalah mereka perniagaan dan jual beli tidaklah membuat mereka lalai dari mendatangi shalat tepat pada waktunya.”

Mathor Al Warroq berkata,

كانوا يبيعون ويشترون، ولكن كان أحدهم إذا سمع النداء وميزانُه في يده خفضه، وأقبل إلى الصلاة.

“Yang dimaksud ayat tersebut adalah mereka biasa melakukan jual beli. Akan tetapi jika mereka mendengar adzan lalu timbangan dagangan mereka berada di tangan mereka, mereka pun meninggalkannya. Lalu mereka memenuhi panggilan shalat.”

As Suddi mengatakan mengenai ayat tersebut,

عن الصلاة في جماعة

“Mereka tidak lalai dari shalat jama’ah” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 10: 252-253)

Dalam ayat disebutkan,

تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

“Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”. Yaitu hati mereka dalam keadaan khawatir apakah mereka akan selamat ataukah celaka. Dan penglihatan mereka pun kebingungan melihat kiri dan kanan. (Tafsir Al Jalalain)

Ayat di atas serupa dengan ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al Munafiqun: 9)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Jum’ah: 9)

Apa balasan Allah pada laki-laki yang punya sifat demikian?

لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“(Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. An Nur: 38). Jika disebut seseorang berinfak tanpa batas, maksudnya karena saking banyaknya sehingga infak yang diberikan tidak bisa dihitung (Lihat Tafsir Al Jalalain).

Ya Allah, jadikanlah kami seperti yang disebutkan dalam ayat ini.

Semoga perdagangan dan kesibukan kami mencari nafkah tidak membuat kami lalai dari mengingat Allah, shalat pada waktunya dan kewajiban lainnya. Semoga lisan ini pun dimudahkan untuk selalu sibuk dengan dzikir mengingat Allah di kala waktu senggang dan waktu sibuk.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Dari artikel 'Pria yang Tidak Lalai dari Mengingat Allah — Muslim.Or.Id'

14 May 2013

Tentukan Lewat Istikharah

Setiap dari kita, dalam hidupnya pasti selalu berada di antara dua perkara, atau dihadapkan dengan dua permasalahan, sehingga terkadang dilanda rasa resah dan bingung dalam memilih salah satu dari keduanya. Dalam sebuah atsar &diungkapkan, "Tidakakan kecewa orang yang melakukan istisyaar (meminta pendapat; mengadakan musyawarah sebelum bertindak), dan tidak pula menyesal orang yang terlebih dahulu melakukan (salat) istikharah."

Terkadang pula seseorang terjerat dalam berbagai rayuan gombal dan perubahan yang membuatnya tidak mampu mengetahui akibat yang akan terjadi, apakah baik atau buruk. Dalam keadaan seperti ini, ia dituntut keluar dari kebingungannya seperti yang telah disebutkan sebelumnya dengan melakukan salat istikharah.

Jabir bin Abdullah r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw telah mengajari kami (salat) istikharah dalam segala urusan, sebagaimana beliau mengajari kami suatu surat dalam Al-Qur`an. Beliau Saw bersabda, "Apabila seseorang dari kalian ingin melakukan sesuatu perkara, hendaklah ia menunaikan salat dua rakaat yang tidak termasuk fardhu. Kemudian hendaklah ia memohon,

Allaahumma innii astakhiruka bi ‘ilmika wastaqdiruka biqudratika was aluka minfadlikal ‘azhiim, fa innaka taqdiru wa laa aqdir wa ta`lamu wa laa `alam wa anta ‘allaamul ghuyuub.
Allaahumma in kunta ta`lamu anna hadzal amra khairun lii fii diinii wa ma`aasyii wa ‘aaqibatu amrii au ‘aajil amrii wa aajalihi faqdirhu lii wa yassirhu lii tsumma baariklii fiih, wa inna kunta ta`lamu anna hadzal amra syarrun lii fii diinii wa ma ‘aasyii wa ‘aaqibatu amri au ‘aajil amrii au aajalihi fashrifhu ‘anni washrifnii ‘anhu waqdirlii al khaira khautsu kaana tsummardhinii.


‘Ya Allah, aku memohon pada-Mu pilihan (yang terbaik) dengan ilmu-Mu, dan memohon kekuasaan dengan kekuasaan-Mu, serta memohon pada-Mu karunia-Mu yang melimpah; karena Engkaulah yang berkuasa sedang aku tidak berkuasa, Engkaulah yang Mahatahu sedang aku tidak tahu, dan Engkaulah yang Maha Mengetahui segala yang gaib.

`Ya Allah, jika menurut-Mu perkara ini baik bagiku dan bagi agamaku, kehidupanku, dan berakibat baik padaku atau ia menambahkan, cepat atau lambat- takdirkanlah ia untukku, permudahlah ia untukku, kemudian berkatilah ia untukku. Tetapi jika menurut-Mu perkara ini buruk bagiku dan bagi agamaku, kehidupanku, beserta akibat yang akan ditimbulkannya padaku -atau menambahkan, cepat atau lambat maka jauhkanlah ia dariku dan jauhkanlah aku darinya, takdirkanlah yang terbaik untukku bagaimana pun adanya dan ridhailah aku... ` Beliau Saw menambahkan, kemudian ia mengungkapkan hajatnya." (HR. Bukhari)

Boleh jadi kamu membenci sesuatau, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padalah ia amat buruk bagimu; allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui." (QS Al-Baqarah [2]:216 )

Apabila Rasulullah Saw bangun malam (untuk salat malam), beliau Saw memulai salatnya dengan,
Allaahumma rabbu jibraaila wa miikaaiila wa israafiila faathirussamaaiuaati wal ardhi ‘alimul ghaibi wasysyahaadati anta tahkumu baina ‘ibaadika fiimaa kaanuu fiihi yakhtalifuun, ahdinii limakhtalafa fiihi minalhaqqi biidznika innaka tahdii man tasyaau ilaa shiraathin mustaqiim.

"Ya Allah, Tuhan Jibril, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, yang Maha Mengetahui perkara-perkara gaib dan yang terlihat, Engkaulah yang memutuskan di antara hamba-hamba-Mu perkara yang mereka perselisihkan. Berilah aku petunjuk terhadap permasalahan yang diperselisihkan, yang termasuk benar dengan izin-Mu; sesungguhnya Engkau menunjukkan siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus. " (HR. Muslim)

Akal manusia tidak akan dapat mengetahui setiap akibat dari berbagai macam perkara, baik maupun buruk.
Oleh karena itu, hendaknya setiap hamba yang mukmin memohon kepada Allah Swt yang terbaik dan paling afdhal dari perkara-perkara yang dihadapinya.
Allah Swt berfirman,

"Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memilki Any yang agung. "(QS. At-Taubah [9]: 129)

Karena itu, hendaklah kita melangkah dengan hati-hati, tidak gegabah, tetap bersabar, dan menyerahkan segala urusanmu kepada Allah Swt. Karena, tiada yang mengetahui akibat dari setiap perkara, baik maupun buruk, selain Allah Swt.

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. " (QS. Al-Baqarah [2]: 216)

Setiap muslim harus benar-benar berpikir secara mendalam, agar tidak menimbulkan kerugian bagi agama dan dunianya. Jika baik, maka ia bersyukur, tetapi jika itu adalah musibah, maka ia bersabar. Berikut adalah nasehat Lukmanul Hakim kepada putranya:

"Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik, dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). " (QS. Lukman [31]: 17)

Selanjutnya, kita memohon kepada Allah Swt semoga kita termasuk orang-orang yang rajin berdzikir, yang senantiasa diliputi oleh rahmat-Nya. Orang-orang yang diberi petunjuk, saling mencintai dan saling memupuk persaudaraan. Termasuk pula orang-orang yang apabila akan menempuh suatu jalan, mereka memohon seperti yang diajarkan oleh-Nya.

"Kepada Allah sajalah kami bertawakal. Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya. " (QS. Al-A`raf [7]: 89)

Semoga shalawat dan salam, serta berkah senantiasa dilimpahkan kepada Rasulullah Saw, kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya.

12 May 2013

Seorang Mukmin Dalam Ujian Kepayahan Hidup

Sabarlah atas kepayahan hidup , karena Allah SWT sengaja menjadikan demikian (kepayahan itu) sehingga manusia rindu akan surga yang tidak ada kesedihan dan rasa sakit serta tidak ada penderitaan. Meskipun hidup ini penuh dengan cobaan dan bala (penderitaan), tapi kita lihat banyak manusia yang tergila gila dengan dunia ini seolah olah mereka akan kekal selama lamanya. Jika Allah menghendaki hidup ini enak dan mudah, tentunya sudah pasti Allah akan memberikannya kepada para Nabi dan para Rasul serta kaum mukminin. Akan tetapi, kaum mukminin justru yang paling banyak cobaannya daripada kaum lainnya, sehingga ada suatu hadits yang menyatakan :

“Dari Muadz bin Said dari bapaknya, ia berkata, Aku bertanya,” Wahai rasulullah, siapa yang paling berat cobaannya?” Rasulullah SAW menjawab ,” Para Nabi, kemudian orang orang yang lebih rendah derajatnya darinya, dan seterusnya. Seseorang dicoba tergantung kadar keimanannya. Jika agamanya kuat, maka cobaannya pun semakin berat. Jika ia masih punya agama walau sedikit, maka masih akan dicoba sesuai kadar agamanya itu. Cobaan itu akan terus menerus menimpa hamba Allah sehingga ia berjalan di muka bumi ini tanpa kesalahan sedikitpun.” (HR Attirmidzi, disahihkan oleh Syeikh Al Albani)

Dari Abu Hurairah Ra, ia berkata,” Rasulullah SAW bersabda : “Perumpamaan seorang mukmin seperti tanaman, dimana angin terus menerus menerpanya, dan seorang mukmin akan terus menerus ditimpa musibah, dan perumpamaan orang munafik seperti tanaman padi, ia tidak pernah runtuh sampai ia dipanen.” (HR Muslim)

Diantara karunia Allah yang sangat besar bagi setiap hambaNya yang mukmin adalah Dia menjadikan semua musibah yang menimpanya sebagai kaffarat (pengampunan) bagi dosa dosanya dan sebagai pencuci dari setiap kesalahan dan dosa.

Dari Abi Said dan Abu Hurairah Ra, bahwamereka mendengar rasulullah SAW bersabda,” Tidaklah seorang mukmin ditimpa oleh kepayahan dan sakit, penderitaan dan kesedihan atau kegalauan yang mendera kecuali Allah menghapus kesalahannya dengan semua itu. (HR bukhari)

So…Mari tegar hadapi kepayahan hidup dan yakinlah Allah akan berikan surga atas kesabaran kita menjalani kehidupan ini…

11 May 2013

Agar Seorang Pengusaha Tidak Lalai

Pengusaha dan kelalaian, apa hubungannya? Bukankah setiap aktivitas dalam hidup manusia berpotensi untuk melalaikan mereka dari mengingat Allah Ta’ala? Lantas mengapa sifat lalai seolah-olah diidentikkan dengan dunia usaha dan bisnis? Bukankah dokter, pegawai, buruh bahkan pengangguran pun bisa lalai?

Jawabannya: memang benar bahwa semua aktivitas manusia berpotensi untuk melalaikan mereka dari mengingat Allah Ta’ala, akan tetapi, tahukah anda bahwa sebagian dari para ulama menyifati dunia bisnis dan jual-beli sebagai urusan dunia yang paling besar pengaruh buruknya dalam menyibukkan dan melalaikan manusia dari mengingat Allah Ta’ala1?

Inilah yang terungkap dalam makna firman Allah Ta’ala:

{رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ}

“laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang” (QS an-Nuur:37).

Imam asy-Syaukani berkata: “(Dalam ayat ini) Allah menyebutkan perdagangan secara khusus karena inilah (aktivitas) yang paling besar (potensinya) dalam melalaikan manusia dari mengingat Allah2.

Hal ini dikarenakan aktivitas usaha perdagangan berhubungan dengan harta benda dan keuntungan duniawi, yang tentu saja ini merupakan ancaman fitnah (kerusakan) besar bagi seorang hamba yang tidak memiliki benteng iman yang kokoh untuk menghadapi dan menangkal fitnah tersebut.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

«إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ»

“Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta”.

Maksudnya: menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya:

{إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ}

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS. At-Taghabun:15)3.
Oleh karena itu, pasar dan tempat berjual-beli yang merupakan tempat kesibukan mengurus harta perniagaan adalah tempat berkumpulnya setan dan bala tentaranya, yang selalu berusaha untuk membuat manusia lalai dan lupa mengingat Allah Ta’ala4.

Inilah makna sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Tempat yang paling dicintai Allah adalah mesjid dan yang paling dibenci-Nya adalah pasar”5.

Berikut ini, beberapa petunjuk dalam Islam bagi seorang pedagang dan pengusaha untuk memudahkan dirinya terhindar dari kelalaian dan tipu daya setan, dengan taufik dari Allah Ta’ala:

Selalu berdoa kepada Allah Ta’ala memohon keteguhan iman dan penjagaan dari segala bentuk fitnah yang merusak agama. Di antara doa yang sering diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah: “Ya (Allah) Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu”6.

Berusaha menjaga batasan-batasan syariat Allah Ta’ala dalam semua aktivitas yang dilakukan,baik dalam urusan agama, jual-beli, pergaulan maupun urusan dunia lainnya.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jagalah (batasan-batasan syariat) Allah, maka Allah akan menjagamu (dari segala keburukan), jagalah (batasan-batasan syariat) Allah, maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu (selalu bersamamu dan menolongmu)”7.

Berzikir kepada Allah Ta’ala dengan hati dan lisan sebelum masuk pasar dan tempat berjual-beli lainnya, serta selalu mengingat-Nya, agar terhindar dari kelalaian.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang masuk pasar kemudian membaca (zikir): Tiada sembahan yang benar kecuali Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah segala kerajaan/kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian, Dialah yang menghidupkan dan mematikan, Dialah yang maha hidup dan tidak pernah mati, ditangan-Nyalah segala kebaikan, dan Dia maha mampu atas segala sesuatu”, maka allah akan menuliskan baginya satu juta kebaikan, menghapuskan darinya satu juta kesalahan, dan meninggikannya satu juta derajat – dalam riwayat lain: dan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga – ”8.

Imam ath-Thiibi berkata: “Barangsiapa yang berzikir kepada Allah (ketika berada) di pasar maka dia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang Allah Ta’ala berfirman tentang keutamaan mereka:{رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأبْصَارُ، لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ}

“laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas” (QS an-Nuur:37-38)9.

Bersegera melaksanakan shalat lima waktu ketika adzan dikumandangkan dan meninggalkan segala kesibukan jual-beli dan urusan dunia lainnya.

Imam al-Qurthubi berkata: “Dianjurkan bagi seorang pedagang (pengusaha) untuk tidak disibukkan/dilalaikan dengan perniagaan (usaha)nya dari menunaikan kewajiban-kewajibannya, maka ketika tiba waktu shalat fardhu hendaknya dia (segera) meninggalkan perniagaannya (untuk menunaikan shalat), agar dia termasuk ke dalam golongan orang-orang (yang dipuji Allah Ta’ala) dalam ayat tersebut (di atas)”10.

Berusaha meluangkan waktu untuk melaksanakan shalat dhuha, terutama di saat-saat manusia sedang lalai dan disibukkan dengan urusan jual beli. Inilah yang disebut sebagai shalat al-Awwaabiin, yaitu orang-orang yang senantiasa kembali kepada Allah Ta’ala dengan selalu mentaati-Nya dan bertaubat dari perbuatan dosa11.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Shalat para al-Awwaabiin (di waktu dhuha) adalah ketika anak-anak onta kepanasan (karena cahaya matahari)”12.

Shalat pada waktu ini dinamakan shalatnya para al-Awwaabiin karena pada waktu ini biasanya manusia sedang disibukkan dengan urusan dan perniagaan dunia, akan tetapi hamba-hamba Allah Ta’ala yang shaleh dan selalu kembali kepada-Nya memanfaatkan waktu ini untuk beribadah dan berzikir kepada Allah Ta’ala13.

Demikianlah dan semoga bermanfaat bagi para pembaca dengan izin Allah Ta’ala, amiin.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين



1 Lihat kitab tafsir “Fathul Qadiir” (4/52).

2 Ibid.

3 Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/507).

4 Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (9/272) dan “Faidhul Qadiir” (1/170).

5 HSR Muslim (no. 671).

6 HR at-Tirmidzi (4/448), Ibnu Majah (no. 3834) dan Ahmad (3/112), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.

7 HR at-Tirmidzi (4/667) dan Ahmad (1/293), dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.

8 HR at-Tirmidzi (no. 3428 dan 3429), Ibnu Majah (no. 2235), ad-Daarimi (no. 2692) dan al-Hakim (no. 1974) dari dua jalur yang saling menguatkan. Dinyatakan hasan oleh imam al-Mundziri (dinukil oleh al-mubarakfuri dalam kitab “’Aunul Ma’bud” 9/273) dan syaikh al-Albani dalam kitab “Shahihul Jaami’” (no. 6231).

9 Dinukil oleh al-Mubarakfuri dalam kitab “Tuhfatul Ahwadzi” (9/273).

10 Kitab “Tafsir al-Qurthubi” (5/156).

11 Lihat “Syarhu shahih Muslim” (6/30) dan “Bahjatun naazhiriin” (2/310).

12 HSR Muslim (no. 748) dan Ibnu Hibban (no. 2539) dari Zaid bin Arqam .

13 Lihat kitab “Taudhiihul ahkaam” (2/445).


Dari artikel 'Agar Seorang Pengusaha Tidak Lalai — Muslim.Or.Id'

09 May 2013

Dikala Ujian Dan Cobaan Datang

Dikala Ujian Dan Cobaan Datang .. Maka Bersabarlah...

Yaa Rabbi....Ajarilah kami bagaimana memberi sebelum meminta, berfikir sebelum bertindak, santun dalam berbicara, tenang ketika gundah, diam ketika emosi melanda, bersabar dalam setiap ujian.Jadikanlah kami orang yg selembut Abu Bakar Ash-Shiddiq, sebijaksana Umar bin Khattab, sedermawan Utsman bin Affan, sepintar Ali bin Abi Thalib, sesederhana Bilal, setegar Khalid bin Walid radliallahu’anhum...Aamiin ya Rabbal’alamin.

"Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk ke dalam surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam goncangan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang bersamanya Bilakah datang pertolongan ALLAH? Ingatlah sesungguhnya pertolongan ALLAH amatlah dekat." (QS. Al Baqarah:214)

Cobaan d an ujian sesunggunya semua itu tidaklah akan terlepas dari kita manusia yang masih menjalani kehidupan di dunia.Karena sesungguhnya kesenangan, kesedihan, kebahagiaan, penderitaan, tawa dan air mata adalah warna dari kehidupan yang kita jalani didunia...dan semua adalah sudah menjadi ketetapan ALLAH AZZA WA JALA dan tidak lah dari kita satupun yang akan mampu menghalaunya.

Dan hanyalah ketebalan iman kita kepada-Nya dan kesabaran kita dalam menghadapi dan menjalani semua ujian yg tengah ALLAH titipkan kepada kita akan menjadi benteng yang sangat kokoh dan kuat sehingga kita sebagai makhluk-Nya terhindar dari berburuk sangka kepada ALLAH atas segala yang telah menjadi ketetapan-Nya.

Oleh karenanya dalam keadaan apapun kita sebagai hamba-Nya yang beriman harus senantiasa berbaik sangka dan yakin bahwa tidaklah ALLAH AZZA WA JALA menurunkan suatu musibah elebihi batas kemampuan hamba-Nya dan tidaklah ALLAH menciptakan penyakit tanpa penawarnya (obat)

"ALLAH tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya. Dan ALLAH cinta dan ridha kepada orang yang sabar"(Al Baqarah ayat 286)

Karena sesungguhnya cobaan dan ujian yang datang adalah bentuk dan cara dari ALLAH AZZA WA JALA mencintai hamba-hamba-Nya yang senantiasa bersabar atas segala yg telah menjadi ketetapan-Nya. Karena kesabaran itu adalah satu perkara yang sangat dicintai ALLAH AZZA WA JALA...

"ALLAH mencintai orang-orang yang sabar." (QS. Al Imran : 146) "

Dan sungguhlah bahwa kesabaran adalah salah satu perintah-Nya kepada kita sebagai makhluk-Nya...karena kesabaran kedudukan yang tinggi dalam agama islam.

"Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar, .." (QS.Al-Baqarah: 153)

Karenanya marilah kita renungkan bersama bahwa sesungguhnya ketika ujian dan cobaan datang menghampiri kita akan ada hikmah yang indah dibalik semuanya. Karena sekali lagi bahwa ujian dan cobaan yg datang adalah bentuk dari ALLAH mencintai makhluk-Nya.Dan semoga kita semua adalah tergolong hamba-hamba-Nya yang senantiasa bersabar dalam segala ketetapan-Nya dan senantiasa mengagungkan kebesaran asma-Nya dalam keadaan apapun.

Karena janji ALLAH AZZA WA JALA sangatlah besar bagi hamba-Nya yang senantiasa bersabar.

Barakallaahu fiykum wa jazzakumullah khoir
Sebuah renungan untukku, untukmu, untuk kita semua.Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati yang terkunci...

Bergeraklah masuk, Buka tiap lembaran kalimat hati, maknai, lalu tunaikanlah

SEMOGA BERMANFAAT

07 May 2013

Energi Iman

Kehidupan ini memang tak semulus jalan tol, pada setiap segi kehidupan ada saja halangan dan rintangannya, dan itu dialami oleh semua manusia, tak ada manusia dalam hidupnya mulus seratus persen atau duka terus menerus seratus persen, tak ada itu, karena kehidupan manusia bagai gerak gelombang, ada naik dan ada turun, Dan itu menimpa siapa saja, baik yang masih belajar, kuliah, bekerja dan lain sebagainya.

Tak ada kata menyerah dalam belajar dan berkarya. Tak ada kata putus asa untuk belajar sesuatu yang baru. Tak ada kata mundur untuk mencapai kemajuan. Terus bergerak dan berusaha sebisa mungkin, maju terus pantang mundur. Ayo bangkitlah!

Betapa banyak orang yang biasa-biasa saja pada awalnya, tapi karena semangatnya tinggi dan terus berusaha dan berjuangan menggapai apa yang di cita-citakan, pada akhirnya kesuksesan diraihnya. Apapun kata orang, bukan halangan untuk maju. Apapun pendapat orang, bukan batu sandungan yang mesti ditakuti. Apapun caci maki, hinaan orang atau mungkin ” dikecilkan ” atau ” disalah artikan ” bukan hantu yang menakutkan. Maju terus dan jangan menyerah.

Kerikil-kerikil tajam atau duri-duri yang berserakan sepanjang jalan kalau memang itu ada dihadapanmu, jangan mundur! Kalau perlu berdarah-darah dan terluka, jangan takut. Darah dan luka adalah asam garam kehidupan. Ayo bangkit terus dan bergerak maju.

Bekerja, berkarya dan berusaha dalam menempuh hidup dan kehidupan di mana saja adalah sama, akan ditemukan kesulitan, hambatan, rintangan, ujian, cobaan yang tida henti-hentinya, semakin tinggi karyamu dan usahamu, biasanya kesulitan, hambatan, rintangan, ujian, cobaannya juga semakin tinggi.

Ibarat pohon yang semakin tinggi, angin yang menghempasnya juga semakin kencang, bahkan bukan angin, namun sudah menjadi badai! Bila akarnya tidak kokoh dan kuat, maka pohon itu akan terhempas badai, patah, tumbang dan hancur berantakan.

Akar yang kokoh dan kuat itu adalah iman, energi iman akan membuat kokoh dan kuatnya seseorang dalam menghadapi berbagai macam cobaan dan ujian hidup. Iman yang kokoh dan kuat ibarat batu karang ditengah hempasan badai laut yang ganas, dia akan tetap berdiri, tak bergeser seincipun! Akar yang kuat adalah Iman. Pohon itu adalah ilmu. Buah merupakan amal. Pupuknya adalah ibadah. Rantingnya adalah perbuatan baik.

Disamping penderitaan kita, masih banyak lagi orang yang lebih menderita dari kita. Begitu panjang penderitaan yang bisa kita lihat sepanjang jalan kehidupan ini, semua menjadi bahan pelajaran untuk kita yang berpikir, yang mengambil hikmahnya dari setiap peristiwa kehidupan betapapun kecilnya.

Kita tidak punya apa-apa. Harta kitapun bukan milik kita, itu hanya titipan Allah yang pada suatu saat akan diambilNya kembali, suka atau tidak suka. Suatu saat apapun yang kita miliki atau apapun yang kita cintai akan lepas dari tangan kita, akan diambil kembali oleh pemiliknya, Dialah Allah SWT.

Orang yang tidak memiliki sesuatu tidak akan pernah kehilangan sesuatu, sebaliknya orang yang tidak pernah merasa memiliki sesuatu akan menyi-nyiakan sesuatu. Semua itu bisa hilang begitu saja tanpa kita sadari, bahkan musibah betapapun kecilnya terkadang tanpa diduga, misalnya saja kegencet pintu, tergores kertas HVS saat fotocopy, tertusuk jarum, tergores pisau saat di dapur dan sebagainya.

Musibah di depan matapun kitapun tidak tahu, kabut tipis di kaca matamu pun telah mampu menghalangi penglihatanmu, betapa lemahnya kau wahai manusia, apa yang kau mau sombongkan? Saat kabut tebal menghalangi pandangan mata, jarak pandangan mata hanya kisaran ratusan meter saja. Itulah duka, inginnya sih tak ada duka dan luka, tapi sering terjadi tanpa diduga.

Memang tidak semua keinginan/kemauan manusia yang dikehendaki sebagaimana yang diingini. Untuk mendapatkan sesuatu kita mengorbankan sesuatu atau untuk mendapatkan sesuatu kita kehilangan sesuatu. Tidak setiap hari ada duka, tidak setiap hari ada suka, keduanya silih berganti di manapun kita berada.

Mari bersama-sama kita kembali kepadaNya, kita kembalikan urusan padaNya, kita harus yakin apapun yang kita lakukan itulah pilihan yang terbaik yang kita pilih dan apapun yang kita terima sekarang ini, itulah yang terbaik untuk hidup dan kehidupan kita menurutNya. Jangan pernah menyesali setiap keputusan yang kita ambil.

Marilah kita bersihkan hati kita masing-masing dari prasangka-prasangka buruk , baik terhadap diri sendiri ataupun pada orang lain. Apapun yang kita lakukan jangan pernah terlepas dari mohon perlindunganNya, tidak terlepas dari mohon petunjuk-petunjukNya.

Allah menciptakan dirimu bukan untuk membuatmu susah dan Dia tidak pernah menganiaya dirimu! Dan Jika hidupmu susah, itu bukan dari Allah SWT, tapi dari dirimu sendiri yang tak mau berusaha, yang mudah putus asa, yang pesimis menghapi hidup ini dan tidak berjuang dengan sungguh-sungguh. Dan akhirnya gagal dalam kehidupan di masa lalu, misalnya.

Masa lalu betapun pahit dan manisnya tak akan bisa berulang! Semuanya hanya tinggal kenangan yang sukar dilupakan. Penyesalan terhadap suatu peristiwa yang menyakitkan sampai menangis keluar darah sekalipun tidak akan bisa merubah keadaan. Semua yang sudah terjadi itu sudah menjadi kenyataan yang tetap melekat pada ingatan.

Lalu apa gunanya merusak diri sendiri dengan terus menerus menyesali semua itu? Katakanlah: Semua ini sudah ketentuanNya, suka atau tidak suka, rela atu terpaksa, ikhlas atau mengelak tidak bisa merubah ketetapanNya! Mana lebih baik ikhlas atau ridho atas ketetapannya atau ingkar dan menyesali semuanya, tapi ketetapan tersebut tetap berlaku?

Katakanlah: Ketetapan Allah SWT tak ada yang bisa merubahnya, bila Dia sudah berfirman ” Kun fayakun” Jadilah, maka jadilah! Apapun yang kau lakukan dalam hidup ini ada resikonya, ada baik dan buruknya, ada benar dan salahnya, tak sempurna! Hanya bagaimana kita menyikapinya. Yang jelas tak ada sesuatupun di dunia ini yang diciptakanNya dengan sia-sia. Ayo terus bangkit dan berjuang, masa depanmu ada ditangan ada ditanganmu sendiri, bukan pada orang lain.

04 May 2013

Keutamaan Muazzin

Dari Muawiah bin Abi Sufyan -radhiallahu anhu- dia berkata: Saya mendengar Rasulullah -shalallahu alaihi wa alihi wasallam- bersabda:
الْمُؤَذِّنُونَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Orang-orang yang azan (muazzin) adalah orang yang paling panjang lehernya pada hari kiamat.” (HR. Muslim no. 387)
Yakni tatkala manusia sudah berdesak-desakan dan ketika keringat-keringat manusia sudah membanjiri mereka, bahkan ada yang keringatnya setinggi mulutnya. Maka muazzin selamat dari semua itu karena lehernya yang panjang. (Syarh Muslim: 4/333 karya An-Nawawi)
Abu Said Al-Khudri -radhiallahu anhu- pernah berkata kepada Abdullah bin Abdirrahman bin Abi Sha’sha’ah Al-Anshari:

إِنِّي أَرَاكَ تُحِبُّ الْغَنَمَ وَالْبَادِيَةَ فَإِذَا كُنْتَ فِي غَنَمِكَ أَوْ بَادِيَتِكَ فَأَذَّنْتَ بِالصَّلَاةِ فَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاءِ فَإِنَّهُ لَا يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلَا إِنْسٌ وَلَا شَيْءٌ إِلَّا شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Saya perhatikan kamu sangat menyukai kambing dan kampung. Karenanya jika kamu sedang bersama kambingmu atau sedang berada di kampungmu lalu kamu mengumandangkan azan untuk melaksanakan shalat, maka tinggikanlah suaramu ketika azan. Karena sesungguhnya tidaklah suara muazzin itu didengarkan oleh jin, manusia, dan yang lainnya melainkan semuanya akan menjadi saksi baginya pada hari kiamat. Kemudian Abu Said berkata, “Saya mendengarkan (hadits) ini dari Rasulullah shalallahu alaihi wa alihi wasallam.” (HR. Al-Bukhari no. 87)

Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- bahwasanya Rasulullah -shalallahu alaihi wa alihi wasallam- bersabda :
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي التَّهْجِيرِ لَاسْتَبَقُوا إِلَيْهِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي الْعَتَمَةِ وَالصُّبْحِ لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Kalau seandainya manusia mengetahui besarnya pahala yang ada pada panggilan (azan) dan shaf pertama kemudian mereka tidak bisa mendapatkannya kecuali dengan undian maka pasti mereka akan mengundinya. Dan kalaulah mereka mengetahui besarnya pahala yang akan didapatkan karena bersegera menuju shalat maka mereka pasti akan berlomba-lomba (untuk menghadirinya). Dan kalaulah seandainya mereka mengetahui besarnya pahala yang akan didapatkan dengan mengerjakan shalat isya dan subuh, maka pasti mereka akan mendatanginya meskipun harus dengan merangkak.” (HR. Al-Bukhari no. 69 dan Muslim no. 437)

Penjelasan ringkas:
Di antara keutamaan azan lainnya adalah:
1. Allah Ta’ala berfirman, “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, “Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri.” (QS. Fushshilat: 33)

2. Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- bahwasanya Rasulullah -shalallahu alaihi wa alihi wasallam- bersabda:
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لَا يَسْمَعَ التَّأْذِينَ فَإِذَا قَضَى النِّدَاءَ أَقْبَلَ حَتَّى إِذَا ثُوِّبَ بِالصَّلَاةِ أَدْبَرَ حَتَّى إِذَا قَضَى التَّثْوِيبَ أَقْبَلَ حَتَّى يَخْطِرَ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ لَا يَدْرِي كَمْ صَلَّى

“Apabila azan dikumandangkan maka setan akan lari sambil kentut hingga dia tidak mendengarkan azan lagi. Ketika azan sudah selesai maka dia kembali lagi. Ketika qomat dikumandangkan untuk shalat dia kembali pergi, ketika qamat sudah selesai dia kembali lagi hingga dia bisa mengganggu hati orang yang shalat. Dia mengatakan, “Ingatlah ini, ingatlah itu,” yang mana hal tersebut tidak teringat olehnya sebelum shalat. Sehingga akhirnya seseorang tidak menyadari lagi sudah berapa raka’atkah shalatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 608 dan Muslim no. 389)

3. Dari Al-Barra’ bin ‘Azib -radhiallahu anhu- bahwasanya Nabi -shalallahu alaihi wa alihi wasallam- bersabda:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ وَالْمُؤَذِّنُ يُغْفَرُ لَهُ بِمَدِّ صَوْتِهِ وَيُصَدِّقُهُ مَنْ سَمِعَهُ مِنْ رَطْبٍ وَيَابِسٍ وَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ صَلَّى مَعَهُ

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya akan bershalawat untuk orang-orang yang berada di shaf yang terdepan. Muazzin akan diampuni dosanya sepanjang suaranya, dan dia akan dibenarkan oleh segala sesuatu yang mendengarkannya, baik benda basah maupun benda kering, dan dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang shalat bersamanya”. (HR. An-Nasai no. 646, Ahmad: 4/284, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib: 1/99)

4. Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shalallahu alaihi wa alihi wasallam- bersabda:
الْإِمَامُ ضَامِنٌ وَالْمُؤَذِّنُ مُؤْتَمَنٌ اللَّهُمَّ أَرْشِدْ الْأَئِمَّةَ وَاغْفِرْ لِلْمُؤَذِّنِينَ

“Seorang imam adalah penjamin (pelaksanaan shalat) dan muazzin adalah orang yang diberikan kepercayaan untuk menjaganya. Ya Allah tunjukilah para imam dan berilah ampunan untuk para muazzin.” (HR. Abu Daud no. 517, At-Tirmizi no. 191, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib : 1/100)

5. Dari Ibnu ‘Umar -radhiallahu anhu- bahwasanya Rasulullah -shalallahu alaihi wa alihi wasallam- bersabda :
مَنْ أَذَّنَ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ سَنَةً وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ وَكُتِبَ لَهُ بِتَأْذِينِهِ فِي كُلِّ يَوْمٍ سِتُّونَ حَسَنَةً وَلِكُلِّ إِقَامَةٍ ثَلَاثُونَ حَسَنَةً

“Barangsiapa mengumandangkan adzan selama dua belas tahun, maka wajib baginya surga, Dan dengan adzannya, dalam setiap harinya akan dituliskan enam puluh kebaikan, dan tiga puluh kebaikan untuk setiap iqamah yang ia lakukan.” (HR. Ibnu Majah no. 723 dan dinyatakan shahih oleh Albani dalam Silsilah Hadits Shahih no. 42 dan Shahih Ibnu Majah: 1/226)

03 May 2013

Jangan Nodai Ibadah Anda Dengan Niat Duniawi

Berbicara tentang niat yang ikhlas berarti membahas suatu amalan hati yang paling berat untuk dilakukan seorang manusia, karena besarnya dominasi ambisi nafsu manusia yang sangat bertentangan dengan keikhlasan dalam niat, kecuali bagi orang-orang beriman yang diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala dalam semua kebaikan.

Imam Sahl bin Abdullah at-Tustari berkata: “Tidak ada sesuatupun yang paling berat bagi nafsu manusia melebihi keikhlasan karena pada keikhlasan tidak ada bagian untuk nafsu”.

Semakna dengan ucapan di atas, Imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri berkata: “Tidaklah aku berusaha memperbaiki sesuatu (dalam diriku) yang lebih sulit bagiku daripada (memperbaiki) niatku (supaya ikhlas)”.

Imam Ibnul Qayyim menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau: “Adapun kesyirikan (penyimpangan) dalam niat dan keinginan (manusia) maka itu (ibaratnya seperti) lautan (luas) yang tidak bertepi dan sangat sedikit orang yang selamat dari penyimpangan tersebut. Maka barangsiapa yang menginginkan dengan amal kebaikannya selain wajah Allah, meniatkan sesuatu selain untuk mendekatkan diri kepada-Nya, atau selain mencari pahala dari-Nya maka sungguh dia telah berbuat syirik dalam niat dan keinginannya. Ikhlas adalah dengan seorang hamba mengikhlaskan untuk Allah (semata) semua ucapan, perbuatan, keinginan dan niatnya”.

Keinginan/niat duniawi pada amal kebaikan

Termasuk penyimpangan niat yang banyak menimpa manusia dan menodai kesucian ibadah mereka, selain perbuatan riya’, adalah terselipnya niat dan keinginan duniawi pada amal ibadah yang dikerjakan manusia. Penyimpangan ini penting untuk diketahui, karena sering menimpa seorang yang berbuat amal kebaikan tapi dia tidak menyadari terselipnya niat tersebut, padahal ini termasuk bentuk kesyirikan yang bisa menodai bahkan merusak amal kebaikan seorang hamba.

Allah Ta’ala berfirman:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” (QS Huud: 15-16).

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amal shaleh yang dilakukan dengan niat duniawi adalah termasuk perbuatan syirik yang bisa merusak kesempurnaan tauhid yang semestinya dijaga dan perbuatan ini bisa menggugurkan amal kebaikan. Bahkan perbuatan ini lebih buruk dari perbuatan riya’ (memperlihatkan amal shaleh untuk mendapatkan pujian dan sanjungan), karena seorang yang menginginkan dunia dengan amal shaleh yang dilakukannya, terkadang keinginannya itu menguasai niatnya dalam meyoritas amal shaleh yang dilakukannya. Ini berbeda dengan perbuatan riya’, karena riya’ biasanya hanya terjadi pada amal tertentu dan bukan pada mayoritas amal, itupun tidak terus-menerus. Meskipun demikian, orang yang yang beriman tentu harus mewaspadai semua keburukan tersebut.

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dalam kitab at-Tauhid mencantumkan sebuah bab khusus tentang masalah penting ini, yaitu bab: Termasuk (perbuatan) syirik adalah jika seseorang menginginkan dunia dengan amal (shaleh yang dilakukan)nya.

Syaikh Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu asy-Syaikh berkata: “Termasuk syirik kecil adalah seorang yang menginginkan (balasan di) dunia dengan amal-amal ketaatan (yang dilakukan)nya dan tidak menghendaki (balasan di) akhirat…Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia secara asal, menjadi tujuan (utama) dan (sumber) penggerak (diri mereka) adalah orang-orang kafir. Oleh karena itu, ayat ini (firman Allah Ta’ala di atas) turun berkenaan dengan orang-orang kafir. Akan tetapi, lafazh ayat ini mencakup semua orang (kafir maupun mukmin) yang menginginkan kehidupan (balasan) duniawi dengan amal shaleh (yang dilakukan)nya”.

Makna dan perbedaannya dengan riya’

‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhu berkata tentang makna ayat di atas: “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia”, artinya balasan duniawi, “dan perhiasannya”, artinya harta. “Niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna”, artinya: Kami akan sempurnakan bagi mereka balasan amal perbuatan mereka (di dunia) berupa kesehatan dan kegembiraan dengan harta, keluarga dan keturunan”.

Semakna dengan ucapan di atas, Imam Qatadah bin Di’amah al-Bashri berkata: “Barangsiapa yang menjadikan dunia (sebagai) target (utama), niat dan ambisinya, maka Allah akan membalas kebaikan-kebaikannya (dengan balasan) di dunia, kemudian di akhirat (kelak) dia tidak memiliki kebaikan untuk diberikan balasan. Adapun orang yang beriman, maka kebaikan-kebaikannya akan mendapat balasan di dunia dan memperoleh pahala di akhirat (kelak)”.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin mengisyaratkan makna lain dari perbuatan ini, yaitu seorang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah Ta’ala bukan karena riya’ atau pujian, niatnya ikhlas kerena Allah Ta’ala, akan tetapi dia menginginkan suatu balasan duniawi, misalnya harta, kedudukan duniawi, kesehatan pada dirinya, keluarganya atau keturunannya, dan yang semacamnya. Maka dengan amal kebaikannya dia menginginkan manfaat duniawi dan melalaikan/melupakan balasan akhirat.

Adapun perbedaan antara perbuatan ini dengan perbuatan riya’, maka perbuatan ini lebih luas dan lebih umum dibanding perbuatan riya’, bahkan riya’ adalah salah satu bentuk keinginan duniawi dalam beramal shaleh.

Perbuatan riya’ bertujuan untuk mendapatkan pujian dan sanjungan dengan amal shaleh, sedangkan perbuatan ini tidak bertujuan untuk mendapat pujian, tapi ingin mendapatkan balasan duniawi dengan amal shaleh, seperti harta, kedudukan, kesehatan fisik dan lain-lain.
Dalil-dalil yang menunjukkan tercela dan buruknya perbuatan ini

Allah Ta’ala berfirman:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” (QS Huud: 15-16).

Ayat yang mulia ini dibatasi kemutlakannya dengan firman Allah Ta’ala dalam ayat lain:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا}

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa (balasan dunia) yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami inginkan, kemudian Kami jadikan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir” (QS al-Israa’: 18).

Maka kesimpulan makna kedua ayat ini adalah: orang yang menginginkan balasan duniawi dengan amal shaleh yang dilakukannya, maka Allah Ta’ala akan memberikan balasan duniawi yang diinginkannya jika Allah Ta’ala menghendaki, dan terkadang dia tidak mendapatkan balasan duniawi yang diinginkannya karena Allah Ta’ala tidak menghendakinya.

Oleh sebab itu, semakin jelaslah keburukan dan kehinaan perbuatan ini di dunia dan akhirat, karena keinginan orang yang melakukannya untuk mendapat balasan duniawi terkadang terpenuhi dan terkadang tidak terpenuhi, semua tergantung dari kehendak Allah Ta’ala. Inilah balasan bagi mereka di dunia, dan di akhirat kelak mereka tidak mendapatkan balasan kebaikan sedikitpun, bahkan mereka akan mendapatkan azab neraka Jahannam dalam keadaan hina dan tercela.

Benarlah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang bersabda: “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuannya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niatnya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)“.

Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda tentang buruknya perbuatan ini: “Binasalah (orang yang menjadi) budak (harta berupa) emas, celakalah (orang yang menjadi) budak (harta berupa) perak, binasalah budak (harta berupa) pakaian indah, kalau dia mendapatkan harta tersebut maka dia akan ridha (senang), tapi kalau dia tidak mendapatkannya maka dia akan murka. Celakalah dia tersungkur wajahnya (merugi serta gagal usahanya), dan jika dia tertusuk duri (bencana akibat perbuatannya) maka dia tidak akan lepas darinya”.

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keburukan dan kehinaan perbuatan ini, karena orang yang melakukannya berarti dia menjadikan dirinya sebagai budak harta, karena harta menjadi puncak kecintaan dan keinginannya dalam setiap perbuatannya, sehingga kalau dia mendapatkannya maka dia akan ridha (senang), tapi kalau tidak maka dia akan murka.

Kemudian Rasulullah menggabarkan keadaannya yang buruk bahwa orang tersebut jika ditimpa keburukan atau bencana akibat perbuatannya maka dia tidak bisa terlepas darinya dan dia tidak akan beruntung selamanya. Maka dengan perbuatan buruk ini dia tidak mendapatkan keinginannya dan dia pun tidak bisa lepas dari keburukan yang menimpanya. Inilah keadaan orang yang menjadi budak harta, na’uudzu billahi min dzaalik.

Beberapa bentuk dan contoh keinginan duniawi pada amal kebaikan

Syaikh ‘Abdur Rahman bin Hasan Alu asy-Syaikh rahimahullah menukil keterangan Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. rahimahullah tentang bentuk-bentuk amal shaleh yang dikerjakan dengan keinginan untuk mendapatkan balasan duniawi, sebagai berikut:

Amal shaleh yang dikerjakan oleh banyak orang dengan mengharapkan wajah Allah (ikhlas), berupa sedekah, shalat, (menyambung) silaturahim, berbuat baik kepada orang lain, tidak menzhalimi orang lain, dan lain-lain, yang dilakukan atau ditinggalkan seseorang ikhlas karena Allah, akan tetapi dia tidak menginginkan pahala di akhirat, dia hanya menginginkan balasan (duniawi) dari Allah, dengan (Allah Ta’ala) menjaga hartanya dan mengembangkannya, atau memelihara istri dan anggota keluarganya, atau melanggengkan limpahan nikmat/kekayaan bagi keluarganya. Tidak ada niatnya untuk meraih Surga dan menyelamatkan diri dari (siksa) Neraka. Maka orang seperti ini akan diberikan balasan amal perbuatannya di dunia dan tidak ada bagian (balasan kebaikan) untuknya di akhirat (kelak). Bentuk inilah yang disebutkan oleh (Shahabat yang mulia) Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu.

Ini lebih besar dan lebih menakutkan dari bentuk yang pertama, dan inilah yang disebutkan oleh Imam Mujahid tentang (makna) ayat di atas dan sebab turunnya, yaitu seorang yang mengerjakan amal shaleh dengan niat untuk riya’ (memamerkannya) kepada orang lain, bukan untuk mencari pahala akhirat.
Seorang yang mengerjakan amal shaleh dengan tujuan (untuk mendapatkan) harta, seperti orang yang berhaji untuk memperoleh harta, berhijrah untuk mendapatkan (balasan) duniawi atau untuk menikahi seorang wanita, atau berjihad untuk mendapatkan ganimah (harta rampasan perang). Bentuk ini juga disebutkan (oleh sebagian dari ulama salaf) ketika menafsirkan ayat ini. (Contoh lainnya) seperti seorang yang menuntut ilmu karena (keberadaan) madrasah milik keluarganya, usaha mereka, atau kedudukan mereka, atau seorang yang mempelajari al-Qur-an dan kontinyu melaksanakan shalat fardhu karena tugasnya di mesjid, sebagaimana ini sering terjadi.

Seorang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan niat ikhlas karena Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya, akan tetapi dia pernah melakukan perbuatan kufur yang menjadikannya keluar dari agama Islam. Seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani jika mereka beribadah kepada Allah, bersedekah, atau berpuasa dengan mengharapkan wajah Allah dan (balasan) di negeri Akhirat, juga seperti kebanyakan dari kaum muslimin yang pernah melakukan kekafiran atau kesyirikan besar yang mengeluarkan mereka dari agama Islam secara keseluruhan, meskipun mereka melakukan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas mengharapkan ganjaran pahala dari-Nya di negeri Akhirat, akan tetapi mereka pernah melakukan perbuatan (kufur atau syirik) yang mengeluarkan mereka dari agama Islam dan ini menjadikan semua amal perbuatan mereka tidak diterima (oleh Allah Ta’ala). Bentuk ini juga disebutkan dalam penafsiran ayat ini dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu dan selain beliau.

Lebih lanjut, Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menyebutkan beberapa contoh keinginan duniawi dengan amal shaleh yaitu:

Orang yang menginginkan harta, misalnya orang yang melakukan adzan (di masjid) untuk mendapatkan upah/gaji (sebagai muadzdzin), atau orang yang berhaji untuk mendapatkan harta.
Orang yang menginginkan kedudukan, misalnya orang yang belajar untuk mendapatkan ijazah sehingga kedudukannya semakin tinggi.

Orang yang menginginkan hilangnya gangguan, penyakit dan keburukan dari dirinya, misalnya orang yang beribadah kepada Allah supaya Allah memberikan baginya balasan di dunia berupa kecintaan manusia kepadanya (sehingga mereka tidak menyakitinya), dihilangkan keburukan dari dirinya, dan lain-lain.
Orang yang beribadah kepada Allah dengan tujuan untuk memalingkan wajah manusia kepadanya (menjadikan mereka kagum kepadanya) dengan mencintai dan menghormatinya. Dan masih banyak contoh-contoh yang lain.

Beberapa syubhat (kerancuan) dan jawabannya

Berdasarkan pemaparan di atas, kita menetapkan bahwa hukum asal dalam ibadah dan amal shaleh adalah tidak boleh ada niat/keinginan dunia padanya.

Akan tetapi, dalam masalah ini ada beberapa syubhat/kerancuan yang timbul karena kesalahpahaman atau hawa nafsu, di antaranya:

A. Pendapat yang mengatakan bolehnya meniatkan balasan duniawi dengan amal-amal shaleh. Pendapat ini berargumentasi dengan beberapa hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyebutkan balasan duniawi pada beberapa amal shaleh. Misalnya sabda beliau shallallahu’alaihi wasallam: “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya”.

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang membunuh orang kafir (di medan jihad) dan dia mempunyai bukti (atas pembunuhan tersebut) maka dia (yang berhak) mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut”.

Bagaimana cara mendudukkan hadits-hadits ini dan yang semakna dengannya? Karena tidak mungkin Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam justru menjelaskan dan tidak mengingkari perbuatan yang jelas-jelas tercela dalam agama.

Syaikh Shaleh bin ‘Abdil ‘Aziz Alu asy-Syaikh telah menjelaskan dan memerinci hal ini, beliau berkata: “Amal-amal shaleh yang dilakukan oleh seorang hamba dengan menghadirkan (keinginan mendapatkan) balasan duniawi ada dua macam:

Amal yang dilakukannya itu dengan menghadirkan dan menginginkan balasan duniawi, serta tidak menginginkan balasan di akhirat, (padahal) amal tersebut tidak dianjurkan dalam syariat dengan menyebutkan balasan duniawi, seperti shalat, puasa dan amal-amal ketaatan lainnya, maka amal seperti ini tidak boleh diniatkan untuk (balasan) duniawi. Kalau dia menginginkan (balasan) duniawi dengan amal seperti ini maka (berarti) dia telah berbuat syirik dengan kesyirikan seperti yang telah dijelaskan di atas.
Amal-amal yang dijelaskan dalam syariat akan mendatangkan balasan di dunia dan dianjurkan dalam Islam dengan menyebutkan balasannya di dunia. Seperti shilaturahim (menyambung hubungan baik dengan kerabat), berbakti kepada orang tua dan yang semisalnya. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda: “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya”.

Amal-amal seperti ini, ketika seorang hamba yang melakukannya dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi tersebut, (meskipun) dia ikhlas kerena Allah (tapi) dia tidak menghadirkan (menginginkan) balasan akhirat, maka dia masuk dalam ancaman (buruknya perbuatan ini) dan ini termasuk jenis syirik yang disebutkan di atas. Akan tetapi jika dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi dan balasan akhirat (secara) bersamaan, (yaitu dengan) dia mengharapkan balasan di sisi Allah di akhirat (nanti), menginginkan surga dan takut (dengan siksa) neraka, tapi dia (juga) menghadirkan balasan duniawi dalam amal ini, maka (yang seperti) ini tidak mengapa (tidak berdosa), karena syariat Islam tidaklah memotivasi (untuk) mengerjakan amal tersebut dengan menyebutkan balasan duniawi kecuali untuk mendorong (kita).

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam: “Barangsiapa yang membunuh orang kafir (di medan jihad) dan dia mempunyai bukti (atas pembunuhan tersebut) maka dia (yang berhak) mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut”.

Maka barangsiapa yang membunuh orang kafir di (medan) jihad untuk mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut, akan tetapi tujuan (utamanya) berjihad adalah mengharapkan balasan di sisi Allah Ta’ala dan semata-mata mencari wajah-Nya, meskipun keinginannya (terhadap balasan duniawi) ini sebagai tambahan motivasi baginya. (Ringkasnya), keinginan orang ini tidak terbatas pada balasan duniawi ini, karena hatinya juga terikat dengan (balasan) akhirat, maka perbuatan seperti ini tidak mengapa (tidak berdosa) dan tidak termasuk jenis (perbuatan syirik) yang pertama.

B. Menyebutkan manfaat-manfaat duniawi ketika menjelaskan beberapa hikmah dan faidah amal-amal ibadah. Misalnya, di antara faidah shalat adalah untuk olah raga dan melatih otot, demikian juga puasa, di antara faidahnya adalah mengurangi kelebihan cairan dalam tubuh, mengatur jadwal makan (diet), menyehatkan lambung dan saluran pencernaan. Apakah ini diperbolehkan?

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menjawab pertanyaan ini dalam ucapan beliau: “Semestinya kita tidak boleh menjadikan (menyebutkan) manfaat-manfaat duniawi sebagai asal (yang utama). Karena Allah tidak menyebutkan hal-hal tersebut dalam al-Qur-an, tetapi yang Allah sebutkan (dalam al-Qur-an) adalah bahwa shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (buruk), juga tentang puasa adalah sebab untuk (meraih) takwa kepada-Nya. Maka faidah-faidah agama dalam ibadah inilah (yang dijadikan) asal (yang utama), sedangkan faidah-faidah duniawi (dijadikan) nomor kedua (sekunder). Oleh karena itu, ketika kita menjelaskan hal ini di depan orang-orang awam, maka (hendaknya) kita menyampaikan kepada mereka segi-segi (faidah dan hikmah) yang berhubungan dengan agama. (Terkecuali) tatkala kita menjelaskan hal ini di depan orang yang tidak merasa puas kecuali dengan sesuatu (faidah) yang bersifat duniawi maka (kita boleh) menjelaskan kepadanya segi-segi (faidah dan hikmah) yang berhubungan dengan agama dan dunia (sekaligus). Penjelasan yang kita sampaikan (hendaknya) disesuaikan dengan kondisi (orang yang ada di hadapan kita)”.

C. Menuntut ilmu agama di universitas-universitas Islam negeri yang kurikulumnya berdasarkan manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah, seperti universitas-universitas di Arab Saudi, kemudian setelah lulus akan mendapatkan ijazah dan gelar, baik itu Lc (Licence), MA (Master of arts) ataupun Dr (doktor), apakah ini diperbolehkan dan tidak termasuk melakukan amal shaleh dengan keinginan duniawi?

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin menjawab pertanyaan ini dengan perincian sebagai berikut:

Kalau niat dan keinginan orang yang belajar di universitas-universitas tersebut hanya untuk mendapatkan gelar tersebut dan tidak ada niat untuk agama, maka jelas ini termasuk perbuatan buruk yang dijelaskan di atas.

Kalau niatnya untuk agama dan akhirat, akan tapi dia menjadikan gelar tersebut hanya sebagai sarana untuk memudahkan dia diterima dan mendapat pengakuan masyarakat, sehingga dengan itu dia lebih mudah mendakwahi dan mengajak mereka ke jalan Allah, karena di jaman sekarang kebanyakan orang sangat memperhitungkan gelar resmi, maka ini diperbolehkan dan niat ini adalah niat yang benar.

Cara untuk menyelamatkan diri dari keburukan besar ini

Semua kebaikan ada di tangan Allah Ta’ala, tidak ada seorangpun yang mampu melakukan kebaikan kecuali dengan pertolongan-Nya dan tidak ada yang bisa menyelamatkannya dari keburukan kecuali Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

{وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلا كَاشِفَ لَهُ إِلا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلا رَادَّ لِفَضْلِهِ. يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ}

“Jika Allah menimpakan suatu keburukan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Yuunus: 107).

Khususnya yang berhubungan dengan pemurnian tauhid dan ibadah kepada Allah Ta’ala maka manusia tidak akan mungkin meraihnya tanpa pertolongan-Nya. Renungkanlah makna firman-Nya:

{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}

“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS al-Faatihah:5).

Oleh karena itu, tekun berdoa kepada Allah Ta’ala dengan sungguh-sungguh untuk memohon taufik-Nya dalam memurnikan tauhid dan menjauhi perbuatan syirik dalam segala bentuk dan jenisnya, ini termasuk sebab terbesar untuk meraih penjagaan dari-Nya dari keburukan besar ini.

Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kita yang berhubungan dengan penjagaan dari perbuatan syirik adalah doa:

« اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ »

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui (sadari)”.

Kemudian termasuk sebab yang paling penting untuk memudahkan kita meraih keikhlasan dalam ibadah dan terhindar dari keburukan syirik dalam segala bentuknya adalah berusaha keras dan berjuang menundukkan hawa nafsu dan keinginannya yang buruk. Inilah sifat penghuni surga yang dipuji oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

{وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى}

“Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya (Allah Ta’ala) dan menahan diri dari (memperturutkan) keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (mereka)’ (QS an-Naazi’aat: 40-41).

Keinginan hawa nafsu yang paling penting dan paling sulit untuk ditundukkan, kecuali bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala, adalah kecintaan dan ambisi mengejar dunia yang berlebihan serta keinginan untuk selalu mendapatkan pujian dan sanjungan. Inilah dua penyakit hati terbesar yang merupakan penghalang utama untuk meraih keikhlasan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak akan berkumpul (bertemu) keikhlasan dalam hati dengan keinginan (untuk mendapat) pujian dan sanjungan serta kerakuasan terhadap (harta benda duniawi) yang ada di tangan manusia, kecuali seperti berkumpulnya air dan api (tidak mungkin berkumpul selamanya)… Maka jika terbersit dalam dirimu (keinginan) untuk meraih keikhlasan, yang pertama kali hadapilah (sifat) rakus terhadap dunia dan penggallah sifat buruk ini dengan pisau ‘putus asa’ (dengan balasan duniawi yang ada di tangan manusia). Lalu hadapilah (keinginan untuk mendapat) pujian dan sanjungan, bersikap zuhudlah (tidak butuh) terhadap semua itu…Kalau kamu sudah bisa melawan sifat rakus terhadap dunia dan bersikap zuhud terhadap pujian dan sanjungan manusia maka (meraih) ikhlas akan menjadi mudah bagimu”.

Lebih lanjut, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan cara untuk menghilangkan dua pernyakit buruk penghalang keikhlasan tersebut, beliau berkata: “Adapun (cara untuk) membunuh (sifat) rakus (terhadap balasan duniawi yang ada di tangan manusia, itu akan dimudahkan bagimu dengan kamu memahami secara yakin bahwa tidak ada sesuatupun yang diinginkan oleh (manusia) kecuali di tangan Allah semata perbendaharaannya, tidak ada yang memiliki/menguasainya selan Dia Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak ada yang dapat memberikannya kepada hamba kecuali Dia Subhanahu Wa Ta’ala semata. Adapun (berskap) zuhud terhadap pujian dan sanjungan, itu akan dimudahkan bagimu dengan kamu memahami (secara yakin) bahwa tidak ada satupun yang pujiannya bermanfaat serta mendatangkan kebaikan dan celaannya mencelakakan dan mendatangkan keburukan kecuali Allah satu-satunya”.

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua yang membacanya dan menjadi sebab taufik dari Allah Ta’ala bagi kita untuk memurnikan tauhid dan penghambaan diri kepada-Nya serta penjagaan dari segala bentuk kesyirikan yang besar maupun kecil.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين


Penulis: Ustadz Abdullah Taslim Al Buthony, MA.
Artikel Muslim.Or.id