29 June 2013

Kesederhanaan Dalam Kemakmuran

Pada masa Rasulullah memimpin masyarakat Madinah, selaku orang besar ia justru paling melarat, walaupun warga Madinah hidup berkecukupan. Pada suatu hari, ketika Rasulullah mengimami Shalat Isya berjamaah, para sahabat yang jadi makmum dibuat cemas oleh keadaan nabi yang agaknya sedang sakit payah. Buktinya, setiap kali ia menggerakkan tubuh untuk rukuk, sujud dan sebagainya, selalu terdengar suara keletak-keletik, seakan- akan tulang-tulang Nabi longgar semuanya.

Maka, sesudah salam, Umar bin Khatab bertanya,"Ya, Rasullullah, apakah engkau sakit?."
"Tidak, Umar, aku sehat," jawab Nabi.
"Tapi mengapa tiap kali engkau menggerakkan badan dalam shalat, kami mendengar bunti tulang-tulangmu yang berkeretakan?"

Mula-mula, Nabi tidak ingin membongkar rahasian. Namun, karena para sahabat tampaknya sangat was-was memperhatikan keadaannya, Nabi terpaksa membuka pakaiannya. Tampak oleh para sahabat, Nabi mengikat perutnya yang kempis dengan selembar kain yang di- dalamnya diiisi batu-batu kerikil untuk mengganjal perut untuk menahan rasa lapar. Batu-batu kerikil itulah yang berbunyi keletak-keletik sepanjang Nabi memimpin shalat berjamaah.

Serta merta Umar pun memekik pedih, "Ya, Rasulullah, apakah sudah sehina itu anggapanmu kepada kami? Apakah engkau mengira seandainya engkau mengatakan lapar, kami tidak bersedia memberimu makan yang paling lezat? Bukankah kami semuanya hidup dalam kemakmuran?."

Nabi tersenyum ramah seraya menyahut, "Tidak, Umar tidak. Aku tahu, kalian, para sahabatku, adalah orang-orang yang setia kepadaku. Apalagi sekedar makanan, harta ataupun nyawa akan kalian serahkan untukku sebagai rasa cintamu terhadapku, tetapi dimana akan kuletakkan mukaku di hadapan pengadilan Aliah kelak di Hari Pembalasan, apabila aku selaku pemimpin justru membikin berat dan menjadi beban orang-orang yang aku pimpin?."

Para sahabat pun sadar akan peringatan yang terkandung dalam ucapan Nabi tersebut, sesuai dengan tindakannya yang senantiasa lebih mementingkan kesejahteraan umat daripada dirinya sendiri. Seorang tabib yang dikirim oleh penguasa Mesir, Muqauqis, sebagai tanda persahabatan, selama dua tahun di Madinah sama sekali menganggur. Menandakan betapa kesehatan penduduk Madinah betul-betul berada pada tingkatan yang tinggi.

Sampai tabib itu kemudian bosan dan bertanya kepada Nabi, "Apakah masyarakat Madinah takut kepada tabib?"
Nabi menjawab, "Tidak. Terhadap musuh saja tidak takut, apalagi kepada tabib."

"Tapi mengapa selama dua tahun tinggal di Madinah, tidak ada seorang pun yang pernah berobat kepada saya?"

"Karena penduduk Madinah tidak ada yang sakit," jawab Nabi.
Tabib itu kurang percaya, "Masak tidak ada seorang pun yang mengidap penyakit?."
"Silakan periksa ke segenap penjuru Madinah untuk membuktikan ucapanku,"ujar Nabi.

Maka tabib Mesir itu pun melakukan perjalanan kelililng Madinah guna mencari tahu apakah benar ucapan Nabi tersebut. Ternyata memang di seluruh Madinah ia tidak menjumpai orang yang sakit-sakitan.

Akhirnya, ia berubah menjadi kagum dan bertanya kepada Nabi, "Bagaimana resepnya sampai orang-orang Madinah sehat-sehat semuanya?."

Rasulullah menjawab, "Kami adalah suatu kaum yang tidak akan makan kalau belum lapar. Jika kami makan, tidaklah sampai terlalu kenyang. Itulah resep untuk hidup sehat, yakni makan yang halal dan baik, dan makanlah untuk takwa, tidak sekedar memuaskan hawa nafsu."

25 June 2013

Tidak seorangpun bisa membahagiakan kita, kecuali diri kita sendiri

Hidup bahagia adalah keputusan pribadi. Tidak seorangpun bisa kita embankan kewajiban untuk membahagiakan kita, meskipun itu adalah pasangan hidup kita sendiri. Bahagia itu dari dalam hati, dan bukan bergantung kepada materi yang kita miliki maupun situasi disekitar kita.

Pasangan hidup, keluarga maupun sahabat hanya memberi apa yang bisa mereka berikan, dilandasi dengan ketulusan dan rasa sayang kepada kita. Tentu dengan harapan bahwa itu semua akan membahagiakan kita. Orang lain hanyalah sarana yang dipakai Tuhan untuk memberikan atau mengajarkan kepada kita sesuatu yang kita butuhkan sesuai dengan kemampuan dan cara mereka. Bukan tugas dan kewajiban orang lain untuk memastikan bahwa kita bisa bahagia.

Saya banyak berteman dan melihat cukup banyak orang yang memiliki uang, fasilitas , barang mewah, rumah dan villa dimana mana, berparas cantik atau ganteng, memiliki pasangan hidup dan keluarga, namun toh tidak bahagia juga. Selalu saja ada yang salah, ada yang kurang, ada saja yang tidak sesuai dengan kehendaknya. Selalu yang terdengar adalah kalimat..” seandainya suami atau istriku begini.. seandainya aku sudah memiliki ini.. seandainya orang itu tidak begitu….maka aku akan berbahagia. Betapa kelirunya ketika kita hanya bisa bahagia berdasarkan pemberian atau tindakan orang lain.

Bahagia itu sekarang. Bahagia itu keputusan diri sendiri yang datang dari hati yang bersyukur. Bukan ketika kita sudah mendapatkan apa yang kita inginkan baru bisa berbahagia. Manusia tidak lepas dari keinginan hati yang tidak pernah selesai. Selalu memiliki mimpi untuk dikejar dan diupayakan untuk diwujudkan.

Tidak ada yang salah dengan bermimpi dan memiliki keinginan. Namun kebahagiaan itu bukan terletak pada sesuatu atau seseorang yang harus dimiliki baru kita bisa berbahagia. Kebahagiaan itu sudah ada dalam hidup ini, sudah lama tersimpan di dalam hati dan jiwa masing masing. Keputusan untuk menggunakan dan menghargai kehidupan ini sepenuhnya tergantung kepada diri kita sendiri.

Bahagia itu mensyukuri bahwa kita sudah diberikan kehidupan dan kesempatan dilahirkan dan menikmati segala keagungan ciptaan Tuhan. Segala usaha dan proses mewujudkan keinginan, mimpi dan cita cita demi perkembangan diri, adalah proses menjalani hidup sesuai dengan pilihan kita sendiri.

Now is the best time to be happy, because we have this gift called LIFE.

22 June 2013

Misi Sebuah Kehidupan

Pembahasan kita kali ini adalah menjawab pertanyaan : Untuk apa kita mempelajari Ruh dan Jiwa? Kenapa nggak cuek aja? Toh, dipelajari atau tidak, Ruh dan Jiwa itu sudah ada di dalam tubuh dan terlibat dalam kehidupan kita?

Orang Jawa mengatakan untuk mengetahui: ‘sangkan paraning dumadi’ alias asal usul dan tujuan kehidupan. Darimanakah kehidupan ini muncul dan akan kemanakah kita sesudah itu? Hal yang sama telah dilakukan oleh para ilmuwan, filsuf, dan orang-orang bijak sepanjang sejarah kemanusiaan.

Inti dari semua itu adalah untuk mengetahui untuk apakah kita ada? Apakah sebenarnya misi utama kehidupan kita? Apakah sekadar ‘mengalir’ begitu saja? Ataukah, memiliki tujuan tertentu?

Jawaban atas pertanyaan itu mulai tergambar lebih jelas ketika kita memasuki wilayah ‘dunia Jiwa dan Ruh’ ‘ Hal inilah yang dimaksudkan oleh Allah dalam firman-firman Nya yang baru kita bahas di bagian sebelum ini. Bahwa, semua itu menjadi pelajaran dan mengandung hikmah bagi orang-orang yang mau berpikir dengan akalnya.

Pelajaran apa? Bahwa Allah adalah Sang Maha Pencipta yang Maha Sempurna. Bahwa, manusia diciptakan Allah dengan mengikuti FitrahNya. Yang dengan Fitrah itu manusia akan mencapai kualitas tertingginya sebagai seorang manusia makhluk paling sempurna dari yang pernah diciptakan Allah.

Bahwa, untuk mencapai kesempurnaan itu seorang manusia harus paham caranya, yaitu dengan mengikuti petunjukNya dalam sebuah agama Fitrah, yang termaktub dalam Al-Qur’an al karim.

Itulah agama yang diciptakan berdasarkan keseimbangan, sebagaimana keseimbangan alam semesta dan keseimbangan diri serta kehidupan manusia. Barangsiapa mengikuti keseimbangan penciptaan itu maka selamatlah kehidupannya. Dan barangsiapa menabrak keseimbangan itu, maka celakalah dia. Dunia dan Akhirat.

Bahwa, manusia memiliki kebebasan melakukan apa saja untuk kebahagiaan dirinya. Ia dihadapkan pada dua pilihan dalam kehidupannya: kebajikan ataukah kejahatan. Kebajikan adalah jalan hidup yang sesuai dengan konsep kesimbangan tersebut. Sedangkan kejahatan adalah segala sesuatu yang menabrak keseimbangan ciptaan Allah di alam semesta.

Kebebasan atas pilihan itu oleh Allah telah dimasukkan ke dalam Jiwa manusia berupa kecenderungan untuk memilih jalan kefasikan atau jalan kebajikan. Caranya ada 2: membersihkan Jiwa atau mengotorinya.

Maka berbahagialah orang-orang yang memilih membersihkan Jiwanya, dan menderitalah, orang-orang yang mengotorinya. Orang yang bersih Jiwanya, bakal jernih dalam memandang kehidupan, dan kemudian memperoleh kebahagiaan karena bisa bersikap dan bertindak sesuai dengan Sunnatullah yang berprinsip pada keseimbangan.

Sebaliknya, orang yang hatinya kotor, bagaikan orang buta yang tidak tahu jalan kemana dia harus melangkah. Ia seperti orang buta yang menabrak segala sesuatu di hadapannya. Hidupnya penuh dengan masalah, karena ia tidak tahu bagaimana harus berlaku dalam keseimbangan Sunnatullah itu.

Maka, setiap kita akan menuai hasil perbuatan kita sendiri. Segala kebaikan akan kembali kepada kita, sebagaimana kejahatan yang juga kembali pada diri kita masing-masing.

Allah telah memberikan sebagian Ruh Nya kepada badan kita. Maka, dalam diri kita selalu ada bisikan-bisikan malaikat yang menuntun kita kepada kualitas sifat-sifat Ilahiah. la menuntun kita pada ‘Kebajikan Universal’, yang menghasilkan kondisi rahmatan lil ‘aalamin (Kebahagiaan Semesta) sebagai tujuan final diciptakan kehidupan.

Allah mengarahkan kita agar tidak terjebak pada kehidupan Duniawi yang mengikat kebahagiaan kita hanya sekadar sekualitas materi. Karena, di dalam diri kita memang selalu ada bisikan Iblis yang mempengaruhi agar kita hanya mengorientasikan kehidupan pada pemenuhan kebutuhan badan semata. Tak peduli pada Keseimbangan Universal, yang mengarah pada ‘Kebahagiaan Semesta’.

Bahwa drama kehidupan manusia digelar melewati tahapan-tahapan kehidupan yang bertingkat-tingkat. Awalnya tidak ada, kemudian menjadi ada, dan akhirnya tidak ada kembali. Asalnya dari Allah, kemudian diciptakan oleh Allah, dan akhirnya kembali lagi kepada Allah. Begitulah drama kehidupan seluruh makhluk di alam semesta ini. Tak terkecuali manusia.

Manusia bukanlah makhluk abadi. Manusia bukanlah makhluk yang ada selama-lamanya. Sebab, manusia dulu memang pernah tidak ada. Dan suatu ketika nanti bakal ‘lenyap’ kembali.

Memang banyak di antara kita yang tidak rela bakal lenyap. Mereka ingin hidup kekal, selama-lamanya. Tidak pernah hilang lagi. Lho, memangnya kita ini siapa? Kok ingin menyamai Dzat Allah Yang Maha Kekal?

Dalam diskusi yang sering saya hadiri seringkali menemui pendapat-pendapat seperti itu. Banyak di antara kita yang tidak rela alam akhirat bakal lenyap. Sebab, kalau Akhirat lenyap, lantas (kita) manusia berada dimana?’ Jadi, pada intinya, sebenarnya mereka bukan tidak rela Akhirat bakal lenyap, melainkan ‘tidak rela dirinya lenyap’!

Manusia, pada hakikatnya, ingin hidup abadi, selama-lamanya. Kenapa demikian? Karena Ruh yang bersemayam di dalam diri kita memang mengimbaskan sifat-sifat Ketuhanan. Di antaranya, ingin Hidup Terus, ingin Berkuasa Terus, Berkehendak sebebas-bebasnya terus, dan segala macam sifat keabadian lainnya.

Kita lupa bahwa kita bukan Tuhan. Kita hanyalah manusia biasa yang diciptakanNya, berupa perpaduan badan material, Jiwa energial dan Ruh. Itu pun, Ruh yang ditiupkan kepada kita hanyalah sebagian saja dari Ruh Nya. Maka, jangan berharap kita akan menyamai Allah,

Kita ada karena Ruh masih bersemayam dalam diri kita. Begitu Ruh itu dicabut kembali oleh Allah, maka eksistensi kita sebagai manusia ikut lenyap. Jangankan, pada waktu Ruh dicabut, saat kita tidur saja kita sudah tidak merasakan apa-apa. Eksistensi kita sudah hilang, seiring kesadaran yang juga hilang. (Masihkah anda merasa ada ketika anda tertidur lelap?!!)

Bayangkan kalau seandainya kita tidak bangun lagi, maka kita sebenarnya sudah ‘lenyap’. Kita tidak lagi merasakan apa-apa. Eksistensi kehidupan kita sudah tidak ada artinya lagi. Bagaimana menurut Anda?

Itulah yang telah kita diskusikan di depan, bahwa Jiwa dan Ruh kita ada dalam genggaman Allah. DIA memegang Jiwa seseorang pada saat matinya dan pada saat tidurnya. Lantas, Allah mengembalikan Jiwa itu kepada badan yang masih diizinkanNya untuk bangun kembali dari tidurnya.

Karena itu, Rasulullah saw mengajarkan kepada kita agar kita berdoa menjelang tidur dan sesudah tidur, seperti sedang mengalami kematian. Sebab, antara tidur dan mati hampir tidak ada bedanya.

‘Bismika Allahumma ahyaa wa bismika amuut’ (Dengan Nama Mu ya Allah aku hidup, dan dengan Nama Mu aku mati). Begitulah beliau mengajarkan kepada kita untuk berdoa menjelang tidur. Karena kita tidak tahu apakah kita bisa bangun kembali ataukah tidak. Kita berserah diri saja kepada Allah yang menguasai Jiwa kita.

Dan ketika terbangun dari tidur, Rasulullah saw mengajarkan untuk membaca: ‘Alhamdulillaahilladzii ahyana ba’da maa amaatana wa ilaihi nusyur’ (Segala puji bagi Allah yang menghidupkan aku kembali sesudah kematianku, dan kepadaNya lah aku kembali).

Begitu tipisnya antara hidup dan mati. Setiap hari kita ditidurkan oleh Allah beberapa jam. Saat itulah kita telah mencicipi kematian. Itulah saat-saat Jiwa kita ditahan oleh Allah. Kita tidak bisa merasakan, mengendalikan, atau apalagi melawan.

Ketika kantuk datang menyerang, itulah saat-saat menjelang ‘Kematian Sementara’ kita. Cobalah rasakan, pada saat-saat itulah Allah mulai berangsur-angsur menahan Jiwa kita entah akan dikembalikan lagi ataukah ditahan seterusnya.

Setiap hari, kita telah ‘berlatih’ untuk menemui kematian yang sesungguhnya. Tapi seringkali, kita merasa betapa kematian kita masih begitu jauhnya. Padahal, kematian demikian dekat dengan kehidupan kita. Karena, kehidupan dan kematian selalu bersama-sama, di mana pun mereka berada. Dan bisa berganti posisi kapan pun Allah mau.

Kematian hanyalah berpisahnya badan dengan Jiwa & Ruh untuk sementara waktu. Tapi bukan untuk 1-2 jam, melainkan berjuta tahun sampai kita bangun dari kematian itu di Hari Kebangkitan. Kejadiannya persis seperti saat kita terbangun dari tidur kita sehari-hari. 

QS. Yasin (36) : 52

Mereka berkata: "Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?" Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul (Nya).

Akankah kita termasuk orang-orang yang menyesal saat ‘dibangunkan’ kembali kelak? Ataukah kita temasuk hamba-hamba yang berbahagia? Semua itu bergantung kepada bagaimana saat-saat sebelum kita berangkat tidur itu.

Kalau kita termasuk orang-orang yang sudah terlatih untuk memasuki tidur dengan baik, maka Insya Allah kita akan bangun kembali dalam keadaan yang baik dan segar. Tapi kalau kita memasuki saat-saat tidur itu dengan penuh masalah yang membelit kehidupan kita, maka sungguh tidur kita akan menjadi ‘Mimpi Buruk’ bagi kita. Dan tiba-tiba kita terbangun dengan kondisi yang sakit dan menyesakkan dada.

Dan, yang lebih menakutkan, mimpi buruk itu ternyata menjadi kenyataan saat kita terbangun dari ‘tidur panjang’ itu. Jiwa kita yang terlanjur kotor selama kehidupan sebelum ‘tidur panjang’, tidak sempat lagi kita bersihkan. Dan ternyata, harus dibersihkan di dalam Api yang meyala-nyala di Neraka Jahannam

Berbeda dengan mereka yang telah melatih dan membiasakan dirinya untuk hidup bersih penuh kedamaian dan cinta kasih. ‘Tidur’ mereka sungguh adalah tidur yang nikmat. Tidurnya para Jiwa yang Penuh Kedamaian - Nafs al Muthmainnah. Mereka bermimpi indah sepanjang tidurnya yang pulas. Dan di ‘Esok Harinya’, mereka terbangun dalam kebahagiaan Jiwa yang Fitri, di surga Jannatun Nalm...

(QS Fajr 27 - 30)

Hai Jiwa yang tenang Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba Ku, dan masuklah ke dalam surga Ku.

17 June 2013

Ketabahan Orang Tua

Sobat, pernahkah dirimu merasakan apa yang sedang sahabat rasakan saat ini? Rasa bersalah yang teramat sangat. Jauh dari orang tua yang sekarang hanya tinggal berdua. Tak ada lagi putera-puteri yang tersisa. Semuanya berada dalam radius yang sangat jauh, menempuh episode kehidupan masing-masing. Betapa sepinya mereka.

Sewaktu bayi, entah berapa kali kita mengganggu tidur nyenyak ayah yang mungkin sangat kelelahan setelah seharian bekerja untuk memenuhi kebutuhan kita. Mungkin juga kotoran kita ikut tertelan Ibu ketika kita buang "pup" di saat ibu sedang makan. Ibu juga tidak peduli ketika teman-temannya marah karena membatalkan acara yang sangat penting karena tiba-tiba anaknya sakit.

Kekhawatiran demi kekhawatiran tiada pernah henti mengunjungi mereka setiap kali kita melangkah.

Beranjak dewasa, betapa tabahnya ayah dan Ibu menerima pembangkangan demi pembangkangan yang kita lakukan. Mereka hanya bisa mengelus dada karena teman-teman di luar sana lebih berarti daripada mereka. Jarang sekali sekali kita mau menyisakan waktu untuk menyelami mimik wajah mereka yang penuh kecemasan ketika kita pulang telat karena ayah dan ibu selalu menyambut kita dengan senyum.

Sobat, pernahkah dirimu bangun tengah malam dan mendengar tangisan Ibu dalam doanya seperti yang pernah aku dengar?

Tangisan dan doa itulah yang mengantar kesuksesan kita. Pernahkah kita tahu Ayah dan ibu terluka dan mengiba kepada Allah agar kita jangan dilaknat, agar Allah mau mengampuni kita dan memberikan kehidupan terbaik untuk kita? Astaghfirullaahal ‘adziim.

Pernahkah kita berterimakasih ketika kita dapati ayah dan ibu berbicara berbisik-bisik karena takut membangunkan kita yang tertidur kelelahan?

Pernahkah kita menghargai patah demi patah kata yang mereka susun sebaik mungkin untuk meminta maaf karena mereka tidak sengaja memecahkan Kristal kecil hadiah ulang tahun dari teman kita?

Pernahkah kita menyesal karena lupa menyertakan mereka di dalam doa?

Ah, Sobat, betapa tak sebanding cinta dan pengorbanan mereka dengan balasan kasih sayang yang kita berikan. Setelah dewasa dan bisa "menghidupi" diri sendiri, kita masih bisa melenggang ringan meninggalkan mereka (mereka ikhlas asal kita bahagia).

Lalu? Mungkinkah kita bisa seperti Ismail as yang merelakan dirinya disembelih ayah kandung demi menuruti perintah Allah? Atau seperti Musa as yang dihanyutkan ketika bayi?

Ternyata kita masih sangat jauh...
Lalu bakti seperti apakah yang bisa kita persembahkan?

Sobat, bantu aku agar optimis! Ya, masih banyak waktu untuk membahagiakan mereka. Hal yang terkecil yang bisa kita lakukan adalah: tak mengatakan "tidak" ketika mereka menyuruh atau menginginkan sesuatu (tentu saja bukan yang bertentangan dengan agama) dan segera ambil alat komunikasi, hubungi mereka saat ini juga, sapa mereka dengan hangat, pastikan nada suara kita bahagia! Bahagiakan ayah, bahagiakan Ibu!

Mulai dari sekarang, selagi Allah masih memberi kesempatan. Walau takkan pernah sebanding, doa-doa kitalah yang mereka harapkan menemani di peristirahatan terakhir nanti.

Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami dan dosa kedua orang tua kami, kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami sedari kecil. Jadikan kami termasuk anak-anak yang shaleh ya Allah hingga doa-doa kami termasuk doa-doa yang Engkau ijabah. Aamin...

16 June 2013

Kumpulan Hadits tentang Keluarga

1. Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan kedua orang tua dan murka Allah pun terletak pada murka kedua orang tua. (HR. Al Hakim)

2. Seorang datang kepada Nabi Saw. Dia mengemukakan hasratnya untuk ikut berjihad. Nabi Saw bertanya kepadanya, "Apakah kamu masih mempunyai kedua orangg tua?" Orang itu menjawab, "Masih." Lalu Nabi Saw bersabda, "Untuk kepentingan mereka lah kamu berjihad." (Mutafaq’alaih)

Penjelasan: Nabi Saw melarangnya ikut berperang karena dia lebih diperlukan kedua orang tuanya untuk mengurusi mereka.

3. Rasulullah Saw pernah berkata kepada seseorang, "Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu." (Asy-Syafi’i dan Abu Dawud)

Keterangan: Terdapat satu riwayat yang cukup panjang berkaitan dengan hal ini. Dari Jabir Ra meriwayatkan, ada laki-laki yang datang menemui Nabi Saw dan melapor.

Dia berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku ingin mengambil hartaku ...."
"Pergilah Kau membawa ayahmu kesini", perintah beliau. Bersamaan dengan itu Malaikat Jibril turun menyampaikan salam dan pesan Allah kepada beliau.

Jibril berkata: "Ya, Muhammad, Allah ‘Azza wa Jalla mengucapkan salam kepadamu, dan berpesan kepadamu, kalau orangtua itu datang, engkau harus menanyakan apa-apa yang dikatakan dalam hatinya dan tidak didengarkan oleh teliganya".

Ketika orang tua itu tiba, maka nabi pun bertanya kepadanya: "Mengapa anakmu mengadukanmu? Apakah benar engkau ingin mengambil uangnya?"

Lelaki tua itu menjawab: "Tanyakan saja kepadanya, ya Rasulullah, bukankah saya menafkahkan uang itu untuk beberapa orang ammati (saudara ayahnya) atau khalati (saudara ibu) nya, atau untuk keperluan saya sendiri?"

Rasulullah bersabda lagi: "Lupakanlah hal itu. Sekarang ceritakanlah kepadaku apa yang engkau katakan di dalam hatimu dan tak pernah didengar oleh telingamu!"

Maka wajah keriput lelaki itu tiba-tiba menjadi cerah dan tampak bahagia, dia berkata: "Demi Allah, ya Rasulullah, dengan ini Allah Swt berkenan menambah kuat keimananku dengan ke-Rasul-anmu. Memang saya pernah menangisi nasib malangku dan kedua telingaku tak pernah mendengarnya ..."

Nabi mendesak: "Katakanlah, aku ingin mendengarnya."
Orang tua itu berkata dengan sedih dan airmata yang berlinang: "Saya mengatakan kepadanya kata-kata ini: ‘Aku mengasuhmu sejak bayi dan memeliharamu waktu muda. Semua hasil jerih-payahku kau minum dan kau reguk puas. Bila kau sakit di malam hari, hatiku gundah dan gelisah, lantaran sakit dan deritamu, aku tak bisa tidur dan resah, bagai akulah yang sakit, bukan kau yang menderita. Lalu airmataku berlinang-linang dan meluncur deras. Hatiku takut engkau disambar maut, padahal aku tahu ajal pasti akan datang. Setelah engkau dewasa, dan mencapai apa yang kau cita-citakan, kau balas aku dengan kekerasan, kekasaran dan kekejaman, seolah kaulah pemberi kenikmatan dan keutamaan. Sayang..., kau tak mampu penuhi hak ayahmu, kau perlakukan daku seperti tetangga jauhmu. Engkau selalu menyalahkan dan membentakku, seolah-olah kebenaran selalu menempel di dirimu ..., seakan-akan kesejukan bagi orang-orang yang benar sudah dipasrahkan.’

Selanjutnya Jabir berkata: "Pada saat itu Nabi langsung memegangi ujung baju pada leher anak itu seraya berkata: "Engkau dan hartamu milik ayahmu!" (HR. At-Thabarani dalam "As-Saghir" dan Al-Ausath).

4. Jangan mengabaikan (membenci dan menjauhi) orang tuamu. Barangsiapa mengabaikan orang tuanya maka dia kafir. (HR. Muslim)

Penjelasan: Yang dimaksud kufur nikmat dan bukan kufur akidah.

5. Barangsiapa menisbatkan keturunan dirinya kepada selain ayahnya sendiri dan dia mengetahuinya bahwa dia bukan ayah yang sebenarnya maka surga diharamkan baginya. (HR. Muslim)

6. Seorang sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, siapa yang paling berhak memperoleh pelayanan dan persahabatanku?" Nabi Saw menjawab, "ibumu...ibumu...ibumu, kemudian ayahmu dan kemudian yang lebih dekat kepadamu dan yang lebih dekat kepadamu." (Mutafaq’alaih).

7. Ibu dan Bapak berhak makan dari harta milik anak mereka dengan cara yang makruf. Seorang anak tidak boleh makan dari harta ibu bapaknya kecuali dengan ijin mereka. (HR. Ad-Dailami).

8. Barangsiapa berhaji untuk kedua orang tuanya atau melunasi hutang-hutangnya maka dia akan dibangkitkan Allah pada hari kiamat dari golongan orang-orang yang mengamalkan kebajikan. (HR. Ath-Thabrani dan Ad-Daar Quthni).

9. Rasulullah Saw ditanya tentang peranan kedua orang tua. Beliau lalu menjawab, "Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu." (HR. Ibnu Majah)

Penjelasan: Kalau berbakti masuk surga dan kalau bersikap durhaka kepada mereka masuk neraka.

10. Apabila seorang meninggalkan do’a bagi kedua orang tuanya maka akan terputus rezekinya. (HR. Ad-Dailami)

11. Termasuk dosa besar seorang yang mencaci-maki ibu-bapaknya. Mereka bertanya, "Bagaimana (mungkin) seorang yang mencaci-maki ayah dan ibunya sendiri?" Nabi Saw menjawab, "Dia mencaci-maki ayah orang lain lalu orang itu (membalas) mencaci-maki ayahnya dan dia mencaci-maki ibu orang lain lalu orang lain itupun (membalas) mencaci-maki ibunya. (Mutafaq’alaih)

12. Kedudukan seorang paman sebagai (pengganti) kedudukan ayahnya. (HR. Adarqothani)
13. Warisan bagi Allah ‘Azza wajalla dari hambaNya yang beriman ialah puteranya yang beribadah kepada Allah sesudahnya. (HR. Ath-Thahawi).

14. Salah satu kenikmatan Allah atas seorang ialah dijadikan anaknya mirip dengan ayahnya (dalam kebaikan). (HR. Ath-Thahawi)

15. Tiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah-Islami). Ayah dan ibunya lah kelak yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah api dan berhala). (HR. Bukhari)

16. Seorang datang kepada Nabi Saw dan bertanya, " Ya Rasulullah, apa hak anakku ini?" Nabi Saw menjawab, "Memberinya nama yang baik, mendidik adab yang baik, dan memberinya kedudukan yang baik (dalam hatirnu)." (HR. Aththusi).

17. Cintailah anak-anak dan kasih sayangi lah mereka. Bila menjanjikan sesuatu kepada mereka tepatilah. Sesungguhnya yang mereka ketahui hanya kamulah yang memberi mereka rezeki. (HR. Ath-Thahawi).

18. Bertakwalah kepada Allah dan berlakulah adil terhadap anak-anakmu. (HR. Bukhari dan Muslim)
19. Sama ratakan pemberianmu kepada anak-anakmu. Jika aku akan mengutamakan yang satu terhadap yang lain tentu aku akan mengutamakan pemberian kepada yang perempuan. (HR. Ath-Thabrani)

20. Barangsiapa mempunyai dua anak perempuan dan diasuh dengan baik maka mereka akan menyebabkannya masuk surga. (HR. Bukhari)
21. Anak menyebabkan kedua orang tuanya kikir dan penakut. (HR. Ibnu Babawih dan Ibnu ‘Asakir).
22. Barangsiapa memelihara (mengasuh) tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan wajib baginya masuk surga. (HR. Ath-Thahawi).

23. Seorang ibu yang kematian tiga orang puteranya lalu berserah diri (pasrah) kepada Allah, rela dan ikhlas, maka dia akan masuk surga. (HR. Muslim)
24. Ajarkan putera-puteramu berenang dan memanah. (HR. Ath-Thahawi).
25. Setiap anak tergadai dengan (tebusan) akikahnya (seekor atau dua ekor kambing) yang disembelih pada umur tujuh hari dan dicukur rambut kepalanya (sebagian atau seluruhnya) dan diberi nama. (HR. An-Nasaa’i)

26. Barangsiapa menjamin untukku satu perkara, aku jamin untuknya empat perkara. Hendaklah dia bersilaturrahim (berhubungan baik dengan keluarga dekat) niscaya keluarganya akan mencintainya, diperluas baginya rezekinya, ditambah umurnya dan Allah memasukkannya ke dalam surga yang dijanjikanNya. (HR. Ar-Rabii’).

27. Ibu mertua kedudukannya sebagai ibu. (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
28. Abang yang tertua (sulung) kedudukannya sebagai ayah. (HR. Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani)
29. Orang yang memutus hubungan kekeluargaan tidak akan masuk surga. (Mutafaq’alaih)

30. Rahim adalah cabang dari nama Arrahman (Arrahman Arrahim). Rahim mengucapkan keluhan dan pengaduan: "Ya Robbi, aku telah diputus (hubungan kekeluargaanku), aku telah diperlakukan dengan buruk oleh keluarga dekatku. Ya Robbi, aku telah dizalimi mereka, ya Robbi, ya Robbi." Lalu Allah menjawab: "Tidakkah kamu ridha Aku menyambung hubunganKu dengan orang yang menghubungimu dan Aku putus hubunganKu dengan orang yang memutus hubungannya dengan kamu. (HR. Bukhari)

31. Rasulullah Saw memberi uang belanja kepada keluarga beliau dari bagian rampasan perang yang menjadi hak beliau untuk kebutuhan rumah tangga selama setahun. Apabila ternyata ada kelebihannya maka uang itu diminta kembali dan dimasukkan ke dalam perbendaharaan negara (baitul maal). (HR. Ahmad)

33. Cukup berdosa orang yang menyia-nyiakan tanggungjawab keluarga. (HR. Abu Dawud).
32. Bukanlah dari golongan kami orang yang diperluas rezekinya oleh Allah lalu kikir dalam menafkahi keluarganya. (HR. Ad-Dailami)

13 June 2013

Tak Takut Miskin Karena Memberi

"Apakah kemiskinan itu, Bu? Anak-anak di taman bilang kita miskin. Benarkah itu, Bu?" tanya sang anak.
"Tidak, kita tidak miskin, Aiko," jawab ibunya.
"Apakah kemiskinan itu?" Aiko, sang anak, bertanya lagi.
"Miskin berarti tidak mempunyai sesuatu apapun untuk diberikan kepada orang lain." Aiko agak terkejut.
"Oh? Tapi kita memerlukan semua barang yang kita punyai, apakah yang dapat kita berikan?" katanya menyelidik.

"Kau ingatkah perempuan pedagang keliling yang ke sini minggu lalu? Kita memberinya sebagian dari makanan kita kepadanya. Karena ia tidak mendapat tempat menginap di kota, ia kembali ke sini dan kita memberinya tempat tidur."

"Kita menjadi bersempit-sempitan," jawab Aiko.
Tapi sang ibu tak kalah sigap. "Dan kita sering memberikan sebagian dari sayuran kita kepada keluarga Watari, bukan?" katanya.
"Ibulah yang memberinya. Hanya saya sendiri yang miskin. Saya tak punya apa-apa untuk saya berikan kepada orang lain."

Sang ibu tersenyum dan memberikan pandangan teduh pada anaknya."Oh, kau punya. Setiap orang mempunyai sesuatu untuk diberikan kepada orang lain. Pikirkanlah hal itu dan kau akan menemukan sesuatu."

Tak lama setelah itu, sang anak pun mendapatkan jawabannya. "Bu! Saya mempunyai sesuatu untuk saya berikan. Saya dapat memberikan cerita-cerita saya kepada teman-teman saya. Saya dapat memberikan kepada mereka cerita-cerita dongeng yang saya dengar dan baca di sekolah."

"Tentu! Kau pintar bercerita. Bapakmu juga. Setiap orang senang mendengar cerita."
"Saya akan memberikan cerita kepada mereka, sekarang ini juga!"

**

Dialog tersebut dapat ditemukan dalam kumpulan kisah-kisah inspiratif, Aiko and Her Cousin Kenichi. Dialog antara ibu dan anak itu, telah meneguhkan sebuah kesadaran besar, bahwa setiap kita bisa memberi. Ini lebih dari sekadar sebuah kesadaran sosial. Tapi kesadaran untuk menjadi berarti lantaran membagi kebahagiaan untuk orang lain.

Akhlak tentang kesadaran terhadap kehidupan orang lain, dimiliki oleh qudwah yang tak ada bandingnya, yakni Rasulullah saw. Utusan Allah itu bahkan disebut sebagai "orang yang tak takut miskin karena memberi".

Dialah yang menanamkan prinsip menolong orang lain untuk menolong diri sendiri. Perhatikanlah bagaimana sabdanya, "Allah swt selalu menolong seoarng hamba, selama hamba itu menolong saudaranya." Atau, sabdanya yang lain, "Barangsiapa yang memberi kemudahan kepada saudaranya, maka Allah akan memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat."

Itu adalah prinsip memberi dan menerima yang ditanamkan Rasulullah saw. Memberi kepada sesama dan hanya terobsesi untuk menerima dari Allah swt. Sehingga pada praktiknya, prinsip itu berubah menjadi memberi dan memberi, give and give. Sebab penerimaan itu tidak datang dari manusia tapi dari Allah swt.

Mengajak untuk peduli sosial, memberi bantuan kepada orang lain, menolong atau memberikan jasa, mengeluarkan infaq dan sedekah, sering memunculkan pertanyaan, "Bagaimana saya bisa membantu orang lain? Saya sendiri dalam kondisi kurang dan membutuhkan." Sementara Rasulullah saw menanamkan nilai bersedekah ini, justru pada saat seseorang sulit mengeluarkannya.

Suatu hari datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw dan bertanya, "Ya Rasulullah, sedekah apa yang paling besar pahalanya?" Rasulullah saw mengatakan, "Engkau bersedekah sedangkan engkau sedang dalam kondisi sehat, sangat membutuhkan, takut miskin, dan punya obsesi menjadi kaya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjelaskan bahwa dalam situasi sesorang bertanya, "Apa yang bisa saya bantu, karena saya juga dalam kondisi membutuhkan" tadi itulah, bobot pahala sedekah. Semakin seseorang berada pada posisi dilematis antara keinginan dirinya terhadap apa yang akan disedekahkan, semakin tinggi nilai sedekahnya jika benar-benar dilakukan. Tentu saja kesadaran memberi kepada orang lain, tidak selalu berupa benda, materi, uang, atau bantuan yang memiliki nilai nominal. Tapi bisa berupa pikiran, waktu, ide-ide, fisik, atau apapun yang bisa kita beri dan bermanfaat.

Sekarang, kita layak bertanya pada diri sendiri, apa yang akan kita berikan untuk orang lain? Ingat, setiap kita punya sesuatu yang bisa kita berikan kepada orang lain. Pikirkanlah baik-baik apa sesuatu itu. Niscaya kita akan menemukannya.

12 June 2013

Balasan yang Berlipat

Pada suatu hari, Fatimah az-Zahra sakit. Sebagai seorang suami, Ali bin Abi Thalib menawari ma­kanan kesukaannya. "Wahai Fatimah, makanan apa­kah yang paling engkau inginkan saat ini?" tanya Ali kepada sang istri. Sebenarnya, Ali saat itu tidak mempunyai uang barang sedikit pun. Tetapi, demi cintanya pada Fatimah, maka dia akan berusaha untuk memenuhinya. "Tidak ada makanan yang aku inginkan saat ini selain buah delima!" jawab Fatimah az-Zahra.

"Baiklah, aku akan ke pasar!" kata Ali. Dia pun segera pergi ke pasar. Sesampainya di sana, dia menceritakan tentang kesulitannya. Salah seorang penjual itu mengutanginya buah delima satu buah saja. Itulah Ali, dia hanya berutang bila sangat perlu sekali, selain itu hanya secukupnya saja.

Setelah mendapatkan apa yang diinginkannya, dia pun pulang. Kali ini, dia melewati jalan yang berbeda dari berangkat tadi. Tetapi, di tengah per­jalanan, dia bertemu dengan orang tua yang ter­geletak di tepi jalan. Keadaannya sangat parah. Dia tidak mampu berdiri. Merasa kasihan, maka Ali pun menghampirinya.

"Wahai Kakek, apakah yang engkau rasakan? Apakah engkau kelaparan?" tanya Ali bin Abi Thalib.

"Wahai Ali, sudah lima hari aku tergeletak di sini dan tidak ada seorang pun yang menyapaku."

"Apa yang engkau inginkan, Kek?"

"Sungguh, saat ini tiada yang aku inginkan selain makan buah delima!"

Ali kaget mendengar kata sang kakek. Dia me­mang mempunyai buah delima. Tetapi sayang, jumlahnya hanya satu. Kalau buah itu dia berikan kepada lelaki tua itu, maka Fatimah pasti akan kecewa. Sebaliknya, kalau buah itu dia bawa pulang untuk Fatimah, lalu bagaimana dengan orang tua ini?

Akhirnya, Ali pun mempunyai sebuah ide. Dia membelah buah delima itu menjadi dua bagian. Satu bagian dia berikan untuk orang tua itu, lalu satu bagian yang lain akan dia bawa pulang untuk istrinya.

Setelah lelaki tua itu menerima buah delima, dia pun segera memakannya dengan lahap. Dan ajaib, dia langsung sembuh seperti tidak pernah sakit sebelumnya. Begitu pula dengan Fatimah, yang saat itu berada di rumah menanti suaminya, telah disem­buhkan oleh Allah sebelum dia makan buah delima itu. Mungkin itulah hikmah dari seorang yang suka berbagi.

Setelah memastikan keadaan orang tua itu baik-baik saja, maka Ali pun segera pulang. Sesampainya di rumah, dia menceritakan kejadian saat di pasar kepada istrinya. Mengapa saat itu dia pulang hanya membawa se­paruh dari buah delima itu.

"Segala puji bagi Allah, wahai Ali. Ketahuilah bahwa ketika kamu memberikan de­lima itu kepada orang tua itu, tiba-tiba saja keinginanku untuk makan buah itu lenyap.

Jadi, engkau tidak usah ber­sedih," kata Fatimah sambil menenangkan suaminya.

Di saat mereka sedang asyik bercengkerama, dari luar terdengar suara orang yang mengetuk pintu. "Siapa itu?" tanya Ali.

"Aku Salman al-Farisi!" kata Salman dari balik pintu.

Mendengar suara Salman, maka Ali pun segera membukakan pintu. Di luar terlihat Salman datang sambil membawa sebuah nampan yang tertutup sapu tangan. Sang tamu memberikan oleh-oleh itu kepada Ali.

"Dari manakah nampan itu?" tanya Ali saat me­lihat oleh-oleh yang dibawa Salman.

"Dari Allah kepada Rasulullah. Lalu, dari Rasulullah untukmu, wahai Ali!"

Ali mengangguk sambil berusaha membuka tutup nampan itu. Subbanallah! Di sana dia melihat buah delima yang ranum berjumlah sembilan buah. "Wahai Salman, kalau benar itu dari Allah untuk Rasulullah, lalu dari Rasul Allah untukku seharusnya berjumlah sepuluh, bukan sembilan. Bukankah Allah telah berfirman bahwa "Barang siapa berbuat kebaikan, maka Allah pasti akan mengganti sepuluh kali lipat. "

Mendengar teguran Ali, Salman pun tertawa sambil mengeluarkan satu buah delima dari ba­lik bajunya. "Engkau benar, wahai Ali. Aku memang sengaja mengujimu," buah delima itu pun digabungkannya dengan yang sembilan tadi. Jadi, semuanya berjumlah sepuluh. Begitulah. Sungguh Allah akan mengganti apa-apa yang kita keluarkan di jalan-Nya dengan sesuatu yang lebih baik dan berlipat-lipat.

11 June 2013

Syukur adalah Kacamata Terindah

Banyak sekali manusia yang tak besyukur kepada Allah SWT, jangankan manusia sebagai makhluk social, yang hidup bersama dengan orang lain, manusia sebagai individu atau perorangan saja banyak yang tak bersyukur, tak bersyukur, yang ada keluh kesah saja dan seringkali bahkan yang dibadingkan dengan orang lain.

Dengan kalimat yang mungkin sering anda dengar’ dia sih enak” kata A kepada B. “ dia si enak” kata B kepada C, “dia sih enak “ kata C kepada D begitu seterusnya, sehingga yang terjadi “ enak atau nikmat itu selalu ada pada kerjaan orang lain, rumah orang lain, mobil orang lain, harta orang lain dan seterusnya.

Sedangkan yang ada pada dirinya,” tak ada enak-enaknya, kurang terus dan lahirlah keluhan terus”, dengan demikian akan melahirkan sikap yang tak mau bersyukur, padahal syukur adalah kaca mata terindah yang dimiliki oleh manusia manapun, jika mau memakainya.

Syukur adalah kaca mata yang paling nikmat, dengan syukur pemandangan menjadi lebih indah. Bersyukur kepada Allah SWT, dimana dan kapanpun kita berada, karena telah begitu banyak nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita. Jika kita mau menghitung, banyaknya tak tehingga. Jika dibandingkan dengan ujian dan cobaan, nikmatNya masih lebih banyak, karuniaNya lebih banyak lagi.

Sehatmu lebih banyak dari sakitmu, nikmat yang kamu terima lebih banyak dari cobaan, rezekimu yang dating lebih banyak dari rezkimu yang hilang, yang diberikanNya lebih banyak dari yang diambilNya. Kesempatan yang diberikan padamu, lebih banyak dari kesempitan yang menimpamu. Kenyang kau rasakan sesudah makan, lebih banyak dari laparmu.

Kekayaan yang kau dapat lebih banyak dari kimiskinan yang kau peroleh, itupun kalau kau miskin. Kesenangan yang kau peroleh, lebih banyak dari kesusahan yang menimpamu. Hari-hari dimana kau punya uang di sakumu, lebih banyak dibandingkan hari-harimu tanpa uang atau di dompet kosong sama sekali.

Begitu juga tentang kebahagiaan yang kamu rasakan dalam tiap harinya, lebih banyak dari deritamu, itupun kalau kau menderita. Hari-harimu tanpa celaan dan hinaan lebih banyak dari-hari-hari ketika kau di cela atau di hina orang lain, itupun kalau kau merasa di cela atau merasa di hina, jika kau cuek dengan celaan dan hinaan, karena kau tak mudah tersinggung, maka celaan dan hinaan apapun bentuknya tak membuatmu sakit hati atau tersinggung.

Kalau terus ditelesuri antara kelebihan dan kekurangan yang kau terima, akan ditemukan daftar sangat panjang, sepanjang nikmatNya yang telah kau terima, yang begitu banyak, yang tak sanggup kau menghitungnya. Dari daftar tersebut akan ditemukan begitu banyak kelebihan yang kau terima dibandingkan kekurangan.

Maka dengan kaca mata syukur, hidup akan menjadi lebih bahagia, lebih tenang dan lebih berlapang dada, karena mudah berterima kasih terhadap apapun yang diterimanya dan bersabar bila yang diterimanya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan atau yang di inginkan. Dan firmanNya, “ Bila kau bersyukur atas nikmatKu, maka akan Aku tambahkan nikmat itu padamu, namun jika kau kupur atas nikmatKu, ingat, azabKu sangat pedih “ ( QS Ibrohim : 7 ).

Ketika kau merasa sedang menderita, coba ingat kembali kebahagiaan yang pernah kau peroleh. Ketika kau merasa sedih, coba kembali menengok kebelakang, apakah kesedihan itu lebih banyak dari tawa dan senyumu? Begitu juga saat kau sakit, hitunglah saat sehatmu. Jika ujian datang berupa kesusahan atau derita, bukankah kau sering kali lulus menghadapinya? Ketika kau sendirian tanpa teman, coba lihat kembali ketika kau sedang duduk bersenda gurau dengan teman-temanmu, mana yang lebih banyak?

Ketika kritikan datang mungkin bertubi-tubi di suatu saat, coba hitung berapa pujian yang telah kau terima sebelumnya dan seandainya kau tidak pernah menerima pujian, apakah lantas kau surut kebelakang, menarik diri dan hidup di goa-goa yang sunyi sepi atau kau melarikan diri dari “dunia” ramai. Kalau itu yang kau lakukan, mari perhatikan yang satu ini : “ Manusia yang hidup bersama orang lain dan bersabar terhadap kritikan mereka, itu lebih baik dibandingkan manusia yang menyendiri, takut akan kritik dan tenggelam di telan sang waktu “

Ketika suatu saat tiba-tiba saja kau merasa kehilangan, kecopeten, kecurian dan sebagainya, coba kau bandingkan dengan harta yang telah kau terima, mana yang lebih banyak? Begitu juga bila saat kau menerima berita kematian, entah teman, sahabat, saudara atau yang lainnya, bandingkan lagi dengan berita yang kau terima, berupa kelahiran, ulang tahun dan sebagainya, mana yang lebih banyak? Dan kalaupun kau mati pada suatu saat nanti, coba hitung berapa kehidupan yang sudah kau terima setiap harinya, bukankah jika kita masih bisa bangun dari tidur di pagi hari, itu berarti kita telah menerima kehidupan kembali? Bukankah hakekat hidup kita sehari semalam hanya 24 jam?

Bukankah itu berarti kehidupan yang telah diberikanNya begitu banyak, sebanyak jam-jam yang telah kita lewati, nah sedangkan saat kita mati, mati hanya sekali saja. Dan sat kematian tiba, itupun bukan sesuatu yang membuat ketakutan yang sangat luar biasa, bukankah pada saat itu kita akan bertemu pada yang telah menciptakan kita , yang telah memberikan hidup pada kita, bukankankah kita milikNya, titipanNya?

Nah bila yang punya akan mengambil sesuatu yang memang miliknya, apakah kita bisa melarangnya, menggugatnnya atau memperotesnya? Bagitu juga saat Dia akan mengambil roh yang telah dititipkan pada kita, nah kalau Dia mau ambil titipannya, apakah kita juga mau protes, mau melarang, mau membantah atau mau mengguggatnya? Seandainya kita bisa protes, melarang, membantah atau menggugat, bisakah sunnatullah menjadi hilang? Tentu saja tidak, ketentuanNya akan berlaku.

Kembali kepada syukur, jika kau ingkari setiap apa yang telah kau terima betapapun kecilnya, itu artinya kau kupur nikmat. Atau kau mau mendustai setiap rezeki yang kau terima? Jika itu yang kau lakukan, kupur nikmat pantas kau sandang. Tentu saja kita tak mau dikatakan sebagai hambaNya yang kupur nikmat. Dan sebenarnya Allah SWT telah menantangmu dengan firmanNya dalam surat Ar Rahman mulai dari ayat ke 13 : “ Nikmat Tuhan yang mana lagi yang mau kau dustakan? “

Ayat itu di ulang-ulang dalam firmanNya, tak kurang dari 31 kali, hanya dalam satu surat saja! Seakan-akan Tuhan ingin membuka mata hati kita lebar-lebar, untuk melihat sebanyak-banyak karuniaNya, nikmatNya. Jika hal tersebut tak juga di sadari, manusia macam apa kita? Begitu banyak nikmatNya, sampai tak terhitung…, eh masih saja mengingkari, masih saja kupur terhadap nikmatNya, masih saja merasa kurang, masih saja mengeluh yang berkepanjangan, tak habis-habisnya, tak henti-hentinya mengeluh , mengeluh dan mengeluh.

Seharusnya di lidah kita penuh dengan rasa syukur, alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah yang tak habis-habisnya, itu semestinya, mengapa? Karena saat kita bersyukur itupun sudah menggunakan karuniaNya, nikmatNya. Ayo, siapa yang berani bilang lidahnya, mulutnya, suara syukur yang keluar dari mulutnya adalah ciptaannya sendiri? Ayo siapa yang berani bilang, bahwa ketika kata syukur itu keluar itu, karyanya sendiri? Bukankah kata “ Alhamdulillah” itu ajaranNya, firmanNya? Ayo siapa yang berani bilang bahwa ketika dia bersyukur itu terlepas dari kehendak Allah SWT?

Sebagai tanda syukur kepadaNya, kitapun diharuskan untuk terus menerus berbuat pada sesama manusia ciptaanNya, juga kepada hewan dan tumbuhan. Rasa syukur yang paling baik adalah kita menjadi rakhmat bagi seluruh alam, rakhmatan lil alamin, sebagaimana dicontohkan rosulullah SAW.

Apakah yang harus kita lakukan sekarang dan seterusnya? Yang kita lakukan adalah banyak bersyukur atas nikmatNya, banyak bersyukur atas rejekiNya, banyak bersyukur atas karuniaNya, banyak bersyukur atas ciptaanNya , banyak bersyukur atas lingkungan yang telah diciptakanNya, banyak bersyukur atas segala-segalanya. Semoga kita semua menjadi hamba-hambaNya yang pandai bersyukur kepadaNya.

Bila setelah menjadi uraian di atas, masih saja timbul rasa keluh kesah, dan selalu merasa diri masih saja kurang, dan tak menghargai apa yang sudah dimiliki, mintalah petunjuk kepada Allah SWT, mohon kepadaNya agar diberikan hati, lidah, mata, telinga dan seluruh anggota tubuh untuk pandai bersyukur kepadanya, karena dengan ucapan yang paling sederhana dari syukur saja itu sudah ibadah!

Ya mengucapkan “ alhamdulillah “ saja itu sudah ibadah, ringan mengucapkannya, tapi timbangan amalnya berat. Dan jangan lupa gratis, tak perlu alat apapun untuk mengucapkannya, itu bagi orang yang beriman, tapi yang kupur nikmat, walaupun mengucapkan “alhamdulillah” ringan, berpahala dan gratis, tetap saja tak mau bersyukur, tak mau mengucapkannnya, apa lagi untuk mengamalkannya, jauh panggang dari api.

09 June 2013

Dua Pengertian Satu Nasihat

Dahulu kala ada 2 orang kakak beradik. Ketika ayahnya meninggal sebelumnya berpesan dua hal: pertama jangan menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadamu, dan kedua jika mereka pergi dari rumah ke toko jangan sampai mukanya terkena sinar matahari.

Waktu berjalan terus. Dan kenyataan terjadi, bahwa beberapa tahun setelah ayahnya meninggal anak yang sulung bertambah kaya sedang yang bungsu menjadi semakin miskin.

Ibunya yang masih hidup menanyakan hal itu kepada mereka. Jawab anak yang bungsu:
Inilah karena saya mengikuti pesan ayah. Ayah berpesan bahwa saya tidak boleh menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadaku, dan sebagai akibatnya modalku susut karena orang yang berhutang kepadaku tidak membayar sementara aku tidak boleh menagih. Juga ayah berpesan supaya kalau saya pergi atau pulang dari rumah ke toko dan sebaliknya tidak boleh terkena sinar matahari. Akibatnya saya harus naik becak atau andong. Sebetulnya dengan jalan kaki saja cukup, tetapi karena pesan ayah demikian maka akibatnya pengeluaranku bertambah banyak.

Kepada anak yang sulung yang bertambah kaya, ibupun bertanya hal yang sama. Jawab anak sulung:

Ini semua adalah karena saya mentaati pesan ayah. Karena ayah berpesan supaya saya tidak menagih kepada orang yang berhutang kepada saya, maka saya tidak menghutangkan sehingga dengan demikian modal tidak susut. Juga ayah berpesan agar supaya jika saya berangkat ke toko atau pulang dari toko tidak boleh terkena sinar matahari, maka saya berangkat ke toko sebelum matahari terbit dan pulang sesudah matahari terbenam. Akibatnya toko saya buka sebelum toko lain buka, dan tutup jauh sesudah toko yang lain tutup. Sehingga karena kebiasaan itu, orang menjadi tahu dan tokoku menjadi laris karena mempunyai jam kerja lebih lama.

Perbedaan dalam menafsirkan sesuatu, itulah yang disebut dengan paradigma atau sudut pandang , dan ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan, nilai - nilai, belief dan pembelajaran serta sikap seseorang dalam mengambil keputusan.

Semakin positif unsur-unsur yang disebutkan diatas, maka semakin positif pula paradigma seseorang.

Nah sekarang terserah anda, mau pilih yang mana ?

05 June 2013

Pola Pikir dan Keyakinan

Dikisahkan, seorang ibu muda memiliki 2 orang putra. Sayangnya si putra bungsu mengalami pertumbuhan kemampuan berpikir yang lamban, tidak memiliki kecerdasan seperti sang kakak. Jadilah dia anak yang pemalu, rendah diri dan sering dilecehkan oleh teman2 di sekolahnya.

Tugas sebagai ibu merangkap tulang punggung keluarga, membuatnya kelelahan, sehingga kelambanan si bungsu pun sering menjadi sasaran kemarahan dan kejengkelannya. Kata-kata kasar, seperti: "dasar anak bodoh" dan sejenisnya seolah menjadi santapan sehari-hari buat si bungsu.

Ucapan sang ibu maupun ejekan dari teman-teman, meyakinkan si bungsu bahwa dirinya anak yang menyusahkan dan memalukan keluarganya. Kekecewaan terhadap diri sendiri tercermin pada kegiatan yang dilakukan dari hari ke hari. Setiap bangun pagi, saat menatap wajah sendiri dari pantulan kaca cermin, dia memulai kegiatan dengan menyapa diri yang ada di cermin sambil berucap lirih dan sedih, "Si bodoh sedang mencuci muka", "Si bodoh mulai menyikat gigi," "Si bodoh lagi mandi," "Si bodoh berangkat ke sekolah," dan seterusnya.

Waktu terus berjalan ...

Diceritakan, sebagai warga negara dewasa, ada wajib militer yang harus dijalani. Maka, si putra bungsu ini pun mendaftar dan mulai mengikuti berbagai tes: tes kesehatan, tes kemampuan fisik, dan tes yang lain. Saat hari pengumuman, dia dipanggil menghadap ke dewan penguji.

"Ah... Aku si bodoh, bisakah lolos tes kali ini?" katanya dalam hati, sambil memasuki ruangan dengan kepala tertunduk. Sungguh tidak diduga sama sekali, hasil tesnya ternyata mendapat pujian tertinggi dari dewan penguji. "Selamat anak muda! Hasil tes Anda luar biasa!! Anda sungguh pemuda yang hebat dan berbakat." Mendapat pujian seperti itu, dia seolah tidak mempercayai telinganya sendiri. Kata-kata dewan penguji adalah penemuan sisi baru dirinya yang tidak diketahui sebelumnya. Suara itu terus bergema di pikirannya, menumbuhkan kebanggaan, memotivasi setiap sikap dan tindakannya yang mencerminkan bahwa dirinya orang hebat dan luar biasa. Mulailah siklus hariannya berubah, "Aku, orang hebat sedang mandi," "Si hebat mencuci muka," "Pemuda berbakat lagi mengosok gigi," dan seterusnya. Kepercayaan diri dan citra dirinya meningkat luar biasa.

Hingga 20 tahun kemudian, si bungsu membuktikan dirinya sebagai salah seorang pengusaha sukses yang disegani, dihormati, dan menerima banyak penghargaan. 

Pola pikir dan keyakinan adalah kekuatan di belakang sistem sukses yang ada di dalam diri kita. Apapun yang kita bayangkan dan kita yakini terus menerus dalam benakkita, pada akhirnya akan terwujud dalam kenyataan. Itulah hukum pikiran universal yang berlaku.

Kalau kita selalu berkata: "Mana mungkin aku bisa sukses?", "Aku sulit berhasil," maka kecenderungan sikap mental seperti itu akan disusul oleh kenyataan berupa kegagalan. Sebaliknya kalau kita berkata pada diri sendiri, "Aku bisa sukses, "Aku mampu," besar kemungkinan kita akan berusaha keras dengan berbagai cara sehingga kesuksesan bisa diraih persis seperti yang diyakini dan kita pikirkan.

Jadi tepat sekali ungkapan yang mengatakan YOU ARE WHAT YOU THINK. Anda adalah seperti apa yang Anda pikirkan! Mari, miliki citra diri yang sehat! Miliki keyakinan diri yang mantap!

01 June 2013

Pentolan Korek

Di Prancis, hidup seorang perempuan beragama Nasrani, usianya lebih dari lima puluh tahun, dia berdagang minuman keras di klub-klub malam. Na’udzu billah; dari minum ke zina dan perbuatan kotor; semoga Allah melindungi kita.

Sepanjang hari dan setiap malam, dia pergi ke salah satu klub malam untuk melanjutkan pekerjaannya. Di salah satu klub, wanita itu bertemu dengan pemuda Arab beragama Islam yang hidup di Barat sehingga akhlak dan tabiatnya sama dengan mereka.

Setiap malam dan setelah mabuk serta hilang kesadaran, dia menghampiri wanita itu dan berkata, "Kamu Muslimah?"

Wanita itu menjawab, "Tidak."
Lalu pemuda itu menghidupkan korek api, "Coba taruh jarimu di atas api ini," ujar sang pemuda.

"Pergi sana, jangan ganggu aku," kata sang wanita. Pemuda itu tertawa terkekeh-kekeh, lantas berkata, "Kayu korek api saja kamu tidak mampu, bagaimana mungkin kamu mampu menahan panas api neraka, sedangkan kamu bukan seorang Muslimah?" Kemudian pemuda itu pergi dalam keadaan mabuk. 

Wanita itu memandangi sang pemuda, dia merasa tersinggung ketika sang pemuda itu bertanya tentang keislamannya. Kemudian wanita itu memutuskan untuk pergi ke salah satu pusat kajian keislaman (Islamic centre) dan bertanya tentang agama ini (Islam). Dia pergi ke Islamic Centre di Prancis. Dia disambut oleh imam masjid dan diberi beberapa buku/serta kaset tentang agama Islam.

Selama satu bulan penuh, wanita itu menekuni buku-buku dan kaset itu; dia baca, pelajari, dan dengarkan. Sehingga akhirnya Allah memberinya hidayah dan memeluk Islam. Pahalanya insya Allah juga kembali ke pemuda pemabuk itu.

Wanita itu juga aktif berdakwah. Seperti biasanya, di Prancis setiap tahun ada peringatan "Hari Wanita Sedunia". Di sana hadir tiga orang wanita sebagai narasumber dari tiga agama; Yahudi, Nasrani, dan Islam. Wanita itu diundang untuk berbicara tentang Islam. Yang hadir kurang lebih sepuluh ribu wanita dari berbagai agama. Wanita itu berbicara tentang Islam sesuai yang dia ketahui. Setelah dia berbicara, terdapat 120 wanita datang ke Islamic Centre, mengumumkan keislamannya.

Subhanallah, semua ini adalah jasa dari pemuda pemabuk.
Jadi Saudara, kalian tidak pernah tahu. Semoga Allah membuka hati pemuda pemabuk itu sehingga dia bisa menjadi taat dan baik keagamaannya.

Di tangan pemabuk itu, terdapat 121 wanita yang memeluk Islam. Terus bagaimana dengan kita? Apakah kita masih enggan berdakwah di jalan agama Allah karena alasan banyak dosa? Betapa sibuknya diri kita dari kemaslahatan manusia.