31 July 2013

Rezeki, Saat Ada dan Tiada

Bagi orang yang hatinya belum sungguh-sungguh kepada Allah, maka sikapnya ditentukan oleh kondisi hatinya. Ketika diberi ia akan terlalu gembira karena pemberiannya itu, dan saat ditolak ia akan kecewa, karena harapannya tak tersampaikan.

Namun bagi orang yang mengetahui atas apa yang terbaik bagi dirinya itu berasal dari Allah, maka pemberian dan penolakan tidak membuat senang dan susah. Senang dan susahnya jika ia tidak mau bersyukur dan bersabar. Ia akan kecewa bila tidak bisa bersyukur dan bersaba; bukan pada ada dan tiadanya, dia akan kecewa.

Misalnya bagi seorang pedagang yang bergantung pada makhluk, gejalanya dapat dirasakan senang apabila ada pembeli dan kecewa bila tidak ada pembeli.

Mulailah berlatih ketika mendapat karunia, merasa gembira sewajarnya. Kalau mendapat nikmat itu semata-mata hanya kemurahan Allah, jangan dikait-kaitkan dengan kehebatan ibadah kita, karena Allah tidak bisa dipaksa.

Contoh lainnya, ketika memperoleh gaji ia merasa sangat senang, namun ketika uang gaji itu harus keluar untuk membayar keperluannya, lalu ia bersedih, berarti kita masih senangnya dengan sesuatu yang datang, dan sedih dengan sesuaatu yang harus keluar.

Padahal kalau kita tafakuri, uang itu sesungguhnya sejak dari dahulu hingga saat ini terus saja mengalir. Gaji itu lalu lintas takdir Allah sebagai salah satu aliran rejeki. Sehingga bergembiranya kita bukan pada adanya uang, melainkan adanya ladang amal. Bila waktunya uang itu harus pergi, seharusnya tidak bersedih.

Dengan demikian, apabila kita menyukai dengan apa saja yang ditetapkan Allah, maka itu tanda bagi orang yang bersyukur, dan merasa bahagia apabila karunia yang diberikan Allah kepada orang lain, dan itu juga buah dari syukur.

Perbuatan syukur apabila nikmat itu datang kepada dirinya, lalu ia mengucapkan alhamdulillah. Apabila ia selalu bersyukur kalau nikmat tidak hanya datang pada dirinya, maka inilah sifat syukur yang derajatnya lebih tinggi. Karena kita menyukai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah.

“Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS Az-Zumar : 66)

Pada kenyataannya, ada orang yang menyukai bahwa nikmat itu hanya untuk dirinya, hal itu tidak menjadi amalan yang maksimal bagi dirinya. Semestinya kita menyenangi Allah jika memberi nikmat pada makhluk-makhluknya yang lain, bukan hanya bergembira karena nikmat itu diberikan kepada kita.

Ketika kita menerima suatu nikmat, wajar jika kita menjadi gembira, karena langsung menyangkut dengan diri kita, namun sebuah pencapaian keyakinan yang lebih tinggi apabila kita bersyukur ketika orang lain memperoleh nikmat juga. Ketika kita mendapat nikmat, hendaklah tidak dikait-kaitkan dengan kelebihan dan kemampuan kita, semua semata-mata karena Allah tidak bisa dipaksa oleh siapa pun.

Coba direnungkan, apakah banyak yang cocoknya atau tidak dalam kehidupan kita ini? Barangkali di antara kita akan banyak yang menjawab banyak yang tidak cocoknya. Lalu mengapa kita masih hidup, berpakaian lagi, ditutupi aib. Jadi, di mana ruginya… Bahkan tidak jarang Allah memberikan sesuatu yang tidak cocok, padahal itulah yang terbaik bagi kita.

Yang kita inginkan seringkali yang cocok menurut nafsu, karena pendeknya pengetahuan kita. Barometer bagus menurut kita, itu sesuai dengan dengan nafsu, sedangkan menurut Allah yang bagus cocok menurut iman. Misalnya, sehat menurut kita bagus, tapi Allah Maha Tahu, dengan sakit itu hikmahnya bisa menjadi kita lebih dekat dan terjaga dari maksiat.

Adakalanya kita terus menerus berlimpah rejeki, lalu membuat kita lengah dalam ibadah, maka bisa saja dibuat kejadian yang membuat kita tidak bersandar kepada gaji. Dengan hilang pekerjaan, misalnya. Hingga ia tidak menyandar kepada apa pun, Allah membuatnya ia terlepas pada sandaran apa pun, agar benar-benar tawakal kepada Allah. Hingga benar-benar pasrah kepada-Nya.

Jadi apabila kita masih senang dengan datangnya sesuatu, dan sedih dengan hilangnya sesuatu, maka memang kita masih kekanak-kanakan. Kita masih memanjakan nafsu kita. Tapi kalau mau melihat perbuatan Allah, kita tidak cukup melihat senang dan susah seperti apa adanya, melainkan semua itu sebagai satu karunia.

Jadi tidak boleh sok tahu terhadap takdir yang terbaik baik kita, karena ini yang membuat ‘ada’-nya membuatnya menjadi terlalu bergembira, dan ‘tiada’-nya menjadi sengsara hati.

29 July 2013

Menolong Tanpa Meminta Balasan

Subuh baru saja merekah di Mekkah saat musim haji tiba. Salah satu dari jamaah haji tampaklah Abu Ja’far Al- Mansur. Entah mengapa, rasa dendam Abu Ja’far terhadap Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan Al-Umawi tiba- tiba muncul, ketika teringat akan mutiara yang bernilai tinggi. Mutiara itu kini berada di tangan putra Hisyam bin Abdul Malik, Muhammad bin Hisyam.

Abu Ja’far memberi mandat kepada ajudannya. "Besok pagi, aku akan shalat beijamaah di Masjidil Haram, Kalau semua jamaah sudah berkumpul, tutup semua pintu, kecuali satu pintu keluar. Perhatikan orang-orang yang keluar dari pintu yang terbuka. Jika kau mendapati Muhammad bin Hisyam, bawalah ia kepadaku!"
Esoknya, sesuai titah Abu Ja’far, hanya ada satu pintu yang terbuka. Kebetulan, Muhammad bin Hisyam juga ada di dalam Masjiclil Haram. Taktik Abu Ja’far sudah diketahuinya. Oleh karena itu, dia merasa takut dan cemas.

Rupanya, Muhammad bin Zaid bin Ali bin Husein mengetahui kecemasan Muhammad bin Hisyam. Muhammad bin Zaid lalu menghampirinya dan menanyakan mengapa Muhammad bin Hisyam terlihat begitu cemas.
"Wahai Saudaraku, ada apa gerangan yang membuat¬mu begitu gelisah?"
"Siapakah kau?"
"Aku Muhammad bin Zaid bin Ali bin Husein, cucu Fatimah, putri Rasulullah."
Semakin ketakutanlah Muhammad bin Hisyam mengetahui siapa orang tersebut. Tubuhnya menggigil dan bajunya basah oleh keringat dingin.
"Jangan khawatir dan takut. Kau bukanlah pembunuh ayah dan kakekku. Aku bahkan tidak merasa dendam sama sekali. Sebaliknya, Insya Allah, aku akan melindungimu dan melepaskan dirimu dari bahaya ini." Muhammad bin Hisyam menjawab, "Aku serahkan kepadamu. Begini ceritanya...," mengalirlah ihwal kegelisahan dirinya.

Apa yang terjadi kemudian? Muhammad bin Zaid lalu membelitkan baju luarnya ke muka Muhammad bin Hisyam sehingga kepala Muhammad bin Hisyam tertunduk. Setibanya di pintu keluar, Muhammad bin Zaid lalu menyeret Muhammad bin Hisyam dan menghelanya dengan kasar. Muhammad bin Zaid lalu berkata kepada ajudan Abu Ja’far.

"Wahai Abu Fadal, manusia bedebah ini adalah pemilik unta sewaan. Meski aku telah membayar sewanya, ia kabur dan menyewakan untanya kepada orang-orang Khurasan."
Ajudan Abu Ja’far akhirnya memperbolehkan keduanya keluar. Setelah jauh dan aman, Muhammad bin Zaid melepaskan Muhammad bin Hiysam dan berkata, "Pergilah, cari perlindungan!"
Merasa diselamatkan jiwanya, Muhammad bin Hisyam kemudian memberikan mutiara yang berharga kepada Muhammad bin Zaid sebagai tanda terima kasih.

Muhammad bin Zaid berkata, "Ambil kembali mutiaramu ini. Kami dari Ahlul Bait, tidak boleh menerima hadiah atas kebaikan yang kami lakukan. Jagalah dirimu dari Abu Ja’far."
"Hendaklah kita tidak berhitung atas kebaikan yang kita lakukan ataupun mengharap balasan ka¬rena kelak Allah akan melipatgandakan kebaikan kita. "

25 July 2013

Keindahan Berprasangga Baik

Dua orang laki-laki bersaudara bekerja pada sebuah pabrik kecap dan sama-sama tekun belajar Islam. Sama-sama mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari semaksimal mungkin. Mereka acap kali harus berjalan kaki untuk sampai ke rumah guru pengakiannya. Jaraknya sekitar 10km dari rumah peninggalan orangtua mereka.

Suatu ketika sang kakak berdo’a memohon rejeki untuk membeli sebuah mobil supaya dapat dipergunakan untuk sarana angkutan dia dan adiknya, bila pergi mengaji. Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sebuah mobil dapat dia miliki dikarenakan mendapatkan bonus dari perusahaannya bekerja.

Lalu sang kakak berdo’a memohon seorang istri yang sempurna, Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sang kakak bersanding dengan seorang gadis yang cantik serta baik akhlaknya.

Kemudian berturut-turut sang Kakak berdo’a memohon kepada Allah akan sebuah rumah yang nyaman, pekerjaan yang layak, dan lain-lain. Dengan itikad supaya bisa lebih ringan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dan Allah selalu mengabulkan semua do’anya itu.

Sementara itu, sang Adik tidak ada perubahan sama sekali, hidupnya tetap sederhana, tinggal di rumah peninggalan orang tuanya yang dulu dia tempati bersama dengan Kakaknya. Namun karena kakaknya sangat sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak dapat mengikuti pengajian, maka sang adik sering kali harus berjalan kaki untuk mengaji kerumah guru mereka.

Suatu saat sang Kakak merenungkan dan membandingkan perjalanan hidupnya dengan perjalanan hidup adiknya. Dia teringat bahwa adiknya selalu membaca selembar kertas saat dia berdo’a, menandakan adiknya tidak pernah hafal bacaan untuk berdo’a. Lalu datanglah ia kepada adiknya untuk menasihati adiknya supaya selalu berdo’a kepada Allah dan berupaya untuk membersihkan hatinya, karena dia merasa adiknya masih berhati kotor sehingga do’a-do’anya tiada dikabulkan oleh Allah azza wa jalla.

Sang adik terenyuh dan merasa sangat bersyukur sekali mempunyai kakak yang begitu menyayanginya, dan dia mengucapkan terima kasih kepada kakaknya atas nasihat itu.

Suatu saat sang adik meninggal dunia, sang kakak merasa sedih karena sampai meninggalnya adiknya itu tidak ada perubahan pada nasibnya sehingga dia merasa yakin kalau adiknya itu meninggal dalam keadaan kotor hatinya sehubungan do’anya tak pernah terkabul.

Sang kakak membereskan rumah peninggalan orang tuanya sesuai dengan amanah adiknya untuk dijadikan sebuah mesjid. Tiba-tiba matanya tertuju pada selembar kertas yang terlipat dalam sajadah yang biasa dipakai oleh adiknya yang berisi tulisan do’a, diantaranya Al-fatehah, Shalawat, do’a untuk guru mereka, do’a selamat dan ada kalimah di akhir do’anya:

"Ya, Allah. tiada sesuatupun yang luput dari pengetahuan Mu, Ampunilah aku dan kakak ku, kabulkanlah segala do’a kakak ku, bersihkanlah hati ku dan berikanlah kemuliaan hidup untuk kakakku didunia dan akhirat,"

Sang Kakak berlinang air mata dan haru biru memenuhi dadanya, tak dinyana ternyata adiknya tak pernah sekalipun berdo’a untuk memenuhi nafsu duniawinya

23 July 2013

Paradoks Kehidupan Ramadhan

Pagi di jalanan,

siang di jalanan,

malam di jalanan,

Aku tak pernah bertemu ayah dan ibuku,

semuanya, karena kemiskinan,

dan aku butuh sesuap nasi,

untuk hidup …

Di atas adalah sebait ungkapan pengamen anak jalanan. Dengan mata yang redup. Tanpa ekspressi. Badannya kurus dan dekil. Tak terawat. Hitam. Kaki dan tangannya kecil, kurus, hanya tulang yang terbalut dengan kulit. Rambutnya kusam dan memerah. Karena terpaan terik matahari, dan polusi Jakarta. Setiap hari. Bajunya lusuh. Giginya menguning dan penuh karang.

Anak-anak kecil itu terus menelusuri setiap jengkal Jakarta. Seperti tak punya lelah. Terus berjalan dan berlari. Mengejar setiap angkutan kota yang lewat. Tak peduli. Kadang ada yang berbelas. Tak sedikit yang masa bodoh. Membiarkan anak-anak itu berlalu. Begitu saja. Mungkin berguman. Biarkan anak-anak miskin itu. Jangan mereka dikasihani. Mereka tak berhak dikasihani.

Ramadhan telah memasuki jelang pertangahan . Ada fenomena yang amat paradok. Getir dan menyayat. Setiap bathin. Siapa saja yang masih mempunyai hati. Hari-hari ini Jakarta mulai dipenuhi dengan yang disebut ‘gepeng’ (gelandangan dan pengemis). Entah dari mana mereka. Setiap sudut jalan di Jakarta. Pasti menemukan pengemis, pengamen, dan pemulung. Jumlahnya tak sedikit. Mereka menyeruak. Di tengah-tengah kehidupan Jakarta. Kehidupan yang egois.

Di jalan-jalan, di angkutan, di emper-emper toko, di kereta, di pasar-pasar, dan kolong-kolong jembatan, dan tempat keramaian, mereka mencari kehidupan. Di mana-mana melihat pemandangan para pemulung yang membawa keluarganya, anak-anak dan isteri, sambil mendorong gerobak. Anak dan isteri mereka wajahnya pias dan letih, mengarungi sepanjang jalan, di tengah padatnya Jakarta. Mereka terkadang tidur di jalan-jalan. Di emper-emper toko. Di stasiun kereta. Dan, di kolong-kolong jembatan. Mereka mengejar harapan. Mereka mengejar belas kasihan. Mereka mengejar kemurahan dan keramahan. Mereka mengejar orang-orang yang masih mempunyai hati. Mungkin itu hanya ilusi. Ilusi orang-orang yang tersisih dalam kehidupan.

Ramadhan memasuki jelang pertengahan . Jakarta tetap padat dan sibuk. Seperti tak nampak Ramadhan. Kehidupan malam. Tak berubah. Hotel-hotel, tempat hiburan, café, dan tempat-tempat keramaian, terus dibanjiri pengunjung. Plaza. Semakin penuh pengunjung. Orang berbelanja ramai. Mereka membawa belanjaan. Tak kira-kira. Belanjaan yang aneka ragam. Orang-orang yang berduit tak peduli. Mereka menumpuk makanan. Seakan besok terjadi prahara. Mereka sudah mempersiapkan hari lebaran (idul fitri). Pakaian dan baju. Mereka mempersiapkan dan memilih. Apa saja yang mereka inginkan. Mereka sudah memilih tempat-tempat berlibur bersama keluarga. Sebagian pergi keluarga negeri. Inilah kehidupan yang paradok.

Hotel-hotel dan café ramai. Menjelang maghrib. Orang-orang yang berduit berkelompok dan berdatangan. Mereka menikmati berbagai macam hidangan. Setiap hotel dan café menyelenggarakan acara buka puasa. Kalangan ekskutif, politisi, birokrat, pengusaha, dan sejumlah artis, menyelenggarakan acara buka puasa, di tempat-tempat yang mewah. Makanan berlebih. Makanan serba nikmat dan lezat. Di rumah-rumah keluarga menyelenggarakan acara berbuka. Mereka berkumpul. Menikmati suasana Ramadhan. Kadang-kadang makanan yang berlebih dibuang di tempat sampah. Sisa-sisa makanan itu, yang terbuang disampah, dinikmati para pemulung, dan gelandangan.

Ramadhan memasuki jelang pertengahan . Ritme ibadah semakin menyurut. Masjid-masjid mulai ditinggalkan jamaahnya. Sebagian masjid jamaahnya sudah tinggal separuh. Tak terdengar suara orang bertadarus. Membaca al-Qur’an. Sepi. Anak-anak muda hanya duduk-duduk. Ngobrol. Di malam hari lebih banyak mereka berkeliaran berboncengan motor atau mengendarai mobil, tak tentu arah. Laki dan perempuan. Mereka bukan muhrimnya. Ini menandakan kehidupan umat Islam mulai luruh. Masjid jamaahnya yang tersisa, tinggal orang-orang tua. Anak-anak mudanya tak lagi tertarik. Remajanya, bermain, berlari sambil membunyikan petasan. Kekusyukkan beribadah tak nampak.

Tak banyak lagi yang memperhatikan kehidupan remaja. Orangtua juga tidak. Orangtua hanya mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Anak-anak tidak dididik agama dengan ketat. Anak-anak dibiarkan menemukan jalan hidup mereka sendiri-sendiri. Mereka kehilangan identitas dan simbol-simbol Islam. Secara perlahan-lahan mereka hanya tinggal status sebagai penganut Islam. Gaya hidup dan kebiasaan mereka sudah berubah. Karena tak pernah mendapat sentuhan Islam. Mereka mereguk kehidupan modern dengan cara mereka sendiri.

Lebih ironi lagi. Mereka yang dahulu sangat sibuk mengurusi anak-anak muda, dan memberikan arahan, membina, dan mendidik, kini mereka tak nampak lagi. Mereka telah pergi. Pergi menjalani peran baru. Mereka menjadi politisi. Mereka sibuk dengan urusan poliltik. Mereka sibuk dengan urusan kekuasaan. Mereka sibuk dengan hitungan-hitungan angka. Mereka sibuk. Sangat sibuk. Mereka mereguk dan menikmati hasil kekuasaan. Mereka menikmati kehidupan baru. Mereka menikmati dengan peran baru itu. Mereka tak tertarik dengan peran yang lama. Mengarahkan, membina dan mendidik anak-anak muda, yang sangat menentukan masa depan. Mereka memilih hasil yang cepat dan konkrit, dan segera dinikmati. Mereka tak lagi memerlukan peran masa lalu. Inilah jalan menuju bencana masa depan Indonesia.

Semakin banyak orang miskin. Semakin banyak orang yang tersisih dalam kehidupan. Semakin banyak orang yang tidak mengenal agama (Islam). Semakin banyak orang yang ‘riddah’ (murtad). Karena berubahnya orientasi kehidupan. Berubah secara hakiki. Mereka tak faham dan mengerti tentang hakekatnya kehidupan. Mereka tak memahami nilai-nilai kehidupan. Mereka tak memahami dan mengerti tentang hakekat Islam. Mereka tak mendapatkan alternatif, yang dapat menjawab masa depan mereka.

Dari tahun ke tahun Ramadhan tak mempunyai makna apa-apa. Tak mengubah kualitas kehidupan umat. Mereka justru menjadikan Ramadhan sebagai tradisi. Bukan sebuah sarana memperbaharui kehidupannya. Menuju kehidupan baru. Sebagai orang-orang yang muttaqien. Orang-orang yang saling mengasihi. Orang yang saling menguatkan iman saudaranya. Sesama muslim. Ramadhan akan berakhir. Dan, orang semakin sibuk mengejar kehidupan dunia.

Mu’adz bin Jabal saat sakaratul menjemputnya di waktu fajar. Ia berdoa. “Ya Allah. Sesungguhnya Engkau tahu aku menyukai kehidupan. Tetapi, bukan karena pohon yang aku tanam, sungai yang mengalir, rumah yang aku bangun, dan istana yang aku dirikan. Tapi, demi Allah, aku mencintai kehidupan ini, karena tiga hal: pertama berpuasa di hari yang panas, kedua melakukan qiyamul lail, dan ketiga ikut meramaikan halaqah dzikir bersama para ulama”, ungkap Muadz.

Ramadhan bukan tradisi. Ramadhan bukan rutinitas. Kemenangan Islam yang pertama di perang Badr, di bulan Ramadhan. Karena Rasul bersama mereka para shahabat adalah yang orang-orang mencintai akhirat. Ramadhan bukan wasilah mengumbar syahwat perut, yang akan mencelakakan kehidupan manusia.Semoga. Wallahu ‘alam.

20 July 2013

Ruginya Bila Muslim Tak Meraih Keutamaan Bulan Ramadhan

Ketika bulan Ramadhan datang, Rasul saw senantiasa memberikantaushiah (nasehat) dan bimbingan mengenai Ramadhan dan puasa. Beliau memberi kabar gembira atas kedatangan Ramadhan kepada para shahabat dan umatnya dengan menjelaskan berbagai keutamaan bulan Ramadhan. Tujuannya adalah untuk memberi motivasi bagi para sahabat dan umat Islam lainnya untuk semangat melakukan ibadah dan amal shalih (kebaikan) pada bulan berkah ini. Oleh karena itu, topik ini menjadi penting untuk dibicarakan, agar kita termotivasi untuk meraih berbagai keutamaan Ramadhan.

Bulan Ramadhan dijuluki dengan sebutan sayyidusy syuhur (penghulu bulan-bulan). Dinamakan demikian karena Bulan Ramadhan memiliki berbagai keutamaan tersendiri yang tidak dimiliki oleh bulan lainnya. Di antara keutamaannya yaitu:

Pertama, Ramadhan merupakan syahrul Quran (bulan Al-Quran). Diturunkannya Al-Quran pada bulan Ramadhan menjadi bukti nyata atas kemuliaan dan keutamaan bulan Ramadhan. Allah Swt berfirman: “Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang didalamnya diturunkan Al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan petunjuk tersebut dan pembeda (antara yang benar dan yang batil).”(QS. Al-Baqarah: 185). Di ayat lain Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam qadar” (QS. Al-Qadar: 1). Dan banyak ayat lainnya yang menerangkan bahwa Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan.

Itu sebabnya bulan Ramadhan dijuluki dengan nama syahrul quran (bulan Al-Quran). Pada setiap bulan Ramadhan pula Rasulullah saw selalu bertadarus (berinteraksi) dengan Al-Quran dengan Jibril as, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Abbas r.a (HR. Bukhari). Maka, pada bulan Ramadhan ini kita digalakkan untuk memperbanyak berinteraksi dengan Al-Quran, dengan cara membacanya, memahami dan mentadabburi maknanya, menghafal dan mempelajarinya, serta mengamalkannya.

Kedua, bulan Ramadhan merupakan syahrun mubarak (bulan keberkahan), sebagaimana sabda Rasul saw, “Sungguh telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah. Pada bulan ini diwajibkan puasa kepada kalian..”. (HR. Ahmad, An-Nasa’i dan Al-Baihaqi). Setiap ibadah yang dilakukan di bulan Ramadhan, maka Allah akan melipat gandakan pahalanya. Rasulullah saw bersabda: “Setiap amal yang dilakukan oleh anak Adam adalah untuknya, dan satu kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipat bahkan sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Swt berfirman: Kecuali puasa, itu untuk-Ku dan Aku yang langsung membalasnya. Karena sesungguhnya ia telah meninggalkan syahwat, makan dan minumnya karena-Ku”(HR. Muslim).

Rasulullah saw pernah berkhutbah di hadapan para sahabatnya, “Wahai manusia, telah datang kepada kalian bulan yang agung dan penuh berkah. Di dalamnya terdapat satu malam yang nilai (ibadah) didalamnya lebih baik dari seribu bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai perbuatan sunnah. Siapa yang mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan (pada bulan itu), seolah-olah ia mengerjakan satu perbuatan wajib pada bulan lainnya. Siapa yang mengerjakan satu perbuatan wajib pada bulan yang lain, ia seolah-olah mengerjakan tujuh puluh kebaikan di bulan lainnya.” (HR. Baihaqi)

Tidak hanya keberkahan menuai pahala, namun banyak keberkahan lainnya. Dari aspek ekonomi, Ramadhan memberi keberkahan ekonomi bagi para pedagang dan lainnya. Bagi fakir miskin, Ramadhan membawa keberkahan tersendiri. Pada bulan ini seorang muslim sangat digalakkan untuk berinfaq dan bersedekah kepada mereka. Bahkan diwajibkan membayar zakat fitrah untuk mereka.

Ketiga, pada bulan Ramadhan pintu-pintu surga terbuka dan pintu-pintu neraka tertutup serta syaithan-syaithan diikat. Dengan demikian, Allah Swt telah memberi kesempatan kepada hamba-Nya untuk masuk surga dengan ibadah dan amal shalih yang mereka perbuat pada bulan Ramadhan. Syaithanpun tidak diberi kesempatan untuk mengoda dan menyesatkan manusia. Rasulullah saw bersabda, “Apabila masuk bulan Ramadhan maka pintu-pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan syaithan-syaithan pun dibelenggu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka pada bulan ini kita digalakkan untuk memperbanyak ibadah sunnat dan amal shalih, agar kita dapat masuk surga.

Keempat, bulan Ramadhan adalah sarana bagi seorang muslim untuk berbuat kebaikan dan mencegah maksiat. Rasulullah saw bersabda, “Apabila malam pertama bulan Ramadhan tiba, maka syaithan-syaithan dan jin-jin Ifrit dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup sehingga tidak satupun darinya terbuka, dan pintu-pintu surga dibuka sehingga tidak satupun pintu yang tertutup. Kemudian ada seorang (malaikat) penyeru yang memanggil: “Wahai pencari kebaikan, bergembiralah! Wahai para pencari kejahatan, tahanlah!”. (HR. At-Tirmizi, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah).

Para pelaku maksiat merasa dipersempit ruang gerak untuk berbuat maksiat pada bulan Ramadhan. Karena, pada bulan Ramadhan mereka harus menahan nafsunya. Tempat-tempat maksiat, hiburan-hiburan yang mengumbar birahi ditutup serta fasilitas maksiat ditutup. Terlebih lagi para syaithan yang menjadi guru para pelaku maksiat selama ini dibelenggu pada bulan Ramadhan. Begitu pula nafsu yang menjerumuskan manusia ke neraka juga dikekang dengan ibadah puasa, karena puasa itu adalah penahan nafsu dan maksiat sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Puasa itu Junnah (penahan nafsu dan maksiat)” (HR. Ahmad, Muslim dan An-Nasa’i)

Meskipun demikian, jika perbuatan maksiat masih terjadi pada bulan Ramadhan, maka penyebabnya ada tiga: Pertama, para pelaku maksiat pada bulan ini adalah murid dan kader syaithan. Mereka telah dilatih untuk berbuat maksiat sehingga menjadi kebiasaan. Mereka ini adalah alumni madrasah syaithan yang selama ini ditraining untuk berbuat maksiat oleh “guru atau ustaz” mereka (syaithan). Kedua, puasa yang dilakukan oleh pelaku maksiat itu tidak benar (tidak sesuai dengan tuntunan Rasul saw) sehingga tidak diterima. Bila ia berpuasa dengan benar, maka puasanya itu pasti mencegahnya dari maksiat. Ketiga, nafsunya telah menguasai dan menyandera dirinya. Puasa sesungguhnya tidak hanya menahan diri dari makan, minum dan hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa, namun juga menahan diri dari nafsu dan maksiat baik berupa ucapan maupun perbuatan yang diharamkan. Akibatnya puasanya tidak bernilai nilai apa-apa dan tidak memberikan dampak positif dalam tingkah lakunya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila pada bulan Ramadhan masih ada orang-orang yang “istiqamah” berbuat maksiat.

Kelima, Ramadhan bulan maghfirah (pengampunan dosa). Allah Swt menyediakan Ramadhan sebagai fasilitas penghapusan dosa selama kita menjauhi dosa besar. Nabi saw bersabda: ”Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at dan Ramadhan ke Ramadhan menghapuskan dosa-dosa di antara masa-masa itu selama dosa-dosa besar dijauhi”. (HR. Muslim). Melalui berbagai aktifitas ibadah di bulan Ramadhan Allah Swt menghapuskan dosa kita. Di antaranya adalah puasa Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi Saw: ”Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah Swt, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR. Bukhari dan Muslim). Begitu pula dengan melakukan shalat malam (tarawih, witir dan tahajuj) pada bulan Ramadhan dapat menghapus dosa yang telah lalu, sebagaimana sabda Nabi saw: ”Barangsiapa yang berpuasa yang melakukan qiyam Ramadhan (shalat malam) dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah Swt, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Keenam, Ramadhan bulan itqun minan nar (pembebasan dari Api neraka). Setiap malam di bulan Ramadhan Allah membebaskan hamba-hamba yang dikehendaki dari api neraka. Rasulullah saw bersabda, “Dan Allah membebaskan orang-orang dari api neraka pada setiap malam.” (HR. At-Tirmizi, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah).

Ketujuh, pada bulan Ramadhan terdapat Lailatul Qadar yang nilai kebaikan padanya lebih baik dari seribu bulan. Allah berfirman: “Dan Tahukah kamu lailatul Qadar itu? Lailatul Qadar itu lebih baik daripada seribu bulan.” (Al-Qadar: 2-3). Rasul saw bersabda: “Pada bulan Ramadhan ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang dihalangi kebaikannya padanya, maka rugilah dia”(H.R. Ahmad,An-Nasa’i & Baihaqi). Maka kita sangat digalakkan untuk mencari lailatul qadar ini dengani’tikaf, khususnya pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, mengikuti perbuatan Rasul saw. Aisyah r.a berkata: “Apabila telah masuk sepuluh hari terakhir (dari bulan Ramadhan), Nabi saw menghidupkan waktu malam beliau, membangunkan keluarga beliau untuk beribadah, dan mengencangkan ikat pinggang.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain: “Nabi saw sangat giat beribadah pada sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan) melebihi ibadah beliau pada hari-hari lainnya.” (HR.Muslim)

Mengingat berbagai keutamaan Ramadhan tersebut di atas, maka sangat disayangkan bila Ramadhan datang dan berlalu meninggalkan kita begitu saja, tanpa ada usaha maksimal dari kita untuk meraihnya dengan melakukan berbagai ibadah dan amal shalih. Celakanya, bila hari-hari Ramadhan yang seharusnya diisi dengan memperbanyak ibadah diganti dengan ajang maksiat, na’uzubillahi min zaalik..! Rasulullah saw telah memberi peringatan dengan sabdanya: “Jibril telah datang kepadaku dan berkata: ”Wahai Muhammad, Siapa yang menjumpai bulan Ramadhan, namun setelah bulan ini habis dan tidak mendapat ampunan, maka ia masuk Neraka. Semoga Allah menjauhkannya. Katakan Amin! Aku pun mengatakan Amin!. (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam shahihnya). Dalam riwayat lain, Rasulullah saw bersabda, “Celakalah bagi orang yang masuk pada bulan Ramadhan, kemudian Ramadhan berlalu sebelum ia diampuni.” (HR. At-Tirmizi, Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al-Baihaqi). Semoga kita dapat meraih berbagai keutamaan yang disediakan pada bulan Ramadhan. Amin!

Oleh: Muhammad Yusran Hadi, Lc, MA

16 July 2013

Sahabat yang Serakah

Ada seorang pemuda yang terkenal sangat baik dan terpelajar. Nama pemuda itu adalah Ustman. Ia tidak pernah pelit membagi ilmu. Itu sebabnya, dia sangat dipuji-puji oleh semua orang. Semua orangtua menginginkan anaknya bersahabat dengan Ahmad. Walaupun Ahmad miskin, perilakunya sangat terpuji.

Fudhail adalah salah satu pemuda yang ingin bersahabat dengan Ahmad. Suatu hari, mereka bertemu setelah Ahmad berbicara di atas mimbar.
"Ahmad, aku sudah lama ingin berkenalan denganmu. Alhamdulillah, sekarang kita bertemu di sini. Aku sangat kagum kepadamu dan ingin belajar darimu," kata Fudhail.

"Mari kita sama-sama belajar," jawab Ahmad dengan rendah hati.
"Bolehkah aku bersahabat denganmu dan mengikutimu ke mana pun kau pergi?" tanya Fudhail.

Singkat cerita, Ahmad dan Fudhail bersahabat. Fudhail selalu mengikuti ke mana pun Ahmad pergi. Suatu hari, Fudhail berkunjung ke rumah Ahmad. Selepas shalat Zuhur, saatnya untuk makan siang. Ahmad yang tidak tahu Fudhail akan berkunjung siang itu hanya memiliki sepiring nasi dan sekerat daging. Karena dia sudah menganggap Fudhail sebagai sahabat maka dia membagi makanannya menjadi tiga. Sepertiga untuknya, sepertiga untuk Fudhail, dan sepertiga lagi disisakan untuk makan malam.

"Makanlah Fudhail. Aku akan mengambil air dulu di sumur. Aku ddak memiliki air untuk diminum," kata Ust- man seraya beranjak pergi.
Setelah mendapatkan air, Ahmad memasaknya dan menyajikan air minum. Dia bertanya kepada Fudhail, "Apakah kau melihat sepertiga nasi dan daging yang tadi kubagi?" tanya Ahmad ketika melihat ketiga piring telah kosong.

Fudhail menggeleng. "Entahlah. Tadi aku keluar sebentar dan ketika kembFudhail, nasi itu sudah lenyap," jawabnya.
Ahmad menarik napas, ’Ya sudahlah, mudah-muda- han ada rezeki untuk nanti malam."

Ahmad lalu mengajak Fudhail menghadiri sebuah majelis taklim, di mana dia menjadi khatibnya. Seturunnya dari mimbar, dia mendapatkan banyak makanan dari penyelenggara. Ahmad bersyukur karena dia mendapat rezeki untuk makan nanti malam. Tak lupa, dia berbagi dengan Fudhail. Fudhail senang sekFudhail. Malam itu, mereka makan dengan sangat nikmat.

"Sahabatku, aku masih heran dengan nasi tadi siang. Apakah kau tidak tahu siapa yang memakannya?" tanya Ahmad.
"Aku tidak tahu." Fudhail menjawab tak peduli. Fudhail malah sibuk dengan makanan di tangan dan mulutnya.

Keesokan harinya, Ahmad mengajak Fudhail pergi ke sebuah danau untuk memancing ikan. Dua buah kail sudah disiapkan Ahmad.
"Kita akan memancing ikan untuk makan siang nanti."

Kail Fudhail tidak satu pun menghasilkan ikan, sedangkan kail Ahmad telah memperoleh sejumlah ikan yang besar.
Fudhail menjadi cemburu dengan keberhasilan Ahmad.
"Apa rahasianya, Ahmad?" tanya Fudhail.
"Sebelum memasukkan kail, aku membaca bismillah," jawab Ahmad tenang.

Ahmad lalu berkata lagi, "Wahai Sahabatku, hingga sekarang, aku sungguh heran dengan nasi yang habis tidakjelas rimbanya. Apakah kau benar-benar tidak tahu siapa yang melakukannya?"
Fudhail menggeleng, "Aku benar-benar tidak tahu wahai Ahmad."

"Sahabatku, aku kasihan kepada orang itu. Dia mungkin benar-benar lapar hingga menghabiskan nasi tanpa izin pemiliknya. Sesungguhnya, hal itu hukumnya haram. Jika aku bertemu dengan orang itu, aku akan memberikan ikan-ikan ini untuknya agar apa yang dia makan halal dan mengenyangkan perutnya yang lapar." Mendengar ucapan Ahmad, muncullah sikap serakah Fudhail yang selama ini ditutupinya.

"Ahmad sahabatku, maafkan aku. Sebenarnya yang menghabiskan sisa nasi itu adalah aku. Aku sangat lapar saat itu dan nasi yang kauberikan sungguh enak, namun kurang mengenyangkan karena jumlahnya sedikit. Maafkan aku telah membohongimu."

Ahmad menatap Fudhail, lalu berkata, "Kau sungguh memiliki sifat serakah dan pembohong. Ambillah semua ikan ini untukmu. Jangan lagi bersahabat denganku," kata Ahmad meninggalkan Fudhail seorang diri. Fudhail hanya bisa menatap kepergian Ahmad dengan penuh penyesalan.

"Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu bila ia berbicara berdusta, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia berkhianat."

-HR Muslim

14 July 2013

Mungkin Ya, Mungkin Tidak

Pada zaman dahulu, disebuah desa tinggal seorang ulama yang bijaksana. Karena kebijaksanaannya, ulama ini selalu dijadikan tempat bertanya dan meminta nasihat orang-orang desa itu. Salah satu penduduk desa adalah seorang pedagang kecil yang setiap hari dengan menggunakan kereta kudanya berkeliling antar desa untuk berjualan.

Hingga pada suatu hari kuda satu-satunya itu mati mendadak. Dia kebingungan karena tidak siap untuk mencari kuda pengganti. Apalagi untuk membeli kuda baru ia belum punya uang. Kebingungannya bertambah-tambah karena barang dagangannya yang berupa sayur mayur menjadi layu dan busuk.

Dengan sedih hati pedagang tadi menemui sang ulama."Kyai, tolonglah saya, saya sedang mendapat musibah, kuda satu-satunya yang merupakan tulang punggung saya untuk mendapatkan nafkah telah mati. Harus kemana saya bisa mendapatkan uang untuk anak istri? Ini adalah musibah yang buruk yang menimpa saya," kata sang pedagang.

Ulama itu lalu berkata,"Mungkin ya, mungkin juga tidak." Sehingga pedagang sayur yang mendengar jawaban ulama merasa bingung, bahkan menganggap ulama tersebut sedang kacau pikirannya.

Namun keesokan harinya, tiba-tiba dihalaman rumah pedagang, muncul seekor kuda yang masih muda. Dalam hatinya timbul pertanyaan,"Ini kuda siapa?." Ia pun menangkap kuda itu. Maka bahagialah pedagang ini. Kuda yang ditangkapnya lebih muda, kekar dan sehat dibandingkan kudanya yang mati.

Ia datang kembali kepada ulama dan berkata,"Kyai, maafkan saya ternyata ucapan kyai benar. Sekarang saya mempunyai kuda yang lebih baik dibandingkan kuda saya yang dulu. Bukankah ini adalah hal yang terbaik yang saya dapatkan?."

Ulama itu berkata,"Mungkin ya, mungkin juga tidak." Pedagang itu kecewa dengan ucapan sang ulama. Dia pun pulang sambil geleng-geleng kepala. "Ulama itu pasti sedang stres batinnya." gumam pedagang.

Beberapa hari kemudian, anaknya yang masih muda mencoba menaiki kuda baru itu. dia jatuh dan kakinya diinjak oleh kuda. Akibatnya kaki anaknya patah. Betapa kecewa dan sedihnya pedagang itu karena anak lelakinya yang diharapkan menjadi penerus usahanya, kakinya kini lumpuh. Pedagang ini pun kembali mendatangi sang ulama dan berkata, "kyai, saat ini saya benar-benar mendapat musibah, anak saya kini tak bisa membantu usaha saya. Sekarang kakinya lumpuh tak bisa bergerak. Kini kyai pasti setuju musibah ini adalah hal terburuk yang saya alami."

Ulama itu berkata,"Mungkin ya, mungkin juga tidak." mendengar ucapan kyai pedagang kembali kecewa. Dan bahkan sekarang merasa marah. Dia pun pulang sambil menggerutu.

Sebulan kemudian, kerajaan dinegara tersebut berperag dengan kerajaan lain. Dikarenakan kekurangan tentara, kerajaan mewajibkan setiap pemuda yang berbadan sehat untuk menjadi tentara. Karena lumpuh anak pedagang itu dibebaskan dari kewajiban itu. Kini sang pedagang bersyukur, dan mengerti maksud dari ucapan ulama bijaksana itu.

Demikian manusia, sering terlalu cepat menyimpulkan sesuatu. Padahal yang kita sukai belum tentu baik bagi kita, dan hal yang kita benci belum tentu buruk untuk kita.

11 July 2013

Andai Aku Boleh Memilih?

Jam 24 malam saya baru tiba dirumah. Perjalanan dari Jakarta menuju Pandeglang hari itu terasa lebih panjang. Alasan apalagi kalau bukan karena kemacetan akut yang menyerang Jakarta hampir disemua ruas jalan.

Suami saya menunggu di depan teras rumah. Secangkir kopi susu hangat menemaninya menghalau dinginnya udara luar. Dia selalu begitu. Teras itu menjadi ruang favoritnya ketika malam tiba.

Kedua anak saya telah tertidur lelap di tempat tidur terpisah. Setelah mandi dan baca koran sebentar, akhirnya tiba untuk tenggelam dalam lelap dan nyenyak. Entah berapa lama terpejam, tiba-tiba terasa ada yang menarik tangan saya dengan sangat hati-hati. Kemudian tangan ini dielus dan diciuminya dengan lembut.

Saya berusaha memicingkan mata, oh, rupanya anak pertama saya Annisa (9 tahun) yang melakukannya. Saya tidak langsung bereaksi. Sengaja membiarkan ini berlanjut. Kemudian dia menempelkan tangan lembutnya kepipi saya. Dengan sangat perlahan dia berbisik: "Bu, ..ibu.bangun bu, pindah yuk, bobonya sama Nisa.."

Kami beranjak perlahan, khawatir membangunkan suami. Kemudian, saya dan Nisa tidur di bawah satu selimut besar. Dingin agak berkurang. Jam di Handphone menunjukkan pukul 02:00 dinihari. Tak sabar Nisa memulai pembicaraan.

"Bu, Nisa lagi buat gelang dan kalung dari manik-manik untuk dijual". 

"Jualannya ke mana?" 
"Tadi sih muter kerumah temen-temen. Sebelumnya dijual disekolah". 
"Laku gak?" 
"Ada yang laku ada yang nggak. Uang nya sudah dibelikan manik-manik lagi. Besok mau buat lagi. "
"Yang bikin gelang dan kalungnya siapa? Nisa sendiri?" 
"Bukan. Bertiga sama Teh Rifda dan Fajrin. Teh Rifda digaji 1. 000, kalau Fajrin 500. "

Saya menahan senyum di tengah gelap. Terasa lucu mendengar kalimat terakhirnya. Entah bagaimana cara mereka bersepakat menentukan gaji dalam nilai rupiahnya. Malam itu, spesial dia membangunkan saya untuk membagi cerita serunya.

** 

Saya tengah ingin melempar waktu ke beberapa tahun yang lalu. Pada suatu kesempatan berbincang dengannya, Saya mengajukan pertanyaan standar untuknya. 
"Nisa punya cita-cita apa nak..? 
"Nisa pengen jadi seperti ibu. Ibu jadi apa tuh sekarang? Akuntan ya? Nisa mau seperti itu, kerja dengan komputer.." serangkaian kalimat tadi lancar meluncur tanpa beban.

"Oh, iya. Kalau gitu Nisa harus rajin belajar supaya cita-citanya tercapai.."

"Iya Bu. Nanti kalau Nisa sudah kerja, kita kekantornya bareng ya. Nisa maunya satu kantor sama ibu. Ntar ibu yang ongkosin Nisa ya"

"Iya" ada tawa yang tertahan. Obrolan masih berlanjut..

"Ntar kita duduknya bareng ya Bu, Satu meja" Saya tersenyum dalam hati. 
Dia berfikir dengan caranya sendiri.

Kemudian, dia melanjutkan lagi, 
"Ntar kita makannya bareng, pulangnya juga bareng"

Saya tak tahan untuk segera menggodanya: 
"Iya, ntar naik ojeknya juga bareng. Nisa tetap duduk di depan ya?"

Dia berfikir sebentar, kemudian menjawab: 
"Wah, kayaknya nggak bisa deh bu, ntar kan badan nisa sudah gede, tukang ojeknya nanti terhalang oleh badan Nisa"

"Oh iya ya" saya manggut-manggut serius, mengiyakan argumennya. Kemudian, di tengah suasanan hati saya yang tak jelas antara gembira, haru, terenyuh dan lucu tersebut, saya mengajukan satu pertanyaan lagi untuknya.

"Kenapa Nisa ingin bekerja menjadi seperti ibu?"

Dengan kilat binar matanya yang bening dia menjawab lugas dan tuntas.

"Nisa ingin terus bersama ibu. Nisa ingin ke mana-mana bareng sama ibu. Pokoknya Nisa gak mau jauh dari ibu. Kalau Nisa bekerja seperti ibu, berarti kan Nisa bisa samaan terus dengan ibu..."

Tuhan.., itulah jawaban yang sebenarnya. Jawaban yang membuat jantung ini seolah dihantam godam berton-ton beratnya. Seketika hati saya berkabut. Saya sedih dan terenyuh dengan cita-citanya itu.

Tadinya saya menduga bahwa dia memimpikan profesi saya. Bahwa dia mengenal dan ingin menjadi seperti saya. Ada bangga menyelinap ketika pembicaraan itu berlangsung. Saya seolah menjadi model yang sempurna untuknya. Namun, sesungguhnya bukan itu yang menjadi alasan akan cita-citanya. Dia merindukan saya. Dia menginginkan kehadiran ibu dalam setiap saat waktu yang dilewatinya. Dia menginginkan kebersamaan itu.

Kemudian, dengan kapasitas berfikir anak usia 6 tahun, dia berusaha mencari jalan keluar atas keinginan yang belum didapatkannya. Dia tengah menyusun taktik. Dalam gambarannya, jika dia kelak menjalani profesi seperti ibu, maka dia tidak akan kehilangan kebersamaan dengan sosok yang dirindukannya itu.

Saya menangis haru atas cita-citanya itu. Jika mungkin saya boleh memilih, ingin rasanya menemaninya setiap saat, ingin menjadi orang pertama yang menyaksikan setiap perkembangannya, ingin mendampinginya dalam setiap kesempatan suka dan dukanya, ingin melewati kebersamaan lebih panjang lagi. Melewati setiap rangkaian peristiwa dengan kedekatan yang sesungguhnyapun saya merindukannya. Untuk saat itu saya membiarkan hati saya berduka. Saya mengakui akan kesedihan itu.

Bukan, bukan karena ingin meratapi nasib! Saya tidak tengah menyesali akan tugas yang tengah dijalani. Tugas yang telah menyita sebagian waktu kehidupan yang dimiliki. Saya hanya tengah ingin berdamai dengan kenyataan. Mencari cara agar hilang segala kesedihan, untuk kemudian berdamai dengan perasaan sendiri.

Walau bagaimanapun saya sangat yakin, ada potongan puzzle kehidupan yang harus diselesaikan satu persatu dengan sepenuh ikhlas. 
Dan mungkin kini, sudah saatnya harus memiliki strategi untuk beranjak kepada potongan berikutnya.

Dan sekarang, saya tengah menyusun dan mewujudkan ‘ingin’ itu. Walaupun mungkin tak ideal seperti yang lainnya. Namun saya akan terus berdoa dan berusaha. Saya ingin selamat menyusun sisa rangkaian kehidupan yang saya miliki, yaitu melewati kebersamaan dengan penuh makna dan cinta dengan anak-anak tercinta itu.

10 July 2013

Arti Kesabaran

Kehidupan keras, himpitan masalah diniscayakan sebagai salah satu penyebab seseorang bisa mengalami gangguan terhadap keseimbangan jiwanya. Bahkan sampai menimbulkan goncangana jiwa yang melanda umat manusia.

Dalam kehidupan rumah tangga sering kita menghadapi masalah yang ruwet dari kenakalan anak-anak sampai kontrakan rumah yang belum terbayar. Belum lagi biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin tidak terjangkau. Semua masalah memerlukan cara yang tepat untuk bisa mengatasinya.

Masalahnya, setiap orang memiliki ketahanan yang berbeda-beda dalam menyikapinya. Ada pula mereka yang sangat rapuh mudah goyah dan mengeluh. Ketika mereka mengalami masalah yang agak berat tak jarang mereka putus asa bahkan ada yang sampai mengakhiri hidupnya.

Fondasi agama merupakan landasan yang kuat dalam menghadapi semua tantanga kehidupan sebab Allah swt menegaskan di dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 155-156.: Dan akan kami (Allah) berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka berkata: sesungguhnya kami Kepunyaan Allah dan kepadaNya kami akan kembali.

Maka keberhasilan menjalani hidup ini adalah ikhtiar, tawakal dan sabar. Ikhtiar dengan usaha semaksimal mungkin mencapai nikmat Allah Swt diiringi doa dan tawakal. Ketika hasilnya kurang memuaskan maka bersabarlah.

Setiap orang menginginkan untuk dapat tetap tegar dalam menjalani ketentuan Allah yang tidak sesuai dengan keinginan kita atau ketika menghadapi orang yang berlaku dzalim kepadanya. Islam mengajarkan bahwa ketegaran ini hanya dapat diperoleh melalui sikap sabar yang disertai dengan permohonan khusuk kepada Allah melalui shalat.

Bersabar hampir mustahil dapat dilakukan , bila kita tidak memiliki pengertian sebagai berikut :

1. Mata dan Telinga Sarana Allah Untuk Menguji Manusia.
Sebagaimana Allah berfirman, "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan ia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan adapula yang kafir." (Al-Insaan : 2, 3)

2. Sabar Tidak Ada Batasnya.
Yang dimaksud dengan sabar ialah menahan diri pada saat menerima musibah ataupun pada waktu mampu berbuat untuk tidak bertindak mengikiti hawa nafsu yang bertentangan dengan peraturan Allah (Al-Qur’an) dan petunjuk Rasullullah saw (hadits).

Orang yang taat mengikuti petunjuk Allah dan Rasullullah saw dijamin dunia akhiratnya.
"Barang siapa diantara kamu yang patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mengerjakan perbuatan yang baik, niscaya akan kami berikan pahala dua kali lipat dan untuk mereka kami sediakan rezeki yang banyak." (Al-Ahzab : 31)

"Barang siapa yang mengikuti petunjukku niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka dan baginya siksa yang menghinakan." (An-Nisaa :13, 14)

3. Sabar Adalah Jalan Pemecahan Yang Terbaik.
Sabar sebagi jalan keluar yang terbaik, telah diakui secara universal kebenarannya. Siapa pun yang mau berfikir dengan jernih.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an, "Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang setimpal dengan siksaan yang ditimpakan kepada kamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang bersabar." (An-Nahl: 126)

Lukman Al-Hakim berkata, "Wahai anakku, barangsiapa mengatakan bahwa kejahatan bisa memadamkan kejahatan, suruhlah ia menyalakan dua api, kemudian suruhlah ia melihat apakah api yang satu bisa memadamkan api yang lain. Sesungguhnya kebaikan itu akan memadamkan kejahatan seperti halnya air memadamkan api. Wahai anakku, berbuat baiklah kepada siapa yang berbuat buruk kepadamu. Tanamlah perbuatan yang baik, niscaya engkau menikmati hasilnya. Ingatlah, barangsiapa menghunus pedang kedzaliman, ia sendiri yang akan terbunuh pedang kedzaliman. Dan barangsiapa menggali lubang kejahatan untuk menjerumuskan saudaranya, ia sendiri yang akan terjerumus ke dalamnya."

Syadina Ali bin Abi Thalib r.a, berkata, "Orang yang bersabar pasti mendapat kemenangan, walau tertunda."

4. Sabar Adalah Perintah Allah
Dengan memahami bahwa sabar adalah perintah Allah, maka lakukanlah sabar bukan lantaran terpaksa, namun lakukan dengan penuh niat bahwa ini perintah Allah yang harus ditaati dan dilaksanakan, sebagaimana kita ikhlas mengerjakan shalat.

Indicator keberhasilan pelaksanan sabar adalah rasa ikhlas.
Allah swt berfirman, "Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya." (Ar-Ra’d:22)

Renungkanlah sabda Rasullullah saw berikut ini, "Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba maka Dia tenggelamkan hamba tersebut kedalam cobaan. Barangsiapa yang tidak pernah mengalami musibah, maka ia jauh dari kasih sayang Allah."

07 July 2013

Rumus Melibatkan Allah Dalam Berbisnis

“Barangsiapa yang membantu menghilangkan satu kesedihan (kesusahan) dari sebagian banyak kesusahan orang mukmin ketika didunia maka Allah akan menghilangkan satu kesusahan (kesedihan) dari sekian banyak kesusahan dirinya pada hari kiamat kelak”

Siapa sih manusia yang tidak mengalami ujian dan cobaan dalam kehidupannya. Apalagi dalam menjalankan bisnis, ujian naik turun itu menjadi suatu hal yang berulang terjadinya. Ketahuilah setiap hamba Allah pasti mengalami masalah, mengalami kedukaan maupun kesukacitaan , tidak ada satupun yang terlepas dari seleksi Allah. Ujian dan cobaan kepada hamba Allah tersebut untuk menguji siapa yang lebih baik amalnya.

Justru menurut hadist di atas, dan itu adalah sunnah Allah, dikala kita mengalami kesulitan dan kesusahan dalam menghadapi ujian kehidupan, dan kita berharap sekali untuk diangkat kesulitan oleh Allah, justru salah satu solusinya adalah dengan membantu dan menyelesaikan kesusahan hamba yang lain. konsep ini sangat sulit dipahami dengan ilmu keduniaan, apalagi ilmu matematis. tapi inilah hukum Allah, inilah sunnatuLlah. inilah cara agar Allah terlibat! Mulailah dengan cara ini, niscaya permasalahan perekonomian umat akan tuntas.

Ingatlah sebuah contoh nyata yang pernah diabadikan dalam kisah sahabat Abdurrahman bin Auf ra dengan dipersaudarakan Saad bin Rabi ra dari Madinah.

Berkatalah Saad kepada Abdurrahman, Wahai saudaraku, aku adalah penduduk madinah yang kaya raya. Silahkan pilih separuh hartaku dan ambillah, dan aku mempunyai dua isteri, pilihlah salah satu yang menurut anda lebih menarik,dan akan aku ceraikan dia supaya anda bisa memperisterinya.

Jawab Abdurrahman bin Auf, “Semoga Allah memberkati anda, isteri anda dan harta anda. Tunjukkanlah jalan menuju pasar.”

Kemudian abdurrahman menuju pasar, membeli, berdagang dan mendapat untung besar, ketahuilah Allah terlibat! Allah berkahi saling tolong menolong tersebut, saling mendahulukan kepentingan saudaranya.

Pada suatu hari ia mendengar Rasulullah SAW, “Wahai Ibnu Auf, anda termasuk golongan orang kaya, dan anda akan masuk surga secara perlahan lahan. Pinjamkanlah kekayaan itu kepada Allah, pasti Allah mempermudah jalan anda,” semenjak ia mendengar nasehat Rasulullah Saw tersebut, ia mengadakan pinjaman yang baik, maka Allah pun memberi ganjaran padanya dengan berlipatganda.

Ibnu Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya, bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya. Sebagai buktinya, ia tidak mau celaka dengan menyimpannya. Ia mengumpulkannya dengan santai dan dari jalan yang halal, tetapi ia tidak menikmati sendirian, keluarga, kerabat saudara dan masyarakat pun ikut menikmatinya. Karena begitu luas pemberian serta pertolongannya, orang orang madinah pernah berkata: “seluruh penduduk madinah berserikat (menjalin usaha) dengan Abdurrahman bin Auf pada hartanya. Sepertiga dipinjamkannya kepada mereka, sepertiganya digunakan untuk membayar hutang hutang mereka, dan sepertiga sisanya diberikan dan dibagi bagikan kepada mereka.”

Mereka saling mendahulukan kepentingan saudaranya, Allah bukakan keberkahan, Allah bukakan peluang menguasai ekonomi ummat, Pasar Madinah yang tadinya dikuasai yahudi berpindah ke tangan muslimin, berawal dari sikap tolong-menolong (ta’awun) sesama muslimin, bermula dari saling memecahkan masalah saudaranya, menjadi penguasa ekonomi saat itu, inilah hukum Allah, inilah sunnatullah.

Inilah cara melibatkan Allah… bukan dengan cara bersaing dengan pebisnis non-muslim melalui sistem yang dibuat oleh non-muslim juga, MUSTAHIL akan tampil. Bila ingin ummat ini kembali lagi menuju kejayaannya tidak pernah terjadi dan unggul melalui sistem buatan manusia. Kalau mau tampil harus kembali bersandarkan kepada SunnatuLLah dan Sunnah RasulNya.

06 July 2013

Rajinlah Shalat TAHAJUD, Ini Manfaatnya

Setiap Muslim seharusnya memiliki keinginan kuat untuk melaksanakan shalat Tahajud setiap malam hingga menjadi terbiasa. Orang-orang saleh zaman dahulu tekun menjalankannya, baik pada musin panas maupun dingin.

Mereka memandang seolah- olah shalat Tahajud itu adalah sesuatu yang wajib (HR Tirmidzi).

Jika terlewatkan sekali saja, mereka menganggap itu sebagai musibah yang besar. Pastinya, selain sebagai ‘mesin keimanan’, Tahajud memberikan banyak manfaat besar dalam kehidupan mereka yang istiqamah menjalankannya. Di antaranya,

pertama, untuk menjaga kesehatan. Tidak diragukan lagi, shalat Tahajud menjadi terapi pengobatan terbaik dari berbagai macam penyakit. Karena itu, orang-orang yang membiasakan diri untuk Tahajud akan memiliki daya tahan tubuh sehingga tak mudah terserang penyakit. Rasulullah SAW bersabda,

"Lakukanlah shalat malam karena itu adalah tradisi orang-orang saleh sebelum kalian, sarana mendekatkan diri kepada Allah, pencegah dari perbuatan dosa, penghapus kesalahan, dan pencegah segala macam penyakit dari tubuh." (HR Tirmidzi).

Kedua, menjaga ketampanan atau kecantikan. Setap manusia pasti mendambakan ketampanan atau kecantikan dalam dirinya. Melalui terapi shalat Tahajud, seseorang dapat meraih apa yang didambakannya tanpa mengeluarkan biaya sepersen pun. Yaitu, jaminan ketampanan atau kecantikan yang dihasilkan dari shalat Tahajud tidak terbatas pada tampilan lahir, juga dapat menghasilkan ketampanan atau kecantikan batin. Rasulullah SAW bersabda,

"Barang siapa yang banyak menunaikan shalat malam, maka wajahnya akan terlihat tampan atau cantik di siang harinya." (HR Ibnu Majah).

Ketiga, shalat Tahajud juga diyakini dapat meningkatkan produktivitas kerja yang berbasis spiritualitas. Karena itu, salah satu program untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) yang andal secara intelektual, emosional, dan spiritual adalah membiasakan shalat Tahajud pada setiap malamnya. Rasulullah SAW bersabda,

"Setan membuat ikatan pada tengkuk salah seorang di antara kalian ketika tidur dengan tiga ikatan dan setiap kali memasang ikatan dia berkata: ‘Malam masih panjang, maka tidurlah.’ Jika orang tadi bangun lalu berzikir kepada Allah SWT, terlepas satu ikatan. Jika dia berwudhu, terlepas satu ikatan yang lainnya. Dan jika dia melaksanakan shalat, terlepas semua ikatannya. Pada akhirnya, dia akan menjadi segar (produktif) dengan jiwa yang bersih. Jika tidak, dia akan bangun dengan jiwa yang kotor yang diliputi rasa malas." (HR Bukhari).

Keempat, mempercepat tercapainya cita-cita dan rasa aman. Selain dengan usaha (ikhtiar) secara maksimal guna menggapai cita-cita dan rasa aman, seseorang hendaknya membiasakan diri untuk shalat Tahajud karena doa yang mengiringi Tahajud akan dikabulkan oleh Yang Maha Mengabulkan. Rasulullah SAW bersabda,

"Ketahuilah sesungguhnya Allah tertawa terhadap dua orang laki-laki: Seseorang yang bangun pada malam yang dingin dari ranjang dan selimutnya, lalu ia berwudhu dan melakukan shalat. Allah berfirman kepada para malaikat-Nya, ’Apa yang mendorong hamba-Ku melakukan ini?’ Mereka menjawab, ’Wahai Rabb kami, ia melakukan ini karena mengharap apa yang ada di sisi-Mu.’" Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku telah memberikan kepadanya apa yang ia harapkan (cita-citakan) dan memberikan rasa aman dari apa yang ia takutkan." (HR Ahmad).

05 July 2013

12 Barisan di Akhirat

Suatu ketika, Muadz bin Jabal ra menghadap Rasulullah saw dan bertanya: "Wahai Rasulullah, tolong uraikan kepadaku mengenai firman Allah SWT: "Pada saat sangkakala ditiup, maka kamu sekalian datang berbaris-baris." (QS An-Naba’:18)"

Mendengar pertanyaan itu, baginda menangis dan basah pakaian dengan air mata. Lalu menjawab: "Wahai Muadz, engkau telah bertanya kepadaku, perkara yang amat besar, bahwa umatku akan digiring, dikumpulkan berbaris-baris." Maka dinyatakan apakah 12 barisan tersebut.....

Barisan Pertama Digiring dari kubur dengan tidak bertangan dan berkaki. Keadaan mereka ini dijelaskan melalui satu seruan dari sisi Allah Yang Maha Pengasih: "Mereka itu adalah orang-orang yang sewaktu hidupnya menyakiti hati tetangganya, maka demikianlah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."

Barisan Kedua Digiring dari kubur berbentuk babi hutan. Datanglah suara dari sisi Yang Maha Pengasih: "Mereka itu adalah orang yang sewaktu hidupnya meringan- ringankan sholat,maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."

Barisan Ketiga Mereka berbentuk keledai, sedangkan perut mereka penuh dengan ular dan kala jengking. "Mereka itu adalah orang yang enggan membayar zakat, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."

Barisan Keempat Digiring dari kubur dengan keadaan darah seperti air pancuran keluar dari mulut mereka. "Mereka itu adalah orang yang berdusta di dalam jual beli, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."

Barisan Kelima Digiring dari kubur dengan bau busuk dari bangkai. Ketika itu Allah SWT menurunkan angin sehingga bau busuk itu mengganggu ketenteraman di Padang Mahsyar. "Mereka itu adalah orang yang menyembunyikan perlakuan durhaka takut diketahui oleh manusia tetapi tidak pula merasa takut kepada Allah SWT, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."

Barisan Keenam Digiring dari kubur dengan keadaan kepala mereka terputus dari badan. "Mereka adalah orang yang menjadi saksi palsu, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."

Barisan Ketujuh Digiring dari kubur tanpa mempunyai lidah tetapi dari mulut mereka mengalir keluar nanah dan darah. "Mereka itu adalah orang yang enggan memberi kesaksian di atas kebenaran, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."

Barisan Kedelapan Digiring dari kubur dalam keadaan terbalik dengan kepala ke bawah dan kaki ke atas. "Mereka adalah orang yang berbuat zina, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."

Barisan Kesembilan Digiring dari kubur dengan berwajah hitam gelap dan bermata biru sementara dalam diri mereka penuh dengan api gemuruh. "Mereka itu adalah orang yang makan harta anak yatim dengan cara yang tidak sebenarnya, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."

Barisan Kesepuluh Digiring dari kubur mereka dalam keadaan tubuh mereka penuh dengan penyakit sopak dan kusta. "Mereka adalah orang yang durhaka kepada orang tuanya, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."

Barisan Kesebelas Digiring dari kubur mereka dengan berkeadaan buta mata-kepala, gigi mereka memanjang seperti tanduk lembu jantan, bibir mereka melebar sampai ke dada dan lidah mereka terjulur memanjang sampai ke perut mereka dan keluar beraneka kotoran. "Mereka adalah orang yang minum arak, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka..."

Barisan Kedua Belas Mereka digiring dari kubur dengan wajah yang bersinar-sinar laksana bulan purnama. Mereka melalui titian sirat seperti kilat. Maka, datanglah suara dari sisi Allah Yang Maha Pengasih memaklumkan: "Mereka adalah orang yang beramal saleh dan banyak berbuat baik. Mereka menjauhi perbuatan durhaka, mereka memelihara sholat lima waktu,ketika meninggal dunia keadaan mereka sudah bertaubat, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah syurga, mendapat ampunan, kasih sayang dan keredhaan Allah Yang Maha Pengasih..."

(Diriwayatkan oleh Muadz bin Jabal)

02 July 2013

Berani Tampil Apa Adanya

Saudaraku yang baik, kejujuran yang paling berharga pada diri kita adalah ketika kita berani tampil apa adanya. 

Kita tidak usah mengharapkan orang lain melihat diri kita lebih dari kenyataan. Kitapun tidak usah ingin kelihatan lebih pandai dan lebih cendekia. Tidak perlu ingin kelihatan lebih soleh dan lebih mulia. Yang harus kita miliki adalah kegigihan untuk terus memperbaiki diri. Puaskanlah diri kita dengan memiliki apa adanya dan terus menerus memperbaiki diri.

Sesungguhnya tipu daya kita kepada orang lain tidak akan membuat kita terhormat, melainkan membuat kita terpenjara dan terhina. Kehidupan yang berani apa adanya disertai dengan kegigihan terus memperbaiki diri, lambat laun akan membuat kita memiliki kemuliaan yang hakiki. Bahagia dan mulia dalam kemuliaan dunia wal akherat. Wallahu a`lam bish showab