28 September 2013

Siksa yang Tertangguhkan

Sering orang berkata katanya Allah berkuasa dan tak suka pada perbuatan-perbuatan yang kufur atau durhaka. Lalu, mengapa nyatanya orang-orang yang kelihatannya bergelimang dosa tetap saja ada bahkan seperti hidupnya lebih sejahtera, rezekinya mudah, serta hidup mewah? Sementara kita yang taat beribadah dan setiap waktu berdoa kepada Allah begini-begini saja, apa adanya, bahkan kadang hidup seperti banyak susah. 

Di sinilah sebenarnya ujian dan kekuatan rahasia Allah. Kita yang beribadah dan taat kepada Allah diberi porsi rezeki dan kesempatan yang terbatas tentu tak lepas dari rencana Allah yang akan memberi kebahagiaan kelak. 

Mendidik bersikap tawakal dan bersyukur, memandang harapan dalam janji-janji Allah yang diimani benar adanya, mengerti akan ibrah sejarah masa lalu, serta tetap dekat dan ditemani Allah sepanjang arung kehidupan yang dilaluinya. 

Sebaliknya mereka yang berbuat buruk, mengingkari ayat-ayat Allah, serta terjebak di pusaran kesibukan duniawi yang mempesona, sebenarnya hanya akan menikmati sementara saja karena di depan mereka ada jurang yang sangat dalam dan mengerikan. Siksaan yang tertangguh. 

Allah SWT menunjukkan ayat-ayat-Nya sebagaimana diingatkan dalam QS Al Isra 59 “Dan tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena itu telah didustakan oleh orang terdahulu. Dan telah Kami berikan kepada kaum Tsamud unta betina yang dapat dilihat (sebagai mu’jizat) tetapi mereka berlaku zalim (kepada unta itu). Dan Kami tidak mengirimkan tanda-tanda itu kecuali agar mereka takut”.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menerangkan bahwa Sunaid dari Sa’id bin Jubair bahwa kaum musyrik pernah berkata, ”Wahai Muhammad, kamu mengaku bahwa sebelum kamu, Allah juga mengutus para nabi yang lain. Di antara nabi itu ada yang dikaruniai mu’jizat dengan ditundukkan kepadanya angin yang berembus dengan baik menurut perintahnya kemana saja yang dikehendakinya. Di antara mereka juga ada yang diberi mu’jizat untuk menghidupkan orang yang telah mati. Oleh karena itu, jika kamu menginginkankami beriman dan mempercayaimu, berdoalah kepada Tuhanmu untuk kami dengan mengubah seluruh bukit Shafa ini menjadi bukit emas”.

Imam Ahmad meriwayatkan Ibnu Abbas ra menuturkan kaum kafir meminta kepada Nabi Muhammad untuk memperlihatkan mukjizat dengan mengubah bukit Shafa menjadi bukit emas dan menundukkan pegunungan menjadi tempat yang amat baik untuk bercocok tanam. 

Lalu dikatakan kepada Nabi Muhammad, “ Jika kamu mau, Kami akan menangguhkan kepada mereka, dan jika kamu mau Kami dapat mengabulkan permintaan mereka, tetapi jika mereka masih kafir, niscaya mereka akan binasa sebagaimana binasanya umat terdahulu”. 

Nabi menjawab, “Tidak, tapi tangguhkanlah mereka”. Kemudian Allah menurunkan ayat di atas. An Nasa’i meriwayatkan kisah ini dari jalan hadits Jarir.

Demikianlah Rosulullah SAW khawatir jika do’a dikabul dan bukit Shafa menjadi emas, mereka tetap saja kafir, karena “emas” sering membawa kerakusan, lupa diri, bahkan menjadi lebih durhaka lagi. Rosul memilih opsi penangguhan. 

Penangguhan adalah kesempatan agar ada waktu untuk menda’wahi kiranya mereka dapat beriman dan bertobat. Jika ternyata tidak, maka siksa yang tertangguh akan datang menurut kehendak Allah. Dan tentunya siksa akherat sudahlah pasti.

Kita saat ini suka membandingkan kehidupan kita sendiri yang “berat” melaksanakan sholat, shaum, atau ibadah lain dengan orang atau komunitas lain yang “ringan” menunaikan kewajiban. Mengapa mereka yang minim ibadah bahkan nampaknya tak beriman dan durhaka itu nampak begitu mudah untuk hidup jauh lebih sejahtera. Bisnis sukses, berkuasa, kendaraan dan rumah-rumah yang mewah. Gampang rezekinya. 

Perbadingan yang dibarengi rasa iri apalagi berprasangka buruk terhadap keadilan Allah sesungguhnya tidaklah patut, sebab semua itu berlaku hukum penangguhan. Allah akan memarahi dan mengadzab pada waktunya. Tidak ada perbuatan buruk yang tak tercatat, seluruhnya terdata dan akan dibukakan. Lalu catatan itu membuat penyesalan yang sangat mendalam. Tak ada waktu untuk perbaikan. Siksa yang tertangguhkan. 

“Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan). Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang diberikan, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa” (QS AL An’aam 44). 

Nah, di akhirat nanti yang banyak melakukan dosa serta melupakan urusan Allah selama di dunia, siksa penangguhan akan didapat. Diawali dengan mendapatkan catatan amal yang diterima dengan tangan kiri dan dari belakang.

“Dan adapun orang yang kitabnya diberikan di tangan kirinya, maka dia berkata “alangkah baiknya jika kitab tidak diberikan padaku, sehingga aku tak tahu bagaimana hisabku, wahai kiranya (kematian) itu yang menyudahi segala sesuatu, hartaku sama sekali tak berguna bagiku, kekuasaanku telah hilang dariku” (QS AL Haqqah 25-29).

“Dan adapun orang yang yang catatannya diberikan dari arah belakang, maka dia akan berteriak “Celakalah aku !”. (QS Al Insyiqaq 10-11).

27 September 2013

Melihat Pahala Saat Sakaratul Maut

Pahala dari apa yang kita perbuat ternyata akan diperlihatkan juga saat sakaratul maut. Begitu juga yang dialami oleh seorang sahabat Rasulullah SAW berikut ini.
Pada suatu saat Nabi Muhammad SAW didatangi oleh istri seorang sahabat yang baru saja meninggal dunia. Ia terlihat gundah gulana dan Rasul pun menanyakan hal apa yang membuat ia bingung.

Dan istri sahabat itu kemudian menceritakan penggalan- penggalan ucapan suaminya saat sakaratul maut.
"Ya Rasul, ia mengucapkan, Seandainya lebih panjang....,
Seandainya lebih panjang...Seandainya lebih panjang..., kemudian terdiam.
Tak lama kemudian suamiku berucap lagi, Seandainya yang baru...Seandainya yang baru..., kemudian terdiam lagi. Tak lama berucap lagi, Seandainya semuanya...seandainya semuanya...," jelas wanita itu.

Isyarat amal "Jangan resah, akan aku jelaskan maksud dari kata-kata suamimu," jawab Rasulullah. Lalu Rasulullah menjelaskan.

Pertama.
Saat suaminya mengatakan seandainya lebih panjang, itu bermula saat suamimu pada suatu subuh sedang berjalan menuju masjid, ia mendapati seorang tua yang buta sedang berjalan tertatih-tatih menuju masjid.

Melihat orang tua yang buta itu hatinya tersentuh, kemudian dengan sabar ia menuntun orang tua itu sampai ke masjid untuk shalat subuh berjamaah. Pahala atau ganjaran dari perbuatan baiknya itu ditampakkan di depan matanya saat ia sakaratul maut. Karena begitu indahnya ganjaran itu, maka ia berucap, "Seandainya lebih panjang...seandainya lebih panjang..., maksudnya adalah seandainya lebih panjang lagi ia menuntun orang tua yang buta itu menuju masjid, maka ganjaran yang ia lihat saat sakaratul maut itu tentu lebih indah lagi." Kemudian Rasulullah SAW melanjutkan penjelasannya.

Untuk yang kedua, suamimu mengucapkan "seandainya yang baru."
Ia mengucapkan itu karena ia teringat dengan perbuatannya pada suatu haru, ketika ia pulang dari membeli baju di pasar, ia bertemu dengan seorang miskin yang tidak memakai baju.

Melihat hal itu, tersentuhlah hatinya untuk memberikan bajunya.
Maka suamimu itu segera menukar bajunya yang lama dengan yang baru, kemudian bajunya yang lama itu diberikan kepada orang miskin itu. Pahala atau ganjaran dari perbuatan baiknya itu ditampakkan di depan matanya saat sakaratul maut.

Karena begitu indahnya dengan yang dia lihat, ia berucap,"Seandainya yang baru...seandainya yang baru..."
Maksudnya adalah seandainya pakaian yang baru yang ia berikan kepada orang miskin itu, tentu ganjaran yang diperlihatkan padanya saat sakaratul maut tentu akan lebih indah lagi.

Gelisah Hati Istri Sahabat Hilang Rasul kembali menjelaskan, suatu hari sepulang dari bekerja, suamimu itu merasakan lapar dan dahaga. Lalu ia pun menuju tempat makan dan sesampainya di sana, ia pun telah siap duduk untuk menyantap hidangan makannya.

Saat ia hendak makan, terlihat seorang yang berpakaian lusuh dan wajahnya pun terlihat lesu. Ternyata orang tersebut adalah seorang pengemis yang lapar. Sebenarnya, suamimu merasakan lapar yang sangat, hanya saja ia merasa iba dengan pengemis itu. Akhirnya dibagi dualah makanan yang hendak ia santap itu bersama si pengemis.

Pahala atau ganjaran dari perbuatan baiknya itu ditampakkan di depan matanya saat ia sakaratul maut. Karena begitu indahnya ganjaran yang ia terima karena membagi dua jatah makanan itu, maka ia berucap,"

Seandainya semuanya... seandainya semuanya..."
Maksudnya adalah seandainya ia memberikan semua jatah makanannya kepada pengemis itu, tentu ganjaran yang diperlihatkan kepadanya saat sakaratul maut akan lebih indah lagi daripada yang ia dapat.

Setelah mendengar penjelasan panjang dari Nabi Muhammad itu, maka hilanglah kegelisahan hati sang istri sahabat.

Ia bergembira karena ternyata suaminya banyak mendapat kabar gembira saat menghadapi sakaratul maut.

26 September 2013

Menggantungkan Harapan Hanya Kepada Allah!

Pada jaman Bani Israil, ada dua orang bersaudara, yang satu mukmin (muslim) dan yang satunya lagi kafir. Keduanya bekerja sebagai nelayan. Sebelum melempar jaringnya, si kafir bersujud dahulu kepada berhala, setelah itu baru melemparnya ke laut. Tak lama kemudian, jaring-jaring itu pun penuh dengan ikan, bahkan hampir-hampir la tidak kuat mengangkatnya. Sementara si mukmin juga melemparkan jaringnya, ketika jaring diangkat ia hanya mendapatkan seekor ikan. Akan tetapi ia tetap memuji, bersyukur dan bersabar kepada takdir Aliah.

Suatu hari, istri si mukmin naik ke atas loteng, tiba-tiba ia melihat istri saudara suaminya yang kafir tadi mengenakan perhiasan yang indah, maka hatinya digoda dan dikuasai setan. Berkatalah istri si kafir, "Bilang pada suamimu agar menyembah Tuhan suamiku, supaya kamu bisa mengenakan perhiasan yang indah seperti aku!"

Lalu istri si mukmin turun dalam keadaan gundah. Ketika sang suami datang dan ia mendapati istrinya dalam keadaan berubah raut wajahnya, maka sang suami bertanya, "Apa yang telah terjadi padamu?"

Istrinya menjawab, "Pilih salah satu, engkau ceraikan aku, atau sembahlah Tuhan yang disembah saudaramu!"
Si suami pun kaget, "Masya Allah!" ia terkejut. Lalu berkata, ’’Apakah kamu tidak takut kepada Allah? Apakah kamu akan kufur setelah beriman?"

Istrinya menyahut, "Jangan terlalu banyak menasihatiku! Tidakkah kamu lihat, aku tidak memiliki apa-apa, sementara orang lain menggunakan perhiasan yang mahal." 

Ketika si mukmin melihat kesungguhan istrinya, ia pun berkata, "Janganlah kamu mengeluh! Insyaallah, besok aku akan bekerja pada seseorang yang setiap hari akan menggajiku dua dirham. Lalu aku akan memberikannya padamu, supaya kamu bisa berhias diri."

Si istri pun setuju. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, si suami sudah pergi ke tempat berkumpul para pekerja dan duduk di antara mereka, tetapi sampai sore hari tidak ada seorang pun yang menyewanya. Ketika ia putus harapan dari orang yang mempekerjakannya, maka ia berjalan menuju pantai dan beribadah sampai malam, kemudian ia pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, istrinya bertanya, "Dari mana saja kamu?"

Suaminya, "Aku dari seorang majikan, dia berjanji untuk mempekerjakanku selama tiga puluh satu hari." Istrinya bertanya lagi, "Berapa gaji yang diberikan padamu?"

Suaminya menjawab, "Majikanku itu dermawan, hartanya tak terhitung, dia berjanji kalau aku mau bekerja padanya tiga puluh satu hari, maka ia akan memberikan apa yang aku inginkan."

Istrinya menerima. Kemudian, setiap hari si suami tadi mendatangi pantai dan beribadah di sana, sampai pada hari yang ketiga puluh istrinya berkata, "Jika sampai besok kamu tidak mendapatkan apa-apa, maka ceraikan aku!"

Esok paginya, sang suami pergi lagi karena takut ancaman istrinya. Lalu ia bertemu seorang Yahudi dan bertanya, "Apakah kamu mau bekerja?"
"Ya," jawabnya.

Yahudi mensyaratkan agar orang tadi tidak makan ketika bekerja padanya. Maka ia pun berpuasa pada hari itu. Kemudian Aliah memberikan wahyu kepada Jibril agar Jibril membawa baki cahaya yang berisi dua puluh sembilan dirham untuk diberikan pada istri orang yang beriman tadi. Allah berfirman, "Berikanlah uang ini dan berkatalah padanya bahwa engkau adalah pesuruh raja, dan raja berpesan padamu, ’Selama ini suamimu bekerja pada-Ku dan Aku tidak pernah meninggalkanya sampai suamimu meninggalkan Aku, dan bekerja pada orang Yahudi. Jadi, pengurangan ini adalah sanksi karena suamimu telah mengikuti si Yahudi. Andaikan suamimu tetap bekerja pada-Ku, niscaya Aku akan menambahnya."

Kemudian perempuan tersebut mengambil satu butir dinar dan pergi ke pasar, ia pun menukarkan dinar tersebut dengan seribu dirham, karena pada mata uang tersebut terdapat tulisan: La ilaha ¡Hallah wahdahu la syarikalah.

’ Ketika sang suami pulang ke rumahnya, berkatalah istrinya, "Dari mana saja kamu?"
"Aku bekerja pada seorang Yahudi," jawab suaminya.

Si istri berkata lagi, "Hai, orang miskin! Bagaimana bisa kamu meninggalkan pelayanan terhadap majikan yang dermawan, lalu berpindah melayani yang lain?" Sang istri pun menceritakan semua kejadianya, sehingga menangislah ia sampai pingsan. Ketika tersadar, ia berkata pada istrinya, "Aku telah melayani si Yahudi dan melupakan hak-hak Sang Majikan yang Dermawan."

Lalu ia menceraikan istrinya dan pergi ke puncak gunung untuk beribadah di sana sampai mati.

23 September 2013

Kisah Petani Yang Menyesal

Di sebuah perkampungan, hiduplah seorang petani yang memiliki sebidang tanah pertanian. Pada awalnya, tanah yang dia miliki merupakan lahan yang subur dan produktif. Namun, karena kekurangpuasan si petani akan hasil yang diperolehnya, dia berpikir untuk melakukan pekerjaan lain yang dianggapnya lebih menggiurkan.

"Aku harus mencari pekerjaan lain!" kata si petani.
Petani itu tidak lagi menghiraukan lahannya. Akhirnya, lahan pertanian miliknya menjadi kering dan tandus.

Tersiar kabar, di sebuah kota ditemukan bijih emas. Petani yang ingin nasibnya berubah ingin ikut mencari emas tersebut. Ia dan seluruh masyarakat berbondong- bondong menuju kota tersebut. Bijih emas itu memang ditemukan, tetapi jumlahnya sedikit. Hal itu membuat banyak orang penasaran untuk terus mencari. Termasuk si petani.

"Kalau aku bisa mendapatkan emas lebih cepat, aku akan kaya!" pikir si petani.
Si petani kemudian menyusun rencana yang matang untuk melakukan pencarian harta karun itu. Mencari harta karun ternyata membutuhkan biaya yang banyak. Si petani lalu menjual lahannya karena dia merasa lahan
miliknya sudah tidak produktif lagi. Tetangga si petani adalah seorang yang suka bekeija keras. Dia melihat lahan yang tidak produktif itu bisa menjadi lahan yang produktif kembali jika diurus.

"Berarti lahan ini sudah menjadi milikku," kata si tetangga.
"Tentu saja! Uangmu aku terima," jawab si petani.

Hasil penjualan lahan digunakan si petani untuk diam di kota yang dianggap memiliki harta karun lebih banyak. Tetangga si petani itu mulai menggarap lahan dengan serius. Dia mencangkul dan kembali menggemburkan tanah, mengairinya, dan menanam tanaman yang dibutuhkan masyarakat. Hingga panen tiba, hasil yang didapatkan sungguh luar biasa. Hasil panen lebih dari yang diharapkan. Sekarang tetangga itu menjadi petani yang sukses.

Pada suatu hari, ketika lahan sedang dicangkuli untuk penanaman bibit yang kedua, tetangga petani melihat sinar gemerlap dalam tanah. Dengan rasa penasaran, dia mendekati sinar itu. Sebuah batu yang indah tampak di sana. Dia lalu mengambilnya dan membawanya ke kota untuk diperlihatkan pada tukang batu. Ternyata, batu yang diambilnya adalah sebuah permata yang mahal harganya.

Dia lalu pulang dan terus menggali lahan secara merata. Ditemukan begitu banyak batu permata di sana. Dia pun menjadi seorang petani yang sukses dengan limpahan harta. Si petani yang mencari harta karun mendengar kabar itu, dia menyesal tidak menyadari bahwa lahannyalah yang akan memberinya kekayaan. Dia kini hanya bisa menangis dan menyesal. 

"Barang siapa mengumpulkan harta dengan tidak sewajarnya (tidak benar) maka Allah akan memusnahkannya dengan air (banjir) dan tanah (longsor). "
-HR AL’BAIHAQI

18 September 2013

Menikmati Proses Hidup

Jangan pernah meremehkan kebaikan sekecil apa pun, bersegeralah untuk beramal karena kita tidak pernah tahu dari semua yang kita lakukan, yang manakah yang dapat membuat kita bisa berarti dan yang terpenting bisa bernilai di hadapan Allah Swt.. Dan jangan pula meremehkan dosa kecil karena bila ia dilakukan terus-menerus akan menjadi besar, menumpuk dan membuat kita terkejut. Kebermaknaan dan keberkahan usia kita tidak menjadi kumpulan angka-angka semata dapat terbentuk dari kumpulan kebaikan- kebaikan kecil dan dianggap sederhana. Ada sebuah pribahasa sunda "cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok" yang artinya tetesan air menimpa batu lambat laun menjadi lubang atau sedikit-sedikit lama-lama akan menjadi bukit. Kadangkala harus menjadi sebuah perenungan kembali bagi kita dalam mengatur langkah agar hidup ini semakin indah untuk dijalani.

Sekali lagi, terkadang sesuatu yang kecil itulah yang menjadi hal yang paling menentukan. Anda mungkin pernah mendengar nama salah seorang pendaki gunung terhebat dalam sejarah yaitu Sir Edmun Hillary, beliau adalah orang pertama kali menaklukan gunung Everest, puncak tertinggi di Pegunungan Himalaya pada tanggal 29 Mei 1953. Ketika berhasil membukukan namanya dalam sejarah dengan prestasi tersebut, para wartawan pernah dibuat terheran-heran oleh Sir Edmun Hillary ketika mereka mencoba menyelidiki sesuatu yang paling ditakutinya ketika melakukan pendakian ke gunung Everest tersebut.

Dalam sebuah wawancara, Sir Edmun Hillary mengatakan bahwa ia tidak pernah takut pada binatang buas, jurang yang curam, bongkahan es raksasa atau padang pasir yang luas dan gersang sekalipun. Namun jawabannya sangat di luar dugaan, ternyata dalam pendakian tersebut, beliau takut dengan sebutir pasir masuk di sela-sela jari kakinya. Beliau berpendapat bahwa hal tersebut bisa menjadi awal malapetaka karena sebutir pasir bisa masuk ke kulit kaki atau menyelusup lewat kuku, lama- lama jari kaki terkena infeksi lalu membusuk. Tanpa sadar kaki pun tidak bisa digerakkan. Itulah malapetaka bagi seorang penjelajah sebab dia harus ditandu.

Sekali lagi, Sir Edmun Hillary tidaklah takut pada harimau atau binatang buas lainnya karena secara naluriah binatang buas sebenarnya takut menghadapi manusia. Se¬dangkan untuk menghadapi jurang terjal, gunung es atau padang pasir, seorang penjelajah pasti sudah punya persiapan yang memadai. Tetapi jika menghadapi sebutir pasir yang akan masuk ke jari kaki, seorang penjelajah jarang mempersiapkannya, bahkan cenderung mengabaikannya.

Maka segeralah untuk melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, lalu nikmati prosesnya dengan kesabaran dan ketekunan. Tiada istilah menunda kebaikan sekecil apa pun, dan tidak boleh menyerah serta berputus asa. Berbuatlah dengan apa yang mampu kita lakukan. Meski namamu tak menghiasi media, atau kisahmu tak banyak orang yang tahu, namun di hadapan Allah Swt. bisa begitu bermakna, walaupun kecil dan sederhana dalam pandangan manusia.

16 September 2013

Maukah kau Berjanji ?

Sudah beberapa bulan aku berumah tangga. Tugas dan tanggung jawab rumah tangga banyak menyita waktu dan perhatianku. Aku tidak sadar bahwa aku telah menyia-nyiakan penampilanku. Aku tidak begitu peduli untuk tampil cantik di depan suami, aku tidak bisa lama-lama duduk di depan cermin. Apakah ini disebabkan oleh rasa percayaku bahwa Abdurrahman sangat mencintaiku dan tidak akan mencampakkanku, atau karena kesibukan rumah yang tidak memberikan waktu luang yang banyak bagiku untuk memperhatikan diriku?

Seperti yang aku bilang, aku tidak memperhatikan penampilanku kecuali ketika Abdurrahman mengagetkanku dengan sebuah pertanyaan, "Maukah kau berjanji kepadaku untuk menjadi istri salehah?" Bayangan shalat segera terbetik dalam memoriku. "Apakah Abdurrahman menuduhku melalaikan shalat?" gumamku. Aku masih menjaga shalatku tepat waktu. "Atau yang dia maksud adalah hijabku yang masih aku pelihara, sesuai dengan yang Islam perintahkan, atau mungkin ketaatanku kepadanya?" Semua pertanyaan ini bergelayutan di kepalaku. Aku memandang kepada Abdurrahman dengan mata penuh tanda tanya.

"Apakah kamu mendapati sesuatu yang bertentangan dengan kebaikanku?" tanyaku.
Abdurrahman tersenyum, lantas berkata, "Ya."
"Apakah kamu melihatku meninggalakan shalat?"
"Tidak."

"Atau kamu melihatku telat menunaikannya?"
"Ini juga tidak," jawabnya masih terus tersenyum manis.
"Apakah aku pernah durhaka kepadamu dalam satu hal?"
"Sampai sekarang alhamdulillah, kamu masih menaatiku dalam segala hal."
"Kalau begitu, pasti yang kau maksud adalah hijabku. Tapi aku selalu memakainya sesuai dengan perintah Tuhanku."

"Aku juga bersaksi bahwa kamu setia memeliharanya," jawabnya.
Aku mulai kesal dengan sikap Abdurrahman ini. Aku bertanya dengan sedikit emosi, "Terus apa yang mengurangi nilaiku sebagai istri salihah?
"Sepertinya kamu tidak menyadarinya."

"Aku tidak menyadarinya, katakan apa itu?" kataku menyerah.
"Apakah kamu tidak menyadari bahwa kamu mulai lalai untuk berdandan di depanku."
"Apa hubungannya dengan kebaikanku?" tanyaku sambil berteriak.
"Erat sekali hubungannya," jawabnya dengan senyum menghias bibirnya.
"Tanyakan kepada siapa yang kau mau, kiai, ulama, dan orang tua. Pasti tidak ada seorang pun yang sekata denganmu," kataku marah.

"Aku tidak akan bertanya kepada siapa pun."
"Karena kamu tahu bahwa tidak ada yang setuju dengan tuduhanmu itu," kataku dengan nada penuh kemenangan.
"Aku tidak akan bertanya kepada siapa pun karena kekasih tercinta Muhammad telah menjelaskan ini. Jadi, aku tidak butuh persetujuan orang lain."

"Seumur hidup, aku belum pernah membaca satu hadits pun yang menceritakan Rasulullah bersabda bahwa istri yang berhias untuk suaminya adalah istri salihah," kilahku.
"Kamu serius?" tanyanya.
"Ya, silakan katakan, jika ucapanmu itu benar," kataku menantang.

"Baik. Dengarkan hadits yang diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,
"Maukah kalian aku beritakan sesuatu yang bisa membuat seseorang betah? Yaitu istri salihah. Jika suaminya memandangnya, dia menyenangkan. Jika suaminya tidak ada, dia menjaga dirinya. Dan, jika suaminya menyuruhnya, dia patuh." (HR Abu Dawud dan al- Hakim)

"Nabi tidak bersabda, ’Barang siapa yang berhias untuk suaminya, maka dia adalah istri salihah" kataku membela diri.
"Nabi menyebutkan tiga kriteria istri salihah; yang pertama adalah jika suaminya memandangnya, dia menyenangkan. Bukankah begitu?"
"Ya. Betul."

"Bagaimana cara istri memasukkan rasa senang kepada suaminya, saat sang suami memandangnya? Bukankah dengan penampilannya yang cantik?"

Aku mengerti arah pembiacaraan Abdurrahman. Aku tahu, dia benar. Dan, aku paham mengapa dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini kepadaku, tentunya agar aku juga ikut aktif mencari kebenaran ini bersamanya.
"Ini berarti bahwa penampilan menyenangkan dari seorang istri di depan suaminya termasuk bagian penting dalam kebaikannya?" tanyaku.

"Bagus, Sarah. Akan tetapi, bagaimana kamu bisa tahu bahwa itu bagian penting?"
"Karena Nabi menyebutkan tiga kriteria itu dan menyebutkan bagian ini pertama kali," terangku.
"Seandainya kita memberi nilai setiap bagian itu, niscaya semuanya mendapat nilai 33% dari kebaikan seorang istri," ungkap suamiku.

"Akan tetapi, banyak istri yang tidak tahu hal ini. Mereka tidak tahu bahwa perhatian mereka terhadap penampilan di depan suami merupakan bagian penting dari kebaikan mereka," ucapku tidak mau kalah saing. Sambil tertawa aku melanjutkan kata-kataku, "Bahkan barusan aku juga termasuk salah satu dari mereka."
"Jangan begitu, Sarah, aku cukup bangga melihatmu langsung menyerah, ketika mengetahui kebenaran, tanpa membantah dan mendebat," bujuk suamiku.

"Ini karena karunia Allah kepadaku dan juga sebab pengarahanmu yang tidak kenal bosan kepadaku."
"Tidak. Ini murni karena karunia Allah," kata suamiku tegas.
"Tapi, ada hal lain yang aku pahami dari hadits Rasul ini," kataku.
"Ayo katakan, Sarah," kata suamiku penuh semangat.

"Rasulullah bersabda, ’Jika dia memandang kepadanya, dia menyenangkan.’ Nabi tidak mengatakan, ’Jika tetangganya memandangnya, atau sahabatnya, atau tamunya atau ibunya.’ Kita sekarang sering menyaksikan para wanita berdandan untuk teman-teman wanita yang ada di sekelilingnya, melebihi dandanan mereka di depan suami."

"Semoga Allah memberkatimu, Sarah."
"Ada satu lagi," kataku.
"Apa?"
"Kebaikan seorang istri dengan berdandan di depan suaminya membawa kebaikan pada suaminya juga," kataku.
"Kamu keren, Sarah."

Aku tidak menghiraukan pujian suamiku. Aku melanjutkan kata-kataku, "Seorang suami jika melihat istrinya menyenangkan, dia tidak akan memandang wanita lain. Dia menjaga dirinya dari wanita lain. Dia akan memejamkan matanya ketika melihat wanita lain."

"Benar kata pepatah, ’Murid bisa mengalahkan gurunya.’ Hari ini kamu melebihiku, Sarah."

15 September 2013

Manisnya Iman



Kisah pilu dialami seorang ibu bernama Masyithah, seorang pelayan putri Firaun. Ia seorang ibu yang berani dan sanggup menerima apa pun yang terjadi demi mempertahankan keyakinannya pada agama Allah Swt. Ia selalu mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari keluarga Firaun, khususnya dari putri Firaun dan yang paling kejam dari Firaun itu sendiri.

Pada suatu hari, Masyithah menyisir rambut putri Firaun. Sisirnya jatuh dari tangannya. Ia berkata, "As- taghfirullah."
Putri Firaun kaget dan berkata kepadanya, "Dengan menyebut nama ayahku."
Masyithah menolak, "Tidak, Tuhanku dan Tuhan ayah kamu adalah Allah."
Kemudian sang putri menceritakan peristiwa tersebut kepada ayahnya. Firaun memanggil Masyithah dan bertanya, "Wahai Fulanah, apakah kau punya Tuhan selain aku?"

Ia menjawab, ‘Ya, Tuhan aku dan Tuhan kamu, yaitu Allah."
Firaun marah besar. Ia memerintahkan anak buahnya untuk dibuatkan tungku besar yang diisi timah panas. Ke dalam tungku itulah, Firaun hendak melemparkan Masyithah dan anak-anaknya. Namun, Masyithah dan anak-anaknya tidak menyerah. Masyithah meminta satu hal kepada Firaun.
"Aku minta tulangku dan tulang anak-anakku dibungkus menyatu dengan kain kafan," Firaun menuruti permintaannya. 

Kedua anaknya menjerit kesakitan ketika terpanggang di tungku timah panas membara, Masyithah menyaksikan dengan kedua matanya sendiri. Ia hanya bisa terdiam. Hatinya bergetar. Namun, ia yakin ini semua terjadi karena atas kehendak-Nya. Ia pun percaya, anak- anaknya rela berkorban demi mempertahankan keimanannya kepada Allah Swt. semata. Tidak lama kemudian, Masyithah pun dimasukkan ke dalam tungku panas tersebut. Masyithah dan kedua anaknya memang terpisah di dunia, tetapi mereka menyatu dalam cinta. Cinta yang bersemayam dalam hati mereka adalah gejolak iman yang mampu melahirkan sebuah pengorbanan yang sempurna. Kehidupan dunia tidak mampu mengalihkan mereka dari cita-cita meraih keridhaan Sang Pencipta. Inilah hakikat yang sebenar-benarnya, iman yang baik akan mampu mengalahkan dunia dan segala isinya.

Firaun ingin menghancurkan keimanan sang Masyithah. Hal itu tidak mudah teijadi karena keimanan Masyithah sudah mendarah daging, meskipun ia harus mengorbankan nyawa kedua anaknya, bahkan nyawanya sendiri. Tidak diragukan lagi, siapa yang pernah merasakan pahitnya kezaliman, meskipun sesaat; mencicipi sakitnya siksaan, meskipun sebentar; pasti akan tahu mengapa Rasulullah saw. bersabda, ’’Kezaliman akan membawa kegelapan di hari kiamat."

Masyithah merasakan beragam kezaliman dan penyiksaan. Semua ketidaknyamanan itu dihadapinya dengan tegar, sampai akhirnya ia bertemu dengan Tuhannya dengan ridha dan diridhai.

"Iman adalah senjata yang sangat ampuh karena iman adalah kekuatan yang bersumber dari ma’iyatul- lah (kebersamaan dengan Allah Swt. dan lindungan- Nya). Allah Swt. berfirman, ’Sungguh, Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.’"
-QS An-Nahl ayat 128

12 September 2013

Surat Ibu yang Terkoyak Hatinya

Anakku..
Takutlah engkau kepada Allah karena kedurhakaanmu kepada Ibu. Sekalah air mataku, ringankanlah beban kesedihanku. Terserahlah kepadamu jika engkau ingin merobek-robek surat ini. Ketahuilah, "Barangsiapa beramal shalih maka itu buat dirinya sendiri. Dan orang yang berbuat jelek, maka itu (juga) menjadi tanggungannya sendiri".

Anakku...
Ingatlah saat engkau berada di perut ibu. Ingat pula saat persalinan yang sangat menegangkan. Ibu merasa dalam kondisi hidup atau mati. Darah persalinan, itulah nyawa Ibu. Ingatlah saat engkau menyusui. Ingatlah belaian sayag dan kelelahan Ibu saat engkau sakit. Ingatlah ..... Ingatlah.... Karena itu, Allah menegaskan dengan wasiat : "Wahai, Rabbku, sayangilah mereka berdua seperti mereka menyayangiku waktu aku kecil".

Anakku...
Allah berfirman: "Dan dalam kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang berakal" [Yusuf : 111]
Pandanglah masa teladan dalam Islam, masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, supaya engkau memperoleh potret bakti anak kepada orang tua.

KISAH TELADAN KEPADA ORANG TUA
Sahabat Abu Hurairah sempat gelisah karena ibunya masih dalam jeratan kekufuran. Dalam shahih Muslim disebutkan, dari Abu Hurairah, ia bercerita.

Aku mendakwahi ibuku agar masuk Islam. Suatu hari aku mengajaknya untuk masuk Islam, tetapi dia malah mengeluarkan pernyataan tentang Nabi yang aku benci. Aku (pun) menemui Rasulullah dalam keadaan menangis. Aku mengadu.

"Wahai Rasulullah, aku telah membujuk ibuku untuk masuk Islam, namun dia menolakku. Hari ini, dia berkomentar tentang dirimu yang aku benci. Mohonlah kepada Allah supaya memberi hidayah ibu Abu Hurairah". Rasulullah bersabda : "Ya, Allah. Tunjukilah ibu Abu Hurairah". Aku keluar dengan hati riang karena do’a Nabi. Ketika aku pulang dan mendekati pintu, maka ternyata pintu terbuka. Ibuku mendengar kakiku dan berkata : "Tetap di situ Abu Hurairah". Aku mendengar kucuran air. Ibu-ku sedang mandi dan kemudian mengenakan pakaiannya serta menutup wajahnya, dan kemudian membuka pintu. Dan ia berkata : "Wahai, Abu Hurairah ! Asyhadu an Laa Ilaaha Illa Allah wa Asyhadu Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuluhu". Aku kembali ke tempat Rasulullah dengan menangis gembira. Aku berkata, "Wahai, Rasulullah, Bergembiralah. Allah telah mengabulkan do’amu dan menunjuki ibuku". Maka beliau memuji Allah dan menyanjungNya serta berkomentar baik" [Hadits Riwayat Muslim]

Ibnu Umar pernah melihat lelaki menggendong ibunya dalam thawaf. Ia bertanya : "Apakah ini sudah melunasi jasanya (padaku) wahai Ibnu Umar?" Beliau menjawab : "Tidak, meski hanya satu jeritan kesakitan (saat persalinan)".

Zainal Abidin, adalah seorang yang terkenal baktinya kepada ibu. Orang-orang keheranan kepadanya (dan berkata) : "Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibu. Mengapa kami tidak pernah melihatmu makan berdua dengannya dalam satu talam"? Ia menjawab,"Aku khawatir tanganku mengambil sesuatu yang dilirik matanya, sehingga aku durhaka kepadanya".

Sebelumnya, kisah yang lebih mengharukan terjadi pada diri Uwais Al-Qarni, orang yang sudah beriman pada masa Nabi, sudah berangan-angan untuk berhijrah ke Madinah untuk bertemu dengan Nabi. Namun perhatiannya kepada ibunya telah menunda tekadnya berhijrah. Ia ingin bisa meraih surga dan berteman dengan Nabi dengan baktinya kepada ibu, kendatipun harus kehilangan kemuliaan menjadi sahabat Beliau di dunia.

Dalam shahih Muslim, dari Usair bin Jabir, ia berkata : Bila rombongan dari Yaman datang, Umar bin Khaththab bertanya kepada mereka : "Apakah Uwais bin Amir bersama kalian ?" sampai akhirnya menemui Uwais. Umar bertanya, "Engkau Uwais bin Amir?" Ia menjawa,"Benar". Umar bertanya, "Engkau dari Murad kemudian beralih ke Qarn?" Ia menjawab, "Benar". Umar bertanya, "Engkau punya ibu?". Ia menjawab, "Benar". Umar (pun) mulai bercerita, "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Akan datang pada kalian Uwais bin Amir bersama rombongan penduduk Yaman yang berasal dari Murad dan kemudian dari Qarn. Ia pernah tertimpa lepra dan sembuh total, kecuali kulit yang sebesar logam dirham. Ia mempunyai ibu yang sangat dihormatinya. Seandainya ia bersumpah atas nama Allah, niscaya aku hormati sumpahnya. Mintalah ia beristighfar untukmu jika bertemu".

(Umar berkata), "Tolong mintakan ampun (kepada Allah) untukku". Maka ia memohonkan ampunan untukku. Umar bertanya, "Kemana engkau akan pergi?". Ia menjawab, "Kufah". Umar berkata, "Maukah engkau jika aku menulis (rekomendasi) untukmu ke gubernurnya (Kufah)?" Ia menjawab, "Aku lebih suka bersama orang yang tidak dikenal".

Kisah lainnya tentang bakti kepada ibu, yaitu Abdullah bin Aun pernah memanggil ibunya dengan suara keras, maka ia memerdekakan dua budak sebagai tanda penyesalannya.

KISAH KEDURHAKAAN KEPADA ORANG TUA

Diceritakan ada lelaki yang sangat durhaka kepada sang ayah sampai tega menyeret ayahnya ke pintu depan untuk mengusirnya dari rumah. Sang ayah ini dikarunia anak yang lebih durhaka darinya. Anak itu menyeret bapaknya sampai kejalanan untuk mengusirnya dari rumahnya. Maka sang bapak berkata : "Cukup... Dulu aku hanya menyeret ayahku sampai pintu depan". Sang anak menimpali : "Itulah balasanmu. Adapun tembahan ini sebagai sedekh dariku!".

Kisah pedih lainnya, seorang Ibu yang mengisahkan kesedihannya : "Suatu hari istri anakku meminta suaminya (anakku) agar menempatkanku di ruangan yang terpisah, berada di luar rumah. Tanpa ragu-ragu, anakku menyetujuinya. Saat musim dingin yang sangat menusuk, aku berusaha masuk ke dalam rumah, tapi pintu-pintu terkunci rapat. Rasa dingin pun menusuk tubuhku. Kondisiku semakin buruk. Anakku ingin membawaku kesuatu tempat. Perkiraanku ke rumah sakit, tetapi ternyata ia mencampakkanku ke panti jompo. Dan setelah itu tidak pernah lagu menemuiku"

Sebagai penutup, kita harus memahami bahwa bakti kepada orang tua merupakan jalan lempang dan mulia yang mengantarkan seorang anak menuju surga Allah. Sebaliknya, kedurhakaan kepada mereka, bisa menyeret sang anak menuju lembah kehinaan, neraka.

Hati-hatilah, durhaka kepada orang tua, dosanya besar dan balasannya menyakitkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

Artinya : Akan terhina, akan terhina dan akan terhina!" Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullahj, siapakah gerangan ?" Beliau bersabda, "Orang yang mendapati orang tuanya, atau salah satunya pada hari tuanya, namun ia (tetap) masuk neraka" [Hadits Riwayat Muslim]

[Diadaptasi dari Idatush Shabirin, oleh Abdullah bin Ibrahim Al-Qa’rawi dan Ilzam Rijlaha Fatsamma Al-Jannah, oleh Shalihj bin Rasyid Al-Huwaimil]

11 September 2013

Kenapa Ayah Tidak Shalat Subuh?!

Seorang bocah duduk di kelas tiga sekolah dasar. Di salah satu mata pelajaran, sang guru berbicara tentang shalat subuh. Dia berbicara dengan gaya bahasa yang menyentuh hati anak- anak didiknya. Dia juga berbicara tentang keutamaan dan pentingnya shalat subuh.

Bocah kecil ini mendengarkannya dan tersentuh dengan pembicaraan sang guru. Bocah ini tidak pernah shalat subuh, begitu juga keluarganya.

Saat pulang ke rumah, dia berpikir bagaimana caranya dia bangun untuk shalat besok harinya. Dia tidak menemukan jalan keluar kecuali begadang sepanjang malam sampai azan shalat berkumandang. Dia benar-benar melaksanakan idenya dan saat mendengar azan, dia segera bertolak untuk menunaikan shalat. namun muncul masalah. Masjid jauh dan dia tidak bisa pergi sendirian. Lalu sang bocah menangis dan duduk di belakang pintu.

Tiba-tiba dia mendengar bunyi sepatu dijalan. Dia membuka pintu dan segera keluar. Ternyata seorang tua sedang berjalan menuju masjid. Sang bocah memandang kakek tua itu. cLa mengenalnya. Dia adalah kakek temannya, Ahmad, anak tetangga. Dengan tenang dan sembunyi-sembunyi, sang bocah membuntuti sang kakek sehingga sang kakek tidak merasakan kehadirannya dan memberitahu keluarganya. Dia takut kena hukuman oleh keluarganya. 

Kondisinya terus seperti ini, tapi umur manusia terbatas, Kakek Ahmad meninggal. Ketika sang bocah mengetahuinya, dia bingung dan menangis keras. Kedua orang tuanya merasa heran melihat tangis sang anak.
"Nak, kenapa kamu menangisinya seperti ini? Dia tidak seusia denganmu untuk kamu ajak bermain dan dia juga bukan kerabatmu sehingga kamu merasa kehilangan," tanya sang ayah.

Sang bocah menatap ayahnya dengan mata berlinang dan tatapan sedih, "Aku kehilangan dia bukan karena itu. Juga bukan karena seperti yang Ayah katakan," jawab sang bocah.

Sang ayah semakin merasa heran, "Terus karena apa?"
"Karena shalat."
Kemudian sang bocah melanjutkan bicaranya sambil menelan air matanya, "Ayah, kenapa kamu tidak shalat subuh? Kenapa kamu tidak seperti kakek itu dan orang-orang yang aku lihat."

"Di mana kamu melihat mereka?" Tanya sang ayah.
"Di masjid."
"Bagaimana mungkin?" Tanya sang ayah heran.

Lalu sang bocah menceritakan kisahnya kepada sang ayah. Sang ayah pun tersentuh dengan cerita anaknya. Kulitnya bergetar dan air matanya hampir tumpah. Lalu dia memeluk anaknya.
Sejak saat itu, dia tidak pernah meninggalkan satu shalat pun di masjid.
Selamat untuk sang ayah, selamat untuk sang bocah, dan selamat untuk sang guru.

Sumber : Kisah Kisah Penggugah Jiwa
Karya : Abdurrahman Bakar

04 September 2013

Menyembunyikan Kebaikan

Emir Hasan, seorang Pangeran Aljazair, suatu ketika memerintahkan rakyatnya untuk tidak menyalakan lentera ataupun perapian untuk satu malam. Rakyat yang tidak berani membantah mengikuti saja titah sang pangeran. Seketika, daerah kekuasaan Emir Hasan menjadi gelap gulita dan hanya disinari sinar rembulan.

Namun, Emir Hasan melihat pijar temaram dari sebuah rumah di kejauhan. Merasa heran dan marah karena perintahnya tak dituruti, Emir Hasan mengajak sang pengawal mendatangi rumah tersebut dengan menyamar.
Emir Hasan mengganti jubah kebesarannya dengan baju khas musafir. Dengan hati-hati, ia menyusuri jalanan desa menuju rumah yang masih menyalakan lentera tersebut. Tak berapa lama, ia dan pengawalnya sampai di depan rumah tersebut. Emir Hasan segera mengetuk pintu rumah itu.

Seorang perempuan tua kemudian membukakan pintu. Demi melihat tamunya itu, ia menggeleng pelan.
"Bukannya aku tak mau menerimamu di sini, wahai musafir. Tetapi, aku adalah seorang wanita yang berkekurangan." Wanita ini mengira tamunya adalah seorang musafir yang meminta pertolongan.

"Aku dan kawanku sudah kemalaman. Izinkanlah kami menginap di sini barang semalam saja. Sebelum Subuh, kami segera pergi melanjutkan peijalanan." Emir Hasan memaksa si nyonya rumah.
"Terserah dirimu sajalah. Masuklah."
"Terima kasih."

Masuklah Emir Hasan ke dalam rumah wanita tersebut. Alangkah terkejutnya ia mendapati keadaan rumah tersebut. Rumah itu hampir tak ada perabotan, layaknya sebuah rumah. Hanya tampak sehelai selimut tipis untuk alas tidur keempat putranya.

Melihat sang tamu yang keheranan, wanita tadi menjelaskan keadaannya, "Aku adalah seorang janda dengan keempat putra. Malam ini, pangeran menyuruh kami mematikan semua sumber cahaya. Namun, aku bersikeras menyalakan perapian ini. Setidaknya, cahaya ini dapat menghangatkan anak-anakku yang sedang meringkuk kelaparan."

Tampak oleh Emir Hasan bahwa keempat lelaki kecil itu tengah menangis sambil memegangi perutnya.
"Sudah berapa lama mereka seperti ini?" tanya sang pangeran.
"Sudah empat hari, Tuan."

Emir Hasan bukan main terkejutnya. Ia tak menyangka masih ada rakyatnya yang hidup kekurangan. Ketika Subuh menjelang, ia segera berpamitan dan diam-diam kembali menuju istananya. Ia mengutus perdana menteri untuk membawa berkantong-kantong gandum dan pakaian untuk diberikan kepada si janda miskin dan keempat anaknya. Tak lupa, ia juga berpesan untuk menyembunyikan identitasnya sebagai pangeran.

Sijanda yang terheran-heran menerima bantuan yang demikian banyaknya, mengucap syukur dan mendoakan si dermawan.


"Sebaiknya, saat memberi sedekah, hanya kita dan Allah jualah yang mengetahuinya agar tidak menimbulkan ria"

02 September 2013

Dibalik Sebuah Prasangka

Di sebuah negeri zaman dulu kala, seorang pelayan raja tampak gelisah. Ia bingung kenapa raja tidak pernah adil terhadap dirinya. Hampir tiap hari, secara bergantian, pelayan-pelayan lain dapat hadiah. Mulai dari cincin, kalung, uang emas, hingga perabot antik. Sementara dirinya tidak.

Hanya dalam beberapa bulan, hampir semua pelayan berubah kaya. Ada yang mulai membiasakan diri berpakaian sutera. Ada yang memakai cincin di dua jari manis, kiri dan kanan. Dan, hampir tak seorang pun yang datang ke istana dengan berjalan kaki seperti dulu. Semuanya datang dengan kendaraan. Mulai dari berkuda, hingga dilengkapi dengan kereta dan kusirnya.

Ada perubahan lain. Para pelayan yang sebelumnya betah berlama-lama di istana, mulai pulang cepat. Begitu pun dengan kedatangan yang tidak sepagi dulu. Tampaknya, mereka mulai sibuk dengan urusan masing-masing.

Cuma satu pelayan yang masih miskin. Anehnya, tak ada penjelasan sedikit pun dari raja. Kenapa beliau begitu tega, justru kepada pelayannya yang paling setia. Kalau yang lain mulai enggan mencuci baju dalam raja, si pelayan miskin ini selalu bisa.

Hingga suatu hari, kegelisahannya tak lagi terbendung. “Rajaku yang terhormat!” ucapnya sambil bersimpuh. Sang raja pun mulai memperhatikan. “Saya mau undur diri dari pekerjaan ini,” sambungnya tanpa ragu. Tapi, ia tak berani menatap wajah sang raja. Ia mengira, sang raja akan mencacinya, memarahinya, bahkan menghukumnya. Lama ia tunggu.

“Kenapa kamu ingin undur diri, pelayanku?” ucap sang raja kemudian. Si pelayan miskin itu diam. Tapi, ia harus bertarung melawan takutnya. Kapan lagi ia bisa mengeluarkan isi hati yang sudah tak lagi terbendung. “Maafkan saya, raja. Menurut saya, raja sudah tidak adil!” jelas si pelayan, lepas. Dan ia pun pasrah menanti titah baginda raja. Ia yakin, raja akan membunuhnya.

Lama ia menunggu. Tapi, tak sepatah kata pun keluar dari mulut raja. Pelan, si pelayan miskin ini memberanikan diri untuk mendongak. Dan ia pun terkejut. Ternyata, sang raja menangis. Air matanya menitik.

Beberapa hari setelah itu, raja dikabarkan wafat. Seorang kurir istana menyampaikan sepucuk surat ke sang pelayan miskin. Dengan penasaran, ia mulai membaca, “Aku sayang kamu, pelayanku. Aku hanya ingin selalu dekat denganmu. Aku tak ingin ada penghalang antara kita. Tapi, kalau kau terjemahkan cintaku dalam bentuk benda, kuserahkan separuh istanaku untukmu. Ambillah. Itulah wujud sebagian kecil sayangku atas kesetiaan dan ketaatanmu.”

Betapa hidup itu memberikan warna-warni yang beraneka ragam. Ada susah, ada senang. Ada tawa, ada tangis. Ada suasana mudah. Dan, tak jarang sulit.

Sayangnya, tak semua hamba-hamba Yang Maha Diraja bisa meluruskan sangka. Ada kegundahan di situ. Kenapa kesetiaan yang selama ini tercurah, siang dan malam; tak pernah membuahkan bahagia. Kenapa yang setia dan taat pada Raja, tak dapat apa pun. Sementara yang main-main bisa begitu kaya.

Karena itu, kenapa tidak kita coba untuk sesekali menatap ‘wajah’Nya. Pandangi cinta-Nya dalam keharmonisan alam raya yang tak pernah jenuh melayani hidup manusia, menghantarkan si pelayan setia kepada hidup yang kelak lebih bahagia.

Pandanglah, insya Allah, kita akan mendapati jawaban kalau Sang Raja begitu sayang pada kita.