30 November 2013

Maafkan Aku Bunda, Maafkan Aku Ya Allah...

Masa SMP, merupakan masa dimana Aku baru tumbunh menjadi anak yang sedikit mulai memperhatikan kehidupan yang sesungguhnya. Mungkin orang lain belum sempat memikirkan hal apa yang aku pikirkan, tapi karena kondisi kehidupankulah yang memaksa menjadi sewasa sebelum waktunya. Dimana aku sudah ikut memikirkan masalah-masalah yang terjadi di dalam keluargaku.

Aku, anak pertama dari 2 bersaudara. Adikku, laki - laki yang sangat pendiam. Saat aku duduk di bangku kelas 1 SMP, ibuku harus bekerja menjadi buruh pabrik, karena kondisi ayahku yang sedang sakit. Sekian lama ibu menjadi buruh pabrik dan Aku pun menggantikan posisi ibu rumah untuk mengurus rumah dan keluarga.

Akhirnya, ibuku keluar dari tempat kerjanya, dengan alasan terlalu lelah. Tapi aku merasa, ada hal yang dirahasiakan dariku. Tapi, sebisa mungkin aku membuang jauh-jauh rasa itu. Satu hari, ibu merasa mual-mual dan aku pun mulai merasa ada yang janggal dengan kejadian itu. Semakin hari kecurigaan pun mulai terjawab. Ternyata, ibuku sedang hamil 2 bulan.

Aku sedih dan marah, karena aku sungguh sangat tak menginginkan ibu hamil lagi. Aku sangat menolak kehadiran janin di dalam rahim ibu. Sampai-sampai aku tidak menegur ibu. Suatu pagi Aku mengemas pakaian, aku berniat untuk kabur, dan niat buruk itupun akhirnya aku lakukan.

Ternyata bukan hanya Aku yang menolak kehadiran sang jabang bayi. Ternyata secara diam-diam ibuku pun berniat untuk menggugurkan sang janin yang sedang dikandungnya. Tapi, semua usahanya tidak berhasil. Kandungan ibu pun semakin hari semakin membesar, walaupun pun aku sempat menolak kehadiran si jabang bayi. Tepat pada tanggal 6 september 2005, di malam harinya aku tidur bersama ibu adikku, suara adazan pun berkumandan begitu merdunya dan membangun kami sekeluarga untuk sahalat suhubuh. Sat aku turun dari tempat tidur, rasanya aku seperti menginjak cairan tapi aku tak tahu itu cairan apa? Ternyata setelah aku lihat diruang tengah, ibu sedang menangis kesakitan, ternyata cairan yang aku injak ketuban ibu, aku pun berlari untuk memanggil nenek yang biasa ku panggil emak, yang tinggal tidak jauh dari kami.

"Emak.........! ibu mau ngelahirin itu!" sambil terengah-engah aku bicara

"Sekrarang ibu mu dimana?"

"Dikamar Ma,"

Kamipun segera berjanjak ke rumahku, setelah mengetahui bahwa ibuku segera melahirkan ayahku pun segera memanggil maparaji atau ma berang ( dukun beranak ) dan bidan dekat rumah ku. Mendengar suara jeritan ibu, aku tak kuasa untuk menahan air mata. Aku takut ibu tak selamat karena betapa mengrikannya saat melahirkan, walau aku tak melihat hanya mendengar suaranya. Aku pergi ke belakang rumah dan di situ aku menangis lalu berdia'a agar ibu dan adikku selamat.

Tepat pukul 9.00 adik baruku lahir ke dunia, laki- laki. Dalam hatiku Aku membatin"ko laki-laki lagi si, kan adik pertamaku laki -laki' Tak ada rasa syukur dalam diriku, padahal ibu dan adikku sudah selamat, sudah merupakan hal yang sangat disyukuri. Setelah mendengar suara tangisan sang bayi aku merasa lega dan sangat senang. Selang beberaoa menit tidak sampai 3 menit, aku mendengar suara tangisan bayi lagi, aku pun kaget dan tercengang,

" Loh...... ko ada suara bayi lagi, anak siapa yang ikut nangis?"

Aku pun segera mendatangi ema dan,

"Ma..... ko suara bayinya banyak banget si?"

" Kamu punya anak kembar "

Betapa kagetnya aku setelah mendengar bahwa aku mempunyai adik kembar, jangankan kembar satu saja aku tak mau. Dari situlah aku menyadari bahwa apa yang terbaik menurut kita belum tentu baik menurut Allah SWT, dan apa yang menurut Allah SWT baik itu sudah pasti yang terbaik untuk kita. Dan janganlah kita membenci hal dengan telalu, arena bisa jadi kita bisa mennyukainya. Begitupun sebaliknya, janganlah kita menyukai sesuatu dengan terlalu maka bisa jadi kita membencinya. Seperti dalam hadits : " Cintailah sesuatu sekedarnya saja karena jika kamu mencintainya berlebihan maka suatu saat kamu akam membencinya dan benclah sesuatau sekedarnya saja karena jika kamu membencinya berlebihan maka suatu saat kamu akam mencintainya "

Seberapa ketas pun usaha manusia allah lah yang menentukan. Seperti usaha ibuju untuk mengugurkan kandungannya. Tapi, allah berkehendak lain, dan saking benci dan menolaknya terhadap kedatangan sang adik. Akhirnya, aku mendapatkan dua adik sekaligus. Memang sungguh besar kekuasaan Allah SWT.

Subhanallah.

29 November 2013

Apakah Doa dan Usaha Bisa Mengubah Takdir?

Terkadang kita mendengar suara keluhan seseorang bahwa saya sudah beribadah dengan sungguh-sungguh shalat, puasa, tapi tetap saja saya miskin, fakir, dan tidak memiliki apa-apa seperti halnya orang lain. Ah … mungkin inilah yang sudah ditakdirkan oleh Allah untuk saya. Dan mungkin Allah memang sudah menetapkan nasibku seperti ini.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, mempercayai qada dan qadar adalah rukun iman yang ke enam atau yang paling terakhir, hukumnya wajib dipercayai, diyakini dan diamalkan dengan sebenar-benarnya.

Namun qada dan qadar ini mendatangkan dua efek, kesan, dan pengaruh yang saling kontradiktif apabila seseorang tidak memahami dengan betul akan makna takdir ilahi. Kedua kesan ini adalah:

1) Kesan yang pertama, ummat Islam tidak pernah akan merasakan stress dalam hidup. hidupnya senantiasa dalam keadaan nyaman dan tenteram, serta terhindar dari sifat sifat mazmumah seperti, iri hati, dengki. Dan meskipun dia hidup dalam suasana persaingan, maka ia akan menjalani persaingan dengan cara yang sehat, sebab dalam hatinya segala apa yang menimpa dirinya sama halnya ia baik ataupun buruk, tetap akan diserahkan kepada Allah. Ini adalah kesan yang positif dari pada qada dan qadar.

2) Kesan yang kedua adalah, seseorang boleh saja dengan alasan takdir, ia akan mengatakan tidak usah berusaha bersusah payah, toh semuanya sudah ditentukan oleh Allah yang Maha Kuasa. Tidak perlu belajar dan tidak perlu bekerja keras. Ini tentunya kesan yang negative pada diri seorang mu’min. kemungkinan inilah yang membuatkan Nabi melarang para sahabat untuk mendalami masalah takdir, beliau berkata:

“Jika sahabatku menyebut perkara takdir, maka hentikanlah mereka (membahas takdir)”

Ada dua hal yang perlu kita bicarakan mengenai takdir Allah, yaitu:

Pertama: Takdir merupakan rahasia Allah.

Oleh karena itu tak satupun manusia dalam dunia ini yang mampu mengetahui jangka nyawanya atau ajal kematiannya, di mana akan mati? (di kampung sendiri ataukah di luar kampung, di negara sendiri ataukah di luar negara), tatkala mati dalam keadaan apa?

Apakah kematiannya disebabkan oleh karena sakit, kecelakaan, atau mati biasa. Begitu juga halnya dengan rezki yang diperoleh, berapa banyak jumlahnya?. Bahkan Rasulullah Saw tidak sanggup menembusi hal-hal ghaib tersebut termasuk takdir ilahi. Disebutkan di dalam al-Qur’an:

“Katakanlah:”Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku ini malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang telah diwahyukan kepadaku. Katakanlah:”Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat”. Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)”.

Kerahasiaan ini ditegaskan dalam firman Allah:

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melaimkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”

Dalam masalah ajal kematian, Allah telah menegaskan dalam firmanNya:

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim.Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok.Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Kedua: Perubahan Takdir.

Kalau saya katakan bahwa takdir boleh berubah, kemungkinan besar banyak yang tidak setuju dan merasa heran dan bertanya “kok takdir boleh berubah?” bukankah dalam riwayat penciptaan manusia, bahwa ketika masih dalam rahim ibu, tatkala usia kandungan telah mencapai umur 40 hari, Malaikat diperintahkan oleh Allah untuk menulis catatan. Di antaranya adalah mengenai ajal, rezeqi dan kehidupan baik dan buruk. Bukankah ini takdir Allah yang sudah ditetapkan dan akan di bawa dalam kehidupan seseorang sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut?.

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kalau saya uraikan definisi Qada dan Qadar.
Qada bermaksud pelaksanaan, hasil, buah (realisasi), Adapun qadar bermaksud sukatan (anggaran). Namun dalam bahasa melayu kedua-duanya digabungkan menjadi satu yaitu istilah TAKDIR. Kemudian Takdir tersebut terbagi kepada dua bagian iaitu: Qada Mubram dan Qada Mu’allaq.

1) Qada Mubram: Adalah ketentuan Allah Taala yang pasti berlaku. Semua manusia pasti akan menghadapinya, ingin atau tidak, mahu atau tidak mahu, senang ataupun tidak, setiap orang pasti akan menjumpainya, sebab hal tersebut tidak dapat dihalang oleh sesuatu apa pun. Sebagai contohnya adalah perkara kematian. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”.

Jadi masalah kematian merupakan perkara yang pasti dihadapi oleh setiap manusia. Karena ia merupakan suatu kepastian maka dinamakan sebagai Qada Mubram. Oleh karena itu Allah tegaskan jenis Qada ini dalam surah ar-Ra’ad, ayat: 11:

“Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.

Rasulpun pernah bersabdah tentang jenis Qada ini:

“Sesungguhnya Tuhanku berkata padaku: Wahai Muhammad! Sesungguhnya Aku kalau sudah menentukan sesuatu maka tiada seorangpun yang sanggup menolaknya”.

2) Qada Mu’allaq: Adalah takdir yang digantung atau bersyarat, dalam artian ketentuan tersebut boleh berlaku dan terjadi, dan boleh juga tidak terjadi pada diri seseorang, bahkan ia bergantung kepada usaha manusia itu sendiri, Qada ini yang telah disampaikan oleh Allah kepada Malaikat dan disimpan olehnya, jenis Qada ini telah ditegaskan oleh Allah ta’ala:

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.

Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa seseorang mampu merubah nasib dengan usaha sendiri, dan dengan izin Allah Swt. Oleh karena itu agama memberikan dua syarat utama untuk mengubah takdir, yaitu dengan cara memperbanyak doa dan menyambung silaturrahim.

Dalam kaitannya dengan perubahan umur manusia, para ulama berselisih faham tentang bolehkan berubah atau tidak?, bolehkan dipanjangkan atau dikurangkan?. Hal ini disebabkan oleh adanya sumber hukum yang secara zahir dari al-Qur’an yang menyatakan dengan jelas bahwa umur seseorang tidak akan ditambah ataupun dikurangkan, yaitu firman Allah:

“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu (kematian); maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya”.

Di samping ayat tersebut, terdapat juga hadits yang secara zahir menjelaskan bahwa doa dan silaturrahim dapat memanjangkan umur seseorang, dan mampu melapangkan rezqinya. Hadits tesebut adalah

“Tidak ada yang mampu menolak takdir Allah kecuali doa”.

Oleh karena itu, doa’ dalam Islam sangat digalakkan dan Allah menjanjikan akan menerima doa seseorang mukmin yang betul-betul mengharap diterima doanya, firman Allah:


“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu..” (QS Al-Mu’min 60).

Ayat ini dapat dipahami lebih mendalam bahwa doa disyariatkan dalam Islam pada dasarnya untuk merubah nasib seseorang, sebab apalah gunanya seseoarang berdoa kalau ia tidak mengharap perubahan dari Allah. Baik perubahan umur dengan dipanjangkan umurnya, atau mengharap rezki dengan meminta ditambahkan rezkinya.

“Siapa saja yang ingin dimudahkan rezqinya, dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah menyambung silaturrahim”.

Kalau dicermati dan direnungkan, memang Allah dalam kenyataan ayat 34 pada surah al-A’raf di atas tidak akan merubah ajal seseorang, tapi perlu diketahui takdir yang dibagi kepada setiap insan itu bukan hanya satu takdir, melainkan ada beberapa takdir.

Contohnya, Allah menentukan ajal si fulan untuk hidup selama 60 tahun, di samping itu juga Allah bagi takdir lain untuk hidup sampai 70 tahun lamanya. Dalam artian sesuai dengan hadis di atas kalau si fulan menyambung silaturrahmi maka takdir kedua akan ia capai, tapi kalau tidak maka ia akan dibagi takdir yang pertama, yaitu akan hidup hanya sampai 60 tahun saja.

Pendapat ini telah ditegaskan oleh Ibnu Qutaibah dalam kitabnya “Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits”, beliau menjelaskan bahwa “Ta’jil” memiliki dua makna: pertama: Kehidupan yang lapang, kemudahan rezqi dan sehat jasmani. Kedua: Penambahan umur, di mana Allah Swt mentakdirkan seseorang dengan dua takdir umur, yaitu 100 dan 80, jika seseorang menyambung silaturrahim maka ia akan mencapai 100 tahun umurnya, namun jika tidak maka ia hanya akan dapat umur 80 tahun.

Hal serupa dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam kitab “Fathu al-Baari”, beliau menerangkan bahwa sesungguhnya hadits dan ayat “Ta’jil” boleh digabungkan bersama, yaitu dengan memahaminya kepada dua bahagian. Yang pertama: Maksud penambahan adalah Allah menambahkan keberkatan hidup bagi seorang mu’min yang menjalin silaturrahim. Yang kedua: Hakikatnya adalah penambahan umur, di mana seseorang yang menjalin dan menyambung silaturrahim akan ditambahkan umurnya secara angka.

Beliaupun memberikan contoh umur, misalnya, umur seseorang ditentukan Allah antara enam puluh tahun dan seratus tahun, takdir pertama (enam puluh tahun) dinamakan sebagai Qadha Mubram, sementara umur seratus tahun adalah Qadha Mu’allaq. Namun penambahan di sini adalah sesuai dengan ilmu Malaikat dan pengetahuannya, bukan ilmu Allah. Dalam hal ini Ibnu Hajar memilih penafsiran pertama yaitu menerjemahkan penambahan umur sebagai bentuk keberkatan hidup.

Pada permasalahan lain, misalnya penyakit, dalam satu riwayat disebutkan bahwa, penyakit dan obat merupakan takdir ilahi.

“Ya Rasulallah bagaimana pandangan engkau terhadap Ruqyah-ruqyah yang kami gunakan untuk jampi, obat-obatan yang kami gunakan untuk mengobati penyakit, perlindungan-perlindungan yang kami gunakan untuk menghindari dari sesuatu, apakah itu semua bisa menolak takdir ALLAH ?Jawab Rasulullah saw : Semua itu adalah (juga) takdir ALLAH”.

Satu riwayat juga disebutkan bahwa tatkala Umar bin Khattab dan rombongannya melakukan perjalanan ke suatu tempat di Syiria, dan beliau tiba-tiba dikabarkan bahwa tempat yang dituju sedang dilanda penyakit wabak, (penyakit menular), kemudian Umar bermusyawarah dengan rombongan untuk mencari jalan keluar (way out ), lantas Umar dan rombongan sepakat untuk membatalkan perjalanan tersebut dan kembali ke Madinah, kemudian salah seorang sahabat yang bernama Abu Ubaidah tiba-tiba memprotes keputusan Umar yang tidak ingin melanjutkan perjalanan:

Abu Ubaidah bin al-jarrah berkata““Apakah kita hendak lari menghindari taqdir Allah?” Umar menjawab: “Benar, kita menghindari suatu taqdir Allah dan menuju taqdir Allah yang lain”.

Hadits ini memberikan gambaran jelas bahwa takdir itu bukan hanya satu melainkan berbilang.

Untuk mengakhiri bahasan ini saya sebutkan suatu kisah, di mana pada suatu hari malaikat Izra`il, malaikat pencabut nyawa, memberi kabar kepada Nabi Daud a.s., bahwa si Fulan minggu depan akan dicabut nyawanya. Namun ternyata setelah sampai satu minggu nyawa si Fulan belum juga mati, sehinggalah Nabi Daud bertanya, mengapa si Fulan belum mati-mati juga, sementara engkau katakan minggu lepas bahwa minggu depan kamu akan mencabut nyawanya.

Izra`il menjawab, “ya betul saya berjanji akan mencabut nyawanya, tapi ketika sampai masa pencabutan nyawa, Allah memberi perintah kepadaku untuk menangguhkannya dan membiarkan ia hidup lagi untuk 20 tahun mendatang, Nabi Daud bertanya, mengapa demikian?, Jawab Izra`il: orang tersebut sangat aktif menyambung silaturrahim sesama saudaranya. Karena itu Allah memberikan tambahan umur selama 20 tahun kepadanya.

Jadi sebagai kesimpulan, semua peristiwa, kejadian dan keadaan yang telah dan yang akan kita hadapi, semuanya di dalam pengetahuan dan pengamatan serta kekuasaan Allah, yang tidak terbelenggu, tidak diikat dan tidak dibatasi oleh masa.

Takdir ada yang boleh berubah dan ada yang tidak akan berubah, yang boleh berubah dikenal dengan istilah Qada Mu’allaq, yaitu takdir yang bergantung dan bersayarat, sementara takdir yang tidak akan berubah dinamakan sebagai Qada Mubram, yaitu takdir yang pasti berlaku pada diri seseorang.

Adapun langkah untuk merubah takdir (nasib) yang mu’allaq adalah sebagai berikut:

1) Berusaha, yaitu dengan melakukan aksi terhadap apa saja yang diinginkan terjadi perubahan atasnya.

2) Berdo’a, yaitu memanjatkan harapan kepada Allah terhadap maksud yang diinginkan diqabulkan olehNya.

3) Tawakkal, yaitu menunggu keputusan, hasil daripada usaha dan doa yang diminta.
Setelah hal di atas dilakukan, maka kita tinggal menunggu ketentuan Allah yang disebut dengan (takdir). Dan untuk menambahkan keyakinan kita terhadap perubahan takdir mu’allaq, ada baiknya kita renungi bersama ayat di bawah ini:

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)”.

Semoga dalam bulan ramadhan ini, segala amal dan doa yang kita panjatkan kepada Allah Swt, boleh menurunkan qada mu’allaq yang Allah sudah sediakan kepada kita semuanya. Amin.

DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni

BA (AL-AZHAR). M.PHIL & PH.D (CAIRO)

Senior Lecturer Department of Islamic Theology & Religion

ISLAMIC SCIENCE UNIVERSITY OF MALAYSIA


(Blog Dr. Kamaluddin http://dr-kamaluddin-nurdin.blogspot.com/)

28 November 2013

Tenang Dalam Setiap Sikap

Saudaraku yang baik, ketenangan menjadi sesuatu yang dibutuhkan setiap orang. Terutama ketika sedang menghadapi masalah atau saat hendak mengambil keputusan. Orang yang tenang tidak pernah galau, panik tergesa-gesa, tidak emosional, tidak overacting. Orang tenang akan bisa menerima informasi lebih banyak, hingga dia bisa lebih memahami. Sedangkan orang yang emosional pendek kemampuan memahaminya, akibatnya kalau merespon akan tidak bagus karena keterbatasan pemahamannya.

Ketenangan pun akan membawa kewibawaan, atau karisma tersendiri bagi pemiliknya. Ia akan disegani oleh teman dan lingkungannya. Sebaliknya, orang yang overacting tidak akan memiliki kharisma. Terutama, kepada para calon pemimpin dalam skala apapun, ia harus berlatih mengendalikan diri, tetap tenang dalam kondisi bagaimanapun sulitnya. Dan, tenang bukan berarti lamban. Nabi Muhammad SAW adalah manusia paling tenang, tetapi berjalannya sangat gesit. Karena ketenangan tidak ada kaitannya dengan waktu, melainkan dengan pengendalian diri, artinya dia tetap gesit, tangkas tidak ada gurau berlebih, atau berteriak-teriak. Pribadi yang kalem senyum berukir jernih, tidak pula banyak bicara kalau memang tidak perlu bicara. Akibatnya, orang yang tenang mendapat ilmu yang lebih banyak, mendapatkan kemampuan memilih keputusan lebih baik.

Namun, ketenangan harus diupayakan agar tidak berujung menjadi sombong. Cirinya adalah ketika ia tidak peduli kepada orang lain. Dia diam tapi tidak mau mendengarkan. Malah mungkin asyik melakukan kegiatan yang lain (saat orang lain berbicara padanya). Atau, ada orang yang diam karena dia tengah memikirkan bantahan kepada orang lain, bukannya mengemas manfaat dari pembicaraan yang didengarnya.

Sehingga, tenangya kita responsif, tidak justru pelit. Reponsif seseorang memang bisa dipengaruhi oleh banyaknya keinginan, demografi (asal tempat menetapnya), lingkungan, tekanan kesulitan. Namun itu bisa diubah kalau memang ingin berubah. Nabi Muhammad SAW sendiri tertawa bila orang lain tengah melucu. Demikian pula bagi seorang pemimpin, keputusan terbaik adalah ketika ia memang memiliki akses informasi lengkap. Makin lengkap informasi makin akurat keputusannya. Dan informasi itu sendiri tidak boleh diambil hanya dari satu pihak. Kita harus belajar dari kedua belah pihak, baru mengambil keputusan. Dan yang harus kita sadari adalah tidak ada keputusan tanpa resiko, semua keputusan ada resikonya. Kita hanya perlu menghitung resiko yang paling minimal.Wallahu a`lam.

25 November 2013

Hadapilah Kesulitan dengan Kesabaran!

Suatu hari, keledai milik seorang petani jatuh ke dalam sumur.
Hewan itu menangis dengan memilukan selama berjam-jam, sementara si petani memikirkan apa yang harus dilakukannya.

Akhirnya, si petani mengambil keputusan bahwa hewan itu sudah tida dan sumur juga perlu di timbun ( di tutup karena berbahaya). Jadi, tak ada gunanya untuk menolong si keledai. Kemudian si petani mengajak tetangga-tetangganya untuk datang membantunya. Mereka membawa sekop dan mulai menyekop tanah ke dalam sumur.

Pada mulanya, ketika si keledai menyadari apa yang sedang terjadi, ia menangis penuh kengerian. Tapi kemudian, semua orang takjub, karena si keledai menjadi diam. Setelah beberapa sekop tanah lagi di tuangkan ke dalam sumur. Si petani melihat sumur dan terrcengang melihat apa yang terjadi.

Walaupun punggungnya terus di timpa oleh ersekop-sekop tanah dan kotoran, si keledai melakukan sesuatu yang menakjubkan. Ia mengguncang-guncangkan badannya agar tanah yang menimpa punggungnya turun ke bawah, lalu menaiki tanah itu.

Ketika tetangga-tetangga si petani terus menerus munuangkan tanah kotoran ke atas punggung keledai itu, maka si keledaipun terus mengguncangkan badannya dan terus merangak naik. Segera saja semua orang terpesona ketika si keledai meloncati tepi sumur dan melarikan diri.

Demikianlan, "Kemudian terus terusan menuangkan tanah dan kotoran kepadamu, segala macam tanah dan kotoran, cara untuk keluar dari "sumur" ( kesedihan, masalah, dsb ) adalah dengan menggoncangkan segala tanah dan kotoran dari diri kita ( pikiran dan hati kita ) dan melangkah naik dari " Sumur " dengan menggunakan hal-hal tersebut sebagai pijakan.

22 November 2013

Kisah Cinta Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra

Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.

Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ‘Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ‘Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ‘Utsman, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ‘Ali.

Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.

‘Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. “Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ‘Ali.

“Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.

Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.

‘Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ‘Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ‘Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ‘Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ‘Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, “Aku datang bersama Abu Bakar dan ‘Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ‘Umar..”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ‘Umar melakukannya. ‘Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.

‘Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. “Wahai Quraisy”, katanya. “Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ‘Umar di balik bukit ini!” ‘Umar adalah lelaki pemberani. ‘Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ‘Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti
Ia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan
Maka ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak.

Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ‘Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.

Di antara Muhajirin hanya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ‘Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. “Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. “

“Aku?”, tanyanya tak yakin.

“Ya. Engkau wahai saudaraku!”

“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”

“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

‘Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

“Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, “Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.

Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”

“Entahlah..”

“Apa maksudmu?”

“Menurut kalian apakah ‘Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”

“Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,

“Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”

Dan ‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.

‘Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ‘Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”

‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu” ini merupakan sisi ROMANTIS dari hubungan mereka berdua.

Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”

Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:

“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)

21 November 2013

Sholat Itu Penghapus Dosa Masa Lalu

Ajaran Islam menempatkan sholat lima waktu sebagai sebuah ibadah mahdhoh (ritual) yang memiliki keistimewaan. Rasulullah Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam menerima perintah sholat lima waktu dari Allah subhaanahu wa ta’aala dengan cara yang juga sangat istimewa. Allah ta’aala memperjalankan hambaNya dalam suatu malam menempuh horizontal journey from earh to earth dari masjid Al-Haram di Makkah ke Masjid Al-Aqsho di Baitul Maqdis (Jerusalem). Selanjutnya Allah ta’aala perjalankan hambaNya dalam suatu vertical journey from earth to the heavens in the sky dari Masjid Al-Aqsho di Baitul Maqdis bertemu langsung dengan Allah ta’aala di langit tertinggi. Lalu pada saat beraudiensi langsung dengan Allah ’Azza wa Jalla itulah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menerima perintah menegakkan sholat lima waktu setiap hari.

Sholat merupakan bentuk formal dzikrullah atau mengingat Allah ta’aala. Bagi seorang muslim betapapun banyaknya lisannya berzikir dalam pengertian ber-wirid setiap harinya, namun bila ia tidak menegakkan sholat berarti ia meninggalkan secara sengaja kewajiban mengingat Allah ta’aala secara resmi sebagaimana diperintahkan Allah ta’aala dan sesuai contoh Nabi shollallahu ’alaih wa sallam . Sholat adalah bukti kepatuhan dan loyalitas hamba kepada Rabbnya. Sholat lima waktu merupakan indikator seorang hamba masih connect dengan Pencipta, Pemilik, Pemelihara alam semesta. Bila seorang manusia tidak sholat lima waktu secara disiplin setiap hari berarti ia merupakan hamba yang disconnected (terputus) dari rahmat Allah ta’aala. Itulah sebabnya di dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa seseorang bakal celaka walaupun ia sholat. Sebab ia lalai menjalankan sholatnya sehingga tidak selalu disiplin lima waktu setiap harinya.


”Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS Al-Maa’uun ayat 4-5)

Di antara alasan utama seorang muslim lalai menegakkan sholat lima waktu setiap hari -apalagi berjama’ah di masjid- adalah karena dihinggapi penyakit malas beribadah. Padahal kemalasan beribadah -khususnya sholat lima waktu- langsung mengindikasikan kelemahan komitmen dan kepatuhan muslim kepada Allah ta’aala. Bahkan sahabat Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu mengatakan bahwa di zaman para sahabat radhiyallahu ’anhum hidup bersama Nabi shollallahu ’alaih wa sallam jika ada muslm yang tidak sholat berjama’ah di masjid berarti ia diasumsikan sebagai seorang munafik yang sudah jelas kemunafikannya.

Maka dalam rangka mengikis penyakit malas beribadah seorang Muslim perlu juga memahami apa manfaat sholat lima waktu setiap hari. Di antaranya ialah dihapuskannya dosa-dosa oleh Allah ta’aala. Subhaanallah…! Bayangkan, setiap seorang muslim selesai mengerjakan sholat yang lima waktu berarti ia baru saja membersihkan dirinya dari tumpukan dosa yang sadar tidak sadar telah dikerjakannya antara sholat yang baru ia kerjakan dengan sholat terakhir yang ia ia kerjakan sebelumnya.

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa sesungguhnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Sholat lima waktu dan (sholat) Jum’at ke (sholat) Jum’at serta dari Ramadhan ke Ramadhan semua itu menjadi penghabus (dosanya) antara keduanya selama ia tidak terlibat dosa besar.” (HR Muslim 2/23)

Bila seorang muslim memahami dan meyakini kebenaran hadits di atas, niscaya ia tidak akan membiarkan satu kalipun sholat lima waktunya terlewatkan. Bahkan dalam hadits yang lain dikatakan bahwa bila seorang muslim khusyu dalam sholatnya, maka ia akan diampuni segenap dosanya di masa lalu. Subhaanallah…!

“Tidak seorangpun yang bilamana tiba waktu sholat fardhu lalu ia membaguskan wudhunya, khusyu’nya, rukuknya, melainkan sholatnya menjadi penebus dosa-dosanya yang telah lampau, selagi ia tidak mengerjakan dosa yang besar. Dan yang demikian itu berlaku untuk seterusnya.” (HR Muslim 2/13)

Syaratnya asalkan ia tidak terlibat dalam dosa besar, maka dosa-dosa masa lalunya pasti bakal diampuni Allah ta’aala. Adapun di antara dosa-dosa besar ialah sebagaimana disebutkan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam, yakni:

Ketika ditanya mengenai dosa-dosa besar Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Mempersekutukan Allah ta’aala, membunuh jiwa serta durhaka kepada kedua orang-tua. Dan maukah kalian kuberitakan mengenai dosa besar yang paling besar? Yaitu kesaksian palsu.” (HR Muslim 1/243)

Untuk menghapus dosa-dosa besar tersebut tidak cukup dengan seseorang menegakkan sholat lima waktu. Ia harus menempuh prosedur taubatan nasuha yang khusus. Maka hindarilah sedapat mungkin terlibat dalam mengerjakan dosa-dosa besar. Dalam bahasa berbeda Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengingatkan kita agar menjauhi tujuh penyebab bencana, yaitu:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa sesungguhnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Jauhilah tujuh penyebab bencana.” Para sahabat radhiyallahu ’anhum bertanya: “Apa itu ya Rasulullah?” Beliau bersabda: “Mempersekutukan Allah ta’aala, sihir, membunuh jiwa yang Allah ta’aala haramkan membunuhnya kecuali dengan alasan yang benar, memakan harta anak yatim, memakan riba, desersi dari medan jihad serta menuduh wanita mu’minah yang memelihara diri sebagai melakukan perbuatan keji.” (HR Muslim 1/244)

20 November 2013

Tujuh Indikator Kebahagiaan Dunia

Ibnu Abbas ra. Adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang sangat telaten dalam menjaga dan melayani Rasulullah SAW, dimana ia pernah secara khusus didoakan Rasulullah SAW, selain itu pada usia 9 tahun Ibnu Abbas telah hafal Al-Quran dan telah menjadi imam di mesjid. Suatu hari ia ditanya oleh para Tabi'in (generasi sesudah wafatnya Rasulullah SAW) mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia.

Jawab Ibnu Abbas ada 7 (tujuh) indikator kebahagiaan dunia, yaitu: 

Pertama, Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur. Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona'ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur sangatlah cerdas memahami sifat-sifat Allah SWT, sehingga apapun yang diberikan Allah ia malah terpesona dengan pemberian dan keputusan Allah.

Bila sedang kesulitan maka ia segera ingat sabda Rasulullah SAW yaitu : "Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita". Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Bila ia tetap "bandel" dengan terus bersyukur maka Allah akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Maka berbahagialah orang yang pandai bersyukur!

Kedua. Al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh. Pasangan hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh. Demikian pula seorang istri yang sholeh, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya. Maka berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki seorang istri yang sholeh.

Ketiga, al auladun abrar, yaitu anak yang soleh. Saat Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu : "Kenapa pundakmu itu ?" Jawab anak muda itu : "Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya". Lalu anak muda itu bertanya: " Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua ?"

Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: "Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu".

Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila memiliki anak yang sholeh.

Keempat, albiatu sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita. Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh mengenal siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslah orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita.

Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang sholeh. Orang-orang yang sholeh akan selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat salah. Orang-orang sholeh adalah orang-orang yang bahagia karena nikmat iman dan nikmat Islam yang selalu terpancar pada cahaya wajahnya. Insya Allah cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orang yang ada disekitarnya. Berbahagialah orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sholeh.

Kelima, al malul halal, atau harta yang halal. Paradigma dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya. Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya.

Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. "Kamu berdoa sudah bagus", kata Nabi SAW, "Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan". Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.

Keenam, Tafakuh fi dien, atau semangat untuk memahami agama. Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam. Semakin ia belajar, maka semakin ia terangsang untuk belajar lebih jauh lagi ilmu mengenai sifat-sifat Allah dan ciptaan-Nya. Allah menjanjikan nikmat bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya.

Semangat memahami agama akan meng "hidup" kan hatinya, hati yang "hidup" adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman. Maka berbahagialah orang yang penuh semangat memahami ilmu agama Islam.

Ketujuh, yaitu umur yang baroqah. Umur yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak bernostalgia (berangan-angan) tentang masa mudanya, iapun cenderung kecewa dengan ketuaannya (post-power syndrome). Disamping itu pikirannya terfokus pada bagaimana caranya menikmati sisa hidupnya, maka iapun sibuk berangan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum ia sempat rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmati kenikmatan yang diangankannya.

Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang Penciptanya. Hari tuanya diisi dengan bermesraan dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan berikutnya seperti yang dijanjikan Allah. Inilah semangat "hidup" orang-orang yang baroqah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang umurnya baroqah.

Demikianlah pesan-pesan dari Ibnu Abbas ra. mengenai 7 indikator kebahagiaan dunia. Bagaimana caranya agar kita dikaruniakan Allah ke tujuh buah indikator kebahagiaan dunia tersebut ? Selain usaha keras kita untuk memperbaiki diri, maka mohonlah kepada Allah SWT dengan sesering dan se-khusyu' mungkin membaca doa `sapu jagat' , yaitu doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah SAW.

Dimana baris pertama doa tersebut "Rabbanaa aatina fid dun-yaa hasanaw" (yang artinya "Ya Allah karuniakanlah aku kebahagiaan dunia "), mempunyai makna bahwa kita sedang meminta kepada Allah ke tujuh indikator kebahagiaan dunia yang disebutkan Ibnu Abbas ra, yaitu hati yang selalu syukur, pasangan hidup yang soleh, anak yang soleh, teman-teman atau lingkungan yang soleh, harta yang halal, semangat untuk memahami ajaran agama, dan umur yang baroqah. Walaupun kita akui sulit mendapatkan ketujuh hal itu ada di dalam genggaman kita, setidak-tidaknya kalau kita mendapat sebagian saja sudah patut kita syukuri.

Sedangkan mengenai kelanjutan doa sapu jagat tersebut yaitu "wa fil aakhirati hasanaw" (yang artinya "dan juga kebahagiaan akhirat"), untuk memperolehnya hanyalah dengan rahmat Allah. Kebahagiaan akhirat itu bukan surga tetapi rahmat Allah, kasih sayang Allah. Surga itu hanyalah sebagian kecil dari rahmat Allah, kita masuk surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena rahmat Allah.

Amal soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari puasa dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga. Amal soleh sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah.

Kata Nabi SAW, "Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke surga". Lalu para sahabat bertanya: "Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ?". Jawab Rasulullah SAW : "Amal soleh saya pun juga tidak cukup". Lalu para sahabat kembali bertanya : "Kalau begitu dengan apa kita masuk surga?". Nabi SAW kembali menjawab : "Kita dapat masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan Allah semata".

Jadi sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah (Insya Allah, Amiin).

***

Sumber tulisan: ceramah Ustad Aam Aminudin, Lc. di Sapporo, Jepang, disarikan secara bebas oleh Sdr. Asep Tata Permana

17 November 2013

ABU QILABAH, MENGAJARKAN SABAR DAN SYUKUR KEPADA ALLAH

Bagi yang sering mengamati isnad hadits, nama Abu Qilabah tidaklah asing, karena sering disebutkan dalam isnad-isnad hadits. Terutama, karena ia seorang perawi yang meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik. Sahabat ini merupakan salah seorang dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi n . Oleh karena itu, nama Abu Qilabah sering disebut secara berulang-ulang, seiring diulangnya nama Anas bin Malik. Ibnu Hibban di dalam ats-Tsiqot menyebutkan kisah menakjubkan tentangnya, yang menunjukan kekuatan keimanan Abu Qibalah kepada Allah. 

Beliau bernama 'Abdullah bin Zaid al Jarmi, salah seorang dari para ahli ibadah dan ahli zuhud yang berasal dari al Bashroh. Beliau meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik dan sahabat Malik bin al Huwairits Radhiyallahu anhuma. Beliau wafat di Negeri Syam pada tahun 104 Hijriah, yaitu pada masa kekuasaan Yazid bin 'Abdil-Malik. 

'Abdullah bin Muhammad berkata: 
Aku keluar menuju tepi pantai untuk memantau kawasan pantai (dari kedatangan musuh). Tatkala tiba di tepi pantai, tiba-tiba aku telah berada di sebuah dataran lapang di suatu tempat (di tepi pantai). Di dataran tersebut ada sebuah kemah, yang di dalamnya terdapat seseorang yang telah buntung kedua tangan dan kedua kakinya. Pendengarannya telah lemah dan matanya telah rabun. Tidak satu anggota tubuhnyapun yang bermanfaat baginya, kecuali lisannya. Orang itu berkata, "Ya, Allah. Tunjukilah aku agar aku bisa memuji-Mu, sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan Engkau sungguh telah melebihkan aku di atas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan."

'Abdullah bin Muhammad berkata,"Demi Allah, aku akan mendatangi orang ini, dan aku akan bertanya kepadanya bagaimana ia bisa mengucapkan perkataan ini. Apakah ia memahami dan mengetahui yang diucapkannya itu? Ataukah ucapannya itu ilham yang diberikan kepadanya?"

Akupun mendatangi, lalu mengucapkan salam kepadanya. Kukatakan kepadanya: "Aku mendengar engkau berkata 'Ya, Allah. Tunjukilah aku agar aku bisa memuji-Mu, sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan Engkau sungguh telah melebihkan aku di atas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan'. Nikmat manakah yang telah Allah anugerahkan kepadamu, sehingga engkau memuji Allah atas nikmat tersebut? Kelebihan apakah yang telah Allah anugerahkan kepadamu, sehingga engkau menysukurinya?"

Orang itu menjawab: 
Tidakkah engkau melihat yang telah dilakukan Robbku kepadaku? Demi Allah, seandainya Ia mengirim halilintar kepadaku sehingga membakar tubuhku, atau memerintahkan gunung-gunung untuk menindihku sehingga menghancurkan tubuhku, atau memerintahkan laut untuk menenggelamkan aku, atau memerintahkan bumi untuk menelan tubuhku, maka tidaklah semua itu, kecuali semakin membuat aku bersyukur kepada-Nya, karena Ia telah memberikan kenikmatan kepadaku berupa lidahku ini. 

Namun, wahai hamba Allah. Engkau telah mendatangiku, maka aku perlu bantuanmu. Engkau telah melihat keadaanku. Aku tidak mampu untuk membantu diriku sendiri atau mencegah diriku dari gangguan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memiliki seorang anak yang selalu melayaniku. Saat tiba waktu sholat, ia mewudhukan aku. Jika aku lapar, ia menyuapiku. Jika aku haus, ia memberi aku minum. Namun sudah tiga hari ini aku kehilangan dirinya, maka tolonglah engkau mencari kabar tentangnya. Semoga Allah merahmati engkau. 

Aku berkata,"Demi Allah, tidaklah seseorang berjalan menunaikan keperluan seorang saudaranya, dan ia memperoleh pahala yang sangat besar di sisi Allah, lantas pahalanya lebih besar dari seseorang yang berjalan untuk menunaikan keperluan dan kebutuhan orang yang seperti engkau," maka akupun berjalan mencari anak orang tersebut, hingga tidak jauh dari tempat itu, aku sampai di suatu gudukan pasir. Tiba-tiba aku mendapati anak orang tersebut telah diterkam dan dimakan binatang buas. Akupun mengucapkan inna lillah wa inna ilaihi roji'un. Aku berkata,"Bagaimana aku mengabarkan kejadian ini kepada orang tersebut?" 

Tatkala aku tengah kembali menuju orang tersebut, maka terlintas di benakku kisah Nabi Ayyub Alaihissallam. Begitu aku menemui orang tersebut, maka akupun mengucapkan salam kepadanya. Dia menjawab salamku dan bertanya,"Bukankah engkau orang yang tadi menemuiku?" 

Aku menjawab,"Benar." 

Ia bertanya,"Bagaimana dengan permintaanku kepadamu untuk membantuku?" 

Akupun berkata kepadanya,"Engkau lebih mulia di sisi Allah ataukah Nabi Ayyub Alaihissallam ?" 

Ia menjawab,"Tentu Nabi Ayyub Alaihissallam." 

Aku bertanya,"Tahukah engkau cobaan yang telah diberikan Allah kepada Nabi Ayyub? Bukankah Allah telah mengujinya dengan hartanya, keluarganya, serta anaknya?" 

Orang itu menjawab,"Tentu aku tahu." 

Aku bertanya,"Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub dengan cobaan tersebut?" 

Ia menjawab,"Nabi Ayyub bersabar, bersyukur, dan memuji Allah." 

Aku berkata,"Tidak hanya itu, bahkan ia dijauhi oleh karib kerabatnya dan sahabat-sahabatnya." 

Ia menimpali,"Benar." 

Aku bertanya,"Bagaimanakah sikapnya?" 

Ia menjawab,"Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah." 

Aku berkata,"Tidak hanya itu, Allah menjadikan ia menjadi bahan ejekan dan gunjingan orang-orang yang lewat di jalan, tahukah engkau tentang hal itu?" 

Ia menjawab,"Iya." 

Aku bertanya,"Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub?" 

Ia menjawab,"Ia bersabar, bersyukur, dan memuji Allah. Langsung saja jelaskan maksudmu. Semoga Allah merahmatimu." 

Aku (pun) berkata,"Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan binatang buas. Semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau." 

Orang itu berkata,"Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan bagiku keturunan yang bermaksiat kepada-Nya, lalu Ia menyiksanya dengan api neraka," kemudian ia berkata,"Inna lillah wa inna ilaihi roji'un," lalu ia menarik nafas yang panjang, kemudian meninggal dunia. 

Aku berkata,"Inna lillah wa inna ilaihi roji'un." 

Besar musibahku, orang seperti ini, jika aku biarkan begitu saja, maka akan dimakan binatang buas. Dan jika aku hanya duduk, maka aku tidak bisa melakukan apa-apa.[1] Lalu akupun menyelimutinya dengan kain yang ada di tubuhnya, dan aku duduk di dekat kepalanya sambil menangis. 

Tiba-tiba datang kepadaku empat orang dan berkata kepadaku: "Wahai 'Abdullah. Ada apa denganmu? Apa yang telah terjadi?" 

Akupun menceritakan kepada mereka yang telah aku alami. 

Lalu mereka berkata,"Bukalah wajah orang itu, siapa tahu kami mengenalnya!" 

Akupun membuka wajahnya, lalu merekapun bersungkur mencium keningnya, mencium kedua tangannya, lalu mereka berkata: "Demi Allah, matanya selalu tunduk dari melihat hal-hal yang diharamkan Allah. Demi Allah, tubuhnya selalu sujud tatkala orang-orang dalam keadaan tidur".

Aku bertanya kepada mereka: "Siapakah orang ini. Semoga Allah merahmati kalian?" 

Mereka menjawab,"Abu Qilabah al Jarmi sahabat Ibnu 'Abbas. Dia sangat cinta kepada Allah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam," lalu kamipun memandikan dan mengafaninya dengan pakaian yang kami pakai, lalu kami menyolati dan menguburkannya. Setelah usai merekapun berpaling pulang, dan akupun pergi menuju pos penjagaanku di daerah perbatasan. 

Tatkala malam hari tiba, akupun tidur. Aku melihat di dalam mimpi, ia berada di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain surga sambil membaca firman Allah: 

"Salamun 'alaikum bima shabartum" [keselamatan bagi kalian (dengan masuk ke dalam surga) karena kesabaran kalian], maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. [ar-Ra'd/13:24].

Aku bertanya kepadanya,"Bukankah engkau adalah orang yang aku temui?" 
Ia menjawab,"Benar." 

Aku berkata,"Bagaimana engkau bisa memperoleh ini semua?" 
Ia menjawab,"Sesungguhnya Allah menyediakan derajat-derajat kemuliaan yang tinggi, yang tidak bisa diperoleh, kecuali dengan sikap sabar tatkala ditimpa bencana, dan rasa syukur tatkala dalam keadaan lapang, dan tenteram bersama dengan rasa takut kepada Allah, baik dalam keadaan sendirian maupun dalam keadaan di depan khalayak ramai."

(Diterjemahkan oleh Abu Abdil-Muhsin, dari Kitab ats-Tsiqot, karya Ibnu Hibban. Tahqiq as-Sayyid Syarofuddin Ahmad, Penerbit Darul Fikr, Jilid 5 halaman 2-5)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Hal ini, karena biasanya daerah perbatasan jauh dari keramaian manusia. Dan kemungkinan 'Abdullah tidak membawa peralatan untuk menguburkan orang tersebut. Sehingga, jika ia hendak pergi mencari alat untuk menguburkan orang tersebut, maka bisa saja datang binatang buas memakannya. Wallahu a'lam.

PENGEMBARAAN SALMAN AL-FARISI RADHIYALLAHU ANHU MEMELUK ISLAM

Salman al Farisi, adalah seorang lelaki Persia dari Negeri Ashfahan. Ia sangat total dengan ajaran Majusiah, sampai bertugas sebagai penjaga sulutan api, yang selalu menyalakannya, tidak membiarkannya padam meskipun sejenak. Orang tuanya seorang kepala distrik, mempunyai ladang yang luas. 

Suatu hari, lantaran kesibukannya, sang ayah berkata kepada anaknya: "Wahai anakku, aku sedang sibuk membangun tempat ini hari ini, hingga tak sempat memeriksa ladang. Pergilah engkau dan lihat". 

Salman pun pergi menuju ladang keluarganya. Di tengah perjalanan, ia melewati sebuah gereja Nashara. Di situ, ia mendengar suara-suara mereka saat mengerjakan shalat. Pemuda Salman tidak mengerti apa yang mereka kerjakan, lantaran ayahnya menahannya di dalam rumah. Begitu melihat cara shalat mereka, benar-benar membuat Salman terkagum-kagum. Akhirnya, tertarik dengan tingkah-laku mereka. 

Salman berkata: "Demi Allah, ini lebih baik dari ajaran agama yang sedang kami peluk. Demi Allah, aku tidak meninggalkan mereka sampai matahari terbenam". Ladangnya pun tidak ia pedulikan, tidak jadi mendatanginya. 

"Dari mana asal agama ini?" tanya Salman kepada mereka.
Mereka menjawab,"Di Syam." 

Kemudian Salman pulang ke rumah. Ternyata sang ayah telah mengutus seseorang untuk mencarinya. Kontan saja, ketika Salman sampai rumah, ayahnya bertanya: "Kemana saja engkau? Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk melakukan sesuatu?" 

Salman menjawab,"Tadi aku melewati sejumlah orang sedang mengerjakan shalat di sebuah gereja. Pemandangan praktek agama yang aku lihat membuatku takjub. Demi Allah, aku di sana terus bersama mereka sampai matahari terbenam". 

Ayahnya berkata,"Anakku, tidak ada kebaikan pada agama itu. Agamamu dan agama nenek-moyangmu lebih baik darinya." 

Salman menolak anggapan ayahnya: "Sekali-kali tidak, demi Allah. Sesungguhnya agama itu lebih baik dari agama kita". 

Kemudian ayahnya mengancam anaknya itu, mengalungkan rantai di kaki dan menahan Salman tetap di dalam rumah.[1] 

Dalam keadaan seperti itu, Salman meminta seseorang untuk menemui orang-orang Nashara, untuk menyampaikan, jika datang rombongan pedagang Nashara dari Syam kepada mereka, agar memberitahukan kepadanya. Kemudian ia pun mendapat berita yang ia inginkan. 

Ketika para pedagang Nashara ini hendak pulang kembali ke negeri mereka, maka rantai besi yang melilitnya, ia putuskan dan kemudian Salman pergi bersama mereka, dan akhirnya sampai ke Syam. 

Sesampainya di Syam, Salman bertanya: "Siapakah orang yang terbaik dari para pemeluk agama ini?" 

Mereka menjawab: "Uskup yang berada di dalam gereja". 

Salman pun mendatangi orang yang dimaksud, lantas berkata: "Sesungguhnya aku menyukai agama ini dan ingin hidup bersamamu. Melayanimu di gereja, belajar denganmu dan mengerjakan shalat bersamamu". 

Uskup itu menjawab: "Masuklah!" 

Akan tetapi, ternyata pendeta tersebut seorang yang berperangai buruk; menyuruh orang bersedekah dan menganjurkannya. Bila barang-barang telah terkumpul padanya, pendeta itupun menyimpannya untuk kepentingan pribadi, bukan untuk para fakir-miskin. Bahkan pendeta itu berhasil mengumpulkan tujuh tempayan berisi emas dan perak. Serta merta, kebencian kepada lelaki tersebut menyelinap pada diri Salman, begitu menyaksikan perbuatan sang pendeta. 

Hingga saatnya kematian menjemput sang pendeta. Orang-orang Nashara berkumpul untuk menguburnya. Salman pun membuka kedok pendeta ini. 

Salman berkata,"Sesungguhnya ini orang jelek. Memerintahkan kalian untuk bersedekah dan menganjurkannya. Bila kalian sudah menyerahkan kepadanya, ia menyimpannya untuk kepentingannya sendiri, tidak memberi kaum miskin apapun." 

Orang-orang bertanya: "Darimana engkau tahu?"
"(Mari) aku tunjukkan simpanan hartanya," jawab Salman.
Mereka menjawab,"Tunjukkan kami." 

Salman menuju tempat penyimpanan harta si pendeta itu. Orang-orang pun akhirnya berhasil mengeluarkan dari tempat itu sebanyak tujuh tempayan penuh dengan emas dan perak. Setelah menyaksikan, mereka berseru: "Demi Allah, kami tidak akan menguburnya selama-lamanya," maka mereka lantas menyalib lelaki tersebut dan melemparinya dengan bebatuan. 

Kemudian, orang-orang mengangkat lelaki lain sebagai penggantinya. Keadaan lelaki ini lebih baik dari yang terdahulu, lebih zuhud terhadap dunia dan sangat memperhatikan masalah akhirat. Tidak ada orang yang lebih menjaga malam dan siangnya dari orang ini. Salman sangat mencintainya. Untuk beberapa lama, ia hidup bersama pendeta ini. Hingga saat ajal mendatangi pendeta itu, Salman berkata kepadanya. 

"Wahai Fulan, aku telah bersamamu, benar-benar mencintaimu dengan kecintaan yang besar. Sementara itu, telah datang kepadamu keputusan Allah yang telah engkau saksikan (kematian). Kepada siapakah engkau berpesan bagiku? Apakah yang engkau perintahkan kepadaku?" 

Ia menjawab,"Wahai anakku. Demi Allah, aku tidak mengetahui seorang pun sekarang ini yang berada di atas ajaranku. Orang-orang sudah binasa dan merubah-rubah (ajaran), dan telah meninggalkan banyak ajaran-ajaran sebelumnya, kecuali satu lelaki di Moshul. Yaitu Si Fulan. Ia masih sama dengan ajaranku. Ke sanalah!" 

Ketika ia meninggal dan dikubur, Salman pun menemui lelaki yang dimaksud. 
"Wahai Fulan, sesungguhnya Si Fulan telah berwasiat keapdaku saat akan meninggal, untuk menjumpaimu dan memberitahuku, bahwa engkau berada di atas ajarannya," kata Salman. 

Lelaki itu menjawab: "Hiduplah bersamaku". 

Selanjutnya, Salman hidup bersamanya. Lelaki ini adalah sosok yang baik. Namun, tidak berapa lama, ia pun meninggal. Ketika kematian akan mendatanginya, Salman memohon kepadanya: 

"Wahai fulan, sesungguhnya Fulan dulu berpesan kepadaku untuk menemuimu dan memerintahkanku untuk menjumpaimu. Sekarang telah datang (keputusan) dari Allah, seperti yang engkau saksikan. Kepada siapakah engkau berwasiat bagiku? Apakah yang engkau perintahkan kepadaku? 

Ia menjawab,"Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui ada seseorang yang berada di atas kami, kecuali seorang lelaki di daerah Nashibin, yaitu Fulan. Temuilah ia!" 

Ketika lelaki ini meninggal dan telah dikuburkan, Salman melaksanakan wasiat itu. Setelah berhasil menjumpai lelaki yang dimaksud, Salman pun menceritakan tentang dirinya dan wasiat yang disampaikan oleh pendeta sebelumnya. 
Laki-laki menjawab: "Hiduplah bersamaku!" 

Sosok laki-laki ini pun sama dengan dua kawannya. Dan tidak berapa lama kemudian, kematian mendatanginya. Ketika ia sedang sakaratul maut, Salman berkata kepadanya: "Wahai fulan, sesungguhnya Fulan (pendeta pertama), berpesan kepadaku untuk menjumpainya Fulan (pendeta kedua). Lalu ia berpesan kepadaku untuk menemuimu. Kepada siapa engkau berwasiat untukku? Apa yang engkau perintahkan?" 

Ia menjawab: "Wahai anakku. Demi Allah, aku tidak mengetahui seseorang yang tetap berada di atas ajaran kami yang aku perintahkan engkau menemuinya, kecuali seseorang di daerah 'Amuriyyah. Ia masih sama dengan ajaran kami. Jika engkau mau, datangilah, sesungguhnya ia masih berada di atas ajaran kami!" 

Usai penguburan, Salman pun pergi untuk menjumpai pendeta di 'Amuriyah dan menyampaikan kepadanya tentang dirinya. Pendeta itu pun berkata: "Menetaplah bersamaku!"

Salman hidup bersama dengan insan yang selaras dengan petunjuk dan tindak-tanduk kawan-kawannya. Ia pun dapat bekerja, sampai memiliki sapi-sapi dan kambing. Hingga kemudian datang juga keputusan Allah, yaitu kematian mendatangi pendeta ini. Ketika si pendeta mengahadapi sakaratul maut, Salman berkata kepadanya: 

"Dulu aku bersama Fulan, kemudian ia berwasiat kepadaku untuk menjumpai Fulan. Dan lantas ia berpesan kepadaku untuk menemui Fulan. Dan selanjutnya berwasiat untuk mendatangimu. Kepada siapakah engkau berwasiat bagiku? Apakah yang engkau perintahkan kepadaku?" 

Dia menjawab,"Wahai anakku. Aku tidak mengetahui ada orang yang masih berada di atas ajaran kami yang aku memerintahkan kepadamu untuk menjumpainya. Akan tetapi, telah datang kepadamu masa nabi (yang baru). Ia diutus di atas agama Ibrahim, bangkit di tanah Arab, melakukan hijrah ke tempat antara dua bukit batu yang pernah terbakar. Di sana tumbuh pohon kurma. Pada dirinya terdapat tanda-tanda yang tidak tersembunyi; mau makan hasil hadiah, tidak makan sedekah. Di antara dua pundaknya terdapat tanda kenabian. Jika engkau bisa pergi ke negeri itu, lakukanlah!" 

Di 'Amuriyah, cukup lama Salman menghabiskan waktu di sana, hingga datanglah rombongan pedagang dari Bani Kalb, dan Salman pun berkata kepada mereka: "Maukah kalian membawaku ke Negeri Arab dan aku akan memberi kalian sapi-sapi dan kambing-kambingku ini?" 

Mereka menjawab,"Baiklah!" 

Salman memberikan itu semua kepada mereka dengan imbalan tumpangan sampai ke tanah Arab. Akan tetapi, mereka berbuat kenistaan kepadanya, dengan menjual dirinya kepada seorang lelaki Yahudi, layaknya seorang budak belian. Maka, Salman pun tinggal bersama lelaki Yahudi itu. Dan ternyata, Salman menyaksikan adanya pepohonan kurma di situ. Dia pun berharap, inilah tempat yang digambarkan kawannya (pendeta), tetapi ia belum merasa yakin. 

Hingga suatu saat, datanglah kemenakan lelaki Yahudi itu dari Madinah. Yaitu dari Bani Quraizhah. Dia membeli Salman dari pamannya dan membawanya ke Madinah. Di kota Madinah ini, Salman menemukan kesesuaian dengan yang digambarkan pendeta terakhir yang ia jumpai. Salman akhirnya menghabiskan waktunya sebagai budak dengan majikan yang baru. 

Berita tentang hijrah Nabi yang dibangkitkan di tanah Arab ke Madinah sudah tersiar. Saat pertama kali mendengar berita itu, Salman sedang berada di atas pohon kurma milik majikannya. Sedangkan majikannya sedang duduk. 

Tiba-tiba kemenakan sang majikan ini datang dan berdiri di hadapannya, sambil berkata: "Semoga Allah memerangi Bani Qailah. Demi Allah, mereka sekarang berkumpul di Quba, mengelilingi seorang lelaki yang datang dari Mekkah hari ini, yang mengaku dirinya seorang Nabi".

Ketika Salman mendengarnya, seluruh tubuhnya gemetar, sampai mengira hampir jatuh menimpa majikan yang berada di bawahnya. Lalu Salman turun dari pohon kurma, dan bertanya kepada kemenakan si majikan: "Apa yang engkau katakan? Apa yang engkau katakan?" 

Sang majikan marah dan menampar pipinya dengan pukulan yang sangat keras, lantas berkata,"Apa urusanmu dengannya? Teruslah bekerja!" 

Salman menjawab,"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin mengetahui ucapannya saja." 

Sebelumnya, Salman telah mempunyai sesuatu (kurma) yang telah ia kumpulkan. Saat sore harinya, ia pergi menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang sedang berada di Quba. 

Kata Salman,"Telah sampai kepadaku berita, kalau engkau orang yang baik, (datang) bersama para sahabatmu yang asing lagi memerlukan bantuan. Ini ada sesuatu untuk sedekah. Aku melihat kalian sangat berhak daripada orang lain," maka aku pun mendekatkan (sedekah itu) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . 

Rasulullah berkata kepada para sahabat: "Makanlah," tetapi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menahan tangannya dan tidak mau makan. 

Salman berkata dalam hati: "Ini tanda pertama". 

Pada kesempatan berikutnya, Salman mengumpulkan sesuatu dan Rasulullah telah tinggal di Madinah. Salman berkata,"Aku melihatmu tidak mau makan sedekah. Ini adalah hadiah, aku ingin memuliakan dirimu dengannya," maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memakannya, dan menyuruh para sahabat ikut makan bersama beliau. 

Dalam hati, Salman berkata: "Ini tanda kedua". 

Berikutnya, Salman mendatangi Rasulullah ketika berada di Baqi Gharqad, yaitu ketika sedang melayat jenazah salah seorang sahabatnya. Beliau mengenakan dua kain, duduk di antara para sahabat.

Maka, Salman datang dan melontarkan salam kepada beliau. Setelah itu, ia berputar ke belakang untuk melihat punggung Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , untuk memastikan tanda kenabian yang disebutkan oleh pendeta. Ketika Rasulullah menyadari keingintahuan Salman, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melepaskan kain atasnya dari punggung, dan Salman menyaksikan tanda kenabian tersebut, sebagaimana ia mengenalnya dari cerita yang pernah ia dengar. 

Kemudian, Salman segera mendekati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , menciumi tanda itu dan menangis. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Salman: "Kemarilah," maka aku ke depan beliau, dan aku bercerita kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . . .

Perang Khandaq merupakan perang pertama kali yang diikuti oleh sahabat mulia ini. Karena sebelumnya ia masih terkungkung oleh perbudakan. Sampai akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memobilisasi para sahabat agar membantu Salman, yaitu untuk menebusnya. Setelah itu, Salman al Farisi tidak pernah absen menyertai Rasulullah dalam peperangan selanjutnya. (AM)

Sumber: 
As-Silsilah ash-Shahihah (2/555-560 no. 894) secara ringkas. Asal hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al Musnad (5/441-444), Ibnu Sa'ad dalam ath-Thabaqat (4/53-570), ath- Thabrani dalam Mu'jamul-Kabir (7/272/6065) dari Ibnu 'Abbas.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: "Salman beradu argumentasi dengan ayahnya tentang agama paganisme (syirik). Ketika berhasil mengalahkannya dengan hujjah, maka tidak ada jawaban selain belenggu rantai. Ini adalah jawaban yang biasa ditempuh oleh ahlil bathil, seperti yang dikatakan oleh Fir'aun kepada Musa, kaum Jahmiyah kepada Imam Ahmad dan ahli bid'ah terhadap Syaikhul Islam". Lihat al Fawaid, Ta'liq: Muhammad Muhammad Tamir, Darut Taqwa, halaman 42-43.

16 November 2013

Anak Kecil Yang Takut Api Neraka

Dalam sebuah riwayat menyatakan bahwa ada seorang lelaki tua sedang berjalan-jalan di tepi sungai, ketika sedang berjalan-jalan dia melihat seorang anak kecil sedang mengambil wudhu’ sambil menangis. Ketika orang tua itu melihat anak kecil tadi menangis, dia pun berkata, "Wahai anak kecil kenapa kamu menangis?"

Maka berkata anak kecil itu, "Wahai Kakek, saya telah membaca ayat al-Qur’an sehingga sampai kepada ayat yang berbunyi, "yaa ayyuhal ladzina aamanuu quu anfusakum" yang (Wahai orang-orang yang beriman, jagalah olehmu sekalian akan dirimu). Saya menangis sebab saya takut akan dimasukkan ke dalam api neraka."

Berkata orang tua itu, "Wahai anak, janganlah kamu takut, sesungguhnya kamu terpelihara dan kamu tidak akan dimasukkan ke dalm api neraka."

Berkata anak kecil itu, "Wahai Kakek, Kakek adalah orang yang berakal, tidakkah Kakek lihat kalau orang menyalakan api maka yang pertama kali diletakkan ialah ranting-ranting kayu yang kecil dahulu, kemudian baru diletakkan kayu yang besar. Jadi tentulah saya yang kecil ini akan dibakar terlebih dahulu sebelum orang dewasa yang dibakar."

Berkata orang tua itu, sambil menangis, "Sungguh anak kecil ini lebih takut kepada neraka daripada orang yang dewasa maka bagaimanakah keadaan kami nanti?"

11 November 2013

Teladan Kerendahan Hati Rasulullah SAW

Kalau ada pakaian yang robek, Rasulullah menambalnya sendiri tanpa perlu menyuruh isterinya. Beliau juga memeras susu kambing untuk keperluan keluarga maupun untuk dijual. Setiap kali pulang ke rumah, bila dilihat tiada makanan yang sudah siap di masak untuk dimakan, sambil tersenyum baginda menyinsing lengan bajunya untuk membantu isterinya di dapur.

Sayidatina Aisyah menceritakan "Kalau Nabi berada di rumah, beliau selalu membantu urusan rumahtangga. Jika mendengar azan, beliau cepat-cepat berangkat ke masjid, dan cepat-cepat pula kembali sesudah selesai sembahyang."

Pernah baginda pulang pada waktu pagi. Tentulah baginda amat lapar waktu itu. Tetapi dilihatnya tiada apa pun yang ada untuk sarapan. Yang mentah pun tidak ada karena Sayidatina Aisyah belum ke pasar. Maka Nabi bertanya, "Belum ada sarapan ya Khumaira?" (Khumaira adalah panggilan mesra untuk Sayidatina Aisyah yang berarti ’Wahai yang kemerah-merahan’), Aisyah menjawab dengan agak serba salah, "Belum ada apa-apa wahai Rasulullah." Rasulullah lantas berkata, "Jika begitu aku puasa saja hari ini." tanpa sedikit tergambar rasa kesal di wajahnya.

Sebaliknya baginda sangat marah tatkala melihat seorang suami memukul isterinya. Rasulullah menegur, "Mengapa engkau memukul isterimu?.
" Lantas dijawab dengan agak gementar, "Isteriku sangat keras kepala. Sudah diberi nasehat dia tetap bandel, jadi aku pukul dia."

"Aku tidak bertanya alasanmu," sahut Nabi s.a.w. "Aku menanyakan mengapa engkau memukul teman tidurmu dan ibu bagi anak-anakmu?"

Pernah baginda bersabda, "sebaik-baik lelaki adalah yang paling baik dan iemah lembut terhadap isterinya." Prihatin, sabar dan tawadhuknya baginda dalam menjadi kepala keluarga tidak menampakkan kedudukannya sebagai pemimpin umat.

Baginda pernah tanpa rasa canggung sedikitpun makan di sebelah seorang tua yang penuh kudis, miskin dan kotor.Baginda hanya diam dan bersabar ketika kain rida’nya ditarik dengan kasar oleh seorang Arab Baduwi hingga berbekas merah di lehernya. Dan dengan penuh rasa kehambaan baginda membasuh tempat yang dikenang si Baduwi di dalam masjid sebelum menegur dengan lembut perbuatan itu.

Ketika pintu Syurga telah terbuka seluas-luasnya untuk baginda, baginda masih lagi berdiri di waktu-waktu sepi malam hari, terus-menerus beribadah hingga pernah baginda terjatuh lantaran kakinya sudah bengkak-beng- kak. Fisiknya sudah tidak mampu menanggung kemauan jiwanya yang tinggi.

Ketika ditanya oleh Sayidatina Aisyah, "Ya Rasulullah, bukankah engkau telah dijamin masuk Syurga? Mengapa engkau masih bersusah payah begini?"

Jawab baginda dengan lunak, "Ya Aisyah, bukankah aku ini hanyalah seorang hamba? Sesungguhnya aku ingain menjadi hamba-Nya yang bersyukur."

dukuti dari : La Tahzan

08 November 2013

Menunda Menikah Bisikan Syaithan

Ba’da sholat maghrib, saya duduk dengan seorang ustadz di masjid saya. Ada satu nasehat yang masih sangat saya ingat. 

Beginilah kira-kira nasehatnya:

Syaithan itu akan senantiasa menggoda manusia, dan syaithan akan selalu menggoda dan menghalangi manusia dalam berbuat baik dan beribadah kepada Allah. menikah itu adalah ibadah, maka setan akan selalu menggoda manusia untuk menunda menikah, membisikkan kekhawatiran kepada manusia berupa cemas akan rizki, perasaan belum siap dan perasaan was-was selainnya.

Menikah merupakan salah satu yang paling dibenci oleh syaithan, karena saat menikah yang haram menjadi halal, bahkan yang semulanya haram menjadi ibadah. 

Ini membuat syaithan sedih karena wilayah kerjanya hilang dan ini membuat syaithan sangat tidak suka, sehingga ia akan selalu sekuat tenaga menghalangi seseorang untuk menikah.

PELAJARAN DARI SURAH AL-LAHAB

Surah Al-Lahab merupakan salah satu surat Al-Quran yang hampir semua muslim hafal, surat pendek ini mengandung banyak pelajaran. berikut ini sebagian pelajaran dari surat Al-Lahab ini: 

1. Ancaman Allah bagi para pendusta dan orang-orang yang menghalangi dakwah islam.
Allah mengancam siapapun yang mendustakan dan menghalangi dakwah ilallah, banyak sekali ayat Al-Quran yang berbicara tentang ancaman Allah ini, diantaranya:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. dan ke dalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan. (QS. Al-Anfal: 36).
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. (QS. An-Nisa: 160).

2. Nasab tidak menjadi ukuran kemulian atau kehinaan seseorang di sisi Allah.
yang menjai ukuran kemulian seseorang disisi Allah bukanlah nasab atau tali keturunan, tapi ketaqwaan kepada Allah.
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujuraat: 13).

3. Iman tidak bisa di wariskan kepada orang terdekat/keluarga, hidayah mutlak milik Allah.
bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya..... (QS. Al-Baqarah: 272)
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. Al-Qashas: 56).

4. Ikatan pertama bagi seorang muslim dengan manusia lainnya adalah ikatan aqidah, bukan iktana keturunan, harta, lingkungan, dan lainnya.
Tidak beriman salah seorang diantara kamu sampai ia mencinta saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (HR. Bukhari-Muslim).

5. Sudah sunnatullah dakwah ini selalu ada penentangnya, dan tidak tertutup kemungkinan penentang itu berasal dari keluarga/orang terdekat.
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat. (QS. Al-Baqarah: 214)
kemudian Kami selamatkan Dia (Luth) dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; Dia Termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). (QS. Al-A’raf: 83).

6. Kedudukan dan kehormatan di dunia tidak menjadi jaminan kemulian seseorang di akhirat.
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (QS. At-Taubah: 34).

7. Harta, anak dan apa yang di usahakan di dunia tidak akan bermanfaat di akhirat (selama tidak di belanjakan di jalan Allah). 
dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS. Al-Anfal: 28)

8. Orang yang saling membantu dalam keburukan di dunia, maka akan saling membantu memberatkan azab di akhirat.

9. Pasangan Suami dan Istri itu biasanya selalu sekufu/sederajat.
wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).... (QS. An-Nur:26)

10. Membuktikan ketetapan Allah itu benar dan menjadi bukti mukjizat Al-Quran dan bukti kenabian Rasul.
Imam ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: Para ulama mengatakan bahwa surat ini merupakan mukjizat dan bukti terang yang menunjukkan kenabian. Karena sesungguhnya sejak di turunkan firman-Nya:
Kelak dia (abu lahab) akan masuk kedalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar, yang dilehernya ada tali dari sabut. (QS. Al-Lahab: 3-5).

Yang memberitakan bahwa keduanya adalah orang yang celaka dan tidak akan mau beriman. Kemudian kenyataannya memang demikian selama hidupnya, keduanya tidak beriman dan tidak pula salah seorangnya, baik lahir maupun bathinnya, dan baik menyembunyikannya ataupun melahirkannya. Keduanya sama sekali tidak mau beriman. Dan hal ini merupakan bukti kuat yang menunjukkan kebenaran kenabian Nabi Muhammad Saw.

Jika seandainya setelah turunnya ayat ini, lalu abu lahab dan istrinya beriman, tentu kebenaran Al-Quran diragukan karena ayatnya tidak terbukti benar. 

Catatan : tulisan ini bukan tafsir dari surat Al-Lahab, ini hanya pelajaran/hikmah yang bisa di ambil dari surat tersebut. Untuk tafsirnya silahkan merujuk pada tafsir para ulama tafsir.