27 February 2014

Rumput yang Bergoyang

Saya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Ebiet G. Ade ketika belasan tahun yang lalu, dalam lagu yang meledak menjadi hits, dia menggugat dan ingin bertanya pada rumput yang bergoyang. Adakah dia tak lagi punya asa? Adakah dia frustasi? Namun, saya bisa menangkap apa isi gugatannya ketika dia berteriak,

“Mengapa di tanahku terjadi bencana?” Inikah juga yang ditanyakan bangsa kita kini!

Konon, Ebiet sudah kabarkan berita ini kepada laut, karang ombak bahkan matahari. Sayang, dia mengaku tak memperoleh jawaban. Lalu, yang bisa dia lakukan adalah menduga-duga. Mungkinkah ini murka Tuhan? Mungkinkah ini karena alam tak lagi bersahabat?

Entahlah. Boleh jadi Tuhan memang sedang murka. Namun saya kira benar bahwa alam tampaknya sedang tak bersahabat dengan kita. Lumpur Lapindo masih memuntahkan lumpurnya yang bercampur dengan gas, pasir, tanah dan batuan. Belum habis

air mata kita, Jakarta masih bersahabat dengan banjir, kebakaran dan tindak kriminalitas semakin menjadi-jadi. Penculikan anak, pelecehan terhadap hak-hak perempuan, perampokan toko emas.... sinetron dengan bermacam dramatisasi pelaku korupsi dipertontonkan pengadilan. Pencuri sandal jepit, biji coklat, semangka, piring, kayu bakar divonis sangat cepat dengan hukuman maksimal. Koruptor.....ha ha, untuk menangkapnya saja butuh dana yang besar, waktu berbulan-bulan, kerja sama interpol asing, setelah ditangkap....pake acara sakit...periksa kesehatan, rusak ingatan. Bukankah, sebelum mencuri uang rakyat (negara) mereka sudah sakit; sakit psikologis...simpati dan empati mereka hilang, sehingga bermegah-megahan dengan harta curian di atas keprihatinan, penderitaan, beban dan sakit hari rakyat. Dalam bahasa agamanya, tepat mereka punya qolbu marit.

Api. Air. Inikah tanda kemarahan alam? Jika iya, mengapa Tuhan izinkan alam untuk mengeskpresikan kegalauannya? Sampai kapan Tuhan izinkan alam untuk marah? Alam marah, benarkah ini juga berarti Tuhan sedang marah?

Ah, tiba-tiba gugatan dan renungan Ebiet belasan tahun yang lalu terdengar kembali dan mampir ke kamar saya. Bedanya, saya masih punya harapan, walaupun diimbuhi sedikit rasa cemas. Harapan itulah yang membuat saya tak bertanya pada rumput Tang bergoyang. Harapan itulah yang membuat saya ’’merayu” Tuhan dalam do’a-do’a saya. Semoga Tuhan segera menyuruh alam berhenti ”ngambek".

Rumput bergoyang,
Merapi berguncang, 
dataran tergenang

Ah.. duhai alam, bukankan jika kau marah orang-orang tak berdosa pun ikut menanggung akibatnya?

Terimalah salamku, bukankah tak baik kalau kita bertengkar lebih dari tiga hari?

20 February 2014

Aneh Tapi Nyata dengan Alhamdulillah

Alkisah, disuatu desa ada seorang petani miskin yang kehilangan kuda satu-satunya. Kuda itu selalu petani gunakan untuk bekerja. Orang-orang di desanya amat prihatin atas kejadian itu, namun petani itu hanya katakan, “Alhamdulillah”.

Orang-orang di Desa merasa keanehan dengan petani itu. Seminggu kemudian kuda tersebut kembali ke rumahnya sambil membawa serombongan kuda liar. Kuda-kuda itu disewakan kepada 0rang-orang Desa. Hingga petani itu mendadak menjadi orang kaya. Orang-orang di desanya berduyun-duyun mengucapkan selamat kepadanya, namun petani itu hanya katakan, “Alhamdulillah”.

Tak lama kemudian petani ini kembali mendapat musibah. Anaknya yang berusaha menjinakkan seekor kuda liar terjatuh sehingga patah kakinya. Orang-orang desa merasa amat prihatin atas kejadian itu, tapi sang petani lagi-lagi hanya mengatakan,“Alhamdulillah”.

Ternyata seminggu kemudian bala tentara masuk ke desa itu untuk mencari para pemuda untuk wajib militer. Semua pemuda diboyong keluar desa kecuali anak sang petani karena kakinya patah. Melihat hal itu si petani hanya berkata singkat,“Alhamdulillah”.

Cerita diatas menunjukkan kepada kita bahwa apa yang kelihatannya baik, belum tentu baik. Sebaliknya, apa yang kelihatan buruk belum tentu buruk. Sebagaimana dalam Al-Quran : “…boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Q.S Al-Baqarah : 216)

Dalam Aspek da’wah yang dilakukan petani pada cerita diatas merupakan aspek da’wah nafsiyah. Terbukti saat petani itu dikenai beragam musibah dan beragam anugrah, petani itu mengatakan “Alhamdulillah”. “Alhamdulillah” kata yang singkat namun berarti sebagai pengobat untuk kejadian-kejadian yang menimpa. Inilah sifat yang perlu dimiliki oleh da’i, pada saat terpojokan oleh masalah-masalah maka jalan keluarnya adalah katakan “Alhamdulillah” suatu kata yang menandai dikembalikannya seluruh kejadian kepada Allah Swt. Dalam hal ini Allah Swt mengingatkan, sebagai berikut : ” Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan ”. (Q.S Al Jaatsiyah : 15)

Pada surat dan ayat yanng lain disebutkan pula : ”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya” (Q.S. Fushshilat : 46)

Orang yang bersyukur tidak terganggu dengan apa yang terjadi menimpanya karena ia selalu menerima apa saja yang ia dapati. Serta apa yang dilakukan oleh kita sesungguhnya, itu kembali kepada kita termasuk saat kita bersyukur. Sebagaimana Firman Allah dalam Al-Quran : “Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (Q.S Luqman : 12)

Jika dikaitkan dengan kajian Teori Bimbingan Konseling cerita diatas senada dengan konsep Analisis Transaksional yang dikemukakan oleh Eric Bern. Dimana petani meskipun ia adalah orang tua akan tetapi ia dapat mengendalikan Egonya pada “Ego Dewasa” yang mana Ego dewasa bercirikan bijaksana, proporsional, fleksibel, dan bertanggung jawab.



Wallahu ‘alam bishshowab. . .


Author : MH Fuadi,BKI 4 b,1211401064,Artikel ke-BKI-an

06 February 2014

Apa yang Kita Kejar ?

Kawan, dunia ini memang melenakkan, banyak keindahan dan kenikmatan, serta kesenangan yang ditawarkannya. Dunia menggoda siapa saja yang berada di dalamnya. Tak ayal, banyak dari kita yang terjerembab dalam kesenangan semu yang ditawarkan oleh dunia. Ketahuilah kawan, dunia ini ibarat air laut, semakin kau minum, maka akan semakin haus. Ya, semakin kita mengejar dunia, maka akan semakin kita terpedaya olehnya.

Kawan, apa yang hendak kita kejar di kehidupan yang singkat ini ? Harta ? Lihatlah Qarun, manusia yang paling kaya pada masanya, namun akhirnya dia terhinakan oleh kekayaannya sendiri. Jabatan ? Ingatkah kalian dengan Fir’aun ? dia adalah manusia paling angkuh di dunia, sombong dan melampaui batas. Fir’aun adalah raja tersohor, bahkan dia tak segan mengakui dirinya sebagai tuhan yang berhak menetapkan hukum sesuai dengan kehendaknya. Namun kita sudah sama-sama mengetahui, bahwa Fir’aun pada akhirnya pun mati dalam keadaaan hina dan dihinakan dengan jabatan kekuasaannya. Lantas, apa yang kita kejar selama hidup di dunia ini ?

Miris betul, ketika media mengabarkan para pejabat Negara yang korupsi, hanya untuk memenuhi kantong dan isi perutnya sendiri, tanpa dia perhatikan kondisi rakyatnya yang menjerit kelaparan. Sedih sekali, melihat kelakuan para elit politik yang saling berebut kekuasaan yang pada akhirnya banyak mereka salah gunakan. Belum lagi masyarakat yang lainnya, menghabiskan waktu hanya untuk bersenang-senang dengan dunia. Dia tinggalkan seruan kebaikan, dan beralih pada seruan kemaksiatan.

Apa yang kita kejar di dunia ini ? Kelak semua yang ada di Dunia ini, perlahan-lahan akan meninggalkan kita. Paras yang cantik rupawan, kelak akan menampakkan garis-garis kerutan yang menandai usia kita semakin senja. Harta yang selama ini ita kumpulkan, tidak dapat memberikan jaminan ketenangan. Jabatan Dunia, yang sedari dulu kita perebutkan, kelak akan menjadi amal yang memberatkan timbangan keburukan.

Ingatlah kawan, hidup kita tak hanya sekedar di dunia ini. Dunia yang penuh dengan berbagai macam kesenangan, kegemerlapan, tapi pada akhirnya dia pun meninggalkan kita. Ada alam lain yang sedari kini menanti kita, yakni alam akhirat. Disanalah kita kan kekal selamanya, disanalah kehidupan kita yang sebenarnya. Apa yang kita kejar selama hidup ini, kelak akan kita tuai hasilnya di akhirat sana. Bila kita mengejar kenikmatan Dunia saja, tanpa menghiraukau akhirat, kelak kita akan mendapatkan balasannya. Pun halnya bila kita mengejar akhirat, dan menjadikan Dunia sebagai tempat bercocok tanam kebaikkan, in shaa allah kelak kita pun akan memanen kebaikan dan ditempatkan ditempat yang baik, di akhirat sana.

Apa yang kita kejar selama hidup ini ? Satu persatu semua akan meninggalkan kita, hingga tak ada lagi yang tersisa, kecuali amal yang kita kerjakan semasa kita hidup di Dunia. Sadarilah, semua ini hanya sementara, kelak, segala bentuk kenikmatan, keindahan, kemewahan, ataupun kesenangan Dunia yang kita kejar selama ini, akan berakhir dan pergi meninggalkan kita.

Semoga, kita semakin menyadari akan arti hidup ini, bahwa kehidupan ini bukan hanya untuk mengejar perhiasan Dunia yang semu, melainkan untuk meraih ke ridhaan Ilahi, agar kelak kita dimasukkan kedalam surga yang abadi. Aamiinn, allahumma aamiinn.



Mustaqim aziz
Twitter : mustaqimaziz2
Fb : moi_no_phobia@yahoo.com

02 February 2014

Waspada Setiap Perbuatan Ada Balasannya

Pernahkah kita tertimpa sesuatu yang dirasa tidak enak, misalkan terkena bola golf mengenai kepala. Jangan dulu menyalahkan orang lain yang tidak sengaja melakukannya itu, melainkan periksa, ingat-ingat, apa yang telah kita lakukan terhadap orang lain. Bisa jadi kita pernah melempar sesuatu, ternyata mengenai orang lain tanpa kita sengaja, misalnya. Demikianlah, suatu perbuatan akan nada balasannya. Bahkan Allah menerangkan dalam QS Ali Imran : 140 tatkala orang-orang beriman dalam Perang Uhud mendapat luka, bahwa itu merupakan pergiliran dari Allah atas luka yang telah menimpa kaum kafir.

Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Setiap makhluk yang ada di alam semesta ini, tidak ada satu pun yang luput dari pengawasan Allah. Dan tidak ada satu pun perbuatan manusia yang tidak diberikan perhitungannya oleh Allah Yang Maha Menyaksikan. Setiap kebaikan dan keburukan pasti dibalas dengan adil, meskipun hanya sebesar zarrah. Baik itu di dunia maupun di akhirat kelak.

"Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai." (QS. Al Israa: 7)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Barangsiapa pernah menganiaya saudaranya, baik yang berhubungan dengan kehormatannya ataupun sesuatu yang lain (harta benda), maka hendaknya ia segera minta dihalalkan (minta ma’af), sebelum tiba masa di mana dinar dan dirham sudah tiada berguna lagi (sebelum datangnya kematian). (Jika hal itu tidak dilakukan). Apabila baginya (memiliki simpanan) amal shalih maka amalnya itu akan diambil (sebagai pengganti) sesuai kadar kedzalimannya. Dan jika dia tidak memiliki (amal) kebaikan, maka kejelekan (dosa-dosa) orang yang teraniaya akan dilimpahkan dan dibebankan kepadanya”. (HR Bukhari)

Memang, kita sering melihat banyak orang yang hidup berkecukupan yang secara nyata-nyatanya mereka adalah tergolong orang-orang yang sering berbuat dosa. Lantas bagaimana halnya dengan adanya keyakinan bahwa balasan dari perbuatan baik adalah kebaikan?

Orang-orang yang sering terlihat berbuat berdosa, namun terlihat nyaman dengan berbagai kepemilikian duniawinya, walau demikian bagaimana dengan kondisi hati mereka? Apakah ada ketenangan di hati mereka? Pasti tidak ada. Karena, hanya dengan berdzikir kepada Allah hati menjadi tentram. Buat apa memiliki kekayaan duniawi kalau hati gelisah, makan tidak tenang, tidur tidak nyenyak.

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’du : 28)

Balasan terbaik bukanlah dengan apa yang ia miliki dari kekayaan duniawi, tetapi semakin dekat kepada Allah, hati yang semakin mantap, yakin dan istiqomah dalam beribadah kepada Allah. Di saat kita memiliki niatan yang baik, kita lantas dituntun oleh Allah, bersabar dalam berusaha, sehingga saat bertemu dengan rizki semua dilakukan dengan penuh keberkahan. Ditambah dengan dikeluarkannya sedikit dari rizki yang kita miliki untuk berjuang di jalan Allah, maka semakin nikmat karunia yang telah Allah berikan ini.

Jangan pernah merasa tidak adanya pertanggungjawaban atas perbuatan kita di dunia ini, karena semua hal yang kita lakukan diawasi dan diperhitungkan oleh Allah untuk diberi balasan bahkan di dunia ini juga, kecuali perbuatan dosa yang segera dimohonkan ampunan-Nya. Semua hal akan dipertanggungjawabkan, karena pada hari perhitungan kelak, anggota tubuh ini akan bersaksi.

"Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan." (QS. Yaasiin: 65)

Oleh karena itu, berhati hatilah dalam menjaga pikiran dan sikap kita. Terus bersihkan hati, agar kita semakin mudah dalam merasakan kehadiran dan pengawasan Allah.

Seseorang yang tauhidnya bagus, dapat dipastikan bahwa akhlaknya juga terjaga. Karena, dia yakin bahwa Allah Maha Melihat, sehingga dia akan sibuk dengan Allah tanpa perlu berakting dan berpura-pura.

"Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (QS. Yunus: 61)

Kita tidak tahu sesuatu yang terjadi di masa depan. Saat ujian di sekolah, misalnya, sebagai murid tidak akan pernah tahu materi yang nantinya akan keluar. Sedangkan Allah Maha Tahu apa pun yang akan terjadi di kemudian hari dengan detail. Jadi…bergantung saja pada Allah, berdoa dengan sungguh-sungguh, ikhtiar dengan benar dan baik, dan lakukanlah hal-hal yang Allah sukai, dan berharaplah semua akan dimudahkan.

Rezeki, Saat Ada dan Tiada

Bagi orang yang hatinya belum sungguh-sungguh kepada Allah, maka sikapnya ditentukan oleh kondisi hatinya. Ketika diberi ia akan terlalu gembira karena pemberiannya itu, dan saat ditolak ia akan kecewa, karena harapannya tak tersampaikan.

Namun bagi orang yang mengetahui atas apa yang terbaik bagi dirinya itu berasal dari Allah, maka pemberian dan penolakan tidak membuat senang dan susah. Senang dan susahnya jika ia tidak mau bersyukur dan bersabar. Ia akan kecewa bila tidak bisa bersyukur dan bersaba; bukan pada ada dan tiadanya, dia akan kecewa.

Misalnya bagi seorang pedagang yang bergantung pada makhluk, gejalanya dapat dirasakan senang apabila ada pembeli dan kecewa bila tidak ada pembeli.

Mulailah berlatih ketika mendapat karunia, merasa gembira sewajarnya. Kalau mendapat nikmat itu semata-mata hanya kemurahan Allah, jangan dikait-kaitkan dengan kehebatan ibadah kita, karena Allah tidak bisa dipaksa.

Contoh lainnya, ketika memperoleh gaji ia merasa sangat senang, namun ketika uang gaji itu harus keluar untuk membayar keperluannya, lalu ia bersedih, berarti kita masih senangnya dengan sesuatu yang datang, dan sedih dengan sesuaatu yang harus keluar.

Padahal kalau kita tafakuri, uang itu sesungguhnya sejak dari dahulu hingga saat ini terus saja mengalir. Gaji itu lalu lintas takdir Allah sebagai salah satu aliran rejeki. Sehingga bergembiranya kita bukan pada adanya uang, melainkan adanya ladang amal. Bila waktunya uang itu harus pergi, seharusnya tidak bersedih.

Dengan demikian, apabila kita menyukai dengan apa saja yang ditetapkan Allah, maka itu tanda bagi orang yang bersyukur, dan merasa bahagia apabila karunia yang diberikan Allah kepada orang lain, dan itu juga buah dari syukur.

Perbuatan syukur apabila nikmat itu datang kepada dirinya, lalu ia mengucapkan alhamdulillah. Apabila ia selalu bersyukur kalau nikmat tidak hanya datang pada dirinya, maka inilah sifat syukur yang derajatnya lebih tinggi. Karena kita menyukai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah.

“Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS Az-Zumar : 66)

Pada kenyataannya, ada orang yang menyukai bahwa nikmat itu hanya untuk dirinya, hal itu tidak menjadi amalan yang maksimal bagi dirinya. Semestinya kita menyenangi Allah jika memberi nikmat pada makhluk-makhluknya yang lain, bukan hanya bergembira karena nikmat itu diberikan kepada kita.

Ketika kita menerima suatu nikmat, wajar jika kita menjadi gembira, karena langsung menyangkut dengan diri kita, namun sebuah pencapaian keyakinan yang lebih tinggi apabila kita bersyukur ketika orang lain memperoleh nikmat juga. Ketika kita mendapat nikmat, hendaklah tidak dikait-kaitkan dengan kelebihan dan kemampuan kita, semua semata-mata karena Allah tidak bisa dipaksa oleh siapa pun.

Coba direnungkan, apakah banyak yang cocoknya atau tidak dalam kehidupan kita ini? Barangkali di antara kita akan banyak yang menjawab banyak yang tidak cocoknya. Lalu mengapa kita masih hidup, berpakaian lagi, ditutupi aib. Jadi, di mana ruginya… Bahkan tidak jarang Allah memberikan sesuatu yang tidak cocok, padahal itulah yang terbaik bagi kita.

Yang kita inginkan seringkali yang cocok menurut nafsu, karena pendeknya pengetahuan kita. Barometer bagus menurut kita, itu sesuai dengan dengan nafsu, sedangkan menurut Allah yang bagus cocok menurut iman. Misalnya, sehat menurut kita bagus, tapi Allah Maha Tahu, dengan sakit itu hikmahnya bisa menjadi kita lebih dekat dan terjaga dari maksiat.

Adakalanya kita terus menerus berlimpah rejeki, lalu membuat kita lengah dalam ibadah, maka bisa saja dibuat kejadian yang membuat kita tidak bersandar kepada gaji. Dengan hilang pekerjaan, misalnya. Hingga ia tidak menyandar kepada apa pun, Allah membuatnya ia terlepas pada sandaran apa pun, agar benar-benar tawakal kepada Allah. Hingga benar-benar pasrah kepada-Nya.

Jadi apabila kita masih senang dengan datangnya sesuatu, dan sedih dengan hilangnya sesuatu, maka memang kita masih kekanak-kanakan. Kita masih memanjakan nafsu kita. Tapi kalau mau melihat perbuatan Allah, kita tidak cukup melihat senang dan susah seperti apa adanya, melainkan semua itu sebagai satu karunia.

Jadi tidak boleh sok tahu terhadap takdir yang terbaik baik kita, karena ini yang membuat ‘ada’-nya membuatnya menjadi terlalu bergembira, dan ‘tiada’-nya menjadi sengsara hati.