30 May 2014

Mengejar Dunia Tak Akan Ada Habisnya

Sudah tabiat manusia tak pernah puas dengan apa yang saat ini dimilikinya. Selalu saja, ingin memiliki yang lebih dari sekedar yang dimilikinya saat ini. Ya, dunia memang akan terus menggoda siapa saja yang berada di dalamnya. Dunia menawarkan sejuta kenikmatan, yang dapat membuat manusia tergiur akan kelezatannya. Begitulah tipu daya dunia yang fana ini.

Kawan, mesti kita sadari bahwa semua yang ada di dunia ini pastilah akan sirna, termasuk kekayaan, popularitas, juga segala hal lainnya yang ada di dalamnya, cepat atau lambat akan meninggalkan kita. Harta kekayaan, tak mampu menunda azal yang datangnya sudah ditetapkan oleh Tuhan. Popularitas pun tak dapat menjadi juru selamat tatkala malaikat maut datang menjemput. Semua yang kita miliki selama ini, tak akan selamanya dapat kita miliki ataupun kita pertahankan.

Pahamilah bahwa dunia ini tak ubahnya seperti air laut, semakin diminum maka akan semakin bertambah hauslah kita. Semakin kita berhasrat untuk mengejar dunia, maka akan semakin terlena pula kita dibuatnya. Khawatirlah bila sampai kita tenggelam dalam keindahan juga kenikmatan lautan dunia. Karena bilamana diri sudah tenggelam dalam lautan dunia, akan sulit untuk kita kembali ke permukaan. Karena memang dunia diciptakan indah bagi orang-orang yang menganggap dunia ini adalah segalanya.

Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (Al Baqarah :212)

Dunia hanyalah perantara kita menuju hari akhir, hari yang dimana tak akan ada lagi pergantian malam dan siang. Hari dimana seluruh umat manusia mulai dihitung amal kebaikan juga amal keburukannya. Itulah hari akhirat, hari yang tak akan pernah dirasakan oleh siapapun yang masih merasakan hidup di dunia. Oleh karena itu yakinilah, bahwa kelak apa yang kita lakukan selama di dunia ini akan mendapat balasan.

Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (Al An’am :160)

Siapapun yang selama hidupnya hanya memikirkan dunia, maka kelak akan Allah akan buat dia terletih-letih dalam mengejarnya. Berbeda dengan orang menjadikan akhirat sebagai prioritas utamanya, maka dunia dengan sendirinya akan melayaninya. Bukan berarti kita tidak boleh memiliki banyak harta, akan tetapi kekayaan yang kita miliki justru harus bisa menjadi pemberat amalan baik kita di akhirat nanti. Bukan seperti yang terjadi pada saat ini, ketika banyak orang berlomba-lomba ingin menjadi kaya raya, maka mereka melakukan segala cara, termasuk hal-hal yang diharamkan oleh agama. Termasuk menyekutukan Allah dengan meminta bantuan makhluk-Nya yang lain, yakni dari golongan Jin.

Dunia, adalah tempat bercocok tanam, untuk kemudian kita dapati hasilnya ketika kita meninggalkannya. Di akhirat itulah masa panen kita, disana tak akan ada lagi amal ibadah yang bisa kita kerjakan, karena disanalah negeri akhir yang selamanya akan kita tempati. Janganlah sampai kita diperbudak dunia, hingga kita lupa dengan negeri akhirat yang kelak kita akan tinggal disana untuk selamanya. Ingatlah, bahwa kehidupan dunia ini hanya sementara, dan kita akan dipisahkan olehnya dengan kematian.

Sadarilah, dunia ini semakin dikejar maka akan semakin lelahllah kita dalam mengejarnya. Sementara, bila kita terus-menerus mengejarnya tanpa memeperhatikan urusan akhirat kita, sungguh kita akan termasuk orang-orang yang merugi.

Semoga, kita selalu dikuatkan iman islamnya, agar dalam menjalani kehidupan ini kita tak terjebak oleh bujuk rayu dunia yang sementara.



Mustaqim Aziz

21 May 2014

Aku Bangga Dengan Al-Qur’an

“Suasana di kota santri, asyik menyenangkan hati”

“Tiap pagi dan sore hari muda-muda berbusana rapi”

“Pulang pergi mengaji”

“Hilir mudik silih berganti, menyandang kitab suci”

Demikian sebuah syair qasidah yang masih cukup enak didengar, mengingatkan kita pada masa-masa dikampung dulu, masa indah di mana kita pergi ke surau-surau untuk mengaji, mendekap kitab suci al-qur’an yang terbungkus rapi dalam balutan kain putih.

Demikian hormatnya kita ketika itu, sehingga kita lebih rela kehujanan dari pada al-qur’an yang basah, meski ketika itu kita sama sekali tidak tahu makna dan arti serta hikmah yang terkandung dalam al-qur’an, kami hanya sekedar belajar membacanya, itu pun dengan tajwid yang masih ala kadarnya.

Pemandangan anak-anak atau remaja pergi mengaji ke surau dengan mendekap kitab suci al-qur’an di dadanya, saat ini sungguh merupakan pemandangan yang sangat langka. Kita lebih mudah menemukan anak-anak membawa komik atau buku kartun di tas dan dalam tentengannya, kita lebih mudah menemukan remaja dan orang dewasa membawa buku-buku karya penulis barat, buku-buku Kahli Gibran, novel-novel melankolis atau bahkan cengeng, kenapa?

Kenapa kita seolah-olah malu ketika menyandang atau membawa al-qur’an dalam tas kita?

Kenapa kita seolah-olah minder ketika kita membaca al-qur’an sementara orang lain membaca Kahlil Gibran, Wiro Sableng atau buku-buku Ko Pinho?

Kenapa kita seolah-olah merasa ketinggalan zaman ketika kita membaca al-qur’an, sementara orang lain membaca Seven Habit-nya Stephen Cohey?

Kenapa seolah-olah buku-buku bacaan, koran dan surat khabar justru menjadi menu wajib di ruang baca kita, sementara al-qur’an tak lebih dari sekedar pajangan di rak dan lemari buku?

Ada sebuah pergeseran perilaku dan cara pandang kita terhadap al-qur’an, mungkin salah satu penyebabnya. Padahal sejarah mencatat periode keemasan Islam justru terjadi ketika umatnya, umat Islam ini demikian menghargai al-qur’an, menjadikannya rujukan, menjadikannya imam, menjadikannya sumber dari segala sumber hukum, menjadikan al-qur’an sebagai bacaan wajib, memahami kandungannya dan kemudian mengamalkan apa yang digariskannya.

Tidakkah kita ingin benar-benar kembali menjadi umat terbaik yang diturunkan Allah kepada manusia?

Adakah kita cukup puas dengan sebutan saja, sementara dalam kenyataannya, umat Islam saat ini ibarat buih di lautan yang dihempas ombah kian kemari, berpecah belah, karena setiap kita mempunyai pemikiran yang parsial dan hanya berdasar pada logika dan asumsi, bukan bersandar pada kebenaran al-qur’an yang telah dijamin oleh Allah sebagai satu-satunya bacaan yang akan memberi syafaat di Yaumil Akhir nanti.

Kalau saat ini kita belum mampu menjadikan al-qur’an sebagai menu utama ruang baca kita, kenapa kita tak menyempatkan diri membaca al-qur’an di sela-sela rehat kita membaca Wiro Sableng, Kho Pinho atau lainnya, meski ini bukan cara yang terbaik, setidaknya kita melatih diri untuk bisa hidup nyaman dengan al-qur’an.

Kalau seorang mekanik memjalankan mesin harus mengikuti buku manualnya, kalau mobil harus dijalankan dengan panduan manualnya, kalau pesawat terbang harus sesuai denga aturan yang ditetapkannya, kok bisa ya kita menjalani roda kehidupan kita tanpa panduan al-qur’an?!

Kenapa kita tidak belajar dari sejarah, bagaimana kehancuran umat-umat sebelum Islam pun terjadi ketika mereka berpaling dari apa yang telah digariskan oleh Tuhan dalam kitab-kitab sucinya. Kehancuran umat-umat itu ketika mereka hanya menjadikan kitab-kitab itu tak lebih dari sebuah bacaan kuno, yang dibawa kian kemari tanpa tahu apa isi kandungannya, Allah menyindir golongan dari jenis ini lewat firman-Nya;

(Quran Surah Al-Jumu’ah ayat 5) “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, Kemudian mereka tiada memikulnya [*] adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”

[*] Maksudnya: tidak mengamalkan isinya, antara lain tidak membenarkan kedatangan Muhammad s.a.w.

Apakah kita akan mengulangi kesalahan kaum-kaum fasik tersebut? Apakah kita tidak malu menyebut kita umat terbaik, sementara perilaku dan cara kita memperlakukan al-qur’an hampir sama dengan mereka memperlakukan kitab-kitabnya?

Mari kita rubah cara pandang dan pola pikir terhadap al-qur’an, mari kita bangga membaca, memahami dan mengamalkan al-qur’an.

Biarkan saja jika masih ada orang-orang yang mendiskerditkan al qur’an dengan pikiran-pikiran piciknya, karena al-qur’an tak perlu membuktikan apapun bahwa al-qur’an memang kebenaran yang datangnya dari Allah. Justru mereka-mereka itulah yang harus membuktikan ucapan dan pemikiran-pemikiran piciknya terhadap al-qur’an.

Tengok disekitar kantor kita, ada berapa al-qur’an di sana? Kalau belum ada, mungkin kita bisa menyediakannya untuk memungkinkan kita setiap hari bisa berhubungan dengan al-qur’an.

“Allahumarhamni bil qur’an”

“Waj’alhu li imamawa nurran wa huddan wa rahmat”

“Allahuma dzakirni minhuma nasyitu wa alimi min huma jahiltu”

“Warjuqni tilawatahu ana ‘alaili wa athrofananahar”

“Waj’alhu li hujjaka ya rabbal’alamin”

Wassalam

===============
Abu Maulana
http://bahasahati.blogspot.com/

16 May 2014

Lidah Memberi Petunjuk, Tindakan Seperti Penyamun

Bila para ulama dan para pemimpin adalah orang yang shalih maka akan baiklah seluruh umat. Sebaliknya, bila mereka rusak makalah rusaklah seluruh umat, walaupun di tengah mereka ada ribuan orang yang salih. Mengapa? Karena mereka adalah panutan. Bila mereka baik, semua orang berlomba untuk menirunya. Dan bila mereka rusak, maka orang orang pun akan berbuat maksiat dan tidak ada yang menghentikannya.

Ulama adalah pemegang kendali kata kata, sedangkan pemimpin adalah pemegang kendali tindakan. Yang penting, hendaknya kata kata ulama dibarengi dengan tindakan nyata, jika tidak demikian, ia menjadi ulama suu’ (jahat). Ulama suu’ menyeru manusia ke surga dengan kata katanya, namun mengajak ke neraka dengan tindakannya. Ketika kata kata mereka berseru,”Mari menuju petunjuk!” tindakannya menyahut,”Jangan dengarkan!” Secara lahiriyah mereka adalah petunjuk jalan, tetapi secara hakikat mereka adalah perampok. Bayangkan, betapa kacaunya bila suatu kafilah dipandu penunjuk jalan, namun hakikatnya ia adalah penyamun?

Beberapa budak datang kepada Hasan Al Basri, mengadukan praktek perbudakan yang telah membuat ia menderita. Mereka meminta agar Hasan Al Basri memberi nasehat dan menghimbau orang orang kaya supaya memerdekakan budak budaknya. Dengan begitu mereka berharap mendapatkan kebebasan. Hasan Al Basri pun berjanji untuk memenuhi permintaan mereka.

Pada khotbah Jumat pertama setelah itu, Hasan Al Basri tidak berkhutnah mengenai perbudakan. Jumat kedua dan ketiga pun berlalu tanpa menyinggung tema perbudakan dalam khutbahnya sebagaimana yang ia janjikan kepada mereka. Pada Jumat keempat , barulah Hasan Al Basri berbicara dalam khutbahnya tentang pahala orang yang memerdekakan budaknya. Belum sampai waktu sore datang, mayoritas budak telah dibebaskan.

Tidak berapa lama kemudian, para budak mengunjunginya untuk mengucapkan terima kasih atas khutbahnya, namun mempersoalkan keterlambatannya menyampaikan tema ini hingga sebulan penuh. Hasan Al Basri meminta maaf atas keterlambatan tersebut seraya berkata, “Yang membuat saya menunda pembicaraan ini adalah karena saya tidak memiliki budak dan saya tidak memiliki uang. Saya menunggu sampai Allah mengaruniakan harta kepadaku, sehingga saya bisa membeli budak, lalu budak itu saya bebaskan. Kemudian barulah saya berbicara dalam khutbah, mengajak orang membebaskan budak. Allah pun memberkati ucapanku karena perbuatanku membenarkan ucapanku.”

Inilah profil salah seorang ulama kita zaman dulu, dan kita meminta kepada Allah untuk memberi hidayah kepada para ulama kita agar mereka mengerti posisi dan pengaruhnya di tengah umat.

13 May 2014

Perubahan Diri, Ketika Memegang Amanah

Mungkin ini episode kehidupan seseorang, yang sangat jarang ditemui, ketika kehidupan sudah banyak berubah. Berubah dikarenakan sifat-sifat manusia sendiri. Mereka tidak dapat menemukan kehidupan yang sebenarnya.

Manusia menjadi hamba atas dirinya, dan nafsu tidak dapat memuliakan manusia. Mengapa banyak diantara manusia memilih nafsu, yang melandasi kehidupannya? Tapi, di tengah-tengah kepekatan kehidupan dunia, masih ada orang-orang yang menjadi teladan dalam kehidupan ini. Kisah ini akan dapat memberikan percikan air, bagi yang dahaga akan kemuliaan.

Muhammad bin Ka’ab al-Quradhi, mengisahkan kehidupan Amirul Mu’minin, Umar bin Abdul Aziz, yang sesudah menjadi Khalifah menjadi asing dan aneh. Sebuah penuturan yang sangat menyentuh hati, bagi yang masih mempunyai rasa, dan Ka’ab mengisahkannya.

“ Sekali waktu saya menemui Umar bin Abdul Aziz setelah diangkat menjadi Khalifah. Sungguh. Kiranya tubuhnya sudah sangat menjadi kurus. Rambutnya telah memutih. Raut mukanya sudah jauh berbeda dengan sebelumnya. Padahal, dahulu sewaktu Umar menjadi Gubernur di Madinah, Umar adalah seorang yang sangat tampan dan badannya berisi …”

Kemudian, ketatap wajahnya lama sekali, sehingga ia bertanya kepadaku :

“Wahai Ibnu Ka’ab, apa yang menyebabkan anda menatapku seperti itu, padahal dulu anda tidak pernah berbuat demikian?”, tanya Umar. “Saya sangat heran, wahai Amirul Mu’minin!”, jawab Ka’ab. “Apa yang mengherankanmu?”, tanya Umar lagi. “Perubahan diri Amirul Mu’minin. Badan Amirul Mu’minin menjadi kurus, rambut memutih, raut wajah yang memucat. Kemana keindahan diri Amirul Mu’minin yang sangat mempesona dulu? Rambut hitam lebat, tubuh nampak gagah, dan subur”, tambah Ka’ab. Tapi, segala sirna keindahan yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz, ketika menjadi Khalifah.

Lalu, Umar menjawab semua pertanyaan Ka’ab itu dengan mengatakan : “Engkau akan lebih heran lagi, bila melihat diriku nanti s etelah terkubur dalam tanah. Mataku akan copot dari tempatnya, dan ulat-ulat akan berkeliaran di mulut dan tenggorokanku”, ujar Umar.

Ya. Wajah yang tampan dan tubuh yang gagah perkasa itu telah berubah, karena deraan tanggung jawabnya yang besar. Suatu hari, di awal masa jabatannya sebagai Khalifah, dipangilnya istrinya, Fatimah, wanita mulia putri seorang Khalifah, yang sangat jelita itu, lalu dihadapkan pada kenyataan yang harus mereka hadapi. Dengan lemah lembut, disampaikan oleh Umar kepada Fatimah, bahwa seorang suami, Umar sudah tidak ada harganya lagi. Beban yang harus dipikulnya sangat berat, sehingga tidak ada lagi waktu yang tersisa untuk keperluan-keperluan lainnya.

Dan, Umar menyerahkan kepada Fatimah sepenuhnya hak untuk memilih jalan hidup dan menentukan dirinya..

Tapi, Fatimah, namanya yang terukir dengan gemerlapan sepanjang sejarah, memilih tetap menemani Umar, sampai ajal menjemputnya. Fatimah selalu mendampingi Umar, meskipun sangat terasa berat dalam memasuki kehidupan ini. Fatimah sama sekali tak pernah mengeluh, tatkala perutnya kelaparan, meskpun Fatimah, istri seorang Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Dan, Fatimah hanya mengatakan : “Alangkah bedanya kehidupan kami sebelum dan sesuah menjadi Khalifah, bagaikan timur dengan barat”, ujarnya. “Demi Allah, kami belum pernah menikmati kegembiraan setelah kami menduduki jabatan ini ..”, tambahnya. Kini, lenyaplah sudah segalanya dari sisi permaisuri ini.

Padahal, sebelumya ia adalah seorang puteri Khalifah dan merupakan saudara Khalifah, yang segala kenikmatan hidup tersedia baginya. Sutera yang sangat halus dan indah, intan permata, emas dan perak, serta harta kekayaan lainnya. Kini, yang dimiliki Fatimah, tinggal dua lembar baju kasar. Karena, Umar bin Abdul Aziz telah menyuruh semua kekayaannya dijual, termasuk kekayaan isterinya, kekayaan anak-anaknya. Semua uang hasil penjualan kekayaannya itu diserahkan kepada Baitul Mal milik kaum muslimin.

Kini, Fatimah dan Umar, berdua, hanya makan roti kering yang hanya diolesi minyak atau dicampur dengan sedikit bumbu. Hingga, Fatimah yang mulanya sangat cantik itu, berubah menjadi wanita yang pucat dan lunglai ..!

Sekali waktu, Amirul Mu’minin masuk ke dalam kamarnya. Di dapatinya Fatimah sedang menambal pakaiannya, yang usang sambil duduk bersimpuh diatas tikar. Dipegangnya pundak istrinya Fatimah, seraya Umar berguarau : “Fatimah. Alangkah nikmatnya malam-malam yang kita lalui di Dabiq (Istana) dulu, jauh lebih menyenangkan dari malam-malam seperti sekarang ini”, ucap Umar. Maksudnya, kehidupan mereka berdua sebelum menjadi Khalifah.

Lalu, Fatimah menjawab : “Demi Allah, padahal waktu itu, kanda (Khalifah Umar) tidak lebih mampu dari waktu sekarang ini”, ucap Fatimah. Mendengar ucapan istrinya, Fatimah, kemudian wajah Umar pun menjadi muram, airmatanya pun mengalir deras. Umar sadar bahwa senda guraunya telah melewati batas. Kemudian, Umar : “Wahai Fatimah. Aku takut terhadap siksa Rabbku, jika mendurhakia-Nya,yakni di suatu hari yang amat dahsyat siksanya”, ungkap Umar kepada istrinya Fatimah.

Dan, tak lama, Fatimah telah terbiasa dan menyenangi kehidupan yang dipilih oleh suaminya Umar untuk dirinya dan seluruh keluarganya. Dan, Fatimah menghayatinya dengan setia dan penuh cinta. Sampai keduanya dipisahkan oleh kematiannya. 

Wallahu ‘alam.

10 May 2014

Sabarlah dengan Yakin akan Datang Kemudahan

Berlindunglah dengan sabar akan setiap musibah yang menimpa. Orang yang menghadapi setiap musibah dengan lapang dada, kekuatan, dan keyakinan, tentu dapat melaluinya. Jika kita tidak mau bersabar, apa yang dapat dilakukan selain sabar?

"Musibah ibarat seorang tamu yang menemui engkau. Jika kita menyambut kedatangannya, membantu memenuhi kebutuhannya dengan menyuguhkan hidangan tanpa ada perkataan yang tidak baik, atau tidak ada kebencian yang terselip dalam hati, maka betapa indahnya sanjungan para malaikat. Kebahagiaan pun menghampirinya karena dia termasuk orang-orang mulia dan dermawan dalam kitab mereka. Benarlah perkataan seorang pujangga:
Sabar itu menggambarkan namanya dalam setiap musibah
Akan tetapi ia berujung manis bahkan lebih manis dari madu
Apakah Anda memiliki solusi selain dari sabar?
Apakah anda mau menunjukkan bekal selain sabar?"

Dahulu, ada seorang yang agung hidup dilanda berbagai musibah dan dikelilingi berbagai kesulitan. Setelah melewati musibah, ia ditimpa musibah lainnya. Ia berperisaikan sabar, dan berzirah keyakinan kepada Allah. Ia menceritakan tentang kondisinya:

Engkau akan mengingkari hidupku, tanpa tahu kemuliaan dan kejadian setiap masa dengan kehinaan

Waktu telah memperlihatkan kekejamannya kepadaku dan aku akan memperlihatkan kepadanya kekuatan sabar itu.

Begitulah gambaran sikap orang-orang mulia, mereka bergulat dengan kesedihan dan membuang jauh setiap kesedihan.

Suatu ketika para sahabat menemui Abu Bakar Ra yang sedang sakit. Mereka bertanya, “Maukah kami panggilkan dokter untuk memeriksamu?” Beliau menjawab, “Dokter sudah memeriksaku.” Mereka bertanya lagi, “Lalu apa yang dikatakannya?” abu Bakarpun menjawab, “Katanya, aku bisa melakukan apa saja yang aku inginkan.”

Dikisahkan pula, ada orang shaleh yang sedang sakit. Ada yang bertanya padanya, “Apa yang membuatmu sakit?” Ia menjawab, “Setiap jiwa akan mati dengan musibahnya masing-masing.”

Tidak diketahui apakah ia kembali bersamanya lagi

Tidaklah adil ketika satu jiwa mengadu akan hal yang membuatnya tersakiti jika dibandingkan dengan hal yang membahagiakannya.

Sabarlah duhai muslimah. Engkau tidak dapat bersabar kecuali bersama Allah. Bersabarlah dan yakin akan datangnya kemudahan, berprasangka baik atas setiap kejadian, sembari mengharapkan pahala. Serta berharap akan dihapuskan setiap kejelekan. Bersabarlah muslimah, walau musibah terbesar menimpamu. Segelap apapun jalan di hadapanmu. Ketahuilah, kemenangan itu bersama kesabaran. Kemudahan itu bersama musibah. Setiap kesulitan itu disertai kemudahan.

Lihatlah sejarah orang-orang mulia di muka bumi ini. Kesabaran dan kekuatan mereka dalam menghadapi setiap musibah sangat mengagumkan. Terkadang musibah menimpa mereka bak air dingin yang menimpa kepala. Namun mereka kokoh seperti gunung, dan teguh dalam kebenaran. Semua yang mereka lalui serasa terjadi hanya dalam waktu sesaat sehingga kemudian terpancar kebahagiaan di wajah mereka dalam menyambut pagi yang penuh kebahagiaan dan datangnya masa kemenangan. Diantara mereka merasa cukup dengan bersabar dalam menghadapi setiap bencana yang menimpa dan setiap musibah yang terjadi, dengan berkata:

“Seandainya engkau memiliki sisa waktu yang dapat menghancurkan kemulian, maka berikanlah kepadaku.”

07 May 2014

Puasa Lisan

Puasa itu ibarat selembar kertas putih, hingga kita melaku­kan banyak kekhilafan dan kertas-kertas itu berlubang, terus berlubang hingga dia sobek seketika tanpa kita sadari. Dan dari semua kekhilafan tersebut yang paling banyak dan mudah kita lakukan adalah apa yang keluar dari lisan kita."

Kita tidak pernah merasakan bagaimana sakitnya perasaan orang-orang yang tidak bersalah, dikarenakan lisan kita. Hingga Allah menunjukkan kepada kita bagaimana rasanya ketika kekurangan-kekurangan kita diceritakan kepada orang banyak.

Di waktu yang lain kita pun tidak sadar bahwa semakin sering kita menceritakan keburukan orang lain maka semakin terlihatlah siapa diri kita yang sebenarnya. Amal ibadah tidak bisa dibilang banyak justru semakin tertinggal karena terus- menerus melakukan kealphaan. Yang perlu kita tanyakan pada diri kita adalah, "bagaimana jika saudara kita tidak ridha atas apa yang kita lakukan, kemudian Allah mendengar

isi doanya, bukankah Allah Maha mengetahui mana yang berbuat dzalim dan mana yang tidak."

Mari rebut keberkahan kehidupan kita dan keluarga dengan berhati-hati terhadap lisan. Barangkali tidak semudah mem­balik telapak tangan, tapi mari belajar berpuasa, tidak hanya menahan hawa nafsu dan amarah namun juga menjaga lisan.

Lisan, salah satu anggota tubuh kita yang akan dikunci di hari akhir dan hanya akan berbicara yang benar kepada Rabb- Nya ketika diminta. Lisan kita siap membuka segala aib yang kita perbuat terhadap saudara kita hingga Allah membalas dengan seadil-adilnya, dan dia siap membela segala kebaik­an dari lisan baik, yang menjaga aib saudaranya yang lain. Semoga bisa menjadi nasihat buat diri saya pribadi dan kita semua. Amin.

04 May 2014

Riba dan Dampak-dampak Ekonominya (2)

Lemahnya Peningkatan Ekonomi dan Investasi

Di antara tujuan sistem keuangan Islam dan lembaga perbankan Islam adalah kemitraan dalam pembangunan, membiayai proyek-proyek positif dengan sistem kerjasama, sesuai kaidah untung-rugi ditanggung bersama. Akad-akad dalam Islam—seperti mudharabah, musyarakah, istishna’, murabahah, dan lain-lain—memiliki keistimewaan karena ia berinteraksi dengan barang (produksi) untuk melahirkan sejumlah kegiatan ekonomi yang menyerap lebih banyak tenaga kerja dan membantu mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

Di antara tujuan sistem keuangan Islam dan lembaga perbankan Islam adalah kemitraan dalam pembangunan, membiayai proyek-proyek positif dengan sistem kerjasama, sesuai kaidah untung-rugi ditanggung bersama. Akad-akad dalam Islam—seperti mudharabah, musyarakah, istishna’, murabahah, dan lain-lain—memiliki keistimewaan karena ia berinteraksi dengan barang (produksi) untuk melahirkan sejumlah kegiatan ekonomi yang menyerap lebih banyak tenaga kerja dan membantu mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

Sistem bunga menghambat pertumbuhan ekonomi karena faktor-faktor berikut:

1. Besarnya jaminan pinjaman berbunga sehingga tidak ada yang bisa memenuhinya selain orang-orang kaya, dan ini menghalangi para profesional dari kalangan menengah ke bawah untuk berbisnis karena tidak adanya jaminan yang cukup.

2. Perhatian kreditur untuk mengembalikan pembayaran hutang pokok dan bunga itu lebih besar daripada perhatian mereka terhadap kesuksesan proyek.

3. Adanya beban produksi yang lebih sehingga mengakibatkan penurunan laba bersih, dan ini pada gilirannya tidak mendorong investasi.

4. Upaya menjaga legal reserve setiap bank sentral mengakibatkan banyak dana tidak tersalur untuk ivestasi dan produksi.

Inflasi

Arti inflasi berkisar pada peningkatan jumlah uang yang mengakibatkan tingginya barang. Inflasi adalah fenomena yang ditunjukkan oleh menurunnya daya beli masyarakat disebabkan naiknya harga barang, yang secara garis besar dipicu faktor-faktor sebagai berikut:

1. Peningkatan peredaran mata uang di pasar yang salah satunya diakibatkan sistem kredit dengan bunga, sehingga pada gilirannya mengakibatkan peningkatan harga barang. Karena itu, berbagai otoritas moneter di sebagian besar negara berkembang menaikkan suku bunga sebagai bagian dari program penahanan laju inflasi, dan untuk menekan angka permintaan kreditur terhadap kredit, karena pembatasan kredit itu menjadi salah satu faktor penahanan laju inflasi.

2. Peningkatan suku bunga mengakibatkan peningkatan harga, dan herannya penurunan suku bunga juga mengakibatkan peningkatan harga barang. Jadi, harga akan terus naik selama sistem bunga berlaku, dan harga tidak akan stabil kecuali dengan hilangnya bunga.

Pengangguran

Dua masalah terbesar yang dihadapi ekonomi kapitalis adalah pengangguran dan inflasi. Meningkatnya angka pengangguran itu korelatif dengan peningkatan inflasi, karena peningkatan harta tanpa dibarengi kenaikan gaji yang cukup akan mengakibatkan penurunan demand terhadap barang, dan pada gilirannya akan mengurangi volume investasi dan produksi, dan hali tu memicu meningkatnya angka pengangguran.

Sistem bunga mendorong munculnya satu kelompok pengangguran yang mapan, yang para nasabah bank yang duduk ongkang-ongkang kaki namun memperoleh masukan tetap dari bunga simpanannya. Demikian pula, para pemilik modal lebih memilih meminjamkan kekayaan mereka dengan sistem riba daripada menginvestasikannya untuk mendirikan proyek-proyek industri atau pertanian atau perdagangan. Karena itu ia memperkecil lapangan kerja, sehingga pengangguran tersebar di tengah masyarakat yang menganut sistem riba.

Gagasan ini dikemukakan oleh ekonom Kenzi, ‘Full employment (nol pengangguran) adalah kewajiban pertama negara, dan itu tidak terealisir kecuali jika suku bunga diturunkan hingga nol atau mendekati nol. Full employment berarti setiap pencari kerja memperoleh peluangnya.’

Jadi, Kenzi berpandangan bahwa solusi terhadap masalah pengangguran adalah dengan menghapus bunga atau menurunkannya hingga batas paling rendah. Ini adalah pendapat seorang pakar ekonomi non-muslim, yang menunjukkan bahwa Islam sarat mukjizat berkaitan dengan masalah riba. Kita tahu bahwa negara Jepang telah menerapkan konsep bunga nol persen sejak 15 tahun yang lalu, sehingga memicu ekonominya berkembang pesat. Alasannya adalah bunga mengakibatkan peningkatan harga barang, dan itu mengakibatkan permintaan terhadap barang berkurang dan konsumsi menurun, dan itu memicu kelebihan produksi. Terkadang untuk menekan harga barang produsen mengambil langkah penurunan standar gaji pekerja atau mem-PHK sebagian dari mereka.
Oleh: Dr. Abdul Majid Diyah
(Guru Besar Fakultas Syariah Universitas az-Zarqa al-Ahliyyah, Jordan)

Riba dan Dampak-dampak Ekonominya (1)

Riba dalam Islam hukumnya haram, karena mengandung unsur ketidak-adilan dan pengambilan harta orang lain dengan cara batil. Inilah yang dipahami umat di awal sejarah Islam.

Al-Qur’an menjelaskan bahwa hak seseorang itu terbatas pada harta pokoknya, tidak lebih. Kelebihan yang diambil sebagai kompensasi kredit adalah zhalim, dimana kezhaliman itu hukumnya jelas-jelas haram. Allah berfirman, ‘Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.’ (al-Baqarah: 279)

Menurut Ibnu ‘Abbas, maksud dari tidak menganiaya dan tidak dianiaya adalah: kalian tidak mengambil melebih hak dengan cara yang bati, dan hak kalian tidak dikurangi.

Allah sebenarnya telah mengharamkan riba kepada Yahudi, namun mereka mempraktikkan riba dengan berbagai intrik, dan mengambil harta orang lain dengan cara yang batil. Allah berfirman, ‘Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.’ (an-Nisa’: 161)

Pada hari ini, para pakar ekonomi memahami lebih banyak lagi bahaya riba mengikuti perkembangan praktik-praktik ekonomi. Di antaranya adalah: buruknya distribusi kekayaan, kehancuran sumber-sumber ekonomi, lemahnya perkembangan ekonomi dan permodalan, pengangguran, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan bahwa aturan syariat ini sarat dengan mukjizat, dan bahwa al-Qur’an ini bersumber dari Allah, bukan dari Muhammad saw.

Distribusi Kekayaan secara Tidak Adil:

Praktik kredit dengan bunga hanya terpusat pada individu-individu yang mampu memberi jaminan pelunasan hutang dan bunganya, dan hal itu mengakibatkan konsentrasi kekayaan negara pada sejumlah kecil individu.

Hal ini ditegaskan Dr. Hjalmer Schacht, warganegara Jerman mantan direktur Reichsbank, ‘Dengan praktik yang simultan tampak bahwa seluruh kekayaan dunia ini lari kepada sejumlah pemodal, karena pemodal selalu untung dalam setiap bisnis. Sementara kreditur beresiko rugi atau untung. Karena itu, semua kekayaan ini pada akhirnya secara matematis akan mengalir kepada pihak yang selalu beruntung.’
Fenomena lain distribusi kekayan yang tidak adil adalah subordinasi profesionalisem terhadap kapitalisme. Produksi sesungguhnya berpijak pada dua unsur: keahlian dan modal. Keahlian-lah yang seharusnya menjadi fundamen, karena keahlian menghasilkan kekayaan, dan implikasinya adalah kedua unsur itu sama-sama menanggung untung-rugi.

Manhaj Islam dalam hal ini adalah mendistribusikan kekayaan secara merata kepada masyarakat dan memutar kekayaan di antara mereka. Karena itu, alasan Islam membagi-bagikan harta rampasan—sebagai salah satu sumber kekayaan dalam Islam—kepada orang-orang yang berhak adalah agar kekayaan itu tidak terpusat pada tangan orang-orang kaya saja, melainkan berputar di antara masyarakat. Allah berfirman, ‘Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.’ (al-Hasyr: 7)

Yang menjadi perhatian Islam adalah agar individu-individu yang menjalankan bisnis itu adalah individu-individu yang memiliki sifat amanah, kapabilitas, dan komitmen. Hal inilah yang mendorong realisasi keadilan sosial dalam distribusi kekayaan dan penghasilan di tengah masyarakat.

Hancurnya Sumber-Sumber Ekonomi

Kredit sistem bunga lebih membidik program-progam yang tidak memiliki manfaat yang hakiki bagi kehidupan manusia, sehingga pada akhirnya mengakibatkan kehancuran sumber-sumber ekonomi. Bukti mencolok yang kita saksikan hari ini adalah banyak orang yang meminjam uang bank hanya untuk membeli perabotan rumah yang sifatnya, seperti kulkas, mesin cuci, televisi, atau barang-barang konsumsi seperti makanan dan minuman, dan benda-benda lain yang sifatnya untuk hiburan.

Pembiayaan dengan sistem bunga mengakibatkan kemudahan hutang-piutang, tanpa ada kaitan dengan kegiatan ekonomi yang konkret, dan hal ini pada gilirannya mengakibatkan dua hal:

Pertama, prosentase yang besar dari pinjaman individual itu lebih dialokasikan pada kebutuhan-kebutuhan jangka pendek daripada kebutuhan-kebutuhan jangka panjang. Hal ini menunjukkan kesemrawutan cara belanja di tengah masyarakat, sehingga mengakibatkan individu-individu lebih bergantung pada hutang untuk menjalankan kehidupannya sehari-hari.

Contoh, kalau seseorang membeli secara kredit kulkas dengan harga satu juta rupiah, maka manfaat dari kulkas itu sebanding dengan margin laba yang ditetapkan dalam jual-beli tempo. Ini adalah kegiatan ekonomi yang konkret. Tetapi jika seseorang meminjam uang 1 juta dan mengembalikan 1.5 juta, maka manfaat dari seratus lima ratus ribu itu ada kalanya sebanding dengan kelebihan nilai karena berlakunya pembayaran tempo, dan ada kalanya tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh kreditur. Bisa jadi uangnya itu habis untuk melunasi hutang, atau membiayai keluarga, atau membeli barang-barang konsumtif secara berlebih.

Dengan contoh tersebut, kita bisa membedakan antara margin laba dan riba sebagai berikut:

1. Kelebihan dalam jual beli itu merupakan kompensasi pengadaan barang, sedangkan kelebihan dalam riba merupakan kompensasi terhadap pembayaran tempo semata.

2. Kelebihan dalam jual beli adalah kelebihan dalam barter yang sah antara dua benda yang berbeda bentuknya. Sedangkan kelebihan dalam hutang tidak, karena pembayarannya dengan satu jenis, dimana tidak boleh ada kelembihan dan kekuarangan di dalamnya.

3. Barang yang dijual itu diambil keuntungannya satu kali, dan meski demikian manfaatnya berlangsung, baik lama atau singkat. Hal itu berbeda dengan riba, dimana hutang diserahkan satu kali, tetapi ribanya atau manfaatnya berlangsung tanpa terputus.

4. Jual beli mengandung resiko dari dua segi: Pertama, resiko penurunan harga atau keausan barang ketika akan dijual. Kedua, resiko kerusakan saat barang itu masih ada di tangan penjual. Sementara harta riba itu tidak terkena resiko, melainkan sebagai pinjaman yang terjamin dan wajib dikembalikan.

Islam memberi setiap jenis modal itu keuntungan yang sesuai. Islam memberi modal SDM (pekerjaan) upah tetap atau saham (saham pekerja, misalnya), memberi keuntungan kepada modal asumtif berupa saham, bukan gaji tetap, dan memberi modal value berupa upah tetap, bukan saham, seperti sewa alat produki.

Oleh: Dr. Abdul Majid Diyah
(Guru Besar Fakultas Syariah Universitas az-Zarqa al-Ahliyyah, Jordan)

01 May 2014

Berbakti Terhadap Kedua Orang Tua

Dikatakan oleh Imam Syaikhan melalui Ibnu Mas'ud RA, katanya:
Aku bertanya kepada Rasulullah SAW:
"Amal apa yang paling dicintai Allah".
Nabi SAW menjawab:
"Shalat tepat waktu".
Aku bertanya:
Apa lagi".
Sabda Nabi SAW:
"Berbakti pada kedua orang tua".
Aku bertanya:
"Apa lagi, Ya Rasul"
Sabda Nabi SAW:
"Berjuang di jalan Allah"


Imam Muslim meriwayatkan:
Ada lelaki datang kepada Nabi SAW, dia berkata:
"Aku berjanji padamu untuk ikut hijrah dan berjuang demi mencari pahala Allah SWT".
Beliau bersabda:
"Masih hidupkah salah satu kedua orang tuanya".
Dia menjawab:
"Masih. Bahkan keduanya masih ada".
Beliau SAW bersabda:
"Kalau begitu pulanglah pada mereka, serta berbuat baiklah terhadap mereka".


Seorang lelaki datang kepada Nabi SAW, ia berkata:
"Aku mau berjuang tapi tidak mampu".
Beliau SAW bersabda:
"Apakah kedua orang tuamu masih hidup".
Katanya:
"Ibuku".
Sabda Nabi SAW:
"Berdo'alah kepada Allah senantiasa berbakti kepadanya. Kalau kamu melakukan, artinya kamu sama dengan mengerjakan ibadah haji, umrah dan berjuang. (HR.Imam Abu Ya'la dan Imam Thabrani dengan sanad Jayyid)".


Ya Rasul, aku ingin berjuang di jalan Allah.
Nabi SAW bersabda:
"Apakah ibumu masih hidup".
Jawabnya:
"Ya".
Sabda Nabi SAW:
"Ikutilah kakinya, disana ada surga. (HR.Imam Thabrani)".


Ya Rasul, apakah hak-hak kedua orang tua terhadap anaknya".
Beliau SAW menjawab:
"Mereka adalah surgamu dan nerakamu".


Riwayat lain:
Ya Rasul, aku ingin berjuang dan aku minta pendapatmu.
Beliau SAW bersabda:
"Apakah kamu masih punya ibu".
Dia menjawab:
"Masih".
Beliau SAW bersabda:
"Tetaplah bersamanya, sebab di kedua kakinya ada surga. (HR.Imam Ibnu Majah, Imam Nasai, Imam Hakim; menshahehkan hadits)".
Riwayat yang shaheh:
Apakah kamu punya kedua orang tua".
Dia menjawab:
"Masih".
Beliau SAW menjawab:
"Tetaplah bersama mereka, sebab surga ada di kedua kaki mereka".


Sesungguhnya ada lelaki datang pada Nabi SAW dan berkata:
"Aku memiliki seorang istri, kemudian ibuku meminta agar menceraikannya".
Abu Darda' berkata:
Aku mendengar Nabi SAW bersabda:
"Orang tua terletak di pintu paling tengah diantara pintu-pintu surga. Kalau kamu menghendaki, sia-siakan dia, juga peliharalah dia. (HR.Imam Tirmidzi dengan sanad shaheh; hadits melalui Abu Dar'da RA)".


Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dalam Kitab Shaheh-nya:
Sesungguhnya seorang lelaki datang kepada Abu Dar'da, ia berkata:
"Sesungguhnya ayahku hidup bersamaku sampai dia menikahkan aku, dan ia sekarang memerintahkan untuk menceraikan dia".
Abu Dar'da menjawab:
"Aku bukan orang yang menyuruhmu untuk berani terhadap orang tua, juga bukan orang yang memerintah menceraikan dia, namun kalau kamu mau, akan kuceritakan sesuatu yang pernah kudengar dari Nabi SAW, beliau SAW bersabda:
"Seorang ayah adalah pintu surga paling tengah".
Maka kalau kau suka, peliharalah atau tinggalkan".
Imam Ibnu Hibban berkata:
Aku mendengar Atha' berkata:
"Kemudian lelaki itu menceraikan istrinya. (HR.Imam Ibnu Hibban)".


Pengarang Kitab Sunan Arba'in; Imam Ibnu Hibban dan Imam Tirmidzi, kitab shaheh-nya, menuliskan:
Ada hadits hasan dan shaheh melaui Ibnu Umar RA, dia berkata:
"Ada seorang istri yang kucinta dalam lindunganku, namun Umar RA membencinya".
Dia berkata padaku:
"Ceraikan dia".
Namun aku tidak mau. Kemudian Umar RA datang kepada Nabi SAW dan menceritakan masalahku. Beliau SAW langsung bersabda:
"Ceraikan dia".


Imam Ahmad meriwayatkan hadits shaheh:
"Barangsiapa yang merasa gembira kalau umurnya panjang dan rizkinya luas, maka berbaktilah kepada 2 orang tua dan mempereratsilaturrahmi".


"Barangsiapa yang berbakti pada kedua orang tuanya, dia akan memperoleh keberuntungan besar dan Allah akan menambah umurnya. (HR.Imam Abu Ya'la dan Imam Hakim menshahehkan".
"Sesungguhnya ada seorang lelaki yang terhalang rizkinya karena dosa yang diperbuat. Dan tiada yang mampu menolak ketentuan qodar kecuali do'a, begitupun tak ada yang bisa menambah umur kecuali berbuat baik. (HR.Imam Ibnu Majah, Imam Ibnu Hibban dan Imam Hakim dengan sanad shaheh)".
Dalam riwayat Imam Tirmidzi, dia berkata:
"Hadits tersebut hasan dan ghoib; tiada yang bisa menolak qodho' kecuali do'a dan tiada yang menambah umur kecuali berbuat baik".


Imam Hakim meriwayatkan dan menshahehkan hadits:
"Jagalah dirimu akan godaan istri-istri orang lain, pasti orang lain pun akan menjaga mereka dan istri-istrimu. Berbaktilah pada bapak-bapakmu, pasti anak-anakmu pun akan berbakti padamu. Barangsiapa yang saudaranya minta maaf, hendaklah menerimanya sekalipun datang dengan ikhlas atau pura-pura. Umpama dia tidak melakukannya, kelak dia tidak akan datang ke telaga surga".


"Berbaktilah kalian pada bapak-bapakmu, pasti anakmu akan berbakti padamu. Jagalah dirimu, tentu istrimu akan menjaga dirinya. (HR.Imam Thabrani; sanad hasan)".
Sabda Nabi SAW:
Hidungnya menempel di tanah (isyarat kehinaan). Ada yang bertanya:
"Siapa wahai Nabi".
Nabi SAW bersabda:
Ialah orang yang bertemu kedua orang tuanya atau salah satnya dalam keadaan tua renta, namun ia tidak bisa masuk surga atau keduanya tidak mampu memasukkan ke surga. (HR.Imam Muslim)".


Imam Thabrani meriwayatkan dari berbagai sanad, diantaranya sanad hasan:
Nabi SAW naik mimbar dan bersabda:
Amin,,, Amin,,, Amin,,, Jibril datang kepadaku dan berkata:
"Wahai Muhammad, barangsiapa yang bertemu kedua orang tuanya dan tidak berbakti padanya, kemudian mati, maka masuklah ke neraka dan Allah akan menjauhkan".
Berkatalah:
"Amin".
Mereka berkata:
"Amin".
Kata Jibril:
"Ya Muhammad, barangsiapa yang tidak bertemu bulan Ramadhan dan mati, maka dosanya tidak diampuni dan masuk neraka, dan semoga Allah menjauhkannya".
Kata Jibril:
"Amin".
Nabi SAW:
"Amin".
Kata Jibril lagi:
"Barangsiapa yang menyebut namamu dihadapannya, dan mereka tidak menjawab sholawat terhadapmu, setelah itu ia mati, maka masuklah ke neraka dan Allah akan menjauhkan".
Kata Jibril:
"Amin".
Nabi SAW:
"Amin".
(Diriwayatkan Imam Ibnu Hibban dalam shaheh-nya, demikian pula Imam Hakim dan lain-lainnya).


Imam Ahmad meriwayatkan dari berbagai sanad, salah satunya hasan:
"Barangsiapa yang yang memerdekakan budak muslimah, maka budak itu akan terbebas dari neraka. Barangsiapa yang menemukan salah satu kedua orang tuanya dan tidak mengampuninya, semoga Allah akan menjauhkan".
Dan beliau SAW menambahkan, dalam satu riwayat:
"Dan Allah memurkainya".


Ada yang bertanya:
"Ya Rasul, siapakah yang berhak memperoleh kebajikan pergaulanku".
Beliau SAW bersabda:
"Ibumu".
Bertanya lagi:
"Lalu siapa".
Sabda Nabi SAW:
"Ibumu".
Bertanya lagi:
"Kemudian siapa".
Sabda Nabi SAW:
"Ibumu".
Bertanya lagi:
"Siapa lagi".
Sabda Nabi SAW:
"Ayahmu".
(HR.Imam Syaikhan)


Imam Syaikhan meriwayatkan hadits melalui Asma' binti Abu Bakar RA, dia berkata:
Ibuku datang padaku, saat itu di zaman Rasulullah SAW masih musyrik. Kemudian aku minta petunjuk pada Nabi SAW. Aku bertanya:
"Ibuku datang padaku, padahal ia benci sama Islam atau semua yang kumiliki, lalu apa aku harus menerimanya".
Beliau SAW bersabda:
"Ya, terimalah ibumu".


"Ridho Allah tergantung (menurut) ridho ayah atau kedua orang tua. Kemurkaan Allah juga mengikuti kemurkaan ayah atau kedua orang tua. (HR.Imam Ibnu Hibban, juga Imam Hakim dianggap shaheh menurut syarat Imam Muslim)".
Riwayat Imam Al Bazzar:
"Ridho Tuhan YME mengikuti ridho kedua orang tua, dan kemurkaan Tuhan YME juga mengikuti kemurkaan kedua orang tua".


Ada seorang lelaki pada zaman Nabi Muhammad SAW, dia berkata:
"Aku telah melakukan dosa besar, masih adakah kesempatan tobat untukku".
Nabi SAW bersabda:
"Apakah engkau punya ibu".
Katanya:
"Tidak punya".
Beliau SAW bersabda:
"Apakah masih punya bibi".
Dia berkata:
"Punya".
Sabda Nabi SAW:
"Maka berbaktilah padanya".
(HR.Lafadz Imam Tirmidzi; Imam Ibnu Hibban dalam shaheh-nya; dan Imam Hakim menganggap shaheh menurut syarat Imam Bukhari Muslim)".


Riwayat Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah. Ada yang bertanya:
"Ya Rasul, apakah masih ada bentuk berbakti pada orang tua setelah mereka meninggal".
Sabda Nabi SAW:
"Masih ada; shalat dan berdo'a untuk mereka, mohon ampunan untuk mereka, menunaikan perjanjian sepeninggal mereka, menyambung persaudaraan yang tidak tersambungkan kecuali dengan mereka sekaligus memuliakan teman dekat mereka".
(HR.Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Dan Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dalam shahehnya dengan tambahan lafadz, lelaki itu berkata:
"Alangkah banyak dan mulianya semua keterangan ini wahai Rasul".
Beliau SAW bersabda:
"Maka dari itu kerjakan".


Imam Muslim meriwayatkan, hadits melalui Abdullah bin Umar RA bahwa dia bertemu dengan orang badui dari Arab dalam perjalanan menuju Mekkah. Abdullah bin Umar RA memberi salam padanya, kemudian ikut serta naik unta dan ia diberi surban. Kata Ibnu Dinar, kami berkata:
"Semoga Allah menciptakan kebajikan, sebab mereka adalah orang-orang desa (Badui) yang bisa merasa gembira dengan sesuatu yang sedikit".
Lantas Abdullah bin Umar RA berkata:
"Ketahuilah bahwa ayah orang ini amat sayang pada Umar bin Khattab RAdan sungguh aku pernah mendengar sabda Nabi SAW:
"Sesungguhnya sikap yang terbaik ialah seorang anak menyambung persaudaraan dengan saudara yang menjadi kesayangan ayahnya".
Dan Imam Ibnu Hibban meriwayatkan shahehnya, hadits dari Abu Burdah RA, dia berkata:
Saat aku ke Madinah datanglah Abdullah bin Umar RA, dia berkata:
"Apa kamu tahu kenapa aku datang kemari".
Kataku:
"Tidak".
Dan dia berkata lagi:
Sebab aku mendengar Nabi SAW:
"Barangsiapa yang ayahnya sudah meninggal dan masih ingin menyambung persaudaraan, maka bersambunglah pada teman-teman ayahnya. Karena ayahku (Umar RA) ada tali persaudaraan dan rasa cinta, maka aku puningin menyambung lagi".


Riwayat Imam Bukhari Muslim dan beberapa riwayat yang berbeda-beda menyebutkan:
Al Kisah 3 orang sebelum zamannya, kami berjalan-jalan ketika mereka hendak pulang ke keluarganya, namun mereka kehujanan dan berlindung didalam gua. Dan mendadak ada batu besar jatuh sampai menutupi mulut gua. Mereka (bingung) dan berdo'a:
"Sesungguhnya tak ada yang mampu menyelamatkanmu dari batu ini kecuali kamu berdo'a dengan wasilah amal-amal kebajikanmu".


Riwayat lain mengatakan; kemudian salah seorang diantara mereka berkata pada yang lain:
"Carilah amal kebajikan yang kalian kerjakan yang (murni) karena Allah 'Azza Wa Jalla, kemudian jelaskan sebagai do'a kepada Allah, maka semoga Allah mengabulkan do'a dan menghilangkan batu ini".


Dalam riwayat lain dijelaskan, salah seorang diantara mereka berkata kepada yang lain:
"Hilanglah jejak dan jatuhlah batu ini, tiada yang bisa mengerti kedudukanmu kecuali Allah, maka berdo'a saja kepada Allahlanataran amal kebajikanmu yang paling kau andalkan".
Kemudian seorang dari mereka berkata:
"Ya Allah, sesungguhnya aku punya 2 orang tua yang sudah renta dan aku tidak pernah memberikan minuman maupun harta pada keluargaku sebelum kedua orang tuaku. Pekerjaanku hanya pencari kayu, suatu hari aku membawa kayu dari tempat yang jauh dan tidak bisa kembali kerumah sampai mereka tertidur, namun aku tetap tidak mau memberikan minum susu di malam hari kepada keluargaku atau hartaku sebelum mereka berdua. Aku pun hanya berdiam diri membawa mangkok sampai terbit fajar. Mereka pun bangun dan minum-minuman malam mereka. Ya Allah, aku melakukan itu demi mencari Ridho-MU, lantaran itu renggangkanlah batu yang menghalangi kami".
Batu itu sedikit demi sedikit mulai renggang, namun mereka tetap tidak bisa keluar. Dalam 1 riwayat ada yang menerangkan:
"Aku punya banyak anak kecil, aku penggembala hewan, kalau aku pulang selalu memeras susu untuk mereka (orang tua) sebelum anak-anakku. Dan suatu ketika pekerjaan mencari kayu amat menjauhkan aku, sampai sore pun aku belum datang, sampai aku melihat mereka tertidur. Aku pun memeras susu sebagaimana kebiasaanku, kemudian aku hanya berdiri di samping mereka; aku tidak mau membangunkan mereka, juga aku tidak akan memberikan susu buat anak-anakku sekalipun anak-anak menangis di telapak kakiku. Keadaan ini sampai fajar tiba; dan tahukah Engkau bahwa aku melakukan ini demi mencari Ridho-MU! Maka renggangkanlah batu ini agar aku bisa melihat langit".
Maka Allah merenggangkan batu itu sampai mereka bisa melihat langit. Yang lain berdo'a atas terpeliharanya zina dengan anak pamannya, yang lainnya lagi berdo'a lantaran "Mengembangbiakkan" harta buruhnya; lalu batu itu mulai renggang seluruhnya sehingga mereka bisa berjalan keluar (dari gua).