30 September 2014

Kemenangan Iblis

Syeikh Dhirar bin Murrah, seorang ulama sufi kenamaan yang hidup di Kufah (Irak), wafat pada 132 Hijriyah pernah berkata bahwa Iblis mengatakan, ”Jika saya mampu mengusai Bani Adam dalam tiga hal, berarti keinginanku telah tercapai dan saya telah menang, yaitu: 1. Jika lupa akan dosanya; 2. Jika merasa cukup akan amalnya; 3. Jika kagum dan bangga akan pendapatnya (merasa pintar).

Sebenarnya ketiga hal (penyakit) pancingan Iblis yang dikhawatirkan Syeikh Dhirar merupakan penjelmaan dari inti ajaran Agama yang banyak ayat dan hadits Nabi SAW secara mantuq dan mafhum yang meminta untuk menjauhkan hal-hal tersebut. Penyakit lupa akan dosa, intinya adalah agar manusia senantiasa ingat dan beristighfar kepada Allah SWT, karena semua manusia tak luput dari dosa.

Ingat dosa, istighfar dan bertaubat adalah sarana untuk menyambut ke depan yang lebih baik dengan penuh asa. Jika manusia lupa akan dosa akan mudah tertutup hatinya karena tidak merasa butuh kepada ampunan Allah, maka rasa keangkuhan akan timbul, pada gilirannya keagungan dan kebesaran Tuhan sudah tidak tampak lagi dihadapannya, karena Allah menghilangkan bukti kebesaran dan keagunganNya dari para mutakabbirin, firman Allah SWT, ”Aku akan memalingkan tanda-tanda kekuasaan-Ku dari orang-orang yang menyombongkan diri (mutakabbir) di muka bumi tanpa alasan yang benar”(QS.7/146).

Manusia seperti ini tidak lagi merasa bersalah jika melakukan maksiat atau dosa, parahnya lagi sudah tidak sungkan untuk terang-terangan dalam maksiat atau mujaharah. Perbuatan dosa yang Mujaharah ini yang sulit diampunkan oleh Maha Pengampun, karena sudah tidak takut dan malu lagi terhadap Allah SWT dan tidak malu pula terhadap manusia. Tidak berpuasa secara terang-terangan, minum-minum keras di depan khalayak, berselingkuh, baca: berzina direkam, sehingga teredarkan.

Orang yang berbuat dosa tapi sembunyi hanya Allah SWT yang tahu, lebih baik ketimbang manusia yang berbuat dosa tapi terang-terangan. Pada saat Allah SWT menutup rahasia dosa manusia agar manusia tersebut suatu ketika bertaubat kepadaNya, sayangnya manusia sendiri mendeklarasikan, bahkan menceritakan dan bangga dengan dosanya! Bagaimana manusia lain dapat menutup aib saudara yang mujaharah, kalau dia sendiri yang menyebarkannya?

Musibah lain yang merupakan penyakit bani Adam yaitu merasa cukup dengan amal (cukup dengan apa yang diketengahkan). Apa yang telah dikerjakan seakan sudah sempurna, sehingga tidak mau mengoreksi dan mengembangkan ke arah lebih baik lagi. Tak pernah bertanya sudah cukupkah amal saya? sudah betulkah ibadahnya, akibatnya tidak mau balajar qiraat al-Qur’an karena sudah merasa betul bacaannya, juga tidak mau belajar hukum taharah, wudhu, salat secara benar karena sudah merasa cukup benar, dan tidak mau pula meningkatkan kerja yang bermanfaat.

Penyakit merasa cukup harus segera ditanggalkan, sebaliknya, harus terus menyempurnakan dan mengembangkan ke arah yang lebih baik lagi, yang dituntut merasa cukup dan qana’ah hanyalah terhadap karunia yang diberikan Allah SWT (rizki) agar jangan menjadi tamak, tentunya setelah berusaha maksimal dan tawakkal! Penyakit lain yang manusia lengah yaitu merasa pintar dan selalu bangga dengan pendapatnya.

Akibatnya, tidak mau lagi mendengar nasihat orang lain dan tidak merasa perlu untuk bermusyawarah kepada orang yang pantas untuk diajak musyawarah. Selalu merasa pendapatnyalah yang paling benar, padahal belum tentu demikian, kalau Nabi SAW saja diminta bermusyawarah kepada para sahabatnya, apalah artinya manusia biasa, tentunya lebih diminta untuk menghormati dan mendengar pendapat orang lain, dengan harapan semoga keputusan yang diadopsi dan diterapkan akan lebih dekat kepada kebenaran.

Semoga kita semua terhindar dari ketiga penyakit yang dikhawatirkan Syeikh Dhirar, yang digambarkan sebagai kemenangan Iblis tersebut!


***

Oleh: Amiruddin Thamrin MA, amiruddinthamrin@yahoo.com

Tinggal di Damaskus-Suriah

22 September 2014

CIRI CIRI ISTIDRAJ

Istidraj bisa terjadi pada hal apa saja. Semua kenikmatan dan apa apa yang disenangi oleh manusia bisa menjadi istidraj. Jadi kapankah sesuatu itu bisa menjadi istidraj? Bagaimanakah kita membedakan bahwa kesenangan dan kenikmatan yang kita dapat itu adalah karunia Allah, ujian atau kah istidraj?

1. Jika ia adalah orang kafir, maka semua kelimpahan harta, kesenangan dan kenikmatan duniawi adalah semata kemurahan Allah karena dunia ini remeh di sisi Allah. Jika ia terus dalam kekafirannnya maka itu adalah istidraj.

Dan janganlah sekali-kali orang kafir mengira bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka melainkan supaya bertambah tambah dosa mereka (Q.S. Ali Imran [3]:178)

Sayid Qutb menjelaskan ayat di atas berkata : “itu hanyalah fitnah dan itu hanyalah tipu daya yang kuat dan istidraj yang jauh” (Fhizilalil Qur’an Jilid 2 Hal 532) Maka harta, kekuasaan, kenikmatan duniawi itu bagi orang kafir sudah pasti adalah istidraj.

Namun jika ia merenungkan kebesaran Allah dan mendapat hidayah masuk Islam maka hal itu bukanlah istidraj. Hal ini tidak bisa terjadi kecuali memang ada kejernihan hati, kebersihan jiwa dan keunggulan akal dari orang itu, minimal orang itu peduli dengan benar atau tidaknya keyakinannya selama ini. Contoh nya adalah Raja Negus (Najsyi) dari Ethiopia (Habasyah) yang waktu itu beragama Nasrani dan dia masuk Islam ketika dibacakan Q.S. Maryam oleh Dja’far bin Abi Thalib r.a. Atau Sir Lauder Brunton dan Archibakd hamilton, yang walaupun mereka seorang bangsawan terkemuka Inggris namun nuraninya terusik dengan kejanggalan keyakinan yang dianutnya selama ini, dan berusaha mencari kebenaran.

2. Jika ia adalah orang muslim, maka kesenangan, keinginan, dan kenimatan duniawi adalah karunia sekaligus ujian. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kenikmatan itu juga ujian.

Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Q.S. Al-Anbiya[21] : 35)

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (Q.S. Al-Anfaal [8] : 28)

Jika ia lolos dari ujian ini, yaitu ia memanfaatkan harta sebaik-baiknya, dan menjadikan dunia sebagai sarana untuk mencapai akhirat, maka harta itu menjadi keberkahan dan karunia baginya.

Janganlah kalian mencaci-maki dunia. Dia adalah sebaik-baik kendaraan. Dengannya orang dapat meraih kebaikan dan dapat selamat dari kejahatan. (H.R. Ad-Dailami)

3. Namun jika seorang muslim itu tidak kuat jiwanya dan kemudian menjadi lupa diri, tidak bersyukur, dan gara2 kesenangan dan kenikmatan itu kemudian menjauhkan dirinya dari Allah, maka ada dua kemungkinan. Harta itu menjadi musibah bagi dirinya dan kemudian Allah menarik kenikmatan itu agar ia kembali ke jalan yang benar. Itu berarti Allah masih sayang pada dirinya dan berarti Allah menghendaki kebaikan bagi dirinya.

4. Kemungkinan kedua, jika Harta itu menjadi musibah bagi dirinya namun Allah justru semakin melimpahinya dengan berbagai kesenangan, kemudahan, segala keinginannya terkabul dan segala kenikmatan mampu diraihnya maka itu adalah istidraj.

Rasulallah s.a.w bersabda: “Apabila kamu melihat Allah memberikan kepada seorang hambaNya di dunia ini apa yang hamba itu suka atau inginkan, sedangkan hambaNya itu selalu berbuat kemaksiatan, maka itulah ISTIDRAJ“. Kemudian Rasulullah s.a.w pun membaca surah (Q.S. Al-An’am: 44- 45)

5. Sedangkan jika ia lupa diri, tidak bersyukur, dan menyalahgunakan hartanya itu di jalan yang tidak dirihodi Allah, bahkan menjadi berkubang kemaksiatan dengan harta itu, sementara Allah tak juga menarik kenimatan itu bahkan sebaliknya semakin bertambah-tambah dibukakan dunia oleh Allah maka sudah bisa dipastikan itu adalah situasi istidraj.

Ali bin Abi Thalib r.a. berkata : “Jagalah agar engkau tidak tertipu oleh kaum pemuja dunia yaitu mereka yang merasa aman dan tenteram dengan kehidupannya. Kemudian mereka terlunta lunta tersesat dalam hutan rimbanya dan terbenam dalam kenikmatannya”. (Mutiara Nahjul Balaghoh Hal 58)

6. Namun terkadang Allah memberikan peringatan bukan dengan ditariknya kenikmatan itu melainkan didatangkanlah peringatan berupa orang shaleh yang menasehati, atau peristiwa di sekeliling yang bilah direnungkan bisa diambil hikmahnya. Namun jika ia tak kunjung mengerti k dengan peringatan Allah itu dan tak kunjung bertaubat, maka harta dan kenikmatan yang tetap tak berkurang bahkan semakin bertambah itu jelas merupakan istidraj.

Maka dapat kita simpulkan bahwa situasi istidraj itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Keimamanan dan ibadah semakin menurun namun kesenangan makin melimpah

Apabila kamu menyaksikan pemberian Allah dari materi dunia atas perbuatan dosa menurut kehendakNya, maka sesungguhnya itu adalah uluran waktu dan penangguhan tempo belaka. Kemudian Rasulullah Saw membaca firman Allah Swt dalam surat Al An’am ayat 44 : “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu, mereka terdiam berputus asa.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)

Ibnu Athaillah berkata : “Hendaklah engkau takut jika selalu mendapat karunia Allah, sementara engkau tetap dalam perbuatan maksiat kepada-Nya, jangan sampai karunia itu semata-mata istidraj oleh Allah”

2. Terus Melakukan Kemaksiatan Namun Kesuksesan Justru Semakin Melimpah

Ali Bin Abi Thalib r.a. berkata : “Hai anak Adam ingat dan waspadalah bila kau lihat Tuhanmu terus menerus melimpahkan nikmat atas dirimu sementara engkau terus-menerus melakukan maksiat kepadaNya” (Mutiara Nahjul Balaghoh Hal 121)

3. Semakin Kikir Justru Harta Semakin Melimpah

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung (harta) lalu dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya (Q.S. Al-Humazah [104] : 1-3)

Ayat di atas bercerita orang yang kikir dan menghitung-hitung hartanya. Ia mengira harta yang ditumpukkannya itu akan mengokohkan posisi dan kekuasaannya di muka bumi. Maka Allah akan menjadikan hal itu istidraj dengan sengaja makin kikir makin bertambah harta kekayaannya. Sehingga orang itu semakin yakin bahwa sifat kikirnya itulah yang menyebabkan dirinya kaya

4. Jarang Pernah Sakit
Imam Syafi’I pernah mengatakan : setiap orang pasti pernah mengalami sakit suatu ketika dalam hidupnya, jika engkau tidak pernah sakit maka tengoklah ke belakang mungkin ada yang salah dengan dirimu.

Artinya bisa jadi orang yang tidak pernah sakit itu memuja jin atau menganut suatu ilmu kesaktian tertentu yang itu adalah syirik dan persekutuan dengan setan. Kalaupun bukan karena itu, jelas ada sesuatu yang salah atau sesuatu yang menyimpang dalam diri kita.
Semakin Sombong Namun Harta Semakin Melimpah

Orang yang mengalami istidraj cirinya semakiin ia sombong maka semakin kaya dan terbuka dunia bagi dirinya

Rasululah s.a.w. bersabda : “Di antara tanda-tanda kesengsaraan adalah mata yang beku, hati yang kejam, dan terlalu memburu kesenangan dunia serta orang yang terus-menerus melakukan perbuatan dosa”. (HR. Al Hakim)

==============

setetes hidayah

13 September 2014

PENYEBAB TERJADINYA ISTIDRAJ

Jangan dulu gembira jika Anda terus menerus dilimpahi harta, kesenangan, kesuksesan sementara hidup Anda dari dulu tidak pernah diisi dengan ibadah. Shalat pun tidak,puasa tak pernah dan zakat pun enggan. Sudah meninggalkan dunia hitam (alias rambut sudah putih semua) namun tak pernah mengaji Al-Qur’an bahkan mengenal huruf nya pun tidak.
Maka bisa jadi itu adalah istidraj. Yaitu sengaja Allah limpahi Anda dengan kesenangan dan dibukakan dunia agar semakain terjerumus diri kita. Cirinya : semakin maksiat justru semakin kaya rasa, semakin bejat justru semakin sukses, walhasil semakin jahatlah orang itu..
Maka istidraj ini tidak datang dengan tiba-tiba. Keputusan Allah memberikan istidraj disebabkan oleh perbuatan dan sikap diantaranya adalah sebagai berikut :
  1. Tidak Beriman
Ketika Allah melimpahkan sebagian harta duniawi kepada hambanya tidak serta merta itu menjadi istidraj kecuali jika ia memang kafir. Maka salah satu penyebab Istidraj adalah penolakan terhadap keimanan yaitu kekafiran. Oleh karena itu harta yang diperoleh orang kafir jelas merupakan istidraj. Karena dengan harta itu orang kafir akan berbangga dengan kekuatan yang ada dalam diri mereka dan saling tolong menolong dalam kekafiran.
Adapun orang kafir sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain (Q.S. Al-Anfaal  [8] : 73)
Orang-orang kafir itu telah menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah supaya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: “Bersenang-senanglah kamu (di dunia), karena sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka (Q.S. Ibrahim [14] :30)
 (Dikatakan kepada orang-orang kafir): “Makanlah dan bersenang-senanglah kamu (di dunia dalam waktu) yang pendek; sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang berdosa.” (Q.S. Al-Mursalat [77] : 46)
biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya (Q.S. Al-An’aam [6] :91)
  1. Syirik
Apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: “Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka.” (Q.S. Az-Zumar [39] :8)
  1. Kemunafikan
Sebab lain terjadinya istidraj ialah kemunafikan. Kemunafikan di sini adalah munafik haqiqi yaitu orang yang berpura-pura masuk Islam sedangkan hatinya sebenarnya tidak menerima kebenaran Islam. Maka orang munafik hakiki sama kedudukannya dengan orang kafir. Dan jika orang munafik itu dilimpahi kelimpahan harta maka janganlah kita iri karena hal itu merupakan istidraj.
Dan apabila kamu melihat mereka(orang munafik) , tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum (karena keelokannya). Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka (karena pandai bicara). Mereka seakan-akan kayu yang tersandar.  Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka  waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)? (Q.S. Al-Munafiquun [63 ] : 4)
Pada ayat di atas diisyaratkan bahwa istidraj tak hanya berupa harta, namun bisa juga berupa tubuh yang elok dan kefasihan kata-kata atau kepandaian berbicara di depan umum. Sehingga orang-orang menjadi terkesima dan terpengaruh mendengar perkataan mereka. Sedangkan mereka dihinggapi rasa narsis yang akut sehingga mengira bahwa setiap sorak sorai itu ditujukan bagi dirinya. Orang seperti ini mengira setiap orang memperhatikan dirinya, dan dimana saja ia merasa menjadi perhatian orang.
Maka terhadap orang munafik seperti ini Allah justru sengaja membiarkan saja mereka bersenang-senang di dunia dan dilimpahi harta yang banyak, kepandaian, ketenaran, tubuh yang elok (karena banyak harta wajar saja jika mereka mampu merawat tubuhnya dengan berbagai treatment sehingga tubuhnya sangat elok).
  1. Sombong Terhadap Kebenaran
Sombong yang dimaksud di sini adalah sombong yang menyebabkan ia menolak kebenaran. Maka orang seperti ini mungkin saja akan tertimpa istidraj. Maka harta yang ada padanya hanya akan menyebabkan dirinya semakin sombong dan jauh dari kebenaran.
Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu diba lasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik (Q.S. Al-Ahqaaf  [46] :20)
Ibnu mas’ud ia memarfukannya : “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada seberat biji dari kesombongan” Ada seseorang yang bertanya : Sesungguhnya seseorang suka kalau pakaiannya bagus dan terompahnya bagus” Ia (Rasulullah SAW) bersabda : “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menghina manusia” (H.R. Muslim, Tirmidzi dan Abu Daud)

  1. Hamba Dunia dan Cinta Dunia
dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan (Q.S. Al-Al-Fajr [89] : 15-17)
Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Q.S. At-Taubah  [9] : 24)
Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka. (Q.S. Muhammad [47] :12)
Dan pada (kisah) kaum Tsamud ketika dikatakan kepada mereka: “Bersenang-senanglah kalian sampai suatu waktu.” (Q.S. Adz-Dzaariyat [51] :43)
Ali bin Abi Thalib r.a. berkata : “Begitulah manusia, bila dunia telah menjadi besar di penglihatnnya, dan mendiami reuang yang luas dalam relung hatinya, niscaya ia akan menilainya lebih besar dari Tuhannya, lalu menjadikan dirinya hamba yang amat patuh padanya..” (Mutiara Nahjul Balaghoh Hal 27)
  1. Memohon Dunia Saja
Sebagian orang ada yang pikirannya terfokus pada keinginan dunia saja. Siang malam ia berusaha mati-matian untuk meraih dunia. Segenap pikiran dan waktunya dicurahkan untuk memperoleh dunia. Akhirat sama sekali terlewat dari pikirannya. Kalaupun ia ingat berdoa, semata memohon keberhasilan dunia.
Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. (Q.S. An-Nisaa[4] : 134)
Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu (di dunia) baginya, dan barang siapa menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat (Q.S. Asy-Syuura  [42] :20)
Perhatikanlah ayat di atas, jika Anda mengharapkan akhirat maka Allah akan memberikan akhirat plus ditambah keuntungannya yaitu sebagian nikmat dunia. Sedangkan bagi orang yang hanya mengharapkan dunia, maka hanya sebagian nikmat dunia yang dibukakan sedangkan tak mendapat kenimatan akhirat.
Maka orang seperti ini akan ditimpa istidraj. Yaitu mungkin saja Allah mengabulkan jerih payahnya siang malam meraih dunia itu sehingga tercapailah apa yang dia rencanakan dan dia idam-idamkan. Namun hal itu sama sekali tidak baik baginya. Mengapa? Karena dengan tercapainya apa yang dia inginkan itu akan semakin membuat dirinya lupa pada akhirat dan semakin banyak hartanya semakin sibuk ia dibuatnya.
Ali bin Abi Thalib pernah menasehati Kumail bin Ziyad An-Nakha’iy berkata : “Wahai Kumail ilmu lebih utama dariapada harta, ilmu akan menjagamu sedangkan harta, engkau harus menjaga hartamu” (Nahjul Balaghoh Mutiara Hal 35)
Dari Uqbah bin Amir r.a. Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya demi Allah, aku tidak khawatir kalian akan kembali musyrik sepeninggalku tetapi aku khawatir kalian akan berlomba-lomba dalam kehidupan dunia. (H.R. Muslim No.4248)
Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra.: Bahwa Rasulullah saw. pada satu hari berada di atas mimbar lalu beliau bersabda: Ada seorang hamba yang diberikan pilihan oleh Allah antara Allah akan memberinya kemewahan dunia atau memberi sesuatu yang ada di sisi-Nya. Ternyata hamba itu memilih sesuatu yang ada di sisi-Nya. (H.R. Muslim No.4390)
  1. Bakhil dan Kikir
Istidraj juga dapat menimpa orang muslim yang kikir. Bagi orang muslim, berlimpahnya harta adalah sebuah ujian. Dengan kelimpahan harta itu Allah menyuruh untuk menafkahkan sebagian harta tersebut. Tidak seluruhnya namuan hanya “sebagian”.
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya (Q.S. Al-Hadiid [57] :7)
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui (Q.S. Al-Baqarah [2] : 261)
Namun sebagian manusia memang cenderung kikir. Dan bagi orang yang kikir maka kelimpahan harta itu bisa berubah menjadi istidraj yang menjerumuskannya kepada murka Allah.
Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah (Q.S. At-Taubah [9] : 76-77)
Sekiranya manusia memiliki emas sepenuh dua lembah niscaya ia akan mencari yang ketiganya (H.R. Bukhari Muslim)
Dan manusia itu bersifat kikir (Q.S. An Nisaa’ [4] ; 128, Al Israa’ [17] : 100)
  1. Tamak dan Rakus Pada Dunia
Dari Ibnu Umar r.a.berkata : berkata Nabi SAW : Sesungguhnya seorang mukmin makan dengan satu ususu sedangkan si kafir makan dengan tujuh usus (H.R. Bukhari Muslim dalam Alu’lu wal marjan Jilid 2 No 1334)
Dari Abu Hurairah r.a. berkata Rasulullah SAW bersabda : “Dunia ini adalah penjara bagi mukmin dan surga bagi orang kafir. Sedangkan akhirat adalah surga bagi mukmin dan penjara bagi kafir (H.R. Tirmidzi No. 2246 Disahihkan oleh Albani)
  1. Tidak Bersyukur
Sebagian orang ditimpa istidraj karena mereka lupa kacang dengan kulitnya dan lupa bersyukur kepada Allah setelah Allah kabulkan doa mereka dan Allah limpahkan apa yang mereka inginkan. Hal ini sebagaimana digambarkan pada ayat berikut ini :
Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan  (Q.S. Yunus [10] : 12)
Maka Kami biarkan orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, bergelimangan di dalam kesesatan mereka (Q.S. Yunus [10] : 11)
Biarlah mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka; maka bersenang-senanglah kamu. Kelak kamu akan mengetahui (akibatnya). (Q.S. An-Nahl [16] :55)
Ali bin Abi Thalib pernah berkata mengenai ciri-ciri orang yang tidak bersyukur yaitu : Ia tidak mampu mensyukuri apa yang dikaruniakan kepadanya dan selalu menghendaki tambahan dari apa yang ada pada dirinya. Bila jatuh sakit ia menyesali dirinya tapi bila telah kembali sehat ia merasa aman berbuat sia-sia. (Mutiara Nahjul balaghoh Hal 37)
  1. Tidak  Amanah Terhadap Harta
Sebagian orang ditimpa istidraj karena ia tidak amanah dengan harta yang dilimpahkan Allah padanya. Dia membelanjakan harta itu untuk hal-hal kemaksiatand an tidak digunakan untuk kebaikan.
mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka dan agar mereka (hidup) bersenang-senang (di dunia). Kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya). (Q.S. Al-Ankabut [29] :66)
mereka mengingkari rahmat yang telah Kami berikan kepada mereka. Maka bersenang-senanglah kamu sekalian, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu). (Q.S. Ar-Ruum [30] :34)
Dunia dihuni empat ragam manusia. Pertama, seorang hamba diberi Allah harta kekayaan dan ilmu pengetahuan lalu bertakwa kepada Robbnya, menyantuni sanak-keluarganya dan melakukan apa yang diwajibkan Allah atasnya maka dia berkedudukan paling mulia. Kedua, seorang yang diberi Allah ilmu pengetahuan saja, tidak diberi harta, tetapi dia tetap berniat untuk bersungguh-sungguh. Sebenarnya jika memperoleh harta dia juga akan berbuat seperti yang dilakukan rekannya (kelompok yang pertama). Maka pahala mereka berdua ini adalah (kelompok pertama dan kedua) sama. Ketiga, seorang hamba diberi Allah harta kekayaan tetapi tidak diberi ilmu pengetahuan. Dia membelanjakan hartanya dengan berhamburan (foya-foya) tanpa ilmu (kebijaksanaan). Ia juga tidak bertakwa kepada Allah, tidak menyantuni keluarga dekatnya, dan tidak memperdulikan hak Allah. Maka dia berkedudukan paling jahat dan keji. Keempat, seorang hamba yang tidak memperoleh rezeki harta maupun ilmu pengetahuan dari Allah lalu dia berkata seandainya aku memiliki harta kekayaan maka aku akan melakukan seperti layaknya orang-orang yang menghamburkan uang, serampangan dan membabi-buta (kelompok yang ketiga), maka timbangan keduanya sama. (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
  1. Melakukan Kezhaliman Terus Menerus
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya (Q.S. Al-humazah [104] :1-3)
Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya; maka itulah tempat kediaman mereka yang tiada di diami (lagi) sesudah mereka, kecuali sebahagian kecil  (Q.S. Al-Qashash [28] :58)
Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah ke- nikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya? (Q.S. Al-Qashash [28] :60)
Malaikat Jibril datang kepada Nabi Saw, lalu berkata, “Hai Muhammad, hiduplah sesukamu namun engkau pasti mati. Berbuatlah sesukamu namun engkau pasti akan diganjar, dan cintailah siapa yang engkau sukai namun pasti engkau akan berpisah dengannya. (H. Ath-Thabrani)
  1. Lupa Diri
Harta dan kenikmatan dunia itu pada asalnya adalah sesuatu yang dibolehkan, dan merupakan salah satu nikmat dari Allah. Tak ada yang mengharamkan perhiasan dunia dan menghalangi orang dari meraihnya.
Namun harta dan kenikmatan dunia itu berpotensi membuat orang lupa diri dan hanya sedikit sekali orang yang selamat dari godaan dunia.
Maka ia berkata: “Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku (Q.S. Shaad  [38] : 32)
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa (Q.S. Al-An’aam [6] : 44)
Demi Allah, bukanlah kemelaratan yang aku takuti bila menimpa kalian, tetapi yang kutakuti adalah bila dilapangkannya dunia bagimu sebagaimana pernah dilapangkan (dimudahkan) bagi orang-orang yang sebelum kalian, lalu kalian saling berlomba sebagaimana mereka berlomba, lalu kalian dibinasakan olehnya sebagaimana mereka dibinasakan. (H.R. Ahmad)
  1. Merasa Semua Berjalan Sesuai Planning
Sebagian orang diberi harta, kedudukan, dan dibukakan berbagai kenikmatan dan keleluasaan di dunia pada mulanya sebagai ujian. Dan sebagian orang diwujudkan oleh Allah segala apa  yang direncanakannya dan segala apa yang dicita-citakannya. Maka orang itu kemudian merasa tidak ada campur tangan Allah dalam hal ini dan semua terwujud berkat upaya dirinya dan berkat kepandaiannya.
Qarun berkata : Sesungguhnya aku memiliki harta itu karena ilmu yang ada padaku (Q.S. Al-Qashash : 78)
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Q.S. An-Nisaa’ [4] : 115)
Dan apakah ia (Qorun) tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. (Q.S. Al-Qashash [28] : 78)
 
============
 

09 September 2014

100 Tahun, 1000 Tahun, 2000 Tahun atau 3000 Tahun Lagi ?

Awan sedikit mendung, ketika kaki kaki kecil Yani berlari-lari gembira di atas jalanan menyeberangi kawasan lampu merah Karet. Baju merahnya yang kebesaran melambai lambai di tiup angin. Tangan kanannya memegang es krim sambil sesekali mengangkatnya ke mulutnya untuk dicicipi, sementara tangan kirinya mencengkram ikatan sabuk celana ayahnya.

Yani dan ayahnya memasuki wilayah pemakaman umum Karet, berputar sejenak ke kanan dan kemudian duduk di atas seonggok nisan “Hj Rajawali binti Muhammad 19-10-1905 : 20-01-1965″

“Nak, ini kubur nenekmu mari kita berdo’a untuk nenekmu”

Yani melihat wajah ayahnya, lalu menirukan tangan ayahnya yang mengangkat ke atas dan ikut memejamkan mata seperti ayahnya. Ia mendengarkan ayahnya berdo’a untuk neneknya….

“Ayah, nenek waktu meninggal umur 50 tahun ya yah.” Ayahnya mengangguk sembari tersenyum sembari memandang pusara Ibu-nya.

“Hmm, berarti nenek sudah meninggal 36 tahun ya yah…” kata Yani berlagak sambil matanya menerawang dan jarinya berhitung.

“Ya, nenekmu sudah di dalam kubur 36 tahun … “

Yani memutar kepalanya, memandang sekeliling, banyak kuburan di sana. Di samping kuburan neneknya ada kuburan tua berlumut “Muhammad Zaini : 19-02-1882 : 30-01-1910″

“Hmm.. kalau yang itu sudah meninggal 91 tahun yang lalu ya yah” jarinya menunjuk nisan disamping kubur neneknya. Sekali lagi ayahnya mengangguk. Tangannya terangkat mengelus kepala anak satu-satunya.

“Memangnya kenapa ndhuk ?” kata sang ayah menatap teduh mata anaknya.

“Hmmm, ayah khan semalam bilang, bahwa kalau kita mati, lalu di kubur dan kita banyak dosanya, kita akan disiksa di neraka ” kata Yani sambil meminta persetujuan ayahnya. “Iya kan yah?”

Ayahnya tersenyum, “Lalu?”

“Iya .. kalau nenek banyak dosanya, berarti nenek sudah disiksa 36 tahun dong yah di kubur? Kalau nenek banyak pahalanya, berarti sudah 36 tahun nenek senang di kubur …. ya nggak yah?”

Mata Yani berbinar karena bisa menjelaskan kepada ayahnya pendapatnya. Ayahnya tersenyum, namun sekilas tampak keningnya berkerut, tampaknya cemas …..

“Iya nak, kamu pintar,” kata ayahnya pendek.

Pulang dari Pemakaman, ayah Yani tampak gelisah di atas sajadahnya, memikirkan apa yang dikatakan anaknya … 36 tahun … hingga sekarang …kalau kiamat datang 100 tahun lagi ….136 tahun disiksa .. atau bahagia di kubur …. Lalu ia menunduk … meneteskan air mata …

Kalau ia meninggal .. lalu banyak dosanya … lalu kiamat masih 1000 tahun lagi berarti ia akan disiksa 1000 tahun? Innalillaahi wa inna ilaihi rooji’un … air matanya semakin banyak menetes…..Sanggupkah ia selama itu disiksa? Iya kalau kiamat 1000 tahun ke depan ..kalau 2000 tahun lagi ? Kalau 3000 tahun lagi? Selama itu ia akan disiksa di kubur .. lalu setelah dikubur? Bukankah akan lebih parah lagi? Tahankah? Padahal melihat adegan preman dipukuli massa ditelevisi kemarin ia sudah tak tahan?

Ya Allah …ia semakin menunduk .. tangannya terangkat keatas..bahunya naik turun tak teratur…. air matanya semakin membanjiri jenggotnya ….. Allahumma as aluka khusnul khootimah berulang kali di bacanya doa itu hingga suaranya serak … dan ia berhenti sejenak ketika terdengar batuk Yani. Dihampirinya Yani yang tertidur di atas dipan bambu… dibetulkannya selimutnya. Yani terus tertidur …tanpa tahu, betapa sang bapak sangat berterima kasih padanya karena telah menyadarkannya .. arti sebuah kehidupan… dan apa yang akan datang di depannya.
 
 

07 September 2014

Apakah Itu Istidraj ?

Secara harfiah istidraj artinya adalah “menarik” atau mengulur”. dalam Kamus Al-Muhit karangan Al-Fairuz Abadi “istidraj” bermakna ia menipu dan ia merendahkannya”. Istilah ini dipakai dalam Al-Qur’an misalnya :

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat kami, maka kami akan menarik mereka (sanastadri-juhum), secara berangsur angsur (ke arah kebinasaan) dengan cara yang mereka tidak ketahui” (Q.S. Al-A’raaf [7] : 182)

Sedangkan secara istilah (terminologis) Ibnu Katsir menjelaskan bahwa istidraj ialah Allah dibukakan pintu rizqi dan berbagai sumber penghidupan lainnya sampai mereka terperdaya olehnya dan beranggapan bahwa diri mereka di atas segala-galanya. Imam AlQurtubi Tafsir Jami’ Al-Ahkam berkata : ‘Add-Dhohhak’ menafsirkan ayat Al-a’raf ayat 182 di atas bahwa “Setiap kali mereka menambah/membuat/membaharui maksiat yg baru maka setiap ituAllah membaharui / menambah / membuat nikmat ke atas mereka”. Istidrajullah al-abda“(Allah menIstidrajkan hambanya) memiliki arti bahwa setiap kali hambaNya berbuat kesalahan maka setiap kali itu juga Allah justru menambah nikmatNya.

Abu Musa ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung akan mengulur-ulur waktu bagi orang yang zalim. Tetapi ketika Allah akan menyiksanya, maka Dia tidak akan melepaskannya. Kemudian beliau membaca firman Allah: Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras. (H.R. Muslim No.4680)

Apakah Kesuksesan Di Dunia Tanda Kasih Sayang Allah?

Dalam berbagai training motivasi sering dikatakan bahwa jika hubungan kita beres dengan Allah, maka pasti dunianya akan sukses. Artinya jika dunia tidak sukses dan hidup susah itu pertanda hubungan nya dengan Allah tidak baik. Premis ini ada baiknya untuk memotivasi orang agar mau mendekati agama. Motovator perlu menyatakan seperti itu karena kebanyakan orang jaman sekarang tidak mau melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak menguntungkan. Dan semua itu diukur dengan materi.

Maka orang sering mengatakan ngapain belajar agama, emangnya agama bisa bikin kamu kaya? Ngapain belajar agama emangnya mau jadi ustad? Maka ketika motivator berkata bahwa agama bisa membawa kepada kemakmuran dan kesejahteraan di dunia, barulah orang mau mendekati agama.

Sebagian manusia mengira bahwa jika apa yang dicita-citakan tercapai, perdagangannya menguntungkan, karirnya sukses maka itu adalah tanda ia mendapatkan kasih sayang Allah. Sedangkan bila rejekinya sempit , perdagangannya merugi, musibah datang silih berganti itu adalah tanda Allah tidak menyayanginya.

Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku.” Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku” Sekali-kali tidak (demikian) (Q.S. Al-Fajr [89] : 15-17)

Padahal belum tentu kesenangan dan kesuksesan yang selalu kita peroleh itu adalah sebuah kebaikan. Bisa jadi kesenangan dan kesuksesan itu justru sebuah ujian atau musibah.

Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar (Q.S. Al-Mukminuun [23] : 55-56)

Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibandingkan dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit). (Q.S. Ar-Ra’d [13] :26)

Perbandingan dunia dengan akhirat seperti seorang yang mencelupkan jari tangannya ke dalam laut lalu diangkatnya dan dilihatnya apa yang diperolehnya. (H.R. Muslim dan Ibnu Majah)
 
================
 

03 September 2014

Memahami Esensi Kekayaan

Jika kita ditanya mengenai cita-cita, jawabannya tentulah beragam. Ada yang ingin menjadi dokter, polisi/ tentara, dan ada pula yang bercita-cita menjadi seniman, musisi, sastrawan, artis/selebriti, presiden, jurnalis, dan lainnya. Umumnya, jawaban kita mengenai cita-cita ini selalu berkaitan dengan profesi yang diinginkan. Dan, yang cukup menarik, tidak ada di antara kita yang menjawab ingin menjadi orang kaya. Ya, jika Anda pun disodori pertanyaan serupa (cita-cita), saya tidak yakin Anda akan menjawab ingin menjadi orang kaya.

Kaya merupakan impian bagi sebagian besar orang di dunia. Orang yang kaya selalu dipersepsikan dengan orang yang banyak uang, dan dengan banyak uang, ia pasti bahagia dan sejahtera. Dengan memiliki uang yang berlimpah, ia pun bisa mewujudkan segala keinginannya.

Akan tetapi, tahukah Anda bahwa banyak orang di luar sana atau sekitar kita yang berkeiimpahan harta (uang), namun kehidupan mereka tidak bahagia? Padahal, ada juga orang-orang yang hidup sederhana dan tidak berkelimpahan uang, namun mereka bahagia. Nah, melihat fenomena ini, apa yang bisa Anda bayangkan?

Barangkali, yang kita tahu selama ini adalah cara mendapatkan kekayaan dan bekerja, serta berkompetisi sekuat tenaga untuk mendapatkan kekayaan. Tetapi, kita melupakan esensi kekayaan itu sendiri. Padahal, pemahaman yang benar mengenai kekayaan ini adalah langkah awal agar kita dapat bahagia dengan kekayaan yang dimiliki. Bukan sebaliknya, kekayaan ada di genggaman, tetapi kebahagiaan tidak tercapai. Di sinilah perlunya memahami esensi kekayaan.

Berbicara mengenai kekayaan, setiap orang pastilah menginginkan dirinya menjadi kaya. Dan, masing-masing orang tentunya memiliki definisi tersendiri ihwal kekayaan. Namun, di sini, saya tidak akan membahas mengenai definisi kekayaan, melainkan cara kita memaknai esensi kekayaan.

Kekayaan merupakan alat atau sarana menuju kebahagiaan. Tetapi, kekayaan bukanlah tujuan. Sebagian orang memaknai kekayaan dari sisi negatif, sehingga mereka akan berkata,"Mengapa harus mengejar kekayaan atau harta, jika harta tidak menjamin kebahagiaan? Dan, bukankah kekayaan juga tidak menjamin masuk surga?"

Ya, kalimat tersebut memang tidaklah salah. Namun, itu bisa berdampak terhadap perilaku bermalas-malasan. Dan, bukankah kemiskinan juga tidak menjamin kita bahagia dan masuk surga?

Inti persoalan yang sebenarnya adalah cara kita memaknai kekayaan. Oleh karena itu, yang terpenting di sini adalah cara kita menjadikan kekayaan ini sebagai alat untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Di siniiah pentingnya shalat Dhuha. Sebab, faktanya, ada banyak orang kaya dan bisa sukses, meskipun tidak melakukan shalat Dhuha. Tetapi, apakah kekayaan mereka mendapatkan berkah dari Allah Swt.? Dan, apakah kekayaan mereka dapat mengantarkan mereka dalam meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat?

Anda mampu menjawabnya sendiri!

Kekayaan yang membahagiakan adalah kekayaan yang diridhai oleh Allah Swt. Oleh karena itulah, sebelum kita menjadi orang yang kaya harta, alangkah baiknya jika kita sudah kaya iman, kaya ilmu, dan kaya akhlak, agar kekayaan yang kita miliki menjadi berkah serta menjadi sarana untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sehingga, dua amalan, yakni shalat Dhuha dan sedekah, sangat relevan dengan kekayaan yang bisa mengantarkan kita menjadi bahagia.

Berdasarkan penjelasan tersebut, tidak salahnya, bahkan sangat dianjurkan, jika kita bercita-cita menjadi orang kaya, bahkan kaya raya. Banyak ayat al-Qur`an dan hadits yang menganjurkan kita agar menjadi orang kaya. Saiah satunya dalam sebuah hadits diterangkan bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran. Hadits tersebut tampaknya logis, karena ketika hidup seseorang berada dalam level miskin atau serba kekurangan, maka jiwanya akan rapuh dalam menghadapi cobaan hidup. Di sinilah, dibutuhkan sebuah prinsip kuat, yang mampu menangkis segala bentuk godaan.

Itulah sebabnya, Islam menganjurkan umatnya untuk meraih kesuksesan dan kekayaan, karena kemiskinan dekat dengan kekufuran. Hal ini juga menegaskan bahwa Islam tidak mengajarkan kemiskinan, melainkan menganjurkan menjadi orang yang kaya, dan kelak kekayaan tersebut digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan umat.

Maka, tanggung jawab kitalah untuk membuat diri kita menjadi kaya, bukan orang lain. Ini selaras dengan ungkapan Donald Trump, "Jika Anda terlahir miskin, itu bukan saiah Anda. Tetapi, bila Anda mati miskin, ini saiah Anda!"

Pikirkan dan Renungkan !

Ingatlah setiap nikmat yang Allah anugerahkan kepada Anda. Karena Dia telah melipatkan nikmat-Nya dari ujung rambut hingga ke bawah kedua telapak kaki. (Jika kamu menghitung nikmat Anllah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya.) (QS. Ibrahim:34)

Kesehatan badan, keamanan negara, sandang pangan, udara dan air, semuanya tersedia dalam hidup kita. Namun begitulah Anda memilki, dunia, tetapi tidak pernah menyadarinya. Anda menguasai kehidupan tetapi tak pernah mengetahuinya. (Dan, Dia menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu lahir batin) (QS. Luqman:20) Anda memiliki dua mata, satu lidah, dua bibir, dua tangan, dan dua kaki. (Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?) (QS. Arrahman:13)

Apakah Anda mengira bahwa, berjalan dengan kedua kaki itu sesuatu yang sepele, sedang kaki acap kali menjadi bengkak bila digunakan jalan terus menerus tiada henti? Apakah Anda mengira bahwa berdiri tegak di atas kedua betis itu sesuatu yang mudah, sedang keduanya bisa saja tidak kuat dan suatu ketika patah?

Maka sadarilah, betapa hinanya diri kita manakala tertidur lelap, ketika sanak saudara di sekitar Anda masih banyak yang tidak bisa tidur karena sakit yang mengganggunya? Pernahkan Anda merasa nista manakala dapat menyantap makanan lezat dan minuman dingin saat masih banyak orang di sekitar Anda yang tidak bisa makan dan minum karena sakit?

Coba pikirkan, betapa besarnya fungsi pendengaran, yang dengannya Allah menjauhkan Anda dari ketulian. Coba renungkan dan raba kembali mata Anda yang tidak buta. Ingatlah dengan kulit Anda yang terbebas dari penyakit lepra dan supak. Dan renungkan betapa dahsyatnya fungsi otak Anda yang selalu sehat dan terhindar dari kegilaan. Adakah Anda ingin menukar mata Anda dengan Emas sebesar gunung Uhud, atau menjual pendengaran Anda seharga perak satu bukit? Apakah Anda mau membeli istana-istana yang menjulang tinggi dengan lidah Anda hingga Anda bisu? Maukan Anda menukar kedua tangan Anda dengan untaian mutiara, sementara tangan Anda buntung?

Begitulah sebenarnya Anda berada dalam kenikmatan tiada tara dan kesempurnaan tubuh, tetapi Anda tidak menyadarinya. Anda tetap merasa resah, suntuk, dan gelisah meskipun Anda masih mempunyai nasi hangat untuk di santap, air segar untuk di teguk, waktu yang tenang untuk tidur pulas, dan kesehatan untuk terus berbuat.

Anda acapkali memikirkan sesuatu yang tidak ada, sehingga Anda pun lupa mensyukuri yang sudah ada. Jiwa Anda mudah terguncang hanya karena kerugian materi yang mendera. Padahal, sesungguhnya Anda masih memegang kunci kebahagiaan, memiliki jembatan pengantar kebahagiaan, karunia, kenikmatan dan lain sebagainya. Maka pikirkanlah semua itu dan kemudian syukurilah! (Dan, pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan.) (QS. Adz-Dzariyat:21)

Pikirkan dan renungkan apa yang ada pada diri, keluarga, rumah, pekerjaan, kesehatan, dan apa saja yang tersedia di sekeliling Anda. Dan janganlah termasuk golongan (Mereka mengetahui nikmat Allah, Kemudian mereka mengingkarinya.) (QS. AN-Nahl:83)

Karena pembelajaran bertambahlah ilmu, karena dzikir bertambahlah kecintaan, dan karena tafakur bertambahlah ketakutan.

Wallahu a’lam

***

Di sadur: La Tahzan dari DR. ‘Aidh al-Qarni