30 January 2014

Preman Asmara, Anak Kyai

Saya tertegun tak dapat berkata-kata lagi. Membisu terkunci rapat. Menatapnya miris. Saya menyesal menanyakan tentang hal rumah tangganya. Prasangka baik saya ternyata kali ini sia-sia. Bahkan sama sekali menjadi tidak mengenakan. Duhai sahabat, maafkan saya jika saya membuka luka di hatimu. Sungguh saya tidak tahu atas apa yang kau alami. Dan bukan pula maksud saya mengorek luka itu dan membuatmu perih kembali. Bukan.

Saya menghiba pada Pencipta. Ya Rabb, apa memang pantas Engkau mengujinya dengan hal itu? Dia sahabatku. Aku mengenalnya karena kebaikannya. Juga karena kesalehannya. Juga kefasihannya. Apalagi saat mendengar tausiyah dan khutbahnya. Saya kira, setiap wanita salehah dapat saja akan jatuh hati padanya. Dia pantas jadi imam bukan saja di mimbar jama’ah Jum’at. Tetapi juga imam dalam biduk rumah tangga idaman.

”Gimana, sudah ada tanda-tanda kehamilan isteri?”

“Belum”.

“Wah, tandanya masih diberikan kesempatan untuk bulan madu terus. Saya pun harus menunggu sembilan bulan. Baru kemudian Allah berkenan mengizinkan isteri saya hamil”.

“Oo begitu?”

”Ya. Saya sih asik-asik aja. Tapi, isteri yang uring-uringan”.

”Apa antum tidak mendengar isu tentang ana?”

Air mukanya berubah tak lagi rileks. Kalimat itulah yang mengantar saya harus diam seribu bahasa. Kalimat-kalimat selanjutnya malah membuat hati saya seperti bersalah. Ya Rabb … I don’t believe it.

”Ana dikhianati isteri. Dua bulan setelah pernikahan, saya baru tahu bahwa dia masih menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya”.

Astaghfirullah. Saya terhenyak. Saya menghiba dan meminta maaf sekiranya saya telah memaksanya harus membuka kepahitan hidupnya. Namun wajahnya yang bersih itu begitu sabar dan teguh. Bahkan ia seolah ingin agar saya harus tahu jalan kehancuran bagunan rumah tangganya. Semakin banyak ia bercerita, semakin saya percaya kebaikan budi pekertinya. Saya hanya mematung menyimak tanpa lagi dihantui rasa bersalah.

Nyatanya kesalehan memang benar-benar ruang privat. Kesalehan bukan harta yang bisa diwariskan dan dipindahtangankan secara otomatis. Kesalehan orang tua bukanlah garansi bahwa anak-anaknya kelak sama persis seperti kesalehan ayahnya. Atau sebaliknya, tidak semua anak yang membawa tetesan darah orang tua begundal, hidupnya harus mirip dan sebangun seperti kebegundalan ayahnya. Dalam dua kutub yang bersebrangan itu, saleh dan begundal ada tempatnya sendiri meskipun berbaur dalam satu aliran darah keturunan.

Dalam sejarah kenabian, kenyataan itu adalah faktual. Ibrahim ’alaihissalam adalah ”khalilullaah” meskipun tidak dipungkiri bahwa ayahnya; Azar adalah musyrik dan ”pematung”. Kan’an adalah anak ”brengsek” yang lebih suka menentang ayahnya meskipun ia putera seorang Nabi; Nuh ’alaihissalam. Maka kasus serupa di luar manusia pilihan seperti layaknya nabi dan rasul, semestinya memang lebih mudah saya terima dan saya pahami.

Saya sangat gembira saat menerima undangan pernikahannya dulu. Lebih gembira lagi bahwa wanita yang dinikahinya adalah puteri seorang kyai. Meski saya tidak bisa hadir pada resepsi pernikahannya karena satu dan lain hal, tetapi kegembiraan saya waktu itu benar-benar genap. Kepribadiannya amatlah pantas menjadi menantu seorang kyai, begitu kira-kira penggenapannya.

Tetapi Senin pagi di akhir Juni itu merubah orientasi saya. Bukan pada dirinya, tetapi pada nasib rumah tangga dan wanita yang telah mengkhianatinya. Ternyata “tetesan” kyai memang bukan miliki anaknya dan tidak harus berbanding lurus meski semua orang tua mengharap “hidayah” yang sama atas dirinya.

Kenapa itu terjadi pada sahabat saya, bukan lagi hal penting. Saya pun tidak ingin berburuk sangka, barangkali putri kyai itu punya alasan kuat mengapa ia tega memperlakukan sahabat saya yang suaminya itu dengan caranya yang seperti “preman asmara”. Yang terpenting adalah pelajaran hidup dari cerita sahabat saya itu. Betapa ia telah menjalani semua syarat untuk tetap bertahan dalam ikatan perkawinan walau akhirnya ia “menyerah” pada nasib jodohnya. Bahwa ia tidak mudah percaya pada kabar burung perihal isterinya melainkan menempuh pembuktian sendiri. Maka berbagai keganjilan akhirnya memang meyakinkan dirinya bahwa isterinya “bermain” di belakang punggungnya. Bahwa selama hampir tiga bulan, nyatanya kuliah menjadi alasan isterinya pulang terlambat dan berlama-lama di luar rumah sang suami. Nyatanya pula, selama tiga bulan itu isterinya tidak pernah masuk di ruang perkuliahan. Untuk membuktikan itu, ia merelakan mondar-mandir ke kampus di mana isterinya belajar. Tetapi hanya absensi kosong lebih dari separuh semester yang dijumpai. Kemana hadirnya?

Bahwa ia lebih mengedepankan nasihat dari pada otot ketika memutuskan menemui mantan pacar isterinya dan mengajaknya memahami status mereka masing-masing saat ini. Walau kemudian isterinya memilih minggat dan meninggalkannya selama hampir enam bulan lamanya karena peristiwa pertemuan suami dan mantan pacar yang masih dipacarinya itu, sahabat saya masih menyimpan kesetiaan menunggu dan mencarinya.

“Saya berusaha mencarinya karena ingin menjaga harga diri saya dan air muka orang tuanya. Saya masih berusaha memperbaiki kesalahannya dan tetap ingin menempatkannya sebagai isteri. Sampai kemudian saya menyerah karena mulut ibu saya”.

“Maksud antum?”.

”Saat saya berencana menjernihkan nasib pernikahan ini beberapa hari setelah ia pulang dan saya mengajak kedua orang tua menemui keluarganya, ibu saya bilang,”silahkan jika kamu akan meneruskan rumah tanggamu dengannya. Tetapi ibu tidak akan pernah ridha lagi untuk selamanya”.

”Maaf, saya benar-benar tidak mendengar tentang hal yang selama ini antum alami. Sama sekali tidak tahu”.

”Ya, sekarang antum tahu dan harus tahu. Saya bukan ingin membuka aib. Tetapi juga sebagai tabayyun, bahwa dulu saya mengundang antum hadir dipernikahan saya, sekarang saya tidak lagi menjadi suami wanita yang dulu itu. Ana sudah menikah lagi dua bulan yang lalu setelah segala upaya untuk mengembalikan dan menyadarkan isteri saya gagal saya lakukan. Jadi, memang belum ada tanda-tanda kehamilan. Masih bulan madu”.

Ah, akhirnya saya dapat tersenyum.

Tampaknya sahabat saya tidak menyesal telah diperlakukan seperti itu dan harus berpisah. Ia justeru bersyukur, dari pada ia dikhianati dalam selimut kepalsuan yang tidak diketahuinya. Baginya perpisahan itu adalah yang terbaik dari Allah atas nasehat tegas Ibunya. Yang penting katanya, ia tidak menyakiti wanita itu dan orang tuanya. Lalu saya berpikir keras. Apakah teka-teki anak menantu kyai ini ada juga jawabannya? Ahaa, akhirnya memang tidak menjadi aneh lagi. Waktu di madrasah diniyyah dulu, guru sejarah Islam saya pernah bercerita tentang isteri nabi Luth ’alaihissalam. Ia adalah wanita durhaka di pelaminan suaminya yang seorang nabi yang saleh. Atau Asia; seorang wanita salehah yang berdampingan dengan Fir’aun lelaki durjana. Jadi apabila ada lelaki soleh dikhianati oleh isterinya, atau wanita solehah dikhianati pula oleh suaminya, bukan lagi tekai-teki yang sukar dicari jawabannya. Apalagi jika saling mengkhianati, karena memang tidak ada tanda-tanda kesalehan pada keduanya tentu lebih tidak aneh, sebab zaman telah mempertontonkan hal itu pada kita setiap hari tanpa malu-malu.

Akhirnya, kesalehan memang pilihan atas keikhlasan mengikuti sunnahnya, bukan ketergantungan pada kesalehan nasab, pengakuan dan panggilan hormat semata.

Saya percaya ada hikmah di balik jalan hidup sahabat saya itu, meskipun mendengar cerita kecurangan isterinya terasa perih seperti dirobek sembilu. Di sini saya seolah mendapat apologi lagi, bahwa kecurangan dalam rumah tangga tidak selalu dominasi kelakuan lelaki. Maka pegiat kesetaraan gender yang sering menempatkan nggapan bahwa wanita sebagai melulu korban kekerasan dominasi laki-laki perlu berbesar hati melihat kenyataan bahwa wanita pun menyimpan ”keperkasaan” dan sanggup melakukan hal serupa kepada laki-laki.

Sayangnya kenyataan ini seperti tak dilirik para ”pejuang” kesetaraan itu. Bahkan mereka berani mengajak kita untuk merombak trafsir agama yang menurutnya bias gender. Fiqih ditudingnya sebagai dominasi lelaki atas wanita. Maka digagaslah formula hukum baru seperti hukum waris dengan proporsi 2 banding 2 yang disebutnya lebih adil tanpa bias gender. Lelaki juga harus dikenakan iddah setelah ditinggal mati isterinya. Kaum wanita juga sudah saatnya diberi porsi untuk menjadi khatib dan imam shalat. Dan banyak lagi pemikiran liar, absurd dan lepas dari ruh sopan santun sebagaimana selama ini dipelihara dan dijunjung tinggi oleh para mujtahid dan mufassir generasi terbaik dahulu.

Tapi biarlah, pada akhirnya umat akan tetap tunduk pada otoritas wahyu daripada sekedar mendengar pendapat ganjil dan sensasi belaka.

Kembali soal sahabat saya. Rupanya, syarat bagusnya agama sebagai alasan menjatuhkan pilihan pasangan hidup dalam pernikahan bukanlah syarat bisu. Yaitu agama yang hanya sebatas simbol dan tidak dibunyikan dalam perilaku. Agama ternyata tidak identik dengan anak kyai, anak ustadz atau ulama, bahkan anak nabi sekalipun. Dalam hemat saya yang kecil ini, bagusnya agama sebagai sarat memilih jodoh adalah menjadikan perkawinan sebagai gerbang menuju kokohnya iman, kesempurnaan Islam, memperluas ihsan dan menikmati ”kelezatan’ ibadah dan pengabdian kepada pemilik Cinta dan Kasih Sayang sempurna. Tentu orang yang bagus agamanya akan mampu membunyikannya nilai-nilai agama itu dalam setiap perilakunya.

Duhai sahabat, para isteri dan suami. Jika pernikahan itu diyakini sebagai janji suci di hadapan Tuhan, maka mengkhianatinya butuh keberanian melawan Tuhan. Jika manusia yang lemah berani melawan Tuhan, maka mengkhianati manusia akan seperti membalikkan telapak tangan.

Semoga perkawinan mengantarkan kemuliaan bagi kita di dunia yang fana menuju mahligai surgawi yang abadi. Allahu a’lam.


abdul_mutaqin@yahoo.com

29 January 2014

Menjelang Kematian

Bentuk keadilan Allah Rabbul Azis adalah tentang adanya kematian. Semua manusia pasti akan menemui kematian.

Tak ada satupun manusia yang dapat menolak dan menunda datangnya kematian. Kematian bukanlah episode akhir kehidupan manusia. Masih ada kehidupan yang lebih panjang, yang bersifat kekal-abadi, dan selama-lamanya, yaitu kehidupan akhirat. Kelak, posisi manusia di akhirat, sangatlah ditentukan selama kehidupannya di dunia.

Abu Bakar As-Shidiq ra, menjelang wafatnya, putrinya Aisyah datang menemui beliau. Aisyah duduk di dekat kepala ayahnya. Ia menangis: “Ayah, benar kata orang dahulu yang bersyair,

“Sungguh! Tidak ada gunanya kekayaan dunia,

Ketika napas tersengal dan dada sesak”.

Lalu, Abu Bakar ra menoleh kepada Aisyah, dan berkata: “Anakku, jangan bicara seperti itu”, ucap ayahnya. Lalu Khalifah Abu Bakar melanjutkan, katakanlah: “Dan, datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang dahulu hendak kamu hindari”. (Qur’an: Qaf:19).

Sesudah Abu Bakar As-Shidiq wafat, banyak orang yang sibuk mencari harta peninggalannya. Khalifah Islam yang kekuasaannya sangat luas, membentang dari Bagdad sampai ke Afrika Utara, dan memimpin Dunia Islam, di mana ‘emas dunia’ (harta kekayaan ) berada di bawah kekuasaannya, rakyatnya hanya mendapati peninggalannya berupa seekor baghal dan dua potong pakaian. Sebelum wafatnya Abu Bakar berwasiat: “Kafani aku dengan satu kain saja. Kirimkan baghal dan pakaian yang satunya kepada Khalifah Umar Ibn Kaththab. Dan, katakana kepadanya: “Wahai Umar, bertakwalah kepada Allah. Jangan sampai Allah Ta’ala mewafatkan seperti aku ini”.

Ketika baghal dan kain itu sampai kepada Umar, ia terduduk menangis seraya berkata: “Engkau menyusahkan khalifah sesudahmu, wahai Abu Bakar!”. Benar, demi Allah, Abu Bakar telah menyulitkan kahlifah sesudahnya. Demi Allah, Abu Bakar menyusahkan setiap pemimpin (Khalifah) sesudahnya untuk meneladani dan mengikuti jejak langkahnya.

Ibnul Qayim mengisahkan bahwa setiap pagi, bersamaan terbitnya fajar matahari, Abu Bakar keluar rumah menuju kemah yang berada dipinggiran kota Madinah, tujuannya ia menemui seorang rakyatnya, wanita tua renta, buta, malang, dan sangat menderita. Abu Bakar ra menyapukan rumahnya, memasakkan makanan, dan memerahkan susu kambingnya. Inilah yang dilakukan Abu Bakar ra, orang pertama setelah Rasulullah Saw, mujahid agung, dan Khalifah Rasulullah Saw. Dan, usai membantu wanita tua itu, Abu Bakar ra, kembali ke Madinah.

Umar pernah mengkuti kepergian Abu Bakar. Ke mana Khalifah Islam itu pergi setiap pagi? Ketika Abu Bakar keluar dari rumah orang tua itu, Umar pun masuk. Umar bertanya:“Kamu siapa?”, ucapnya. “Saya hanyalah seoran perempuan tua yang malang, dan menderita. Suami saya sudah lama meninggal dunia, dan tidak ada yang menghidupi saya setelah Allah, kecuali orang yang datang tadi”, jawab wanita tua itu.

Umar bertanya:“Kamu mengenalnya?”,

“Tidak.Demi Allah, saya tidak mengenalnya”, jawab wanita tua itu.

Umar bertanya lagi: “Lalu apa yang dia lakukan?”,

“Menyapu rumah, menolong memerahkan susu, dan membuatkan makanan!”, jawab wanita tua itu.

Mendengar tutur wanita itu, Umar terduduk sambil menangis.

Semoga Allah Ta’ala melimpahkan kesejahteraan kepada Abu Bakar, dan di antara orang-orang yang kekal di surga Nya. Semoga Allah Ta’ala meridhai nya di antara orang-orang yang shidiqin. Semoga pula Allah Ta’ala mempertemukan orangl-orang mu’min dengannya di surga. Amin. 

(disarikan dari Saat Mau tMenjemput – Aid al-Qarni) Mashadi.

27 January 2014

Kematian, Teguran untuk Yang Masih Hidup

Sering kali kita mendengar pengumuman tentang kematian seseorang dari speaker masjid terdekat di tempat tinggal kita masing – masing. berbagai macam reaksi pun muncul ketika pengumuman itu terdengar oleh kedua telinga kita. Ada yang hanya sekedar ingin tau “siapa yang meninggal”, ada yang acuh tidak acuh, ada juga yang dengan seksama merenungi kejadian tersebut.

Ya, kematian adalah hal yang pasti terjadi bagi siapun, walau memang waktunya belumlah kita ketahui kapan ia akan datang. Ibarat tamu, kematian adalah tamu yang tak terduga datangnya. Dia senantiasa datang baik disaat kita sedang taat atau pun saat kita sedang bermaksiat. Saat kita sehat, atau dikala kita sedang sekarat. Kematian adalah misteri, tapi itu pasti terjadi.

Banyak yang beranggapan, bahwa kematian itu hanya dimiliki oleh orang – orang yang sudah uzur, disaat kulit sudah mengendur. Tapi perlu diingat, kematian datang bukan hanya kepada mereka yang sudah “bau tanah”, melainkan pula kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Tua atau muda, semua sama sama berpotensi mengalami kematian. Salah, bila kita menganggap bahwa mati itu lebih dekat bagi mereka yang sudah tua, padahal sebenarnya yang muda pun bisa mengalaminya.

Yang tua cenderung menghabiskan sisa usianya, lantaran sakit yang diderita. Tidak halnya dengan yang muda, kebanyakan dari mereka yang muda, menghadap Illahnya dalam posisi yang sia – sia. Lihat saja, kecelakaan jalan akibat kebut – kebutan, atau korban bacokan senjata tajam akibat tawuran. Apa mungkin mereka yang tawuran dan kebut – kebutan dijalan adalah orang tua yang usianya sudah memasuki masa senja ? kebanyakan dari mereka adalah anak muda. Belum lagi korban narkoba, juga korban gantung diri atas patah hati ditinggal kekasih. Itu semua kebanyakan dialami oleh mereka yang masih muda belia.

Cobalah ambil pelajaran atas kematian yang menimpa kerabat, tetangga, atau teman kita. Kemarin mungkin adalah hari – hari terakhir mereka hidup di dunia. Tapi boleh jadi besok kita pun bernasib sama.

Ibarat antrian panjang, kita adalah salah satu yang turut mengantri di dalamnya, tinggal menunggu saja kapan giliran kita dipanggil.Kullu nafsin dzaaikhqotil maut.. “setiap yang bernyawa akan merasakan mati”. Dia, mereka, ataupun kita, semua pasti akan merasakan mati. Tidak akan ada satu pun yang dapat melindungi diri kita dari kematian. Allah menjelaskan dalam surat al jumuah ayat 8 :

Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.

Kematian itu pasti. Se kaya apapun kita, se cantik/ se ganteng apa pun rupa kita, kematian pasti akan menyapa. Kekayaan tidak akan bisa membeli kematian, wajah yang rupawan pun akan turut binasa. Semua yang ada di dunia, tak akan ada artinya lagi. Ketika kita memilih untuk berleha – leha, menghabiskan waktu untuk hura – hura, menikmati dunia yang fana. Terlintaskah dalam fikiran kita tentang kematian ?

Teman, ingatlah bahwa mati itu pasi, namun caranya adalah pilihan kita sendiri. tidak ada yang dapat menjamin diri kita untuk menghirup aroma segarnya surga, selain amal ibadah kita di dunia.

Mari gunakan waktu yang singkat ini, untuk meraih kesenangan abadi, di surga nanti.



Allahu’alam bishawab



Mustaqim Aziz

25 January 2014

Penyesalan yang Tak Berguna

Disebuah Perkampungan yang terpencil, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk kota yang mengalami 4 musim yang selalu mengintai kondisi kehidupannya. Hiduplah sebuah keluarga yang terdiri dari anak dan ibunya...hanya berdua di antara musim dingin pada saat itu. Anak yang sebenarnya tidak diinginkan dan diharapkan untuk bisa hidup bersama dan dibesarkan olehnya seorang diri.

Memang kehidupan hedonis di masyarakat barat sudah menjadi kebiasaan yang lumrah. Perzinahan dan Kemaksiatan bukanlah suatu fenomena asing dan melanggar hukum, bahkan dilindungi oleh HAM (Hak Asasi Manusia) dan Liberalisme (Kebebasan), sehingga mereka bisa melakukannya di mana saja sekehendak hawa nafsu mereka, selama keduanya sepakat tanpa adanya rasa malu. Namun ternyata meskipun kehidupan serba bebas dan bernekaragam prilaku hedonis, satu hal yang mereka takutkan adalah mengandung anak yang "Kecolongan" dari aktivitasnya. Inilah awal dari dampak buruknya hedonisme dan prilaku dari kebebasan berekspresi.

Tingkat HIV/AIDS yang tinggi meskipun dengan memakai pelindung"Kondom" tetap saja Allah memudaratkan mereka akibat kehinaanya sebagai Manusia dan prilakunya yang menghancurkan tatanan kehidupan manusia di dunia.

Cathy, adalah salah satu wanita yang "Kecolongan" akibat perbuat zinanya, sehingga ia tidak tahu siapa bapak dari anak yang dikandung dan dilahirkannya. Semakin tumbuhlah anak yang tidak diinginkannya, dengan kebencian akibat kebebasan berprilaku sehingga ia curahkan kepada anaknya dengan prilaku keras yang sekarang beranjak 10 Tahun, sebut saja namanya yusuf.

Kehidupan keduanya tidak pernah mengalami ketenangan karena selalu ada masalah yang ditimbulkan dan dipermasalahkan meskipun hanya sedikit. Namun yusuf adalah seorang anak yang sangat penurut terhadap ibunya,..ia melakukan apa saja yang selalu di inginkan dan diperintahkan oleh ibunya. Setiap pagi yusuf Selalu berjualan makanan kecil untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sementara ibunya hidup dalam kefoya-foyaan.

yusuf Berangkat setiap pagi dan harus kembali siang hari, seandainya telat dan tidak mendapatkan uang, maka punggungnya dah siap untuk dipukuli dan tampar, bahkan dikurung digudang serta tidak dikasih makan, (Dah berzina menyiksa pula). Itulah hari-hari yusuf yang selalu diliputi kemarahan, kesedihan, keterpurukan, kegelisahan dan penderitaan yang tidak pernah berujung.

Suatu ketika, yusuf pergi berjualan seperti biasanya....bagi yusuf hari itu adalah hari istimewa buatnya,...bukan karena ia mendapat suatu rizki yang besar, namun ia menyadari bahwa hari ini adalah hari ulang tahun ibunya. Hari itu ia bertekad untuk menghabiskan jualannya agar uang yang didapat cukup besar untuk membelikan sebuah kado kecil untuk ibu terkasihnya meskipun ia selalu menderita ketika berada di dekatnya.

Ibu yang baru pulang dari foya-foya dengan "teman kencannya", serontak kaget melihat anak yang seharusnya menyiapkan makan siang, ternyata belum pulang...spontan darahnya naik keubun-ubun dan panas 200 derajat, merah mukanya layaknya dibakar dengan api amarah.."Dasar nih anak Iblis, jam segini belum pulang malah main-main, bukannya pulang" sahutnya dari mulut sampai berbusa. Kemarahannya semakin memuncak ketika menjelang sore yusuf belum pulang juga, sungguh tiada terkira marahnya si Ibu. Akhirnya ia punya cara yang paling efektif untuk menghukumnya, "Biarkan ia tidur di jalanan" sahutnya sambil pergi untuk berfoya-foya dengan "teman kencannya" sampai besok pagi.

Salju terus turun, angin malam mulai menghampiri dan dinginpun mulai masuk ke dalam pori-pori. yusuf Pulang dengan Riangnya, ia berharap ibunya akan membukakan pintu agar ia bisa masuk kerumah dan menikmati hangatnya selimut. Namun, Harapan tetaplah harapan..ketika yusuf sampai depan pintu, ia pun tidak mendapati ibunya dan rumah dalam kondisi sepi. yusuf coba membuka pintu dan mencari kunci rumahnya ternyata semuanya sia-sia belaka, malah dingin yang semakin memuncak dan sangat menyengat, suhu lingkungan mencapai 0 derajat celcius.

"Mungkin ibu sedang pergi sebentar, saya tunggu aja ..ah..". pikirnya sambi tidur di depan pintu.

Keesokan harinya...ibu datang dengan cerianya...maklum dapat kepuasan yang lebih habis "kerja keras" tadi malam. Ia mendapati anaknya yang sedang tidur di depan pintu."Rasakanlah sekarang anak iblis, kamu kedinginankan, rasakanlah". katanya sambil tertawa. Namun yusuf, tidak bergerak sedikitpun. akhirnya ibu itupun kesal dan membangunkan dengan cara kasar..ditendang-tendangnya tubuh mungil tersebut sambil berkata,"Bangun anak iblis, bangun..." sahutnya sambil kesal. Namun, yusuf Masih belum bergerak juga. Kebingunganlah si Ibu untuk membangunkannya. Dengan perasaan kacau dan galau ibu pun berusaha mencoba membangunkannya, namun semuanya sia-sia. yusuf tinggal namanya..Ia meninggal karena kedinginan dengan air mata yang membentuk kristal dipipinya.

Ditangan yang membeku ia menggengam sebuah Liontin Perak dan sebuah Pucuk surat yang tertulis rapi. Isinya sebagai berikut :

Mama yang selalu dihati ini, maafkan anakmu ini yang belum bisa membahagiakan mama, meskipun yusuf selalu berusaha untuk itu, ternyata di mata mama hanya tampak kebencian dan kemarahan yang tak berujung meskipun yusuf tidak tahu dimanakah kesalahan yusuf ini.

Mama yang tersayang, mama masih inget ga hari ini hari apa...???. ya...benar hari ini adalah hari ulang tahun mama yang ke-40. Mama, yusuf mohon maaf kemarin agak pulang malem karena yusuf ingin agar jualan makanan yusuf habis terjual dan mendapatkan uang yang cukup untuk membeli kado kecil ini buat mama.

Mama yang terbaik, di dalam hidup ini yusuf merasa sendiri meskipun ada mama, namun yusuf tidak merasakan kehadiran mama dalam kehidupan yusuf, yusuf rindu seorang yang menyayangi yusuf selayaknya seorang ibu, Namun yusuf tidak mendapatkannya dari mama,..untuk itu yusuf ingin memberikan hadiah ini untuk sekedar menaruh harapan agar yusuf bisa melihat mama tersenyum,dan bahagia. Selama ini yusuf selalu menganggap mama sebagai seorang terbaik dihati ini, karena yusuf tidak punya siapa-siapa lagi.

Mama selamat ulang tahun ya..mudah-mudahan mama menyadari bahwa ada yusuf yang selalu menyayangi mama dan merindukan mama..sekian mama...

Sakit dan merananya hati ibu yang selalu menjadikan amarah dan hawa nafsu menjadi sumber dari segala tingkah lakunya. Hilang lenyap dunia yang ternyata malah menghinakannya. Penyesalan yang tiada akhir itulah akibat dari perbuatannya.."Menyesalpun tiada gunanya"

Sahabatku...terkadang kita membenci seseorang yang didalam hatinya terdapat cinta yang tulus. Menghinakan orang lain padahal ia lebih mulia dari kita, memburukkan akhlak seseorang padahal lebih baik akhlaknya, ketulusan cinta ternyata hanya didapat dalam diri yang tidak perlu di umbar kemana-mana, Rasa Kasih sayang itu lahir dari hati yang tulus dan suci yang menginginkan orang yang kita sayangi itu bahagia dan selalu tersenyum dalam setiap hidupnya meskipun diri kita menderita.

"Kebagiaan yang hakiki adalah ketika kita melihat orang yang kita sayangi bahagia dan tersenyum", maka sahabatku bahagiakanlah orang yang terkasih diantara kita dengan menjaga kehormatan dirinya.

23 January 2014

Bergerak dari Wajib ke Wajib

Menuntut ilmu wajib, mengajar yang bagi sudah punya ilmu juga wajib, mencari nafkah wajib baik perorangan atau masyarakat, baik yang masih bujangan, apa lagi yang sudah berumah tangga, jelas mencari nafkah adalah kewajiban, terutama buat suami, sedangkan istri tak ada kewajiban untuk menacari nafkah, karena mencari nafkah itu memang kewajiban suami. Lalu bagaiman kalau ada istri yang ikut mencari kerja, bahkan menjadi “tulang punggung” rumah tangga?

Ya sah-sah saja, asal ada kesepakatan dalam rumah tangga itu sendiri, yang jelas kewajiban mencari nafkah adalah kewajiban suami, bukan istri. Tapi karena di jaman sekarang begitu susah mencari pekerjaan bagi seorang laki-laki, bisa saja sang istri “membantu” suami, menggantikannya di dalam mencari nafkah.

Dan kewajiban suami mencari nafkah bernilai ibadah yang tinggi, ingat, kata wajib tadi, dalam kontek fiqih, adalah sebuah pekerjaan yang bila dikerjakan mendapat pahala, bila ditinggal akan berdosa. Jadi seorang suami bila memang mampu bekerja, tapi tidak mau bekerja atau tak mau mencari nafkah, jelas berdosa. Lain soal bila sudah mencari pekerjaan, dan belum menemukannya, karena memang begitu sulit mencari pekerjaan, maka tak ada alasan untuk menuduhnya berdosa.

Membiayai rumah tangga wajib, memberikan nafkah lahir batin pada istri wajib dan seterusnya. Itu semua kewajiban, jadi kalau sementara ini tidak dapat semua kewajiban kau penuhi, karena situasi dan kondisi, ya biasa saja. Karena keterbatasan tenaga dan waktu. Namun bersyukurlah bahwa kita masih bergerak dari wajib ke wajib. Pergi dari satu kewajiban menuju ke kewajiban yang lainnya, nah kenapa ragu-ragu? Kenapa takut dan pesimis ? Ayo terus bergerak dan bergerak.

Bahkan seringkali orang yang sudah memenuhi kewajiban dengan bekerja, pada waktu tertentu pekerjaan begitu banyak, seakan-seakan tak habis-habisnya, baru satu pekerjaan diselesaikan, muncul lagi pekerjaan yang lain, benar-benar pekerjaan seakan-akan bertumpuk-tumpuk menjadi satu. Sehingga timbul keluhan” waduh banyak sekali pekerjaanku hari ini”.

Kalau itu yang terjadi, maka segera lihat pada orang-orang yang sedang mencari pekerjaan, yang mungkin saja sudah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah menamatkan sekolah atau kuliahnya, tak juga bertemu dengan pekerjaan yang dicarinya. Atau lihatlah orang yang belum bekerja dan sedang melamar pekerjaan ke berbagai instasi pemerintah atau ke perusahaan-perusahaan swasta, sudah puluhan bahkan ratusan surat lamaran kerja dikirimkan, tapi belum juga ada jawaban, belum juga ada panggilan,dan nyaris putus asa.

Atau lihat juga ada yang tak cukup dengan melamar pekerjaan melalui surat lamaran yang dikirim melalui kantor pos, atau dikirim melalui email, tapi langsung membawa lamaran ke tempat-tampat atau kantor-kantor pemerintah juga ke perusahaan-perusaan swasta, berpuluha atau mungkin beratus kantor sudah didatangi, tapi yang ditemukan di muka kantor atau perusahaan adalah tulisan besar-besar” TAK ADA LOWONGAN”.

Dan lebih eronis lagi, sekarang ini melamar pekerjaan menggunakan “pihak ketiga” atau yayasan, entah dari mana peraturan itu dibuat, melamar pekerjaan kok pakai “pihak ketiga”, dan itupun bukan grstis, tapi ada fee yang harus dibayar! Aneh, orang bisa langsung melamar pekerjaan ke kantor atau perusahaan, tapi justru pakai “pihak ketiga”, mengapa harus demikian? Dan itu terjadi di era reformasi sekarang ini, padahal dulu-dulunya tak demikian, mengapa harus ada “pihak ketiga”, atau perantara? Apakah yang mencari kerja tak bisa jalan sendiri, tak bisa mengirim surat sendiri, atau tak bisa mengemailkan sendiri?

Oke kita kembali kepada kewajiban, yang harus dilaksanakan oleh siapapun, ya tentu saja yang sudah dewasa, walau terkadang kita melihat betapa banyak anak-anak yang seharusnya belum berkewajiban mencari nafkah, tapi karena situasi dan kondisi perekonomian keluarganya yang tak mendukung, mereka terpaksa bekerja, membanting tulang untuk keperluan dirinya dan bahkan bisa juga untuk keluarganya, ironis sekali, anak-anak yang harusnya menuntut ilmu, tapi terpaksa ada di lapangan pekerjaan.

Dengan melihat sepintas keaadaan ini, maka orang sedang “galau” karena begitu banyak pekerjaannya atau pekerjaannya bertumpuk, bahkan seperti tak punya waktu lagi untuk hal-hal yang lain atau seperti dikejar-kejar pekerjaan yang datang berubi-tubi, maka bersykurlah: “Alhamdulillah masih punya pekerjaan

Alhamdulillah masih ada yang dikerjakan

Alhamdulillah masih punya waktu untuk bekerja

Alhamdulillah masih diberikan pekerjaan

Alhamdulillah masih banyak pekerjaan

Alhamdulillah masih dapat pekerjaan”.


Mangapa harus Alhamdulilah, sedangkan pekerjaan itu begitu banyak, seperti air bah yang datang melimpah ruah, tak kurang-kurang, tak ada habis-habisnya? Ya itu tadi, bandingkannya dengan dengan orang-orang yang tak punya pekerjaan, bandingkan dengan orang-orang yang masih mencari pekerjaan, bandingkan dengan orang-orang yang sudah tak punya pekerjaan, bandingkan dengan orang-orang yang sudah ke sana ke mari menacri pekerjaan, tapi belum juga menemukan pekerjaan yang dicarinya, begitu seterusnya.

Jadi kalau banyak pekerjaan, bukan keluhan yang datang, tapi rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan rezeki berupa pekerjaan. Nah bukankah waktu sebelum bekerjaan, yang dicari pekerjaan, lalu mengapa harus mengeluh ketika pekerjaan sudah didapat? Mengapa harus mengeluh ketika begitu banyak pekerjaan datang?

Jangan lupa, ada yang sedang mencari pekerjaan, satupun belum dapat, nah ini sudah punya pekerjaan dan dapat pekerjaan banyak sekali, bukankah patut disyukuri? Bukan malah keluhan yang datang. Kalau keluhan yang datang, ingat sabda nabi yang bunyi bebasnya seperti ini” Jika urusan dunia lihat ke bawah, kalau urusan akherat lihat ke atas” Dengan demikian tak akan mudah mengeluh, mengapa?

Coba lihat di sana itu, orang-orang yang berada di kolong-kolong jembatan, yang berumah di tempat pembungan akhir sampah, yang tidak punya rumah, yang “beratap langit dan beralas bumi”, dan itu bukan hanya di Indonesia, di Jakarta! Tapi juga ada di Rusia, di Moskow! Jangan dikira di negara maju seperti Rusia tak ada orang miskin, jangan dikira orang di Moskow kaya semua, tida!. Yang miskin dan yang kaya ada di mana-mana, sama saja.

Mungkin tak terbayang oleh anda, ketika ada orang yang mengumpulkan minuman ringan kalengan yang dikumpulkan pada satu kaleng minuman lainnya untuk di minumnya! Dan itu bukan terjadi di Jakarta, tapi di Moskow, Rusia, di negara super power, di negara yang sudah punya stasiun ruang angkasa Mir! Tapi kemiskinan seperti itu ada, ini bukan cerita omong kosong, tapi saya lihat sendiri! Makanya tak pernah terlupa, begitu membekas di otak ini.

Kembali pekerjaan, kembali kepada kewajiban. Jadi sesibuk apapun saat bekerja, syukurilah, almdulillah! Karena dengan rasa syukur tadi, akan ditambah lagi karunia Allah pada kita! Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat Ibrohim ayat:7: 
“ Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku tambahkan nikmat kepadamu, tatapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) , maka pasti azab-Ku sangat pedih”.

Itu janji Allah SWT, dan Allah tak pernah mengkari janjiNya, coba itu, apa tidak enak? Kalau bersyukur di tambah nikmat itu, tapi kalau kupur nikmat, baru diancaman saja, tak langsung dilaksanakan, Kalau bersyukur langsung ditambah nikmat itu, apa buktinya? Ya syukur itu sendiri, karena batapa banyak orang yang diberi nikmat, tapi tak bersyukur kepadaNya! Sedangkan orang yang bersyukur selain ditambah nikmat Allah kepadanya, juga mendapat pahala, jadi dapat doble sekaligus, asyik kan!

Syaripudin Zuhri/Moskow

20 January 2014

Mimpi Pemicu Kejujuran

Ketika tidur sesekali kita bermimpi, entah itu mimpi baik atau buruk. Terkadang mimpi itu begitu berkesan, sehingga kita ingin tahu apa makna di baliknya. Ada kalanya mimpi itu demikian menakutkan, yang membuat kita tak ingin menceritakannya pada siapapun.

Berbagai pertanyaan kemudian timbul. Apakah semua mimpi itu bisa dipercaya dan punya arti? Perlukah setiap mimpi dipertimbangkan atau sebaiknya diabaikan saja? Apa akibat dari sebuah mimpi? Dapatkah mimpi dijadikan salah satu sumber ilmu pengetahuan?

Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat mengenai mimpi, misalnya dalam QS Ash Shaaffaat 37: 102 diriwayatkan bahwa Nabi Ibrahim as. bermimpi melihat dirinya menyembelih Ismail as anaknya. 

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Kemudian dalam QS Yusuf 12: 43, diceritakan raja Mesir bermimpi pada saat Nabi Yusuf as masih dipenjara karena tuduhan pelecehan seksual. 
“Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering. Hai orang-orang yang terkemuka: Terangkanlah kepadaku tentang ta’bir mimpiku itu jika kamu dapat mena’birkan mimpi.”

Lebih lanjut dalam QS al-Fath 48: 27 dikisahkan selang beberapa lama sebelum terjadi Perdamaian Hudaibiyah, Nabi Muhammad SAW bermimpi bahwa beliau bersama para sahabatnya memasuki kota Mekah dan Masjidil Haram dalam keadaan sebahagian mereka bercukur rambut dan sebahagian lagi bergunting.
 “Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, Insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.“

Nabi mengatakan bahwa mimpi beliau itu akan terjadi nanti. Kemudian berita ini tersiar di kalangan kaum muslim, orang-orang munafik, orang-orang Yahudi dan Nasrani. Setelah terjadi perdamaian Hudaibiyah dan kaum muslimin waktu itu tidak sampai memasuki Mekah maka orang-orang munafik memperolok-olokkan Nabi dan menyatakan bahwa mimpi Nabi yang dikatakan beliau pasti akan terjadi itu adalah bohong belaka. Maka turunlah ayat ini yang menyatakan bahwa mimpi Nabi itu pasti akan menjadi kenyataan di tahun yang akan datang. Dan sebelum itu dalam waktu yang dekat Nabi akan menaklukkan kota Khaibar. Andaikata pada tahun terjadinya Perdamaian Hudaibiyah itu kaum muslim memasuki kota Mekah, maka dikhawatirkan keselamatan orang-orang yang menyembunyikan imannya yang berada dalam kota Mekah waktu itu.

Dalam HR Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud dari Abu Hurairah ra. dikatakan “Mimpi seorang mukmin merupakan satu perempat puluh enam dari kenabian”. Ini berarti hanya mimpi seorang mukmin yang patut dipertimbangkan, karena merupakan pengkabaran dari Allah SWT. Itupun hanya sebagian kecil saja, yang digambarkan sebagai seperempat puluh enam bagian, dimana sebagian besar telah diberikan pada para nabi. Abu Bakar ra. terkenal sebagai ahli menakwilkan mimpi karena beliau adalah orang yang shidiq (jujur). Beliau pernah bermimpi sedang menaiki tangga bersama Rasulullah SAW, namun berselisih dua anak tangga. Takwil dari mimpi itu adalah beliau akan meninggal dua tahun setelah Rasulullah SAW wafat dan memang demikianlah yang terjadi.

Para ulama berpendapat mimpi tidak bisa dijadikan salah satu sumber ilmu pengetahuan, apalagi jika bertentangan dengan syariat. Ini berbeda dengan kasus pengisyariatan adzan yang datang melalui mimpi Bilal, salah seorang sahabat Nabi SAW. Bilal bermimpi meneriakkan lafadz adzan, kemudian dilaporkan pada Rasulullah SAW. Menurut Rasulullah SAW mimpi itu benar dan bisa diterapkan. Masalahnya saat ini Rasulullah SAW tidak ada, sehingga para ulama sepakat bahwa mimpi tidak bisa lagi dijadikan sebagai salah satu sumber hukum.

Lalu, jika kita sendiri pernah bermimpi, bagaimana sebaiknya menyikapinya?

Para ulama memiliki berbagai pendapat. Intinya, mimpi itu bisa merupakan refleksi dari aktivitas ruh seseorang pada saat ia tidur. Misalnya seseorang yang ingin segera menikah, bisa saja malamnya dia bermimpi menikah. Namun kita perlu berhati-hati, karena mimpi juga bisa merupakan permainan syaitan yang ingin menakuti-nakuti; itulah salah satu pentingnya mengapa kita disunnahkan berdoa sebelum tidur dan tidur dalam keadaan berwudhu. Mimpi buruk ini tidak perlu diceritakan pada siapapun. Jika kita mengalaminya segeralah bangun dan laksanakan sholat.

Pendapat dari ulama lainnya, mimpi itu dapat merupakan peringatan awal atau pertanda untuk sesuatu yang telah, sedang atau akan terjadi. Misalnya ada seseorang bermimpi gunung meletus, air laut meluap, atau mimpi terjadi kiamat. Salah satu takbir mimpi kiamat adalah pertanda orang tersebut akan berpergian jauh, berpindah kampung halaman atau berpindah negeri.

Sebaliknya, mimpi baik dapat merupakan kabar gembira dari Allah SWT, misalnya mimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Menurut HR Imam Bukhari, siapa yang melihat Rasulullah SAW dalam tidurnya, maka apa yang dilihatnya adalah Rasulullah SAW sendiri, karena syaitan tidak bisa menyerupai beliau. Orang-orang arif berpendapat, mimpi bertemu Rasulllah SAW bermakna bahwa orang tersebut Insya Allah tidak akan meninggal sebelum berkunjung ke makam Rasulullah alias naik haji. Bisa juga berarti ia akan menjadi ulama.

Saat ini telah banyak kitab yang memuat takbir mimpi. Prinsipnya, karena mimpi bisa mempunyai banyak arti maka tak ada jaminan mana yang benar. Jadi sifatnya cuma pertanda dan tidak bisa langsung disimpulkan begitu saja. Namun paling tidak takbir mimpi tersebut bisa mengurangi kegelisahan. Analoginya adalah ramalan cuaca, dimana kita bisa memanfaatkan informasi tersebut untuk mengantisipasi keadaan cuaca yang mungkin akan terjadi. Namun demikian, kepastiannya tetap hanya dari Allah SWT.

Mimpi yang berupa pesan dari Allah SWT hanya dapat dipantulkan ke dalam hati orang-orang yang shidiq. Menurut Imam al-Gazali, fungsi ruh untuk menangkap isyarat Ilahi ibarat cermin yang memantulkan cahaya. Orang shidiq merupakan cermin yang paling bersih dan bening dimana cahaya Ilahi tidak terdistorsi sama sekali. Rasulullah SAW bersabda, ”Muslim yang paling benar mimpinya adalah yang paling jujur perkataannya.” (Muttafaq ‘alaih).

Mungkin ada di antara kita yang lalu berpendapat, ”Mimpi saya jadi tidak punya arti lagi, karena saya bukan orang yang jujur 100%”. Bukan demikian. Justru sebaliknya, hal ini dapat menjadi pemicu motivasi kita: ”Berusahalah menjadi orang yang jujur dan sholeh agar kita bisa menafsirkan mimpi dan menangkap pesan-pesan Allah SWT lainnya. Semakin kita berusaha menjadi shidiq dan shaleh, Insya Allah semakin banyak pesan-pesan Allah yang dapat kita terima”. Wallahua’lam bish-showab.

Vita Sarasi

Apakah Masturbasi Termasuk Dosa Besar? dan Bagaimana Solusinya?

Assalamu’alaikum, wr. wb.

Mohon jawaban ustad tentang beberapa pertanyaan saya ini karena saya sangat sulit mencari literatur yang membahas hal ini dari sudut pandang syariat Islam. Jarang sekali kitab fiqih yang membahasnya dan kalopun ada itu sangat singkat sekali dan tidak mendalam
  1. Apakah onani termasuk dosa besar dan sama dengan zina?
  2. Adakah hukuman had untuk pelakunya?
  3. Apakah seseorang yang mengeluarkan mani karena sesuatu yang bukan sentuhan misalnya melihat film atau sejenisnya secara syar’i dimasukkan kedalam kategori onani?
  4. Adakah solusi secara syar’i untuk menolong orang-orang yang sudah addict akan hal ini?
Bagaimanakah kedudukan dan maksud dari zina tangan, zina mata, bahkan ada seorang ustad yang menghukumi orang yang berfikiran atau membayangkan mesum juga sebagai zina. Samakah kedudukan zina ini dengan zina seperti yang digambarkan rosul dalam hadist?

Terima kasih.

Wa’alaikumussalam Wr Wb

Apakah Onani Sama Dengan Zina

Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam permasalahan onani :

1. Para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Zaidiyah berpendapat bahwa onani adalah haram. Argumentasi mereka akan pengharaman onani ini adalah bahwa Allah swt telah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam segala kondisi kecuali terhadap istri dan budak perempuannya. Apabila seseorang tidak melakukannya terhadap kedua orang itu kemudian melakukan onani maka ia termasuk kedalam golongan orang-orang yang melampaui batas-batas dari apa yang telah dihalalkan Allah bagi mereka dan beralih kepada apa-apa yang diharamkan-Nya atas mereka. Firman Allah swt

Artinya : “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mukminun : 5 – 7)

2. Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa onani hanya diharamkan dalam keadaan-keadaan tertentu dan wajib pada keadaan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa onani menjadi wajib apabila ia takut jatuh kepada perzinahan jika tidak melakukannya. Hal ini juga didasarkan pada kaidah mengambil kemudharatan yang lebih ringan. Namun mereka mengharamkan apabila hanya sebatas untuk bersenang-senang dan membangkitkan syahwatnya. Mereka juga mengatakan bahwa onani tidak masalah jika orang itu sudah dikuasai oleh syahwatnya sementara ia tidak memiliki istri atau budak perempuan demi menenangkan syahwatnya.

3. Para ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa onani itu diharamkan kecuali apabila dilakukan karena takut dirinya jatuh kedalam perzinahan atau mengancam kesehatannya sementara ia tidak memiliki istri atau budak serta tidak memiliki kemampuan untuk menikah, jadi onani tidaklah masalah.

4. Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani itu makruh dan tidak ada dosa didalamnya karena seseorang yang menyentuh kemaluannya dengan tangan kirinya adalah boleh menurut ijma seluruh ulama… sehingga onani itu bukanlah suatu perbuatan yang diharamkan. Firman Allah swt

Artinya : “Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” (QS. Al An’am : 119)

Dan onani tidaklah diterangkan kepada kita tentang keharamannya maka ia adalah halal sebagaimana firman-Nya :

Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al Baqoroh : 29)

5. Diantara ulama yang berpendapat bahwa onani itu makruh adalah Ibnu Umar dan Atho’. Hal itu dikarenakan bahwa onani bukanlah termasuk dari perbuatan yang terpuji dan bukanlah prilaku yang mulia. Ada cerita bahwa manusia pada saat itu pernah berbincang-bincang tentang onani maka ada sebagian mereka yang memakruhkannya dan sebagian lainnya membolehkannya.

6. Diantara yang membolehkannya adalah Ibnu Abbas, al Hasan dan sebagian ulama tabi’in yang masyhur. Al Hasan mengatakan bahwa dahulu mereka melakukannya saat dalam peperangan. Mujahid mengatakan bahwa orang-orang terdahulu memerintahkan para pemudanya untuk melakukan onani untuk menjaga kesuciannya. Begitu pula hukum onani seorang wanita sama dengan hukum onani seorang laki-laki. (Fiqhus Sunnah juz III hal 424 – 426)

Dari pendapat-pendapat para ulama diatas tidak ada dari mereka yang secara tegas menyatakan bahwa onani sama dengan zina yang sesungguhnya. Namun para ulama mengatakan bahwa perbuatan tersebut termasuk kedalam muqoddimah zina (pendahuluan zina), firman Allah swt

Artinya : “dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32)

Adapun apakah perbuatan tersebut termasuk kedalam dosa besar ?

Imam Nawawi menyebutkan beberapa pendapat ulama tentang batasan dosa besar jika dibedakan dengan dosa kecil :

Dari Ibnu Abbas menyebutkan bahwa dosa besar adalah segala dosa yang Allah akhiri dengan neraka, kemurkaan, laknat atau adzab, demikian pula pendapat Imam al Hasan Bashri.

Para ulama yang lainnya mengatakan bahwa dosa besar adalah dosa yang diancam Allah swt dengan neraka atau hadd di dunia.

Abu Hamid al Ghozali didalam “al Basiith” mengatakan bahwa batasan menyeluruh dalam hal dosa besar adalah segala kemaksiatan yang dilakukan seseorang tanpa ada perasaan takut dan penyesalan, seperti orang yang menyepelekan suatu dosa sehingga menjadi kebiasaan. Setiap penyepelean dan peremehan suatu dosa maka ia termasuk kedalam dosa besar.

Asy Syeikhul Imam Abu ‘Amr bin Sholah didalam “al Fatawa al Kabiroh” menyebutkan bahwa setiap dosa yang besar atau berat maka bisa dikatakan bahwa itu adalah dosa besar.

Adapun diantara tanda-tanda dosa besar adalah wajib atasnya hadd, diancam dengan siksa neraka dan sejensnya sebagaimana disebutkan didalam Al Qur’an maupun Sunnah. Para pelakunya pun disifatkan dengan fasiq berdasarkan nash, dilaknat sebagaimana Allah swt melaknat orang yang merubah batas-batas tanah. (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz II hal 113)

Dari beberapa definisi dan tanda-tanda dosa besar maka perbuatan onani tidaklah termasuk kedalam dosa besar selama tidak dilakukan secara terus menerus atau menjadi suatu kebiasaan.

Hendaknya seorang muslim tidak berfikir kecilnya dosa suatu kemasiatan yang dilakukannya akan tetapi terhadap siapa dia bermaksiat, tentunya terhadap Allah swt yang Maha Besar lagi Maha Mulia.

Apakah Onani Mesti Dengan Menggunakan Tangan

Pada asalnya istimna’ (masturbasi) adalah mengeluarkan mani bukan melalui persetubuhan, baik dengan telapak tangan atau dengan cara yang lainnya. (Mu’jam Lughotil Fuqoha juz I hal 65)

Masturbasi adalah menyentuh, menggosok dan meraba bagian tubuh sendiri yang peka sehingga menimbulkan rasa menyenangkan untuk mendapat kepuasan seksual (orgasme) baik tanpa menggunakan alat maupun menggunakan alat.

Sedangkan onani mempunyai arti sama dengan masturbasi. Namun ada yang berpendapat bahwa onani hanya diperuntukkan bagi laki-laki, sedangkan istilah masturbasi dapat berlaku pada perempuan maupun laki-laki. (sumber :situs.kesrepro.info)

Namun didalam buku-buku fiqih kata istimna’ (onani) ini adalah mengeluarkan mani dengan menggunakan tangan baik tangannya, tangan istri atau tangan budak perempuannya.

Adapun mengeluarkan air mani dengan alat (sarana) tertentu selain tangan pada asalnya tidaklah berbeda dengan istmina’ dikarenakan subsatansi perbuatan itu adalah sama, yaitu sama-sama mengeluarkan mani untuk mendapatkan satu kenikmatan apakah dikarenakan kondisi terpaksa atau tidak, sehingga hukumnya bisa disamakan dengan hukum onani yang menggunakan tangan.

Ibnu ‘Abidin menyebutkan bahwa “Perkataan onani itu makruh” adalah secara zhahir ia adalah makruh yang tidak sampai haram. Hal itu dikarenakan bahwa kedudukan onani seperti orang yang mengeluarkan mani baik dengan merapatkan kedua paha atau menekan perutnya. (Roddul Mukhtar juz XV hal 75)

Adapun mengeluarkan mani dengan menonton film-film porno maka ini lebih berat dari sekedar onani dikarenakan ia telah menyaksikan aurat orang lain yang tidak halal baginya. Pada hakekatnya melihat aurat orang lain melalui menonton film porno sama dengan melihat auratnya secara langsung dan ini adalah haram.

Solusi Bagi Orang Yang Sudah Terbiasa Onani

DR. Muhammad Shaleh al Munjid, seorang ulama di Saudi Arabia, menyebutkan beberapa solusi bagi orang-orang yang terbiasa melakukan perbuatan ini, yaitu :
Hendaklah faktor yang mendorongnya untuk melepaskan diri dari kebiasaan onani adalah untuk menjalankan perintah Allah swt dan menghindari murka-Nya.
Mendorong dirinya untuk mengambil solusi mendasar dengan menikah sebagai pelaksanaan dari wasiat Rasulullah saw kepada para pemuda dalam permasalahan ini.
Mengarahkan fikiran, bisikan dan menyibukan dirinya dengan perkara-perkara yang didalamnya terdapat kemaslahatan bagi dunia maupun akheratnya. Karena terus menerus menghayal akan mendorongnya untuk melakukan perbuatan itu dan pada akhirnya menjadikannya kebiasaan sehingga sulit untuk dilepaskan.
Menjaga pandangan dari melihat orang-orang atau foto-foto yang membawa fitnah apakah itu foto dari orang yang hidup atau sekedar gambar dengan matanya secara langsung. Karena hal itu akan mendorongnya kepada perbuatan yang diharamkan, sebagaimana firman Allah swt

Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya…” (QS. An Nuur : 30)

Juga sabda Rasulullah saw,”Janganlah engkau ikuti pandanganmu dengan pandangan yang selanjutnya.” (HR. Tirmidzi, dan dihasankan didalam shahihul jami’)

Pandangan pertama adalah pandangan spontanitas yang tidak ada dosa didalamnya sedangkan pandangan kedua adalah haram. Untuk itu sudah seharusnya dia menjauhkan diri dari tempat-tempat yang didalamnya terdapat perkara-perkara yang bisa menggelorakan dan menggerakkan syahwat.
Menyibukkan dirinya dengan berbagai ibadah dan menghindari untuk mengisi waktu-waktu kosongnya dengan maksiat.

Mengambil palajaran dari beberapa penyakit pada tubuh yang disebabkan kebiasaan melakukan onani seperti : melemahkan penglihatan dan syahwat, melemahkan alat reproduksi, sakit punggung dan penyakit-penyakit lainnya yang telah disebutkan oleh para dokter. Demikian pula dengan penyakit kejiwaan seperti : stress, kegalauan hati dan yang lebih besar dari itu semua adalah meremehkan waktu-waktu sholat dikarenakan berulang kalinya mandi… dan juga merusak puasanya (apabila dalam keadaan puasa).
Menghilangkan berbagai cara untuk mencari kepuasan yang salah, dikarenakan sebagian pemuda menganggap bahwa perbuatan ini dibolehkan dengan alasan menjaga diri dari zina atau homoseksual padahal kondisinya tidaklah sama sekali mendekati perbuatan yang keji (zina/homoseksual) tersebut.

Mempersenjatai diri dengan kekuatan kehendak dan tekad serta tidak mudah meyerah terhadap setan. Hindari berada dalam kesendirian seperti bermalam sendirian. Didalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi saw melarang seseorang bermalam sendirian.” (HR. Ahmad didalam shahihul jami’ 6919)
Mengambil cara-cara penyembuhan Nabi saw berupa puasa, karena ia dapat menekan gejolak syahwat dan seksualnya. Dia juga perlu menghindari beberapa solusi yang aneh, seperti bersumpah untuk tidak melakukannya lagi atau bernazar dikarenakan jika ia kembali melakukan hal itu maka ia termasuk kedalam golongan orang-orang yang memutuskan sumpah yang telah dikokohkan. Jangan pula menggunakan obat-obat penekan syahwat karena didalamnya terkandung berbagai bahaya bagi tubuh. Didalam sunnah disebutkan bahwa segala sesuatu yang dipakai untuk menghentikan syahwat secara keseluruhan adalah haram.

Berkomitmen dengan adab-adab syari’ah saat tidur, seperti; berdzikir, tidur diatas sisi kanan tubuhnya, menghindarkan tidur telungkup yang dilarang Nabi saw.
Berhias dengan kesabaran dan iffah. Hal yang demikian dikarenakan diantara kewajiban kita adalah bersabar terhadap hal-hal yang diharamkan walaupun hal itu disukai oleh jiwa. Telah diketahui bahwa sifat iffah dalam diri pada akhirnya akan menghentikannya dari kebiasaan tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang menjaga diri (iffah) maka Allah akan menjaganya, barangsiapa yang meminta pertolongan kepada Allah maka Allah akan menolongnya, barangsiapa yang bersabar maka Allah akan memberikan kesabaran kepadanya dan tidaklah seseorang diberikan suatu pemberian yang lebih baik atau lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Bukhori, didalam Fath no 1469)

Apabila seseorang telah jatuh kedalam perbuatan maksiat ini maka segeralah bertaubat dan beristighfar serta melakukan perbuatan-perbuatan taat dengan tidak berputus asa karena putus asa adalah termasuk kedalam dosa besar.
Akhirnya, diantara kewajiban yang tidak diragukan adalah kembali kepada Allah dan merendahkan dirinya dengan berdoa, meminta pertolongan dari-Nya untuk melepaskan diri dari kebiasaan ini. Ini adalah solusi terbesar karena Allah swt senantiasa mengabulkan doa orang yang berdoa apabila dia berdoa. (sumber: islam-qa.com)

Hukum Zina Tangan atau Mata

Abu Hurairoh berkata dari Nabi saw,”Sesungguhnya Allah telah menetapkan terhadap anak-anak Adam bagian dari zina yang bisa jadi ia mengalaminya dan hal itu tidaklah mustahil. Zina mata adalah pandangan, zina lisan adalah perkataan dimana diri ini menginginkan dan menyukai serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (HR. Bukhori)

Imam Bukhori memasukan hadits ini kedalam Bab Zina Anggota Tubuh Selain Kemaluan, artinya bahwa zina tidak hanya terbatas pada apa yang dilakukan oleh kemaluan seseorang saja. Namun zina bisa dilakukan dengan mata melalui pandangan dan penglihatannya kepada sesuatu yang tidak dihalalkan, zina bisa dilakukan dengan lisannya dengan membicarakan hal-hal yang tidak benar dan zina juga bisa dilakukan dengan tangannya berupa menyentuh, memegang sesuatu yang diharamkan.

Ibnu Hajar menyebutkan pendapat Ibnu Bathol yaitu,”Pandangan dan pembicaraan dinamakan dengan zina dikarenakan kedua hal tersebut menuntun seseorang untuk melakukan perzinahan yang sebenarnya. Karena itu kata selanjutnya adalah “serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (Fathul Bari juz XI hal 28)

Meskipun demikian hukum zina tangan, lisan dan mata tidaklah sama dengan zina sebenarnya yang wajib atasnya hadd. Si pelakunya hanya dikenakan ta’zir dan peringatan keras.

DR Wahbah menyebutkan bahwa pelaku onani haruslah diberi ta’zir dan tidak dikenakan atasnya hadd. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz VII hal 5348)

Begitu pula penjelasan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan bersandar pada pendapat yang paling benar dari Imam Ahmad bahwa pelaku onani haruslah diberikan ta’zir. (Majmu’ al Fatawa juz XXIV hal 145)

Ibnul Qoyyim mengatakan,”Adapun ta’zir adalah pada setiap kemaksiatan yang tidak ada hadd (hukuman) dan juga tidak ada kafaratnya. Sesungguhnya kemaksiatan itu mencakup tiga macam :
Kemaksiatan yang didalamnya ada hadd dan kafarat.
Kemaksiatan yang didalamnya hanya ada kafarat tidak ada hadd.
Kemaksiatan yang didalamnya tidak ada hadd dan tidak ada kafarat.

Adapun contoh dari macam yang pertama adalah mencuri, minum khomr, zina dan menuduh orang berzina.

Adapun contoh dari macam kedua adalah berjima’ pada siang hari di bulan Ramadhan, bersetubuh saat ihram.

Adapun contoh dari macam yang ketiga adalah menyetubuhi seorang budak yang dimiliki bersama antara dia dan orang lain, mencium orang asing dan berdua-duaan dengannya, masuk ke kamar mandi tanpa mengenakan sarung, memakan daging bangkai, darah, babi dan yang sejenisnya. (I’lamul Muwaqqi’in juz II hal 183)

Adapun terkait dengan permasalahan orang-orang yang melampiaskan kepuasannya dengan menghayalkan orang lain maka ini termasuk zina maknawi. Untuk lebih jelasnya anda bisa baca dalam jawaban sebelumnya di rubrik ini tentang “Berfantasi Saat Berhubungan Badan”.

Wallahu A’lam

Ustadz Sigit Pranowo

18 January 2014

Rizki Yang Menenteramkan Hati

Kehidupan selama berumah tangga selalu saja menghadapi masalah. Diawal pernikahan dengan pekerjaan yang tetap gaji cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sementara istri juga bekerja. Guncangan hebat itu terjadi, ia kehilangan pekerjaan justru disaat istrinya tengah mengandung. Sampai istri juga harus berhenti bekerja ditengah hamil tua. Ditengah himpitan hidup yang begitu menekan kuat, ia mencoba untuk merintis usaha. Sekalipun omzetnya tidak besar sudah mendapatkan order. Setelah beberapa bulan usahanya berjalan namun yang dirasakan penghasilannya tidak berkah, selalu habis begitu saja. Sang istri mengingatkan agar tidak terlalu mencintai dunia sehingga melupakan ibadah sholat dan shodaqoh. Peringatan istri membuat hatinya bergetar, membuat bulu kuduknya merinding, teringat hampir saja dirinya tertipu, nyaris usahanya gulung tikar. "Astaghfirullah al adzim" tuturnya lirih.

Dengan tekadnya yang mantap, bersama istri mengunjungi Rumah Amalia, ia dan istri untuk berbagi sebagai rasa cinta dan meraih keridhaan Allah. Sesampai di rumah istrinya tersenyum dan mengatakan, "Makasih ya Mas, aku bahagia Mas sudah mau menjalankan sholat dan menunaikan shodaqoh," Wajah istrinya terlihat bahagia, ia merakasan ketenangan yang luar biasa dalam kepasrahan. Sejak itu ia berjanji bahwa hidupnya tidak akan pernah menyia-nyiakan istri dan anak-anaknya serta hidup lebih berguna bagi orang lain. Ditengah kebahagiaan itu terdengar dering hapenya. Suara diujung hapenya mengabarkan penawaran diterima bahkan barang yang belum dikirim, biaya transaksi pembelian sudah ditransfer, dengan spontan ia bersama istrinya sujud syukur kepada Allah.

Dari kehilangan pekerjaan, usahanya yang hampir gulung tikar, istrinya jatuh sakit hampir saja membuat dirinya terpuruk dan kini telah menemukan jalan kebahagiaan bersama istri dan anak-anaknya. "Saya dulu, hidup terlalu mengejar dunia. Apapun rizki yang saya terima tidak pernah disyukuri sehingga rizki itu menjadi tidak berkah. Tidak pernah sholat, apa lagi bershodaqoh yang saya anggap hanyalah perbuatan sia-sia." ucapnya. "Sekarang, Masya Allah..saya menemukan keberkahan pada rizki yang saya terima. Sekalipun penghasilan banyak dan pengeluaran juga banyak tapi anak-anak saya sehat, istrinya makin sayang ama suami dan anak-anak dan yang paling penting membuat kami sekeluarga semakin dengan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala."

 Itulah kebahagiaan yang dirasakan olehnya pengasilan yang berkah dan keluarga bahagia.

16 January 2014

Sejuta Alasan Menolak Pacaran

Dilema memang membahas masalah pacaran, ada yang pro, ada yang kontra. Sebagaimana kita tahu, pacaran sudah menjadi suatu yang lumrah bagi remaja, khususnya remaja muslim saat ini. Bukan saja sekedar karena nafsu tapi terkadang karena ingin menjaga eksistensi zaman, biar diCAP ‘laku’, ganteng, cantik dan sebagainya.

Lalu seperti apa Islam memandang masalah pacaran ini?

Islam adalah agama yang Syamil (lengkap), kalau untuk urusan belakang (mandi, buang air, dan lain-lain) saja islam punya tuntutan yang lengkap,tentu saja untuk urusan yang satu ini agama kita punya rambu-rambu yang harus diataati.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah menetapkan untuk anak adam bagiannya dari zina, yang pasti akan mengenainya. Zina mata adalah memandang, zina lisan adalah dengan berbicara, sedangkan jiwa berkeinginan dan berangan-angan.” (HR.Bukhari & muslim).

Kalaulah kita ibaratkan zina adalah sebuah ruangan yang memiliki pintu yang berlapis-lapis, maka orang yang berpacaran adalah orang yang telah memiliki semua kuncinya. Kapan saja ia bisa masuk. Bukankah saat berpacaran ia tidak lepas dari zina mata dengan bebas memandang? Bukankah dengan pacaran ia sering melembut-lembutkan suara di hadapan pacarnya? Bukankah orang yang berpacaran senantiasa memikirkan , membayangkan, mengkhawatirkan keadaan pacarnya?

Nah lho, bagi kamu yang masin demeeeen banget sama pacaran, sudahkah kalau kamu sudah melanggar larangan Allah? Padahal melarang kita mendekati zina, karena zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk . Allah berfirman

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji. Dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al Isra’:32).

Ada teman yang beralasan pacaran biar semangat belajar, ada juga yang katanya pengen mempererat ukhuwa. Sekilas, alasan ini cukup masuk akal, tapi coba dipikir lagi deh, jika kamu, kamu, kamu dan kamu pacaran, waktu luang kamu banyak tersita untuk si dia. Yang harusnya kamu belajar, malah sibuk bales sms atau bbm-nya. Yang harusnya ngerjakan tugas, malah ngelamunin dan membayangkan si dia. Yang harusnya mau sholat ee.. malah sholatnya ditunda dulu untuk bales sms si dia. Mempererat ukhuwah tidak harus dengan pacaran kan ? Coba misalnya dengan kegiata keagamaan di sekolah atau kampus, itu lebih bermanfaat.

Kemudian jika ada yang mengatakan kalau seandainya pacaran tidak dibolehkan maka bagaimanakah dua orang insan bisa menikah padahal mereka belum saling kenal?

Maka kita katakan pada orang yang beralasan demikian dengan jawaban yang singkat namun tegas bukankah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik petunjuk? Bukankah Beliau adalah orang yang paling kasih kepada ummatnya tidak memberikan petunjuk yang demikian? Firman Allah ‘Azza wa Jalla,

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”. (QS At taubah 128)

“Ikut pengajiannya kan bisa bareng sama pacar, biar lebih semangat gitu” Please deh, jangan dicampur adukkan yang haq dan yang batil, yang halal dan yang haram. Logikanya masa mau nyampur susu sama miras? Yang ada itu campur susu sama kopi, susu sama gula, halal sama halal.

Alasan lain, pacaran adalah bentuk pengenalan kepribadian dua insan yang saling mencintai dengan dilandasi rasa saling percaya. Tapi coba pikir dulu lagi deh, bagi kamu paraPACARANER , apakah kamu pernah jujur sejujur-jujurnya kepada pacar kamu, baik tentang kehidupan kamu yang sekarang atau tentang masa lalu dengan pacar-pacar kamu yang dahulu. Sudah pasti jawabannya banyak bohongnya.

Kalo harus memilih penjaga,pelindung,pendamping hidup, antara yang demen pacaran dengan yang memegang teguh syari’at agama kira-kira kamu pilih yang mana? Pasti kamu lebih memilih yang memegang teguh syari’at kan? Lalu kenapa kamu berpacaran tapi memilih calon pendamping yang bersih.

Sudahlah kawan, banyak alasan untuk memutuskan pacar kamu, tapi diantara berjuta alasan yang ada, takut dosa adalah alasan paling keren dan bertanggung jawab dibandingkan yang lain. Kamu jadi males pacaran karena sudah nyadar bahwa hanya sebuah upaya untuk dekat-dekat dengan zina. Dan kamu juga telah tahu bahwa zina adalah sebuah jalan yang buruk untuk ditempuh. Yakinlah pada saatnya nanti, Allah akan memberimu jodoh yang terbaik, tentu saja dengan jalan yang baik. Masa kamu rela dapat istri atau suami yang ternyata sudah punya 7 atau 8 mantan pacar. Enggak banget kan? Wallahu A’lam.

Oleh Moch. Fahrizal Nur Arifuddin

13 January 2014

Tuntunan Lengkap Shalat Sunnah Rawatib

Sesungguhnya diantara hikmah dan rahmat Allah atas hambanya adalah disyariatkannya At-tathowwu’ (ibadah tambahan). Dan dijadikan pada ibadah wajib diiringi dengan adanya at-tathowwu’ dari jenis ibadah yang serupa. Hal itu dikarenakan untuk melengkapi kekurangan yang terdapat pada ibadah wajib.

Dan sesungguhnya at-tathowwu’ di dalam ibadah sholat yang paling utama adalah sunnah rawatib. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengerjakannya dan tidak pernah sekalipun meninggalkannya dalam keadaan mukim (tidak bepergian jauh).

Mengingat pentingnya ibadah ini, serta dikerjakannya secara berulang-ulang sebagaimana sholat fardhu, sehingga saya (penulis) ingin menjelaskan sebagian dari hukum-hukum sholat rawatib secara ringkas:

1. Keutamaan Sholat Rawatib

Ummu Habibah radiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang keutamaan sholat sunnah rawatib, dia berkata: saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang sholat dua belas rakaat pada siang dan malam, maka akan dibangunkan baginya rumah di surga”. Ummu Habibah berkata: saya tidak pernah meninggalkan sholat sunnah rawatib semenjak mendengar hadits tersebut. ‘Anbasah berkata: Maka saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari Ummu Habibah. ‘Amru bin Aus berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Ansabah. An-Nu’am bin Salim berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Amru bin Aus. (HR. Muslim no. 728)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang sholat sunnah rawatib sebelum (qobliyah) shubuh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Dua rakaat sebelum shubuh lebih baik dari dunia dan seisinya”. Dalam riwayat yang lain, “Dua raka’at sebelum shubuh lebih aku cintai daripada dunia seisinya” (HR. Muslim no. 725)

Adapun sholat sunnah sebelum shubuh ini merupakan yang paling utama di antara sholat sunnah rawatib dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya baik ketika mukim (tidak berpegian) maupun dalam keadaan safar.

Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan tentang keutamaan rawatib dzuhur, dia berkata: saya mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menjaga (sholat) empat rakaat sebelum dzuhur dan empat rakaat sesudahnya, Allah haramkan baginya api neraka”. (HR. Ahmad 6/325, Abu Dawud no. 1269, At-Tarmidzi no. 428, An-Nasa’i no. 1814, Ibnu Majah no. 1160)

2. Jumlah Sholat Sunnah Rawatib

Hadits Ummu Habibah di atas menjelaskan bahwa jumlah sholat rawatib ada 12 rakaat dan penjelasan hadits 12 rakaat ini diriwayatkan oleh At-Tarmidzi dan An-Nasa’i, dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan dua belas (12) rakaat pada sholat sunnah rawatib, maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga, (yaitu): empat rakaat sebelum dzuhur, dan dua rakaat sesudahnya, dan dua rakaat sesudah maghrib, dan dua rakaat sesudah ‘isya, dan dua rakaat sebelum subuh”. (HR. At-Tarmidzi no. 414, An-Nasa’i no. 1794)

3. Surat yang Dibaca pada Sholat Rawatib Qobliyah Subuh

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, “Bahwasanya rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sholat sunnah sebelum subuh membaca surat Al Kaafirun (قل يا أيها الكافرون) dan surat Al Ikhlas (قل هو الله أحد).” (HR. Muslim no. 726)

Dan dari Sa’id bin Yasar, bahwasannya Ibnu Abbas mengkhabarkan kepadanya: “Sesungguhnya rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sholat sunnah sebelum subuh dirakaat pertamanya membaca: (قولوا آمنا بالله وما أنزل إلينا) (QS. Al-Baqarah: 136), dan dirakaat keduanya membaca: (آمنا بالله واشهد بأنا مسلمون) (QS. Ali Imron: 52). (HR. Muslim no. 727)

4. Surat yang Dibaca pada Sholat Rawatib Ba’diyah Maghrib

Dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anha, dia berkata: Saya sering mendengar Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau membaca surat pada sholat sunnah sesudah maghrib:” surat Al Kafirun (قل يا أيها الكافرون) dan surat Al Ikhlas (قل هو الله أحد). (HR. At-Tarmidzi no. 431, berkata Al-Albani: derajat hadits ini hasan shohih, Ibnu Majah no. 1166)

5. Apakah Sholat Rawatib 4 Rakaat Qobiyah Dzuhur Dikerjakan dengan Sekali Salam atau Dua Kali Salam?

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sunnah Rawatib terdapat di dalamnya salam, seseorang yang sholat rawatib empat rakaat maka dengan dua salam bukan satu salam, karena sesungguhnya nabi bersabda: “Sholat (sunnah) di waktu malam dan siang dikerjakan dua rakaat salam dua rakaat salam”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/288)

6. Apakah Pada Sholat Ashar Terdapat Rawatib?

As-Syaikh Muammad bin Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak ada sunnah rawatib sebelum dan sesudah sholat ashar, namun disunnahkan sholat mutlak sebelum sholat ashar”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/343)

7. Sholat Rawatib Qobliyah Jum’at

As-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah berkata: “Tidak ada sunnah rawatib sebelum sholat jum’at berdasarkan pendapat yang terkuat di antara dua pendapat ulama’. Akan tetapi disyari’atkan bagi kaum muslimin yang masuk masjid agar mengerjakan sholat beberapa rakaat semampunya” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 12/386&387)

8. Sholat Rawatib Ba’diyah Jum’at

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mengerjakan sholat jum’at, maka sholatlah sesudahnya empat rakaat”. (HR. Muslim no. 881)

As-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, “Adapun sesudah sholat jum’at, maka terdapat sunnah rawatib sekurang-kurangnya dua rakaat dan maksimum empat rakaat” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 13/387)

9. Sholat Rawatib Dalam Keadaan Safar

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam didalam safar senantiasa mengerjakan sholat sunnah rawatib sebelum shubuh dan sholat sunnah witir dikarenakan dua sholat sunnah ini merupakan yang paling utama di antara sholat sunnah, dan tidak ada riwayat bahwasannya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan sholat sunnah selain keduanya”. (Zaadul Ma’ad 1/315)

As-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata: “Disyariatkan ketika safar meninggalkan sholat rawatib kecuali sholat witir dan rawatib sebelum subuh”. (Majmu’ fatawa 11/390)

10. Tempat Mengerjakan Sholat Rawatib

Dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Lakukanlah di rumah-rumah kalian dari sholat-sholat dan jangan jadikan rumah kalian bagai kuburan”. (HR. Bukhori no. 1187, Muslim no. 777)

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sudah seyogyanya bagi seseorang untuk mengerjakan sholat rawatib di rumahnya…. meskipun di Mekkah dan Madinah sekalipun maka lebih utama dikerjakan dirumah dari pada di masjid Al-Haram maupun masjid An-Nabawi; karena saat nabi shallallahu a’alihi wasallam bersabda sementara beliau berada di Madinah….. Ironisnya manusia sekarang lebih mengutamakan melakukan sholat sunnah rawatib di masjidil haram, dan ini termasuk bagian dari kebodohan”. (Syarh Riyadhus Sholihin 3/295)

11. Waktu Mengerjakan Sholat Rawatib

Ibnu Qudamah berkata: “Setiap sunnah rawatib qobliyah maka waktunya dimulai dari masuknya waktu sholat fardhu hingga sholat fardhu dikerjakan, dan sholat rawatib ba’diyah maka waktunya dimulai dari selesainya sholat fardhu hingga berakhirnya waktu sholat fardhu tersebut “. (Al-Mughni 2/544)

12. Mengganti (mengqodho’) Sholat Rawatib

Dari Anas radiyallahu ‘anhu dari rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang lupa akan sholatnya maka sholatlah ketika dia ingat, tidak ada tebusan kecuali hal itu”. (HR. Bukhori no. 597, Muslim no. 680)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan hadits ini meliputi sholat fardhu, sholat malam, witir, dan sunnah rawatib”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 23/90)

13. Mengqodho’ Sholat Rawatib Di Waktu yang Terlarang

Ibnu Qoyyim berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengqodho’ sholat ba’diyah dzuhur setelah ashar, dan terkadang melakukannya terus-menerus, karena apabila beliau melakukan amalan selalu melanggengkannya. Hukum mengqodho’ diwaktu-waktu terlarang bersifat umum bagi nabi dan umatnya, adapun dilakukan terus-menerus pada waktu terlarang merupakan kekhususan nabi”. (Zaadul Ma’ad 1/308)

14. Waktu Mengqodho’ Sholat Rawatib Sebelum Subuh

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang belum mengerjakan dua rakaat sebelum sholat subuh, maka sholatlah setelah matahari terbit”. (At-Tirmdzi 423, dan dishahihkan oleh Al-albani)

Dan dari Muhammad bin Ibrahim dari kakeknya Qois, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar rumah mendatangi sholat kemudian qomat ditegakkan dan sholat subuh dikerjakan hingga selesai, kemudian nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling menghadap ma’mum, maka beliau mendapati saya sedang mengerjakan sholat, lalu bersabda: “Sebentar wahai Qois apakah ada sholat subuh dua kali?”. Maka saya berkata: Wahai rasulullah sungguh saya belum mengerjakan sholat sebelum subuh, rasulullah bersabda: “Maka tidak mengapa”. (HR. At-Tirmidzi). Adapun pada Abu Dawud dengan lafadz: “Maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam (terhadap yang dilakukan Qois)”. (HR. At-tirmidzi no. 422, Abu Dawud no. 1267, dan Al-Albani menshahihkannya)

As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang masuk masjid mendapatkan jama’ah sedang sholat subuh, maka sholatlah bersama mereka. Baginya dapat mengerjakan sholat dua rakaat sebelum subuh setelah selesai sholat subuh, tetapi yang lebih utama adalah mengakhirkan sampai matahari naik setinggi tombak” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muammad bin Ibrahim 2/259 dan 260)

15. Jika Sholat Subuh Bersama Jama’ah Terlewatkan, Apakah Mengerjakan Sholat Rawatib Terlebih Dahulu atau Sholat Subuh?

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sholat rawatib didahulukan atas sholat fardhu (subuh), karena sholat rawatib qobliyah subuh itu sebelum sholat subuh, meskipun orang-orang telah keluar selesai sholat berjama’ah dari masjid” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsatimin 14/298)

16. Pengurutan Ketika Mengqodho’

As-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila didalam sholat itu terdapat rawatib qobliyah dan ba’diyah, dan sholat rawatib qobliyahnya terlewatkan, maka yang dikerjakan lebih dahulu adalah ba’diyah kemudian qobliyah, contoh: Seseorang masuk masjid yang belum mengerjakan sholat rawatib qobliyah mendapati imam sedang mengerjakan sholat dzuhur, maka apabila sholat dzuhur telah selesai, yang pertamakali dikerjakan adalah sholat rawatib ba’diyah dua rakaat, kemudian empat rakaat qobliyah”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/283)

17. Mengqodho’ Sholat Rawatib yang Banyak Terlewatkan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Diperbolehkan mengqodho’ sholat rawatib dan selainnya, karena merupakan sholat sunnah yang sangat dianjurkan (muakkadah)… kemudian jika sholat yang terlewatkan sangat banyak, maka yang utama adalah mencukupkan diri mengerjakan yang wajib (fardhu), karena mendahulukan untuk menghilangkan dosa adalah perkara yang utama, sebagaimana “Ketika rasulullah mengerjakan empat sholat fardhu yang tertinggal pada perang Khondaq, beliau mengqodho’nya secara berturut-turut”. Dan tidak ada riwayat bahwasannya rasulullah mengerjakan sholat rawatib diantara sholat-sholat fardhu tersebut.…. Dan jika hanya satu atau dua sholat yang terlewatkan, maka yang utama adalah mengerjakan semuanya sebagaimana perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat sholat subuh terlewatkan, maka beliau mengqodho’nya bersama sholat rawatib”. (Syarh Al-’Umdah, hal. 238)

18. Menggabungkan Sholat-sholat Rawatib, Tahiyatul Masjid, dan Sunnah Wudhu’

As-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Apabila seseorang masuk masjid diwaktu sholat rawatib, maka ia bisa mengerjakan sholat dua rakaat dengan niat sholat rawatib dan tahiyatul masjid, dengan demikian tertunailah dengan mendapatkan keutamaan keduanya. Dan demikian juga sholat sunnah wudhu’ bisa digabungkan dengan keduanya (sholat rawatib dan tahiyatul masjid), atau digabungkan dengan salah satu dari keduanya”. (Al-Qawaid Wal-Ushul Al-Jami’ah, hal. 75)

19. Menggabungkan Sholat Sebelum Subuh dan Sholat Duha Pada Waktu Duha

As-Syaikh Muhammad Bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Seseorang yang sholat qobliyah subuhnya terlewatkan sampai matahari terbit, dan waktu sholat dhuha tiba. Maka pada keadaan ini, sholat rawatib subuh tidak terhitung sebagai sholat dhuha, dan sholat dhuha juga tidak terhitung sebagai sholat rawatib subuh, dan tidak boleh juga menggabungkan keduanya dalam satu niat. Karena sholat dhuha itu tersendiri dan sholat rawatib subuh pun juga demikian, sehingga tidaklah salah satu dari keduanya terhitung (dianggap) sebagai yang lainnya. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 20/13)

20. Menggabungkan Sholat Rawatib dengan Sholat Istikhorah

Dari Jabir bin Abdullah radiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kami sholat istikhorah ketika menghadapi permasalahan sebagaimana mengajarkan kami surat-surat dari Al-Qur’an”, kemudian beliau bersabda: “Apabila seseorang dari kalian mendapatkan permasalahan, maka sholatlah dua rakaat dari selain sholat fardhu…” (HR. Bukhori no. 1166)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Jika seseorang berniat sholat rawatib tertentu digabungkan dengan sholat istikhorah maka terhitung sebagai pahala (boleh), tetapi berbeda jika tidak diniatkan”. (Fathul Bari 11/189)

21. Sholat Rawatib Ketika Iqomah Sholat Fardhu Telah Dikumandangkan

Dari Abu Huroiroh radiyallahu ‘anhu, dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali sholat fardhu”. (HR. Muslim bi As-syarh An-Nawawi 5/222)

An-Nawawi berkata: “Hadits ini terdapat larangan yang jelas dari mengerjakan sholat sunnah setelah iqomah sholat dikumandangkan sekalipun sholat rawatib seperti rawatib subuh, dzuhur, ashar dan selainnya” (Al-Majmu’ 3/378)

22. Memutus Sholat Rawatib Ketika Sholat Fardhu ditegakkan

As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Apabila sholat telah ditegakkan dan ada sebagian jama’ah sedang melaksanakan sholat tahiyatul masjid atau sholat rawatib, maka disyari’atkan baginya untuk memutus sholatnya dan mempersiapkan diri untuk melaksanakan sholat fardhu, berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali sholat fardhu..”, akantetapi seandainya sholat telah ditegakkan dan seseorang sedang berada pada posisi rukuk dirakaat yang kedua, maka tidak ada halangan bagi dia untuk menyelesaikan sholatnya. Karena sholatnya segera berakhir pada saat sholat fardhu baru terlaksana kurang dari satu rakaat”. (Majmu’ Fatawa 11/392 dan 393)

23. Apabila Mengetahui Sholat Fardhu Akan Segera Ditegakkan, Apakah Disyari’atkan Mengerjakan Sholat Rawatib?

As-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sudah seharusnya (mengenai hal ini) dikatakan: “Sesungguhnya tidak dianjurkan mengerjakan sholat rawatib diatas keyakinan yang kuat bahwasannya sholat fardhu akan terlewatkan dengan mengerjakannya. Bahkan meninggalkannya (sholat rawatib) karena mengetahui akan ditegakkan sholat bersama imam dan menjawab adzan (iqomah) adalah perkara yang disyari’atkan. Karena menjaga sholat fardhu dengan waktu-waktunya lebih utama daripada sholat sunnah rawatib yang bisa dimungkinkan untuk diqodho’”. (Syarh Al-’Umdah, hal. 609)

24. Mengangkat Kedua Tangan Untuk Berdo’a Setelah Menunaikan Sholat Rawatib

As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Sholat Rawatib: Saya tidak mengetahui adanya larangan dari mengangkat kedua tangan setelah mengerjakannya untuk berdo’a, dikarenakan beramal dengan keumuman dalil (akan disyari’atkan mengangkat tangan ketika berdo’a). Akan tetapi lebih utama untuk tidak melakukannya terus-menerus dalam hal itu (mengangkat tangan), karena tidaklah ada riwayat yang menyebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan demikian, seandainya beliau melakukannya setiap selesai sholat rawatib pasti akan ada riwayat yang dinisbahkan kepada beliau. Padahal para sahabat meriwayatkan seluruh perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan rasulullah baik ketika safar maupun tidak. Bahkan seluruh kehidupan rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radiyallahu ‘anhum tersampaikan”. (Arkanul Islam, hal. 171)

25. Kapan Sholat Rawatib Ketika Sholat Fardhu DiJama’?

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Sholat rawatib dikerjakan setelah kedua sholat fardhu dijama’ dan tidak boleh dilakukan di antara keduanya. Dan demikian juga sholat rawatib qobliyah dzuhur dikerjakan sebelum kedua sholat fardhu dijama’”. (Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi, 9/31)

26. Apakah Mengerjakan Sholat Rawatib Atau Mendengarkan Nasihat?

Dewan Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Saudi: “Disyariatkan bagi kaum muslimin jika mendapatkan nasihat (kultum) setelah sholat fardhu hendaknya mendengarkannya, kemudian setelahnya ia mengerjakan sholat rawatib seperti ba’diyah dzuhur, maghbrib dan ‘isya” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah LilBuhuts Al-’Alamiyah Wal-Ifta’, 7/234)

27. Mendahulukan Menyempurnakan Dzikir-dzikir setelah Sholat Fardhu Sebelum Menunaikan Sholat Rawatib

As-Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah ditanya: “Apabila saya mengerjakan sholat jenazah setelah maghrib, apakah saya langsung mengerjakan sholat rawatib setelah selesai sholat jenazah ataukah menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian sholat rawatib?

Jawaban beliau rahimahullah: “Yang lebih utama adalah duduk untuk menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian menunaikan sholat rawatib. Maka perkara ini disyariatkan baik ada atau tidaknya sholat jenazah. Maka dzikir-dzikir yang ada setelah sholat fardhu merupakan sunnah yang selayaknya untuk dijaga dan tidak sepantasnya ditinggalkan. Maka jika anda memutus dzikir tersebut karena menunaikan sholat jenazah, maka setelah itu hendaknya menyempurnakan dzikirnya ditempat anda berada, kemudian mengerjakan sholat rawatib yaitu sholat ba’diyah. Hal ini mencakup rawatib ba’diyah dzuhur, maghrib maupun ‘isya dengan mengakhirkan sholat rawatib setelah berdzikir”. (Al-Qoul Al-Mubin fii Ma’rifati Ma Yahummu Al-Mushollin, hal. 471)

28. Tersibukkan Dengan Memuliakan Tamu Dari Meninggalkan Sholat Rawatib

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Pada dasarnya seseorang terkadang mengerjakan amal yang kurang afdhol (utama) kemudian melakukan yang lebih afdhol (yang semestinya didahulukan) dengan adanya sebab. Maka seandainya seseorang tersibukkan dengan memuliakan tamu di saat adanya sholat rawatib, maka memuliakan tamu didahulukan daripada mengerjakan sholat rawatib”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin 16/176)

29. Sholatnya Seorang Pekerja Setelah Sholat Fardhu dengan Rawatib Maupun Sholat Sunnah lainnya.

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun sholat sunnah setelah sholat fardhu yang bukan rawatib maka tidak boleh. Karena waktu yang digunakan saat itu merupakan bagian dari waktu kerja semisal aqad menyewa dan pekerjaan lain. Adapun melakukan sholat rawatib (ba’da sholat fardhu), maka tidak mengapa. Karena itu merupakan hal yang biasa dilakukan dan masih dimaklumi (dibolehkan) oleh atasannya.

30. Apakah Meninggalkan Sholat Rawatib Termasuk Bentuk Kefasikan?

As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Perkataan sebagian ulama’: (Sesungguhnya meninggalkan sholat rawatib termasuk fasiq), merupakan perkataan yang kurang baik, bahkan tidak benar. Karena sholat rawatib itu adalah nafilah (sunnah). Maka barangsiapa yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat tidaklah dikatakan fasik bahkan dia adalah seorang mukmin yang baik lagi adil. Dan demikian juga sebagian perkataan Fuqoha’: (Sesungguhnya menjaga sholat rawatib merupakan bagian dari syarat adil dalam persaksian), maka ini adalah perkataan yang lemah. Karena setiap orang yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat maka ia adalah orang yang adil lagi tsiqoh. Akantetapi dari sifat seorang mukmin yang sempurna selayaknya bersegera (bersemangat) untuk mengerjakan sholat rawatib dan perkara-perkara baik lainnya yang sangat banyak dan berlomba-lomba untuk mengerjakannya”. (Majmu’ Fatawa 11/382)

(Yang dimaksud adalah artikel tersebut:http://fdawj.atspace.org/awwb/th2/14.htm (pen.))

Faedah:
Ibmu Qoyyim rahimahullah berkata: “Terdapat kumpulan sholat-sholat dari tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehari semalam sebanyak 40 rakaat, yaitu dengan menjaga 17 rakaat dari sholat fardhu, 10 rakaat atau 12 rakaat dari sholat rawatib, 11 rakaat atau 13 rakaat sholat malam, maka keseluruhannya adalah 40 rakaat. Adapun tambahan sholat selain yang tersebutkan bukanlah sholat rawatib…..maka sudah seharusnyalah bagi seorang hamba untuk senantiasa menegakkan terus-menerus tuntunan ini selamanya hingga menjumpai ajal (maut). Sehingga adakah yang lebih cepat terkabulkannya do’a dan tersegeranya dibukakan pintu bagi orang yang mengetuk sehari semalam sebanyak 40 kali? Allah-lah tempat meminta pertolongan”. (Zadul Ma’ad 1/327)

Lembaran singkat ini saya ringkas dari sebuah buku yang saya tulis sendiri berjudul “Hukum-hukum Sholat Sunnah Rawatib”.

Dan sholawat serta salam kepada nabi kita muhammad shallalllahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya serta para sahabatnya. Amiin

Ummul Hamaam, 1 Ramadhan 1431 H

Penulis: As-Syaikh Abdullah bin Za’li Al-’Anziy

Sumber: Buletin Darul Qosim (www.dar-alqassem.com)

Penerjemah: Abu Ahmad Meilana Dharma Putra

Muroja’ah: Al-Ustadz Abu Raihana, MA.