30 December 2014

Mencari Kebenaran (Acara Tahun Baru)

Di penghujung tahun selalu ada tradisi yang tak pernah luput dari sorotan masyarakat khususnya para pemuda atau bahkan remaja, selain bertepatan dengan hari Natal, hari lahirnya sang Juru Selanat bagi kaum Kristiani di bulan Desember ini pun akan mengalami pergantian tahun baru masehi. Tiap stasiun televisi jauh-jauh hari telah mengumumkan akan menggelar acara special dalam rangka memperingati tahun baru masehi. Di sisi lain para pedagang pun tak mau melewati moment tahun baru yang menurut mereka akan meraup keuntungan dengan memperjual belikan assesoris tahun baru seperti terompet, topi kerucut khusus tahun baru, kembang api serta assesoris yang menandakan penyambutan tahun baru.

Puncak kemeriahan tahun baru terjadi menjelang detik-detik pergantian tahun di jam 00:00, tanpa ada perintah para penonton di studio maupun pemirsa di rumah serempak meniup terompet dan tak lupa menyalakan kembang api yang harga belinya cukup menguras kantong. Berbeda dengan suasana di jalan raya terdengar suara knalpot dan teriakan klakson kendaraan bernotor yang memecah kesunyian malam, kemudan berlanjut dengan saling mengucapkan selamat tahun baru.

Sejarah Tahun Baru 1 Januari
Mari kita buka The World Book Encyclopedia tahun 1984, volume 14, halaman 237.
“The Roman ruler Julius Caesar established January 1 as New Year’s Day in 46 BC. The Romans dedicated this day to Janus , the god of gates, doors, and beginnings. The month of January was named after Janus, who had two faces – one looking forward and the other looking backward.”
“Penguasa Romawi Julius Caesar menetapkan 1 Januari sebagai hari permulaan tahun baru semenjak abad ke 46 SM. Orang Romawi mempersembahkan hari ini (1 Januari) kepada Janus, dewa segala gerbang, pintu-pintu, dan permulaan (waktu). Bulan Januari diambil dari nama Janus sendiri, yaitu dewa yang memiliki dua wajah – sebuah wajahnya menghadap ke (masa) depan dan sebuahnya lagi menghadap ke (masa) lalu.”
Sosok dewa Janus dalam mitologi Romawi
Dewa Janus sendiri adalah sesembahan kaum Pagan Romawi, dan pada peradaban sebelumnya di Yunani telah disembah sosok yang sama bernama dewa Chronos. Kaum Pagan, atau dalam bahasa kita disebut kaum kafir penyembah berhala, hingga kini biasa memasukkan budaya mereka ke dalam budaya kaum lainnya, sehingga terkadang tanpa sadar kita mengikuti mereka. Sejarah pelestarian budaya Pagan (penyembahan berhala) sudah ada semenjak zaman Hermaic (3600 SM) di Yunani, dan dikawal oleh sebuah persaudaraan rahasia yang disebut sebagai Freemasons. Freemasons sendiri adalah kaum yang memiliki misi untuk melenyapkan ajaran para Nabi dari dunia ini.

Bulan Januari (bulannya Janus) juga ditetapkan setelah Desember dikarenakan Desember adalah pusat Winter Soltice, yaitu hari-hari dimana kaum pagan penyembah Matahari merayakan ritual mereka saat musim dingin. Pertengahan Winter Soltice jatuh pada tanggal 25 Desember, dan inilah salah satu dari sekian banyak pengaruh Pagan pada budaya Kristen selain penggunaan lambang salib. Tanggal 1 Januari sendiri adalah seminggu setelah pertengahan Winter Soltice, yang juga termasuk dalam bagian ritual dan perayaan Winter Soltice dalam Paganisme.

Kaum Pagan sendiri biasa merayakan tahun baru mereka (atau Hari Janus) dengan mengitari api unggun, menyalakan kembang api, dan bernyanyi bersama. Kaum Pagan di beberapa tempat di Eropa juga menandainya dengan memukul lonceng atau meniup terompet.

SANBENITO: Topi Kerucut Simbol Permutadan
Topi kerucut yang biasa dipakai masyarakat untuk merayakan hari ulang tahun dan perayaan tahun baru Masehi merupakan simbol permutadan oleh kaum muslim di Andalusia. Topi kerucut ini disebut SANBENITO, topi ini digunakan untuk menandai bahwa mereka telah murtad dibawah penindasan gereja Katholik Toma yang menerapkan inkuisi Spanyol. Saat itu terjadi pembantaian Muslim Andalusia yang dilakukan oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabela yang dikenal dengan peristiwa Inkuisisi Spanyol. Inkuisisi dimulai semen¬jak tahun 1492 dikeluarkannya Dekrit Alhambra yang mengharuskan semua non-Kristen untuk keluar dari Spanyol atau me-meluk Kristen. Muslim yang memilih tetap tinggal dilumpuhkan secara ekonomi dan diisolasi dalam kampung-kampung tertu¬tup yang disebut Gheto untuk memudahkan pengawasan terhadap aktifitas Muslim.Tidak cukup hanya diisolasi, tapi Muslim Andalusia harus menggunakan pakaian khusus berupa rompi dan topi kerucut yang disebut Sanbenito. Ketika orang Barat menggunakan topi ini dalam pesta-pesta mereka, sejatinya mereka merayakan kemenangan atas jatuhnya Muslim Andalusia dan keberhasilan Inkuisi Spanyol. Masa demi masa berlalu topi kerucut ini kemudian menjadi budaya yang digunakan oleh umat Islam dalam merayakan tahun baru masehi dan ulang tahun.

Islam Menyikapi
Tahun baru Masehi adalah tahun baru yang tak ada anjuranya dalam Al qur’an dan As Sunnah untuk dirayakan. Telah diuraikan diatas bahwa semua budaya tahun baru Masehi merupakan budaya yang berasal dari orang kafir. Anehnya banyak orang islam yang mengadopsi untuk merayakan budaya yang berasal dari orang kafir ini, terlebih para pemuda dan remaja yang minim akan pengetahuan tentang asal usul tahun baru Masehi. Padahal jelas dalam Al qur’an ada larangan untuk tidak melakukan suatu amalan yang tidak ada dasar pengetahuan tentangnya. Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu TIDAK MEMPUNYAI ILMU tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra’ : 36)
Merayakan (ikut serta) dan meramaikan perayaan tahun baru Masehi merupakan bentuk kemaksiatan. Memakai atribut tahun baru masehi seperti topi kerucut dan lainnya merupakan bentuk menyerupai kaum-kaum kafir terdahulu, padahal Rosulullah melatang tindakan yang demikian.

“Siapa saja yang menyerupai suatu kaum maka ia termaksud didalamnya”
HR.Abu Dawud dan Ahmad

Manusia memang telah berubah, disaat perayaan tahun baru Masehi yang jelas-jelas budaya kaum kafir dan jelas hukumnya untuk dirayakan oleh kaum muslim malah sengaja merayakan, bahkan rela mengorbankan ribuan uang, waktu serta tenaga yang tidak ada manfaat justri akan membawa kemudhoratan. Berbeda ketika tahun baru Muharram, tahun barunya umat muslim dating, kebanyakan dari mereka adem ayem dalam menyambutnya, pdahal di bualan Muharram banyak peristiwa yang penuh dengan sejarah, diantaranya Nabi Adam bertobat kepada Allah, hari pertama Allah menciptakan alam, Nabi Isa diangkat ke langi, peristiwa terbelahnya laut Merahuntuk menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya, semua petistiwa itu terjadi dibulan Muharram.

Minimnya pengetahuan tentang tsaqofah islam dikalangan kaum muslim terutama bagi para pemuda dan remaja akan menjadi masalah besar karena lambat laun mereka akan meninggalkan aturan islam dan mengikuti budaya barat, dan tentu hal ini jika dibiarkan kaum muslim akan menjadi minoritas. Sebelum itu terjadi diperlukan strategi untuk menyelamatkan kaum muslim terutama para pemuda dan remaja yang kelak mereka akan memegang estafet kepemimpinan bangsa ini. Strategi yang paling ampuh adalah dengan menerapkan aturan islam secara kaffah, tak hanya diurusan ibadah tetapi disemua lini kehidupan.

Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
(TQS. Al-Baqarah [2]:/

===============
Oleh :Ukhty yulia 

24 December 2014

Iman yang Menakjubkan

Suatu hari ketika orang-orang kafir berkumpul di rumah Abu Jahal, tiba-tiba datang Tariq Ash Shaidilani. Ia berkata, "alangkah mudahnya membunuh Muhammad jika kalian setuju denganku."
"Bagaimana caranya, wahai Tariq?"

Tariq menjawab, "sesungguhnya saat ini Muhammad sedang duduk bersandar di dinding Ka’bah. Seandainya salah satu di antara kita pergi ke sana, dan menjatuhinya dengan batu yang besar dari atas Ka’bah, pasti ia akan mati seketika." Maka salah seorang di antara mereka yang bernama Shihab berdiri. "Seandainya kalian mengizinkanku, sungguh aku akan membunuhnya."

Setelah orang-orang yang hadir di tempat itu setuju, Shihab segera menuju Ka’bah.
Sesampainya di Ka’bah, Tariq naik sambil membawa batu besar. Kemudian dijatuhkannya batu itu, tepat ke arah Rasulullah saw. yang sedang duduk bersandar di bawahnya. Namun, tiba-tiba keluar salah satu batu dari dinding Ka’bah untuk menahan batu besar yang seolah jatuh melayang dari udara itu. Rasulullah segera berdiri dari duduknya dan menghindar. Tak lama berselang, batu besar itu jatuh menimpa tanah. Kemudian batu dari dinding Ka’bah yang tadi keluar kembali ke tempatnya seperti sedia kala.

Shihab yang berada di atas Ka’bah terheran-heran melihat kejadian itu. Setelah bergegas turun untuk menemui Rasulullah, ia menyatakan masuk Islam.
Tariq pun akhirnya juga masuk Islam setelah melihat mu’jizat tersebut. Berikut pula orang-orang yang bersamanya, yang juga menyaksikan mu’jizat tersebut.

Muhammad bin abu Bakar bertutur; "Iman kepada Nabi saw. yang sangat menakjubkan ialah, imannya orang akhir zaman. Karena mereka beriman meski tidak menyaksikan sendiri mu’jizat Rasulullah saw.."
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw. bersabda; "Tahukah kalian, orang yang imannya paling menakjubkan?"

Para Sahabat menjawab, "para malaikat, ya Rasulullah!"
Rasulullah saw. berkata, "bagaimana mereka tidak beriman, sedangkan Malaikat Jibril turun membawa wahyu kepada mereka?"
Para Sahabat menjawab lagi, "iman para Sahabatmu, wahai Rasul."

Rasulullah berkata, "bagaimana para Sahabat tidak beriman, sedangkan mereka melihat mu’jizat dariku dan aku juga memberitahukan kepada mereka apa yang diturunkan padaku?"
Kemudian Rasulullah bersabda; "Orang yang imannya paling menakjubkan adalah iman orang-orang yang datang (ada) sesudah (wafat) aku. Mereka beriman dan membenarkanku meskipun tidak hidup di jamanku dan tidak melihatku. Mereka itulah saudara-saudaraku. "

19 December 2014

Pemabuk Cinta

Seorang teman, setiap hari menerima SMS dan telepon berkali-kali dari pacarnya yang sedang bekerja di Singapura. Menjelang tidur, ponsel mulai berdering sampai malam. Pagi haripun, dia masih sering menerimanya, biarpaun malam hari sudah berkali-kali SMS-an. Yang jelas, dia yang di negri Singa itu tak pernah bosan untuk memulainya terlebih dahulu. Baik dalam bentuk ‘short message’, ataupun telpon

Laki-laki itu juga selalu melayaninya. Tak peduli apakah itu jam kerja ataupun jam tidur. Jika SMS dan telepon itu datang dari yang dikasihinya, ia akan tetap menjawab biarpun ia dalam kondisi yang kadang merepotkan. Demi cinta, halangan akan menjelma menjadi kemudahan.

Saya tak begitu heran dengan perilaku semacam itu. Sebab setiap orang pun pernah mengalami hal yang demikan. Seseorang yang sedang menyenangi sesuatu, cenderung akan menyerahkan segala-galanya kepada yang disenangi. Minimal akan sangat mudah untuk berkorban.

Saat Ramadhan waktu itu, saya sempat memperhatikan dengan seksama waktu-waktu perempuan itu mulai SMS ke Brunei. Dimulai sejak membangunkan sahur, kemudian saat makan sahur, menjelang imsak, dan ia juga masih mengingatkan agar jangan sampai lupa subuh.

Petang hari biasanya mulai lagi. Dari hanya mengucap ‘selamat berbuka puasa’. Mengingatkan agar jangan sampai ketinggalan tarawih, dan sampai menjelang tidur lagi. Mereka tak bosan-bosan untuk terus berkomunikasi.

Saat akan berangkat bekerja, perempuan itu masih terus mengingatkan agar selalu hati-hati di jalan dan selalu ingat Allah. Sang lelaki juga makin cinta, karena perhatian dari kekasihnya luar biasa.

Jika mau dikalkulasi dengan rupiah, entah berapa rupiah pulsa yang ia terbangkan ke Brunei setiap harinya. Seorang teman bahkan pernah berkelakar. “Gaji kekasihmu bekerja di Singapura nanti habis hanya untuk membeli pulsa. ”

Si laki-laki sempat khawatir juga disinggung seperti itu. Ia bahkan berkali-kali mengingatkan agar supaya tak terlalu sering SMS ataupun telepon. Namun himbauan itu tak pernah diindahkan.

Tak ada yang bisa membendung tindakannya. Semua itu berasal dari sesuatu yang bernama; Cinta. Kalau sudah kata itu yang bicara, makanan tidak enakpun rasanya menjadi enak. Tahi kucingpun serasa coklat. Apalagi jika benar-benar coklat, pasti terasa segala-galanya. Pendek kata, cinta sering membawa kita kepada tindakan yang tidak berlogika.

Perempuan itu memang sedang dimabuk cinta. Batas-batas kenegaraan yang berupa laut, dengan jarak yang jutaan kilometer, tak menghalangi dia untuk terus eksis berkomunikasi. Berapapun pulsa yang dia habiskan, itu semua tak menjadi soal. Yang penting: cinta.

Saya menjadi menghayal sendiri. Jika cinta itu kita tujukan kepada sang Pencipta. Seandainya rasa cinta kita, kita praktekan dalam hubungannya dengan sang pembuat kehidupan ini. Tentu, akan mendapat sambutan yang luar biasa.

Seandainya kita terus belajar untuk memupuk cinta kita kepada Allah, seandainya hidup kita, mati kita, ibadah kita, langkah kita hanya karena ingin dicintai Allah, betapa besarnya balasan cinta Dia kepada kita.

Sayang, hamba yang lemah ini, masih amat suka memupuk cinta kepada sesuatu yang sesaat. Kita sering lupa untuk memupuk cinta yang sejati, cinta yang abadi. Sehingga untuk mengorbankan waktu saja, demi cintanya kepada-Nya kita sering berpikir berkali-kali.

Tak ada salahnya jika kita mau belajar tentang aplikasi cintanya orang-orang shaleh kepada sang Pencipta. Korban waktu, tenaga, harta bukanlah sesuatu yang memberatkan bagi pemabuk cinta Illahi. Jangankan harta, nyawapun akan diserahkan padaNya.

Tak berlogika? Sekilas bisa seperti itu, tapi lagi-lagi kita harus sadar, bahwa anugerah cinta memang harus kita kelola dalam diri sebaik mungkin. Agar kata itu bisa menjelma menjadi kekuatan yang berakibat baik bagi diri sendiri dan sesama.

Power cinta bisa melahirkan tindakan positif yang luar biasa bila menejemen keimanan mendampinginya. Ringan tangan, mudah berbagi, tak menghindar dari berjuang, adalah hal-hal positif yang bisa kita awali dari sebuah rasa cinta kita terhadap hidup, kehidupan dan yang membuat kita hidup.

==================
Purwokerto, <woyo_sus@yahoo. Co.id>

Kacamata Air Dua Kulah

Terkadang kita menjumpai ada yang begitu mudah menyalahkan dan menjustice kesalahan, padahal orang tersebut sejatinya adalah mempunyai banyak kebaikan. Semua kebaikan itu seolah sirna dan yang ada hanyalah keburukannya saja. Ada pepatah yang sangat lama populer : “Nila setitik merusak susu satu belanga” atau “Kemarau satu tahun dihapus oleh hujan satu hari”. Maksud dari pepatah ini adalah sindiran bukan pembenaran dari sikap melupakan kebaikan.

Di era keterbukaan informasi dan media seperti hari ini sering terjadi, banyak yang sejatinya tidak baik tapi karena yang selalu diinformasikan dan diberitakan kebaikannya, maka seolah ia memiliki sejuta kebaikan, dan banyak yang sejatinya baik tapi karena yang selalu diinformasikan dan diberitakan ketidak kebaikannya, maka seolah ia memiliki sejuta kejelekan. Ini adalah sebuah pemandangan paranoid yang sering kita jumpai, fakta yang seringkali gelap karena sebuah bayangan.

Tapi, marilah kita sejenak melihat bagaimana Islam memandang hal ini, sebagaimana hadits Rasulullah SAW :
“Tidak ada seorang pun yang selamat dari kesalahan, dan tidaklah sepatutnya (kita) melenyapkan kebaikan-kebaikan seseorang karena suatu kesalahan. Sebagaimana halnya air, apabila telah mencapai dua kulah, maka air itu tidaklah mengandung kotoran.” (ini lafazh riwayat hadits Ad Darimi, 737-738; ad Daruquthni, I21-22.)
Yang dimaksud air dua kulah adalah jumlahnya berkisar 216 liter. Air tersebut menjadi air mutlak (air suci dan bisa digunakan untuk mensucikan sesuatu) dan tidak musta’mal (air bekas bersuci dan tidak bisa mensucikan sesuatu), bila ukurannya minimal dua kulah. Bila bercampur najis dan tidak merubah salah satu dari tiga unsurnya (warna bau dan rasa), maka air tersebut bersih dari najis.

Ini adalah pandangan bagaimana Islam memandang proporsional dua kutub antara kebaikan dan kekurangan orang lain. Jika faktanya adalah kebaikan atau ketaqwaannya masih lebih banyak dari keburukannya dan tidak merusak amal kebaikannya. Keburukan yang bukan menjadi karakter pribadi maka sesungguhnya ia adalah orang baik. Karena kebaikan itu menghapus dosa dan dan kesalahan.
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Hud:114).
Kalau kita melihat sisi kehidupan para sahabat nabi SAW, benar mereka adalah manusia luar biasa yang terlahir di bumi. Namun mereka adalah manusia bukan malaikat, yang pasti tidak luput kesalahan dan dosa. Zubair bin Awwam yang menceraikan Asma binti Abu Bakar, adalah satu contoh bahwa mereka adalah manusiawi juga, tapi keimanan mereka amal-amalnya, ketaqwaannya, karya-karyanya adalah jauh sangat besar jika dibandingkan dengan satu keburukannya.

Karena kita adalah kumpulan manusia dan bukan kumpulan malaikat, maka sisipkanlah kacamata air dua kulah untuk melihat kesalahan saudaranya.

Wallahu A’lam bishshawab


==================
Oleh : Imam Rohani, ST. MT

15 December 2014

Penyembah Patung Di Lautan

Diceritakan oleh Abdul Wahid, bahwasanya mereka pada suatu ketika berlayar diatas sebuah perahu. Tiba-tiba perahu itu bocor, lalu mereka menambalnya pada sebuah pulau ditepi pantai. Pada saat  itu mereka menemukan seseorang yang menyembah patung.

Mereka bertanya kepadanya, “Apa yang engkau sembah?” Dia menunjukkan kepada patung tersebut.

Lalu dia bertanya, “Adapun kalian, apa yang kalian sembah?” Mereka menjawab, “ Kami menyembah Allah yang memiliki singgasana dilangit, kerajaan di bumi, dimana kehidupan dan kematian ada di ketetapan-Nya.”
Dia bertanya, “ Apakah yang menunjukkan kalian akan keberadaan-Nya?” Abdul Wahid berkata, “Kami menjawab, “Dia mengutus kepada kami seorang rasul.”
Lalu dia bertanya, “Dimanakah dia berada?” Kami menjawab, “Allah telah mewafatkannya.”

Dia bertanya, “Apa yang menjadi bukti kalian atas keberadaannya?” Kami menjawab, “Dia meninggalkan kepada kami Kitab Pemilik kerajaan.”
Dia berkata, “Perlihatkanlah kepadaku.” Abdul Wahid berkata,” Lalu kami menyodorkan Al-Qur’an kepadanya.”

Dia berkata, “Aku tidak dapat membaca.” Abdul Wahid berkata, “Lalu kami membacakan kepadanya satu surat dari kitabullah.” Diapun menangis seraya berkata, “ Tidaklah sepatutnya bagi Zat yang memiliki perkataan ini untuk dimaksiati.” Abdul Wahid berkata, “Maka kami mengajarkan kepadanya syariat-syariat Islam.” (ia pun menjadi Muslim).

Ketika malam tiba, kami shalat kemudian tidur. Dia berkata, “Apakah Tuhan yang kalian sembah tidur?” Kami menjawab, “Tuhan kami hidup dan tidak tidur.” Dia berkata , “Sejelek-jelek hamba adalah kalian, kalian tidur sedangkan Tuhan kalian tidak tidur.”

Abdul Wahid berkata, “ Kami merasa heran terhadap perilakunya.” Hingga tibalah saat kepergian kami. Lalu kami mengumpulkan uang dan memberikan kepadanya. Dia menolaknya dengan berkata, “Maha Suci Allah, kalian menunjuki aku suatu jalan yang kalian belum melaluinya , sesungguhnya aku dulu menyembah patung di lautan dan dia tidak menelantarkan aku, maka bagaimana setelah aku mengetahuiNya!.

Abdul Wahid berkata, “Perihalnya sangat mengherankan.” Kemudian dia menderita sakit. Lalu kami datang menjenguknya. Kami bertanya kepadanya, “ Apakah engkau mempunyai hajat?” Dia menjawab, “Tuhan yang kalian tunjukkan kepadaku telah menunaikan hajatku.” Abdul Wahid berkata, “Maka kami tidak beranjak hingga dia meninggal dunia.”

Lalu aku bermimpi melihat dia berada di dalam sebuah kemah yang disisinya terdapat seorang wanita. kemudian Dia berkata, “Semoga keselamatan tercurahkan untuk kalian dan ini adalah sebaik-baik tempat kembali.”

Kisah ini terdapat pada kitab “Gidzaa’ul Al Baab”, Al- Isfarayaini telah manukilnya dari Ibnu  Jauzi.. Engkau dapat merasakan dari kisah ini, bagaimana ayat-ayat (Allah) ketika bertaut dengan hati yang lembut. Dia akan merubah kehidupan manusia serta pemahaman kepada mereka, serta memberikan bekas dalam hati berupa rasa malu kepada Allah, bertawakkal dan berserah diri kepada-Nya pada waktu malam dan siang.

Dimana hati tidak lagi bergantung kepada makhluk, baik ketika mencari kemanfaatan atau menolak kemudharatan. Adapun orang seperti ini tidak pernah putus asa, gagal, serta celaka baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwasanya dia dapat melampaui orang-orang yang mendahuluinya memeluk Islam dalam keadaan yang sangat menakjubkan.

================
-Said Abdul Azhim-

09 December 2014

Nilai Diri Seorang Muslim bukan pada Harta dan Kedudukan

Ada seorang lelaki miskin, mengenakan kain yang usang , pakaian yang dekil, perut lapar , tanpa alas kaki, berasal dari garis nasab tidak terhormat, tidak punya kedudukan , harta dan keluarga besar, tidak punya rumah untuk berteduh, tidak punya perabot yang bernilai, minum hanya air dari kolam umum dengan gayung kedua tangannya bersama orang orang yang lewat, tidur di masjid , hanya berbantalkan tangannya, dan berkasur pasir bercampur kerikil.

Namun begitu, dia adalah seorang yang selalu berdzikir kepada Rabb nya, selalu membaca kitab Allah, selalu berada pada barisan terdepan dalam shalat maupun pada saat perang.

Suatu ketika, dia lewat di depan Rasulullah SAW, lalu Rasul memanggilnya,” Wahai Julaibib, tidakkah kamu ingin menikah?” orang itu menjawab,”Wahai Rasulullah, siapakah yang mau menikahkan putrinya denganku?” Aku tidak punya kedudukan dan tidak pula harta.” Beberapa hari kemudian Rasulullah bertemu dengannya. Rasulullah menanyakan hal yang sama pula. Dan dia pun menjawab dengan jawaban yang sama. Pada pertemuan yang ketiga Rasulullah mengajukan pertanyaan yang sama, dan dijawab dengan jawaban yang sama pula. Maka bersabdalah Rasulullah,” Wahai Julaibib, pergilah ke rumah fulan, (nama seorang Anshor)-lalu katakan padanya, “Rasulullah menyampaikan salam untukmu dan memintamu untuk mengawinkanku dengan anak perempuanmu.”

Sahabat Anshar dimaksud berasal dari keluarga terhormat dan terpandang. Maka berangkatlah Julaibib menemui sahabat anshar itu. Diketuknya pintu rumahnya, dan selanjutnya disampaikannya apa yang diperintahkan oleh Rasulullah. Sahabat anshar itu berkata, “semoga kesejahteraan tercurah untuk Rasulullah, tapi bagaimana bisa aku mengawinkan anakku denganmu yang tidak mempunyai kedudukan dan harta benda? Pada saat itu isteri sahabat anshar itu juga mendengar pesan rasulullah SAW yang disampaikan Julaibib itu, dan dia pun terheran heran dan bertanya tanya…Dengan Julaibib, yang tidak mempunyai harta dan kedudukkan?” dari dalam putrinya mendengar apa yang dikatakan oleh Julaibib dan pesan Rasulullah yang disampaikannya, segera anak perempuan itu berkata kepada kedua orang tuanya,”apakah kalian menolak permintaan Rasulullah ? Tidak, demi dzat yang jiwaku ditanganNya !”

Selanjutnya , terjadilah pernikahan yang penuh berkah, lahir rumah tangga yang penuh keridhaanNya. Beberapa waktu kemudian, datanglah seruan jihad. Julaibib pun ikut serta ke medan perang. Dengan tangannya, terbunuh tujuh orang musuh dari orang orang kafir. Namun dia sendiri juga terbunuh. Dia meninggal dengan berbantalkan tanah dengan penuh keridhaan Allah dan RasulNya.

Setelah itu Rasulullah SAW memeriksa semua korban perang saat itu, dan para sahabat memberitakan nama nama yang syuhada. Tak ada nama Julaibib disebut, sebab memang dia tidak termasuk orang yang dikenal dan terpandang di kalangan sahabat. Namun Rasululllah sangat ingat Julaibib dan tidak pernah melupakannya. Beliau hapal nama itu ditengah kerumunan nama nama besar yang syahid dan tidak melalaikannya. Sergah rasulullah.” Tapi kini aku kehilangan Julaibib.”

Rasulullah mendapati jasadnya yang penuh dengan debu, dan mengusap debu dari wajahnya seraya berkata, “ Kau telah membunuh tujuh orang, lalu kamu sendiri terbunuh, kamu bagian dariku dan aku bagian darimu.

Sebenarnya nilai seorang Julaibib adalah keimanannya, kecintaan Rasulullah kepadanya, dan prinsip yang ia pegang hingga ajalnya. Kemiskinan dan ketidakjelasan kedudukan di masyarakat tidak menghambatnya untuk memperoleh kedudukan yang mulia, dia telah mencapai cita citanya untuk mati syahid, mendapatkan keridhaanNya, meraih kebahagiaan di dunia dan akherat. – Aidh Al qarni-

04 December 2014

Kalkulasi Kasar Intensitas Dzikir

Kasih sayang Allah tak bisa ditakar, ditimbang, dihitung dan diukur. Manusia tidak punya perangkat untuk mengukur keseluruhan karunia dari Yang Maha Pengasih. Manusia hanya diminta bersyukur atas semuanya. Pada akhirnya pun, syukur yang dipersembahkan kepada Tuhan akan kembali kepada dirinya sendiri.

Fakta untuk sampai kepada syukur pun, teramat banyak untuk dikumpukan. Dari yang ”sepele” sampai yang agung dan rumit.

Sebarapa kisaran udara yang manusia hirup teramat banyak, meskipun dengan kecanggihan bisa diperkirakan. Konon kapasitas paru-paru seorang laki-laki normal berisi 4-5 liter udara dan pada seorang perempuan 3-4 liter udara.

Ketika manusia menghirup udara atau menarik nafas (inspirasi) lalu menghembuskannya keluar (ekspirasi) serta istirahat di antara kedua proses tersebut, tidak kurang dari 10-20 kali setiap satu satu menit terjadi pada manusia dewasa secara mekanis. 24 kali pada usia dua sampai lima tahun. 30 kali pada usia dua belas bulan dan 30-40 pada bayi baru lahir dalam setiap menitnya. Dari sekian tanda, proses ini adalah tanda hidup yang paling kasat mata. Tetapi manusia kadang lalai berterima kasih kepada Tuhan. Padahal Dia lah yang menyuplai oksigen gratis agar manusia bisa bernafas untuk menyambung hidupnya.

Berapa liter sudah air yang diminum manusia sepanjang hidup mungkin setara dengan bah. Tetapi metabolisme tubuh buatan Tuhan mampu mengatasinya. Jika rata-rata pria dewasa mengkonsumsi 3 liter air (13 gelas) dan perempuan 2,2 liter (9 gelas) per hari, berapa kubik air yang sudah dimasukkan ke dalam tubuhnya di usianya sekarang?. Tetapi berbahagilah, ada mekanisme Tuhan dalam mengatasi air itu. Allah memperkenalkan urin yang rata-rata keluaran urin orang dewasa 1,5 liter sehari. Air juga dapt keluar melalui pernafasan, keringat dan pergerakan usus. Di sinilah terjadi keseimbangan yang mengagumkan antara air yang masuk dan dibuang. Subhanallah.

Intenskah manusia menghitung detail berkedip? Setiap kali berkedip, waktu yang dibutuhkan antara 100 sampai 150 milidetik, karena itulah kadang manusia tidak sadar ketika mereka melakukannya. Manusia biasanya berkedip 10 sampai 15 kali permenit untuk membuat kornea mata tetap terjaga kelembabannya dan tetap terkena oksigen. Selama satu jam berarti hampir 900 kali berkedip. Katakanlah kita terjaga selama 16 jam sehari, berarti selama itu kita tidak kurang dari 14.400 kali kita berkedip. Berarti Allah terus-menerus menyegarkan mata setiap orang sebanyak 14.400 selama terjaga baik ia mukmin maupun kafir.

Dari ahli anatomi, manusia menjadi melek, bahwa berkedip merupakan gerakan otomatis untuk melindungi dari benda asing seperti debu atau benda lain yang bisa masuk ke mata. Berkedip juga untuk menjaga agar mata tetap berair, sehingga mata tidak kering dan terasa perih. Saat berkedip, bola mata akan dibasahi air mata yang akan membersihkannya jika terdapat debu yang menempel. Jadi, kedipan laksana helm bagi mata dan menjaganya tetap bersih. Banyak yang bersyukur atas nikmat berkedip. Banyak pula yang menjadikannya sebagai jerat birahi yang terlarang.

Lagi dan teramat banyak nikmat Tuhan yang paling alami untuk dikumpulkan. Tetapi sudahkah setiap manusia membayarnya dengan syukur dan selalu menyebutnya dalam dzikir?

Sekarang mari kita gandengkan nikmat Tuhan yang telah disebut di atas dengan intensitas dzikir sebagai wujud rasa syukur. Apakah sudah cukup untuk ”membayar” sekedar kedipan mata?

Usia hidup rata-rata ummat Muhammad shallallaahu ’alaihi wa sallam antara 60 sampai 70 tahun lebih kurang misalnya. Taruhlah rata-rata sampai usia 65 tahun ia bertahan dalam pengembaraan hidup di dunia. Dalam bahasa fiqih, ada batasan seorang muslim terkena taklif yang disebut usia baligh. Maka kalkulasi ibadahnya baru dihitung setelah ia baligh. Rumus sederhananya barangkali demikian :

Tutup Usia (65 th) – masa baligh (15 th) = Panjang usia taklif (50 th). Maka sepanjang usia 50 tahun hidup itulah, pembuktian rasa syukur dan intensitas dzikir seorang muslim dihisab setiap detik.

Menarik sekali Al Qur’an mengingatkan agar manusia banyak-banyak berdzikir. Bisa jadi, karena intensitas dzikirnya teramat sedikit ditelan kesibukan yang tak berujung. Cobalah renungkan fakta waktu yang dihabiskan manusia.

Waktu berjalan dalam hitungan detik, menit, jam dan hari. Lalu minggu, bulan dan tahun. Sehari semalam berdurasi 24 jam atau setara dengan 1.440 menit atau 86.400 detik. Dalam kungkungan waktu itulah manusia hidup dan bergulat dengan aneka aktivitas. Lalu berapa lama porsi kita berdzikir? Kalau kita ambil 5 waktu sholat wajib saja yang kira-kira hanya memakan waktu 10 menit, hasilnya memang sangat minim, hanya 50 menit dalam sehari. Kurang dari satu jam dari 24 jam waktu tersedia. Bolehlah kita genapkan saja jadi 1 jam.

Bayangkan, dalam seminggu kita hanya menghabiskan waktu untuk sholat setara 5,8 jam saja dari 168 jam tersedia. Sebulan hanya 25 jam, setara dengan sehari semalam lebih satu jam, padahal hitungan jam dalam sebulan tidak kurang dari 720 jam dalam 30 hari. Lalu setahun kurang lebih tersedia waktu 8.760 jam selama lebih kurang 365 hari. Dalam setahun, sholat menghabiskan waktu tidak lebih hanya 360 jam, setara dengan 15 hari.

Berapa waktu yang dihabiskan untuk sholat selama kurun waktu 50 tahun? Jika dirata-ratakan dalam sehari semalam butuh waktu 1 jam untuk sholat, maka akan ditemukan angka 18.250 hari dalam 50 tahun. Ini berarti 18.250 x 1 jam = 18.250 jam. Angka ini setara dengan hanya 2 tahun saja dari kurun waktu 50 tahun. Ini pun belum tentu sholat yang didirikan padat berisi di sisi-Nya. Subhanallaah. Sepadankah untuk ”melunasi” rasa syukur atas nikmat bernafas dan berkedip saja?

Sekarang mari bandingkan dengan aktifitas lain. Tidur misalnya. Waktu tidur yang sehat dan umum lebih kurang 8 jam perhari. Berarti dalam 50 tahun, waktu yang habis dipakai tidur setara dengan 18.250 hari dikalikan 8 jam. Hasilnya sama dengan 146.000 jam. Angka ini setara dengan 16 tahun 7 bulan untuk tidur.

Aktifitas kerja standar lebih kurang 9 jam perhari. Dalam 50 tahun berarti 18.250 hari dikalikan 9 jam. Hasilnya 164.250 jam, setara dengan 19 tahun 2 bulan.

Waktu aktifitas santai atau relaksasi lebih kurang 6 jam dengan berbagai kegiatan menyenangkan dalam sehari. Dalam 50 tahun waktu yang dipakai relaksasi berarti 18.250 hari dikali 6 jam. Hasilnya 109.500 jam. Angka ini setara dengan 12 tahun 9 bulan. Cukup fantastis untuk acara santai semacam nonton TV sambil minum kopi, belanja dan hal-hal lain yang sifatnya santai.

Ternyata, dibanding dengan aktifitas lain, intensitas dzikir terlalu sedikit. Sementara nikmat yang kita rasakan terlalu banyak. Bahkan terlampau banyak hingga tidak ada angka untuk menjumahnya. Wajarlah Al-Qur’an mengingatkan agar orang beriman tidak putus berdzikir hanya sebatas shalat wajib. Tetapi menambahnya dengan nafilah. Di samping itu, Kanjeng Nabi mengajarkan agar aktifitas positif yang kita geluti selalu harus dibuka dan diakhiri dengan dzikir. Tentu dzikir sebagaimana beliau mencontohkan dalam lafdz dan kaifiahnya.

Ya, Rabb … malu rasanya hamba di hadapan-Mu.
 
======================
Abdul Mutaqin  - eramuslim.com

02 December 2014

Jangan Tinggalkan Keluargamu!

Ada sebuah kisah nyata yang mudah-mudahan kita bisa mengambil pelajaran darinya.
Ini profil seorang suami yang buruk dan tidak patut kita tiru. Ia memang bukan pemabuk dan bukan pula penjudi, dan ia juga tidak pernah serong dengan wanita lain, pokoknya tak ada catatan buruk terhadapnya di masyarakat, akan tetapi ia “hanya” menelantarkan keluarganya, “cuma” itu saja.

Setiap istri tentu mengharapkan suami yang romantis, perhatian kepadanya dan bisa berbagi suka duka bersama, akan tetapi sayangnya si suami ini sangat dingin dan acuh terhadap keadaan istrinya, ia lebih mementingkan karirnya. Selain itu yang lebih memprihatinkan lagi ia juga bukan orang yang taat beragama, ia tidak pernah melaksanakan shalat lima waktu sama sekali. Istrinya stress menghadapi fakta seperti itu dan merasa kesepian, walaupun ia tinggal serumah bersama suaminya, tapi ia seolah-olah tinggal sendirian, apalagi si suami ini sering pula meninggalkannya karena urusan kerja di luar kota.

Hari demi hari ia lalui dengan kesendirian. ketika lahir anak-anaknya, mungkin ada yang mengira akan terjadi perubahan pada diri suami, kenyataannya? Tak ada perubahan sama sekali. Baginya karir nomor 1, sedangkan keluarga nomor ke sekian. Demikian seterusnya sampai puncaknya si istri ini stress berat, sampai tingkatan seperti orang gila. Kadang ia bicara dan tertawa sendiri dan pernah juga ia keluar rumah tanpa memakai pakaian sehelaipun, dan itu terjadi ketika si suami sedang pergi ke luar kota dan si istri lagi di rumah ibunya.

Melihat pemandangan yang mengerikan seperti itu, Ibu si istri kaget bukan kepalang dan segera membawanya ke rumah sakit jiwa. Setelah beberapa hari dirawat, Dokter yang menangani si istri itu berkata kepada ibunya, ” Ibu,setelah kami diagnosa, anak ibu tidak gila ia hanya stress berat, sejak datang ke sini sampai sekarang anak ibu terus menangis, sebaiknya ibu membawanya ke psikiater saja untuk dikonsultasikan.” Akhirnya si ibu ini membawanya ke psikiater. Setelah memperhatikan dan menyimak keterangan si ibu, psikiater menyimpulkan bahwa obat yang efektif untuk si istri ini cuma satu yaitu perhatian suaminya!

Ketika si suami pulang dari luar kota, ia terkejut melihat kondisi istrinya sudah berubah layaknya orang gila. Lantas apa tindakannya setelah itu? Tak ada tindakan apapun, bahkan berobatpun tidak, sepertinya kejadian yang menimpa istrinya itu seperti angin yang berlalu, tak terlalu mengkhawatirkan baginya. Maka Istrinya pun tetap dalam keadaannya semula, seperti orang gila, ia berbicara dan tertawa sendiri, kadang tiba-tiba marah dan melakukan tingkah laku yang aneh.
Itu sikapnya terhadap istrinya, lantas bagaimana sikapnya terhadap anak-anaknya? Apakah berbeda dengan sikapnya terhadap istrinya? Ternyata tidak juga, ia tetap acuh dan bersikap kaku terhadap mereka, karena yang menjadi prioritasnya adalah karirnya. Ketika menghadapi anaknya yang berbuat kesalahan (ketika masih seumuran anak SD),ia tidak menasehatinya baik-baik, tetapi langsung memarahinya dan kadang menyindirnya di depan saudara-saudaranya. Lantas apa akibatnya? Satu persatu anaknya menjauh darinya, karena mereka takut bercampur benci kepadanya. Ketika ia mengetahui kalau anak-anaknya mulai menjauh darinya, akankah ia berusaha mengalah untuk merangkul anak-anaknya kembali? Rupanya tidak, ia tetap dalam keacuhannya.

Sebagaimana peribahasa: “Siapa yang menanam maka ia pula yang menuai”, maka demikian pula si suami ini, akhirnya ia merasakan sendiri hasil sikap kaku dan keacuhannya selama ini, jadilah ia seperti orang asing di rumah sendiri. Sebagaimana kebiasaan umumnya kita ketika masih kecil, kalau orang tua pulang setelah bekerja seharian, biasanya kita menyambutnya “Bapak datang, bapak datang!!” Tapi bagaimana dengan si suami ini? Dia tidak mendapatkan sambutan apa-apa, ketika ia memasuki rumahnya seolah-olah ia memasuki rumah mati, tak ada “kehidupan”, si istri sibuk dengan “kegilaan”nya dan anak-anak sibuk dengan urusan masing-masing.

Si suami terus mengejar karirnya, sampai akhirnya berhasil mencapai targetnya, ia berhasil menduduki pucuk pimpinan di suatu instansi pemerintah, berbagai gelar ia sandang dan berbagai penghargaan ia dapatkan, namanya menjadi terkenal, orang-orangpun menaruh hormat kepadanya, tapi apakah ia bahagia dengan semua itu?

Setelah mendapatkan apa yang ia kejar, ternyata ia tak merasakan kebahagiaan yang berarti, serasa hampa. Ia pun mulai menyadari kesalahannya, kemudian berusaha memperbaiki kehidupannya dan kehidupan rumah tangganya, tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Hubungannya dengan anak-anaknya sudah terlanjur jauh dan istrinya pun sudah permanen dengan “kegilaannya”. Akhirnya ia pun memasuki masa tuanya dalam kesepian dan kesendirian, sebagaimana dulu ia meninggalkan anak dan istrinya dalam kesepian. Dan yang lebih tragis lagi, di saat kesepiannya itu dia terkena stroke, maka bertambahlah dukanya…

Seorang suami adalah pemimpin keluarga, di atas pundaknyalah amanah mengayomi dan membimbing anggota keluarganya menuju keridhoan Allah dan menjauhi kemurkaan-Nya, karena itu tidak boleh baginya untuk menyia-nyiakan dan menelantarkan amanah-Nya itu, karena kelak ia akan ditanya tentang itu di hari kiamat.
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang orang yang dipimpin.”(HR.Bukhari dan Muslim)
“Cukuplah seseorang dianggap berdosa karena menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggungan hidupnya.”(HR.Abu Daud dan Ahmad)

Selain itu, keluarga juga merupakan orang-orang yang siap menemani dan membantu kita, baik di masa muda maupun masa tua kita, dan mereka pulalah yang akan mendoakan kita tatkala terputus seluruh amalan kita sedangkan ketika itu kita amat membutuhkan apa yang bisa meringankan penderitaan kita di alam kubur dan dahsyatnya alam Mahsyar serta panasnya api neraka, maka akankah kita tetap menelantarkan mereka?

==========================
Jakarta,
umaranung@yahoo.co.id