Saya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Ebiet G. Ade ketika belasan tahun yang lalu, dalam lagu yang meledak menjadi hits, dia menggugat dan ingin bertanya pada rumput yang bergoyang. Adakah dia tak lagi punya asa? Adakah dia frustasi? Namun, saya bisa menangkap apa isi gugatannya ketika dia berteriak,
“Mengapa di tanahku terjadi bencana?” Inikah juga yang ditanyakan bangsa kita kini!
Konon, Ebiet sudah kabarkan berita ini kepada laut, karang ombak bahkan matahari. Sayang, dia mengaku tak memperoleh jawaban. Lalu, yang bisa dia lakukan adalah menduga-duga. Mungkinkah ini murka Tuhan? Mungkinkah ini karena alam tak lagi bersahabat?
Entahlah. Boleh jadi Tuhan memang sedang murka. Namun saya kira benar bahwa alam tampaknya sedang tak bersahabat dengan kita. Lumpur Lapindo masih memuntahkan lumpurnya yang bercampur dengan gas, pasir, tanah dan batuan. Belum habis
air mata kita, Jakarta masih bersahabat dengan banjir, kebakaran dan tindak kriminalitas semakin menjadi-jadi. Penculikan anak, pelecehan terhadap hak-hak perempuan, perampokan toko emas.... sinetron dengan bermacam dramatisasi pelaku korupsi dipertontonkan pengadilan. Pencuri sandal jepit, biji coklat, semangka, piring, kayu bakar divonis sangat cepat dengan hukuman maksimal. Koruptor.....ha ha, untuk menangkapnya saja butuh dana yang besar, waktu berbulan-bulan, kerja sama interpol asing, setelah ditangkap....pake acara sakit...periksa kesehatan, rusak ingatan. Bukankah, sebelum mencuri uang rakyat (negara) mereka sudah sakit; sakit psikologis...simpati dan empati mereka hilang, sehingga bermegah-megahan dengan harta curian di atas keprihatinan, penderitaan, beban dan sakit hari rakyat. Dalam bahasa agamanya, tepat mereka punya qolbu marit.
Api. Air. Inikah tanda kemarahan alam? Jika iya, mengapa Tuhan izinkan alam untuk mengeskpresikan kegalauannya? Sampai kapan Tuhan izinkan alam untuk marah? Alam marah, benarkah ini juga berarti Tuhan sedang marah?
Ah, tiba-tiba gugatan dan renungan Ebiet belasan tahun yang lalu terdengar kembali dan mampir ke kamar saya. Bedanya, saya masih punya harapan, walaupun diimbuhi sedikit rasa cemas. Harapan itulah yang membuat saya tak bertanya pada rumput Tang bergoyang. Harapan itulah yang membuat saya ’’merayu” Tuhan dalam do’a-do’a saya. Semoga Tuhan segera menyuruh alam berhenti ”ngambek".
Rumput bergoyang,
Merapi berguncang,
dataran tergenang
Ah.. duhai alam, bukankan jika kau marah orang-orang tak berdosa pun ikut menanggung akibatnya?
Terimalah salamku, bukankah tak baik kalau kita bertengkar lebih dari tiga hari?