ng dagangannya, krupuk untuk dijualnya berkeliling kampung.
Sepintas tidak banyak yang berbeda dengan pedagang-pedagang keliling lain seperti Mansur. Tapi ada kelebihan yang membedakannya dengan orang lain. Kelebihan di balik kekurangannya, Mansur adalah lelaki penyandang cacat tunanetra yang tidak mau berpangku tangan dan menyerah dengan kondisi yang dialaminya, sebaliknya keterbatasan itu dijadikannya modal untuk memupuk semangat.
Mengalami cacat penglihatan memang bukan bawaan sejal lahir. Sejak berusia 5 tahun, Mansur menderita sakit mata, hingga usianya menginjak 10 tahun Mansur benar-benar mengalami mimpi buruk, kebutaan permanen. Meski bukan peristiwa yang mengenakkan, Mansur malah termotivasi untuk tetap survive dan terus berusaha. Hingga pada akhirnya, Mansur mendapatkan jodohnya dan menikahi Iis Nurmayani (30) yang selalu setia menemaninya, dan memberikannya dua buah hati, Muhammad Ansori (11) dan Nova Reviandi (3).
Sebagai orang yang tidak bisa melihat, berkeliling dengan memikul barang dagangan dengan hanya ditemani tongkat sebagai penuntunnya, Mansur sangat menyadari bahaya yang bisa saja menimpanya setiap saat, mulai dari tersandung, terkena benda-benda keras, sampai ditipu pembeli pun bisa saja menghalanginya untuk berusaha. Namun semua itu, ia gantungkan kepada Allah dengan segala apa yang terjadi.
Pendapatannya sebagai pengasong krupuk kering tidaklah cukup jika dibandingkan dengan mahalnya kebutuhan pokok saat ini. Perharinya Rp 2000 ia dapatkan dari hasil penjualan yang rata-rata Rp 5 ribu. Mansur tetap bersyukur dengan keadaannya, dan bangga dengan kondisi yang dialaminya, Mansur masih bisa mencari rejeki yang halal.
Dengan kekurangannya, Mansur selalu berusaha menjadi orang yang bersyukur kepada Allah, “Nikmat Allah begitu besar,” katanya. Dua anak yang didapatkan dari pernikahannya dalam keadaan normal dan sempuna juga menjadi nikmat tersendiri. Ini pula yang menjadikan dia besar harapan di masa yang akan datang.
Selain itu, Mansur yang sebelumnya adalah pengemis jalanan mulai menyadari betapa kekurangan dalam dirinya bukan menjadi alasan untuk meminta-minta dan berharap iba dari orang lain. Mansur juga menyayangkan kawan-kawan sejawatnya yang senasib dengannya masih terus mengadahkan tangan dan meminta, karena baginya di saat ada kemauan untuk tidak bermanja dengan keterbatasan, pasti ada kelebihan di balik kekurangan.
“Kalau ada kemauan pasti pasti ada jalan” imbuhnya. “Kalaupun saya seperti ini, saya yakin di masa yang akan datang anak-anak saya berhasil dan bahagia dengan cita-citanya.”
Di rumah kecil berukuruan 2,5X3 meter dan hanya beralasakan tikar, Mansur merajut kebahagiaan dengan keluarga sederhananya, meski gubuk kecil itu juga bukan milik mereka sendiri. Menurutnya, hanya mata yang tidak melihat tapi anggota tubuh lain masih sempurna jadi belum layak jadi pengemis.
Sepintas tidak banyak yang berbeda dengan pedagang-pedagang keliling lain seperti Mansur. Tapi ada kelebihan yang membedakannya dengan orang lain. Kelebihan di balik kekurangannya, Mansur adalah lelaki penyandang cacat tunanetra yang tidak mau berpangku tangan dan menyerah dengan kondisi yang dialaminya, sebaliknya keterbatasan itu dijadikannya modal untuk memupuk semangat.
Mengalami cacat penglihatan memang bukan bawaan sejal lahir. Sejak berusia 5 tahun, Mansur menderita sakit mata, hingga usianya menginjak 10 tahun Mansur benar-benar mengalami mimpi buruk, kebutaan permanen. Meski bukan peristiwa yang mengenakkan, Mansur malah termotivasi untuk tetap survive dan terus berusaha. Hingga pada akhirnya, Mansur mendapatkan jodohnya dan menikahi Iis Nurmayani (30) yang selalu setia menemaninya, dan memberikannya dua buah hati, Muhammad Ansori (11) dan Nova Reviandi (3).
Sebagai orang yang tidak bisa melihat, berkeliling dengan memikul barang dagangan dengan hanya ditemani tongkat sebagai penuntunnya, Mansur sangat menyadari bahaya yang bisa saja menimpanya setiap saat, mulai dari tersandung, terkena benda-benda keras, sampai ditipu pembeli pun bisa saja menghalanginya untuk berusaha. Namun semua itu, ia gantungkan kepada Allah dengan segala apa yang terjadi.
Pendapatannya sebagai pengasong krupuk kering tidaklah cukup jika dibandingkan dengan mahalnya kebutuhan pokok saat ini. Perharinya Rp 2000 ia dapatkan dari hasil penjualan yang rata-rata Rp 5 ribu. Mansur tetap bersyukur dengan keadaannya, dan bangga dengan kondisi yang dialaminya, Mansur masih bisa mencari rejeki yang halal.
Dengan kekurangannya, Mansur selalu berusaha menjadi orang yang bersyukur kepada Allah, “Nikmat Allah begitu besar,” katanya. Dua anak yang didapatkan dari pernikahannya dalam keadaan normal dan sempuna juga menjadi nikmat tersendiri. Ini pula yang menjadikan dia besar harapan di masa yang akan datang.
Selain itu, Mansur yang sebelumnya adalah pengemis jalanan mulai menyadari betapa kekurangan dalam dirinya bukan menjadi alasan untuk meminta-minta dan berharap iba dari orang lain. Mansur juga menyayangkan kawan-kawan sejawatnya yang senasib dengannya masih terus mengadahkan tangan dan meminta, karena baginya di saat ada kemauan untuk tidak bermanja dengan keterbatasan, pasti ada kelebihan di balik kekurangan.
“Kalau ada kemauan pasti pasti ada jalan” imbuhnya. “Kalaupun saya seperti ini, saya yakin di masa yang akan datang anak-anak saya berhasil dan bahagia dengan cita-citanya.”
Di rumah kecil berukuruan 2,5X3 meter dan hanya beralasakan tikar, Mansur merajut kebahagiaan dengan keluarga sederhananya, meski gubuk kecil itu juga bukan milik mereka sendiri. Menurutnya, hanya mata yang tidak melihat tapi anggota tubuh lain masih sempurna jadi belum layak jadi pengemis.
No comments:
Post a Comment