Selesai sholat sunah ba’diyah Isya’ di Masjidil Haram, seperti biasa aku tidak langsung meninggalkan Masjid. Aku sengaja menghindari berdesak-desakan dengan jama’ah sholat yang keluar dari Masjid. Kerumunan orang yang ke luar bersamaan dari Masjid, berjalan merayap, mirip kemacetan kendaraan bermotor di ibukota.
Pada saat bersamaan ratusan jama’ah memasuki Masjidil Haram berpakaian ihram. Ketika itu, satu minggu menjelang pelaksanaan ibadah haji, tanggal 2 Dzulhijjah 1428 H. Jama’ah yang datang memasuki Masjid akan melaksanakan Umrah fardlu sekaligus Thawaf Qudum, karena baru saja datang di Baitullah.
Waktu antara Isya’ dan Subuh cukup panjang, sehingga mereka bisa melakukan Thawaf dan Sa’i Umrah tanpa terpotong oleh pelaksanaan sholat fardlu berjama’ah. Ketika sholat berlangsung, sekeliling Ka’bah yang merupakan area Thawaf dan antara bukit Shafa dan Marwah yang merupakan area Sa’i menjadi tempat sholat. Saat itu orang yang berthawaf dan bersa’i sangat padat. Thawaf dan Sa’i Umrah paling cepat diselesaikan selama dua setengah jam. Jika dilaksanakan antara Maghrib dan Isya’, dapat dipastikan akan terpotong oleh waktu sholat Isya’, dan harus dilanjutkan setelah sholat Isya’. Waktu Umrah yang sering dipilih adalah antara Subuh dan Dhuhur. Waktu cukup panjang, sehingga thawaf dan sa’i tidak terpotong pelaksanaan sholat fardlu berjama’ah.
Ketika kerumunan orang mulai berkurang, aku segera berdiri untuk meninggalkan Masjidil Haram. Seperti biasa, sehabis sholat Isya’, acara tetapku adalah makan malam. Aku keluar melalui Gate 1, King Abdul Aziz Gate yang berhadapan langsung dengan pintu masuk gedung tertinggi di sekeliling Masjidil Haram. Gedung yang menjulang tinggi tersebut terdiri dari pusat perbelanjaan dan perhotelan. Di lantai tiga dan lantai empat terdapat food court yang laris diserbu jama’ah setelah pelaksanaan sholat. Malam itu aku berencana makan ayam goreng cepat saji di food court.
Sejenak pandanganku tertuju pada kerumunan orang di halaman Masjid, di depan Locker Room. “ Innaa lillahi wa innaa ilayhi rooji’uun, ” kuucapkan lirih. Ternyata, persis di seberang pintu Locker Room, terbujur kaku jenazah di atas lantai bertutupkan kain ihram. Petugas keamanan Masjid menghalau orang-orang agar tidak berkerumun di sekitar jenazah. Sesekali petugas tadi berbicara melalui radio komunikasi dalam genggamannya. Orang yang wafat tersebut belum berhaji karena waktu haji masih seminggu lagi. Semoga Allah SWT memberikan pahala haji baginya atas niat haji yang telah tertanam dalam hatinya.
Setiap selesai sholat fardlu berjama’ah, hampir dipastikan imam Masjidil Haram dan imam Masjid Nabawi akan memberi aba-aba akan dilakukan sholat jenazah. Jama’ah tolong-menolong dalam menggotong keranda berisi jenazah dari mobil jenazah untuk disholatkan di dalam Masjid. Kemudian digotong lagi menuju mobil jenazah yang parkir di pinggir jalan agak jauh dari Masjid. Penggotong jenazah harus bisa bisa menerobos lautan manusia yang berjejal di halaman Masjid hingga tempat parkir mobil jennazah. Pernah kuhitung ada sembilan jenazah digotong beriringan menuju mobil jenazah dari dalam Masjid, usai sholat Dhuhur.
Adanya sholat jenazah usai sholat fardlu merupakan peringatan dari Allah SWT, agar para jama’ah haji selalu mengingat kematian. Dalam kehidupan, kecerdasan seseorang tidak hanya dinilai dari tingkat keahlian atau kepandaian yang diperolehnya. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar: “Kami bersepuluh datang kepada Rasulullah SAW, ketika seorang Anshar berdiri dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling cerdas dan paling mulia?’ Maka Rasulullah SAW menjawab: ‘Mereka yang paling banyak mengingat kematian dan paling banyak mempersiapkan kematian. Merekalah orang yang paling cerdas. Mereka akan pergi dengan mendapatkan kehormatan dunia dan kemuliaan akhirat. ” (HR Ibnu Majah). Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Hasyr [59]: 18).
Pada saat bersamaan ratusan jama’ah memasuki Masjidil Haram berpakaian ihram. Ketika itu, satu minggu menjelang pelaksanaan ibadah haji, tanggal 2 Dzulhijjah 1428 H. Jama’ah yang datang memasuki Masjid akan melaksanakan Umrah fardlu sekaligus Thawaf Qudum, karena baru saja datang di Baitullah.
Waktu antara Isya’ dan Subuh cukup panjang, sehingga mereka bisa melakukan Thawaf dan Sa’i Umrah tanpa terpotong oleh pelaksanaan sholat fardlu berjama’ah. Ketika sholat berlangsung, sekeliling Ka’bah yang merupakan area Thawaf dan antara bukit Shafa dan Marwah yang merupakan area Sa’i menjadi tempat sholat. Saat itu orang yang berthawaf dan bersa’i sangat padat. Thawaf dan Sa’i Umrah paling cepat diselesaikan selama dua setengah jam. Jika dilaksanakan antara Maghrib dan Isya’, dapat dipastikan akan terpotong oleh waktu sholat Isya’, dan harus dilanjutkan setelah sholat Isya’. Waktu Umrah yang sering dipilih adalah antara Subuh dan Dhuhur. Waktu cukup panjang, sehingga thawaf dan sa’i tidak terpotong pelaksanaan sholat fardlu berjama’ah.
Ketika kerumunan orang mulai berkurang, aku segera berdiri untuk meninggalkan Masjidil Haram. Seperti biasa, sehabis sholat Isya’, acara tetapku adalah makan malam. Aku keluar melalui Gate 1, King Abdul Aziz Gate yang berhadapan langsung dengan pintu masuk gedung tertinggi di sekeliling Masjidil Haram. Gedung yang menjulang tinggi tersebut terdiri dari pusat perbelanjaan dan perhotelan. Di lantai tiga dan lantai empat terdapat food court yang laris diserbu jama’ah setelah pelaksanaan sholat. Malam itu aku berencana makan ayam goreng cepat saji di food court.
Sejenak pandanganku tertuju pada kerumunan orang di halaman Masjid, di depan Locker Room. “ Innaa lillahi wa innaa ilayhi rooji’uun, ” kuucapkan lirih. Ternyata, persis di seberang pintu Locker Room, terbujur kaku jenazah di atas lantai bertutupkan kain ihram. Petugas keamanan Masjid menghalau orang-orang agar tidak berkerumun di sekitar jenazah. Sesekali petugas tadi berbicara melalui radio komunikasi dalam genggamannya. Orang yang wafat tersebut belum berhaji karena waktu haji masih seminggu lagi. Semoga Allah SWT memberikan pahala haji baginya atas niat haji yang telah tertanam dalam hatinya.
Setiap selesai sholat fardlu berjama’ah, hampir dipastikan imam Masjidil Haram dan imam Masjid Nabawi akan memberi aba-aba akan dilakukan sholat jenazah. Jama’ah tolong-menolong dalam menggotong keranda berisi jenazah dari mobil jenazah untuk disholatkan di dalam Masjid. Kemudian digotong lagi menuju mobil jenazah yang parkir di pinggir jalan agak jauh dari Masjid. Penggotong jenazah harus bisa bisa menerobos lautan manusia yang berjejal di halaman Masjid hingga tempat parkir mobil jennazah. Pernah kuhitung ada sembilan jenazah digotong beriringan menuju mobil jenazah dari dalam Masjid, usai sholat Dhuhur.
Adanya sholat jenazah usai sholat fardlu merupakan peringatan dari Allah SWT, agar para jama’ah haji selalu mengingat kematian. Dalam kehidupan, kecerdasan seseorang tidak hanya dinilai dari tingkat keahlian atau kepandaian yang diperolehnya. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar: “Kami bersepuluh datang kepada Rasulullah SAW, ketika seorang Anshar berdiri dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling cerdas dan paling mulia?’ Maka Rasulullah SAW menjawab: ‘Mereka yang paling banyak mengingat kematian dan paling banyak mempersiapkan kematian. Merekalah orang yang paling cerdas. Mereka akan pergi dengan mendapatkan kehormatan dunia dan kemuliaan akhirat. ” (HR Ibnu Majah). Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Hasyr [59]: 18).
===================
Sigit Indriyono
No comments:
Post a Comment