15 July 2014

Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif Dalam Pandangan Ulama Salaf

Kalau kita lacak dalam kitab-kitan ulama salaf, ternyata para salaf memposisikan hadits dhaif menjadi dua klasifikasi. Pertama, hadits dhaif tidak boleh dijadikan argumentasi pada persoalan akidah dan hokum halal-haram. Kedua, Para ulama hadits telah bersepakat bahwa hadits dha`if boleh diamalkan dalam konteks fadhail al-a`mal (amalan-amalan sunat), targhib (motivasi melakukan kebaikan) dan tarhib (peringatan meninggalkan larangan), manaqib dan sejarah.

Pakar Hadits dan Fiqh, Imam Nawawi berkata: “Menurut ahli hadits dan lainnya, boleh memperlonggar (tasahul) dalam menyampaikan sanad-sanad yang lemah (dha`if) dan meriwayatkan hadits dha`if yang tidak maudhu` serta mengamalkannya tanpa menjelaskan kedha`ifannya, dalam hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, hukum-hukum halal dan haram, dan yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum.” (Tadrib al-Rawi, 1/162).

Seorang ulama hadits kenamaan setelah generasi Imam Nawawi, Ibnu Hajar mengutip pendapat ulama, mengatakan bahwa:“Imam Ahmad dan Imam yang lain (seperti Ibnu Mubarak) berkata: Jika kami meriwayatkan hadits tentang halal-haram (hukum), maka kami sangat selektif (dalam hal sanad), dan jika kami meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan keutamaan-keutamaan, maka kami tidak begitu selektif (tetapi tidak sampai pada taraf hadits palsu)” (IbnuHajar, al Qaul al Musaddad I/11, dan al Baihaqi, Dalail an Nubuwwah I/34)

Namun kebolehan mengamalkan hadits dhaif dalam fadailal`ama l tidaklah mutlak. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:

1). Dhaif-nya tidak terlalu parah. misalnya, hadits palsu, hadits makruh, dan hadits munkar. 2), Ada dalil lain baik Alquran maupun hadits yang mendukung substansi dari hadits dhaif itu. 3), Ketika mengamalkan hadits tidak menyebutkan nabi bersabda (shighatjazm), tapi cukup disebutkan dengan ada hadits atau ada riwayat (Shighattamridh).

Oleh karena itu, menurut Idrus Romli, tidak mengherankan kalau kita temukan kitab-kitab hadits ulama terdahulu karya-karya al-Bukhari (selain Shahih-nya), al-Tirmidzi, al-Nasa`i, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain banyak mengandung hadits-hadits dha`if. Hal ini juga diikuti oleh ulama-ulama berikutnya seperti al-Thabarani, Abu Nu`aim, al-Khathib al-Baghdadi, al-Baihaqi dan lain-lain.

Tidak aneh juga apabila kitab-kitab tashawuf dan adzkar yang memang masuk dalam wilayah fadha`il al-a`mal seperti Ihya` `Ulum al-Din, karya al-Ghazali, al-Adzkarkarya al-Nawawi dan sejenisnya banyak mengandung hadits-hadits dha`if. Bahkan kalau mau jujur, kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama panutan Wahhabi seperti Ibn Taimiyah, Ibn al-Qayyim dan Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi jugap enuh dengan hadits-hadits dha`if dan terkadang pula hadits-hadits maudhu`.

Walhasil hadits dha`if boleh diamalkan berdasarkan pendapat seluruh ulama salaf dan khalaf dalam konteks fadha`il al-a`mal dan sejenisnya.Maka mengamalkan hadits dha`if dalam fadha`il tidak bias dihukumi bid`ah. Terakhir hadits dha`if sama sekali berbeda dengan hadits maudhu. Adalah sebuah kesalahan fatal menyamakan status hadits dhaif dengan maudhu! Wallahu `alam

No comments:

Post a Comment