Jika kita ditanya mengenai cita-cita, jawabannya tentulah beragam. Ada yang ingin menjadi dokter, polisi/ tentara, dan ada pula yang bercita-cita menjadi seniman, musisi, sastrawan, artis/selebriti, presiden, jurnalis, dan lainnya. Umumnya, jawaban kita mengenai cita-cita ini selalu berkaitan dengan profesi yang diinginkan. Dan, yang cukup menarik, tidak ada di antara kita yang menjawab ingin menjadi orang kaya. Ya, jika Anda pun disodori pertanyaan serupa (cita-cita), saya tidak yakin Anda akan menjawab ingin menjadi orang kaya.
Kaya merupakan impian bagi sebagian besar orang di dunia. Orang yang kaya selalu dipersepsikan dengan orang yang banyak uang, dan dengan banyak uang, ia pasti bahagia dan sejahtera. Dengan memiliki uang yang berlimpah, ia pun bisa mewujudkan segala keinginannya.
Akan tetapi, tahukah Anda bahwa banyak orang di luar sana atau sekitar kita yang berkeiimpahan harta (uang), namun kehidupan mereka tidak bahagia? Padahal, ada juga orang-orang yang hidup sederhana dan tidak berkelimpahan uang, namun mereka bahagia. Nah, melihat fenomena ini, apa yang bisa Anda bayangkan?
Barangkali, yang kita tahu selama ini adalah cara mendapatkan kekayaan dan bekerja, serta berkompetisi sekuat tenaga untuk mendapatkan kekayaan. Tetapi, kita melupakan esensi kekayaan itu sendiri. Padahal, pemahaman yang benar mengenai kekayaan ini adalah langkah awal agar kita dapat bahagia dengan kekayaan yang dimiliki. Bukan sebaliknya, kekayaan ada di genggaman, tetapi kebahagiaan tidak tercapai. Di sinilah perlunya memahami esensi kekayaan.
Berbicara mengenai kekayaan, setiap orang pastilah menginginkan dirinya menjadi kaya. Dan, masing-masing orang tentunya memiliki definisi tersendiri ihwal kekayaan. Namun, di sini, saya tidak akan membahas mengenai definisi kekayaan, melainkan cara kita memaknai esensi kekayaan.
Kekayaan merupakan alat atau sarana menuju kebahagiaan. Tetapi, kekayaan bukanlah tujuan. Sebagian orang memaknai kekayaan dari sisi negatif, sehingga mereka akan berkata,"Mengapa harus mengejar kekayaan atau harta, jika harta tidak menjamin kebahagiaan? Dan, bukankah kekayaan juga tidak menjamin masuk surga?"
Ya, kalimat tersebut memang tidaklah salah. Namun, itu bisa berdampak terhadap perilaku bermalas-malasan. Dan, bukankah kemiskinan juga tidak menjamin kita bahagia dan masuk surga?
Inti persoalan yang sebenarnya adalah cara kita memaknai kekayaan. Oleh karena itu, yang terpenting di sini adalah cara kita menjadikan kekayaan ini sebagai alat untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Di siniiah pentingnya shalat Dhuha. Sebab, faktanya, ada banyak orang kaya dan bisa sukses, meskipun tidak melakukan shalat Dhuha. Tetapi, apakah kekayaan mereka mendapatkan berkah dari Allah Swt.? Dan, apakah kekayaan mereka dapat mengantarkan mereka dalam meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat?
Anda mampu menjawabnya sendiri!
Kekayaan yang membahagiakan adalah kekayaan yang diridhai oleh Allah Swt. Oleh karena itulah, sebelum kita menjadi orang yang kaya harta, alangkah baiknya jika kita sudah kaya iman, kaya ilmu, dan kaya akhlak, agar kekayaan yang kita miliki menjadi berkah serta menjadi sarana untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sehingga, dua amalan, yakni shalat Dhuha dan sedekah, sangat relevan dengan kekayaan yang bisa mengantarkan kita menjadi bahagia.
Berdasarkan penjelasan tersebut, tidak salahnya, bahkan sangat dianjurkan, jika kita bercita-cita menjadi orang kaya, bahkan kaya raya. Banyak ayat al-Qur`an dan hadits yang menganjurkan kita agar menjadi orang kaya. Saiah satunya dalam sebuah hadits diterangkan bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran. Hadits tersebut tampaknya logis, karena ketika hidup seseorang berada dalam level miskin atau serba kekurangan, maka jiwanya akan rapuh dalam menghadapi cobaan hidup. Di sinilah, dibutuhkan sebuah prinsip kuat, yang mampu menangkis segala bentuk godaan.
Itulah sebabnya, Islam menganjurkan umatnya untuk meraih kesuksesan dan kekayaan, karena kemiskinan dekat dengan kekufuran. Hal ini juga menegaskan bahwa Islam tidak mengajarkan kemiskinan, melainkan menganjurkan menjadi orang yang kaya, dan kelak kekayaan tersebut digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan umat.
Maka, tanggung jawab kitalah untuk membuat diri kita menjadi kaya, bukan orang lain. Ini selaras dengan ungkapan Donald Trump, "Jika Anda terlahir miskin, itu bukan saiah Anda. Tetapi, bila Anda mati miskin, ini saiah Anda!"
Kaya merupakan impian bagi sebagian besar orang di dunia. Orang yang kaya selalu dipersepsikan dengan orang yang banyak uang, dan dengan banyak uang, ia pasti bahagia dan sejahtera. Dengan memiliki uang yang berlimpah, ia pun bisa mewujudkan segala keinginannya.
Akan tetapi, tahukah Anda bahwa banyak orang di luar sana atau sekitar kita yang berkeiimpahan harta (uang), namun kehidupan mereka tidak bahagia? Padahal, ada juga orang-orang yang hidup sederhana dan tidak berkelimpahan uang, namun mereka bahagia. Nah, melihat fenomena ini, apa yang bisa Anda bayangkan?
Barangkali, yang kita tahu selama ini adalah cara mendapatkan kekayaan dan bekerja, serta berkompetisi sekuat tenaga untuk mendapatkan kekayaan. Tetapi, kita melupakan esensi kekayaan itu sendiri. Padahal, pemahaman yang benar mengenai kekayaan ini adalah langkah awal agar kita dapat bahagia dengan kekayaan yang dimiliki. Bukan sebaliknya, kekayaan ada di genggaman, tetapi kebahagiaan tidak tercapai. Di sinilah perlunya memahami esensi kekayaan.
Berbicara mengenai kekayaan, setiap orang pastilah menginginkan dirinya menjadi kaya. Dan, masing-masing orang tentunya memiliki definisi tersendiri ihwal kekayaan. Namun, di sini, saya tidak akan membahas mengenai definisi kekayaan, melainkan cara kita memaknai esensi kekayaan.
Kekayaan merupakan alat atau sarana menuju kebahagiaan. Tetapi, kekayaan bukanlah tujuan. Sebagian orang memaknai kekayaan dari sisi negatif, sehingga mereka akan berkata,"Mengapa harus mengejar kekayaan atau harta, jika harta tidak menjamin kebahagiaan? Dan, bukankah kekayaan juga tidak menjamin masuk surga?"
Ya, kalimat tersebut memang tidaklah salah. Namun, itu bisa berdampak terhadap perilaku bermalas-malasan. Dan, bukankah kemiskinan juga tidak menjamin kita bahagia dan masuk surga?
Inti persoalan yang sebenarnya adalah cara kita memaknai kekayaan. Oleh karena itu, yang terpenting di sini adalah cara kita menjadikan kekayaan ini sebagai alat untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Di siniiah pentingnya shalat Dhuha. Sebab, faktanya, ada banyak orang kaya dan bisa sukses, meskipun tidak melakukan shalat Dhuha. Tetapi, apakah kekayaan mereka mendapatkan berkah dari Allah Swt.? Dan, apakah kekayaan mereka dapat mengantarkan mereka dalam meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat?
Anda mampu menjawabnya sendiri!
Kekayaan yang membahagiakan adalah kekayaan yang diridhai oleh Allah Swt. Oleh karena itulah, sebelum kita menjadi orang yang kaya harta, alangkah baiknya jika kita sudah kaya iman, kaya ilmu, dan kaya akhlak, agar kekayaan yang kita miliki menjadi berkah serta menjadi sarana untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sehingga, dua amalan, yakni shalat Dhuha dan sedekah, sangat relevan dengan kekayaan yang bisa mengantarkan kita menjadi bahagia.
Berdasarkan penjelasan tersebut, tidak salahnya, bahkan sangat dianjurkan, jika kita bercita-cita menjadi orang kaya, bahkan kaya raya. Banyak ayat al-Qur`an dan hadits yang menganjurkan kita agar menjadi orang kaya. Saiah satunya dalam sebuah hadits diterangkan bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran. Hadits tersebut tampaknya logis, karena ketika hidup seseorang berada dalam level miskin atau serba kekurangan, maka jiwanya akan rapuh dalam menghadapi cobaan hidup. Di sinilah, dibutuhkan sebuah prinsip kuat, yang mampu menangkis segala bentuk godaan.
Itulah sebabnya, Islam menganjurkan umatnya untuk meraih kesuksesan dan kekayaan, karena kemiskinan dekat dengan kekufuran. Hal ini juga menegaskan bahwa Islam tidak mengajarkan kemiskinan, melainkan menganjurkan menjadi orang yang kaya, dan kelak kekayaan tersebut digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan umat.
Maka, tanggung jawab kitalah untuk membuat diri kita menjadi kaya, bukan orang lain. Ini selaras dengan ungkapan Donald Trump, "Jika Anda terlahir miskin, itu bukan saiah Anda. Tetapi, bila Anda mati miskin, ini saiah Anda!"
No comments:
Post a Comment