16 September 2013

Maukah kau Berjanji ?

Sudah beberapa bulan aku berumah tangga. Tugas dan tanggung jawab rumah tangga banyak menyita waktu dan perhatianku. Aku tidak sadar bahwa aku telah menyia-nyiakan penampilanku. Aku tidak begitu peduli untuk tampil cantik di depan suami, aku tidak bisa lama-lama duduk di depan cermin. Apakah ini disebabkan oleh rasa percayaku bahwa Abdurrahman sangat mencintaiku dan tidak akan mencampakkanku, atau karena kesibukan rumah yang tidak memberikan waktu luang yang banyak bagiku untuk memperhatikan diriku?

Seperti yang aku bilang, aku tidak memperhatikan penampilanku kecuali ketika Abdurrahman mengagetkanku dengan sebuah pertanyaan, "Maukah kau berjanji kepadaku untuk menjadi istri salehah?" Bayangan shalat segera terbetik dalam memoriku. "Apakah Abdurrahman menuduhku melalaikan shalat?" gumamku. Aku masih menjaga shalatku tepat waktu. "Atau yang dia maksud adalah hijabku yang masih aku pelihara, sesuai dengan yang Islam perintahkan, atau mungkin ketaatanku kepadanya?" Semua pertanyaan ini bergelayutan di kepalaku. Aku memandang kepada Abdurrahman dengan mata penuh tanda tanya.

"Apakah kamu mendapati sesuatu yang bertentangan dengan kebaikanku?" tanyaku.
Abdurrahman tersenyum, lantas berkata, "Ya."
"Apakah kamu melihatku meninggalakan shalat?"
"Tidak."

"Atau kamu melihatku telat menunaikannya?"
"Ini juga tidak," jawabnya masih terus tersenyum manis.
"Apakah aku pernah durhaka kepadamu dalam satu hal?"
"Sampai sekarang alhamdulillah, kamu masih menaatiku dalam segala hal."
"Kalau begitu, pasti yang kau maksud adalah hijabku. Tapi aku selalu memakainya sesuai dengan perintah Tuhanku."

"Aku juga bersaksi bahwa kamu setia memeliharanya," jawabnya.
Aku mulai kesal dengan sikap Abdurrahman ini. Aku bertanya dengan sedikit emosi, "Terus apa yang mengurangi nilaiku sebagai istri salihah?
"Sepertinya kamu tidak menyadarinya."

"Aku tidak menyadarinya, katakan apa itu?" kataku menyerah.
"Apakah kamu tidak menyadari bahwa kamu mulai lalai untuk berdandan di depanku."
"Apa hubungannya dengan kebaikanku?" tanyaku sambil berteriak.
"Erat sekali hubungannya," jawabnya dengan senyum menghias bibirnya.
"Tanyakan kepada siapa yang kau mau, kiai, ulama, dan orang tua. Pasti tidak ada seorang pun yang sekata denganmu," kataku marah.

"Aku tidak akan bertanya kepada siapa pun."
"Karena kamu tahu bahwa tidak ada yang setuju dengan tuduhanmu itu," kataku dengan nada penuh kemenangan.
"Aku tidak akan bertanya kepada siapa pun karena kekasih tercinta Muhammad telah menjelaskan ini. Jadi, aku tidak butuh persetujuan orang lain."

"Seumur hidup, aku belum pernah membaca satu hadits pun yang menceritakan Rasulullah bersabda bahwa istri yang berhias untuk suaminya adalah istri salihah," kilahku.
"Kamu serius?" tanyanya.
"Ya, silakan katakan, jika ucapanmu itu benar," kataku menantang.

"Baik. Dengarkan hadits yang diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,
"Maukah kalian aku beritakan sesuatu yang bisa membuat seseorang betah? Yaitu istri salihah. Jika suaminya memandangnya, dia menyenangkan. Jika suaminya tidak ada, dia menjaga dirinya. Dan, jika suaminya menyuruhnya, dia patuh." (HR Abu Dawud dan al- Hakim)

"Nabi tidak bersabda, ’Barang siapa yang berhias untuk suaminya, maka dia adalah istri salihah" kataku membela diri.
"Nabi menyebutkan tiga kriteria istri salihah; yang pertama adalah jika suaminya memandangnya, dia menyenangkan. Bukankah begitu?"
"Ya. Betul."

"Bagaimana cara istri memasukkan rasa senang kepada suaminya, saat sang suami memandangnya? Bukankah dengan penampilannya yang cantik?"

Aku mengerti arah pembiacaraan Abdurrahman. Aku tahu, dia benar. Dan, aku paham mengapa dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini kepadaku, tentunya agar aku juga ikut aktif mencari kebenaran ini bersamanya.
"Ini berarti bahwa penampilan menyenangkan dari seorang istri di depan suaminya termasuk bagian penting dalam kebaikannya?" tanyaku.

"Bagus, Sarah. Akan tetapi, bagaimana kamu bisa tahu bahwa itu bagian penting?"
"Karena Nabi menyebutkan tiga kriteria itu dan menyebutkan bagian ini pertama kali," terangku.
"Seandainya kita memberi nilai setiap bagian itu, niscaya semuanya mendapat nilai 33% dari kebaikan seorang istri," ungkap suamiku.

"Akan tetapi, banyak istri yang tidak tahu hal ini. Mereka tidak tahu bahwa perhatian mereka terhadap penampilan di depan suami merupakan bagian penting dari kebaikan mereka," ucapku tidak mau kalah saing. Sambil tertawa aku melanjutkan kata-kataku, "Bahkan barusan aku juga termasuk salah satu dari mereka."
"Jangan begitu, Sarah, aku cukup bangga melihatmu langsung menyerah, ketika mengetahui kebenaran, tanpa membantah dan mendebat," bujuk suamiku.

"Ini karena karunia Allah kepadaku dan juga sebab pengarahanmu yang tidak kenal bosan kepadaku."
"Tidak. Ini murni karena karunia Allah," kata suamiku tegas.
"Tapi, ada hal lain yang aku pahami dari hadits Rasul ini," kataku.
"Ayo katakan, Sarah," kata suamiku penuh semangat.

"Rasulullah bersabda, ’Jika dia memandang kepadanya, dia menyenangkan.’ Nabi tidak mengatakan, ’Jika tetangganya memandangnya, atau sahabatnya, atau tamunya atau ibunya.’ Kita sekarang sering menyaksikan para wanita berdandan untuk teman-teman wanita yang ada di sekelilingnya, melebihi dandanan mereka di depan suami."

"Semoga Allah memberkatimu, Sarah."
"Ada satu lagi," kataku.
"Apa?"
"Kebaikan seorang istri dengan berdandan di depan suaminya membawa kebaikan pada suaminya juga," kataku.
"Kamu keren, Sarah."

Aku tidak menghiraukan pujian suamiku. Aku melanjutkan kata-kataku, "Seorang suami jika melihat istrinya menyenangkan, dia tidak akan memandang wanita lain. Dia menjaga dirinya dari wanita lain. Dia akan memejamkan matanya ketika melihat wanita lain."

"Benar kata pepatah, ’Murid bisa mengalahkan gurunya.’ Hari ini kamu melebihiku, Sarah."

No comments:

Post a Comment