Riba dalam Islam hukumnya haram, karena mengandung unsur ketidak-adilan dan pengambilan harta orang lain dengan cara batil. Inilah yang dipahami umat di awal sejarah Islam.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa hak seseorang itu terbatas pada harta pokoknya, tidak lebih. Kelebihan yang diambil sebagai kompensasi kredit adalah zhalim, dimana kezhaliman itu hukumnya jelas-jelas haram. Allah berfirman, ‘Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.’ (al-Baqarah: 279)
Menurut Ibnu ‘Abbas, maksud dari tidak menganiaya dan tidak dianiaya adalah: kalian tidak mengambil melebih hak dengan cara yang bati, dan hak kalian tidak dikurangi.
Allah sebenarnya telah mengharamkan riba kepada Yahudi, namun mereka mempraktikkan riba dengan berbagai intrik, dan mengambil harta orang lain dengan cara yang batil. Allah berfirman, ‘Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.’ (an-Nisa’: 161)
Pada hari ini, para pakar ekonomi memahami lebih banyak lagi bahaya riba mengikuti perkembangan praktik-praktik ekonomi. Di antaranya adalah: buruknya distribusi kekayaan, kehancuran sumber-sumber ekonomi, lemahnya perkembangan ekonomi dan permodalan, pengangguran, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan bahwa aturan syariat ini sarat dengan mukjizat, dan bahwa al-Qur’an ini bersumber dari Allah, bukan dari Muhammad saw.
Distribusi Kekayaan secara Tidak Adil:
Praktik kredit dengan bunga hanya terpusat pada individu-individu yang mampu memberi jaminan pelunasan hutang dan bunganya, dan hal itu mengakibatkan konsentrasi kekayaan negara pada sejumlah kecil individu.
Hal ini ditegaskan Dr. Hjalmer Schacht, warganegara Jerman mantan direktur Reichsbank, ‘Dengan praktik yang simultan tampak bahwa seluruh kekayaan dunia ini lari kepada sejumlah pemodal, karena pemodal selalu untung dalam setiap bisnis. Sementara kreditur beresiko rugi atau untung. Karena itu, semua kekayaan ini pada akhirnya secara matematis akan mengalir kepada pihak yang selalu beruntung.’
Fenomena lain distribusi kekayan yang tidak adil adalah subordinasi profesionalisem terhadap kapitalisme. Produksi sesungguhnya berpijak pada dua unsur: keahlian dan modal. Keahlian-lah yang seharusnya menjadi fundamen, karena keahlian menghasilkan kekayaan, dan implikasinya adalah kedua unsur itu sama-sama menanggung untung-rugi.
Manhaj Islam dalam hal ini adalah mendistribusikan kekayaan secara merata kepada masyarakat dan memutar kekayaan di antara mereka. Karena itu, alasan Islam membagi-bagikan harta rampasan—sebagai salah satu sumber kekayaan dalam Islam—kepada orang-orang yang berhak adalah agar kekayaan itu tidak terpusat pada tangan orang-orang kaya saja, melainkan berputar di antara masyarakat. Allah berfirman, ‘Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.’ (al-Hasyr: 7)
Yang menjadi perhatian Islam adalah agar individu-individu yang menjalankan bisnis itu adalah individu-individu yang memiliki sifat amanah, kapabilitas, dan komitmen. Hal inilah yang mendorong realisasi keadilan sosial dalam distribusi kekayaan dan penghasilan di tengah masyarakat.
Hancurnya Sumber-Sumber Ekonomi
Kredit sistem bunga lebih membidik program-progam yang tidak memiliki manfaat yang hakiki bagi kehidupan manusia, sehingga pada akhirnya mengakibatkan kehancuran sumber-sumber ekonomi. Bukti mencolok yang kita saksikan hari ini adalah banyak orang yang meminjam uang bank hanya untuk membeli perabotan rumah yang sifatnya, seperti kulkas, mesin cuci, televisi, atau barang-barang konsumsi seperti makanan dan minuman, dan benda-benda lain yang sifatnya untuk hiburan.
Pembiayaan dengan sistem bunga mengakibatkan kemudahan hutang-piutang, tanpa ada kaitan dengan kegiatan ekonomi yang konkret, dan hal ini pada gilirannya mengakibatkan dua hal:
Pertama, prosentase yang besar dari pinjaman individual itu lebih dialokasikan pada kebutuhan-kebutuhan jangka pendek daripada kebutuhan-kebutuhan jangka panjang. Hal ini menunjukkan kesemrawutan cara belanja di tengah masyarakat, sehingga mengakibatkan individu-individu lebih bergantung pada hutang untuk menjalankan kehidupannya sehari-hari.
Contoh, kalau seseorang membeli secara kredit kulkas dengan harga satu juta rupiah, maka manfaat dari kulkas itu sebanding dengan margin laba yang ditetapkan dalam jual-beli tempo. Ini adalah kegiatan ekonomi yang konkret. Tetapi jika seseorang meminjam uang 1 juta dan mengembalikan 1.5 juta, maka manfaat dari seratus lima ratus ribu itu ada kalanya sebanding dengan kelebihan nilai karena berlakunya pembayaran tempo, dan ada kalanya tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh kreditur. Bisa jadi uangnya itu habis untuk melunasi hutang, atau membiayai keluarga, atau membeli barang-barang konsumtif secara berlebih.
Dengan contoh tersebut, kita bisa membedakan antara margin laba dan riba sebagai berikut:
1. Kelebihan dalam jual beli itu merupakan kompensasi pengadaan barang, sedangkan kelebihan dalam riba merupakan kompensasi terhadap pembayaran tempo semata.
2. Kelebihan dalam jual beli adalah kelebihan dalam barter yang sah antara dua benda yang berbeda bentuknya. Sedangkan kelebihan dalam hutang tidak, karena pembayarannya dengan satu jenis, dimana tidak boleh ada kelembihan dan kekuarangan di dalamnya.
3. Barang yang dijual itu diambil keuntungannya satu kali, dan meski demikian manfaatnya berlangsung, baik lama atau singkat. Hal itu berbeda dengan riba, dimana hutang diserahkan satu kali, tetapi ribanya atau manfaatnya berlangsung tanpa terputus.
4. Jual beli mengandung resiko dari dua segi: Pertama, resiko penurunan harga atau keausan barang ketika akan dijual. Kedua, resiko kerusakan saat barang itu masih ada di tangan penjual. Sementara harta riba itu tidak terkena resiko, melainkan sebagai pinjaman yang terjamin dan wajib dikembalikan.
Islam memberi setiap jenis modal itu keuntungan yang sesuai. Islam memberi modal SDM (pekerjaan) upah tetap atau saham (saham pekerja, misalnya), memberi keuntungan kepada modal asumtif berupa saham, bukan gaji tetap, dan memberi modal value berupa upah tetap, bukan saham, seperti sewa alat produki.
Oleh: Dr. Abdul Majid Diyah
(Guru Besar Fakultas Syariah Universitas az-Zarqa al-Ahliyyah, Jordan)
No comments:
Post a Comment