Ada sebuah kisah nyata yang mudah-mudahan kita bisa mengambil pelajaran darinya.
Ini profil seorang suami yang buruk dan tidak patut kita tiru. Ia memang bukan pemabuk dan bukan pula penjudi, dan ia juga tidak pernah serong dengan wanita lain, pokoknya tak ada catatan buruk terhadapnya di masyarakat, akan tetapi ia “hanya” menelantarkan keluarganya, “cuma” itu saja.
Ini profil seorang suami yang buruk dan tidak patut kita tiru. Ia memang bukan pemabuk dan bukan pula penjudi, dan ia juga tidak pernah serong dengan wanita lain, pokoknya tak ada catatan buruk terhadapnya di masyarakat, akan tetapi ia “hanya” menelantarkan keluarganya, “cuma” itu saja.
Setiap istri tentu mengharapkan suami yang romantis, perhatian
kepadanya dan bisa berbagi suka duka bersama, akan tetapi sayangnya si
suami ini sangat dingin dan acuh terhadap keadaan istrinya, ia lebih
mementingkan karirnya. Selain itu yang lebih memprihatinkan lagi ia juga
bukan orang yang taat beragama, ia tidak pernah melaksanakan shalat
lima waktu sama sekali. Istrinya stress menghadapi fakta seperti itu dan
merasa kesepian, walaupun ia tinggal serumah bersama suaminya, tapi ia
seolah-olah tinggal sendirian, apalagi si suami ini sering pula
meninggalkannya karena urusan kerja di luar kota.
Hari demi hari ia lalui dengan kesendirian. ketika lahir
anak-anaknya, mungkin ada yang mengira akan terjadi perubahan pada diri
suami, kenyataannya? Tak ada perubahan sama sekali. Baginya karir nomor
1, sedangkan keluarga nomor ke sekian. Demikian seterusnya sampai
puncaknya si istri ini stress berat, sampai tingkatan seperti orang
gila. Kadang ia bicara dan tertawa sendiri dan pernah juga ia keluar
rumah tanpa memakai pakaian sehelaipun, dan itu terjadi ketika si suami
sedang pergi ke luar kota dan si istri lagi di rumah ibunya.
Melihat pemandangan yang mengerikan seperti itu, Ibu si istri kaget
bukan kepalang dan segera membawanya ke rumah sakit jiwa. Setelah
beberapa hari dirawat, Dokter yang menangani si istri itu berkata kepada
ibunya, ” Ibu,setelah kami diagnosa, anak ibu tidak gila ia hanya
stress berat, sejak datang ke sini sampai sekarang anak ibu terus
menangis, sebaiknya ibu membawanya ke psikiater saja untuk
dikonsultasikan.” Akhirnya si ibu ini membawanya ke psikiater. Setelah
memperhatikan dan menyimak keterangan si ibu, psikiater menyimpulkan
bahwa obat yang efektif untuk si istri ini cuma satu yaitu perhatian
suaminya!
Ketika si suami pulang dari luar kota, ia terkejut melihat kondisi
istrinya sudah berubah layaknya orang gila. Lantas apa tindakannya
setelah itu? Tak ada tindakan apapun, bahkan berobatpun tidak,
sepertinya kejadian yang menimpa istrinya itu seperti angin yang
berlalu, tak terlalu mengkhawatirkan baginya. Maka Istrinya pun tetap
dalam keadaannya semula, seperti orang gila, ia berbicara dan tertawa
sendiri, kadang tiba-tiba marah dan melakukan tingkah laku yang aneh.
Itu sikapnya terhadap istrinya, lantas bagaimana sikapnya terhadap
anak-anaknya? Apakah berbeda dengan sikapnya terhadap istrinya? Ternyata
tidak juga, ia tetap acuh dan bersikap kaku terhadap mereka, karena
yang menjadi prioritasnya adalah karirnya. Ketika menghadapi anaknya
yang berbuat kesalahan (ketika masih seumuran anak SD),ia tidak
menasehatinya baik-baik, tetapi langsung memarahinya dan kadang
menyindirnya di depan saudara-saudaranya. Lantas apa akibatnya? Satu
persatu anaknya menjauh darinya, karena mereka takut bercampur benci
kepadanya. Ketika ia mengetahui kalau anak-anaknya mulai menjauh
darinya, akankah ia berusaha mengalah untuk merangkul anak-anaknya
kembali? Rupanya tidak, ia tetap dalam keacuhannya.
Sebagaimana peribahasa: “Siapa yang menanam maka ia pula yang
menuai”, maka demikian pula si suami ini, akhirnya ia merasakan sendiri
hasil sikap kaku dan keacuhannya selama ini, jadilah ia seperti orang
asing di rumah sendiri. Sebagaimana kebiasaan umumnya kita ketika masih
kecil, kalau orang tua pulang setelah bekerja seharian, biasanya kita
menyambutnya “Bapak datang, bapak datang!!” Tapi bagaimana dengan si
suami ini? Dia tidak mendapatkan sambutan apa-apa, ketika ia memasuki
rumahnya seolah-olah ia memasuki rumah mati, tak ada “kehidupan”, si
istri sibuk dengan “kegilaan”nya dan anak-anak sibuk dengan urusan
masing-masing.
Si suami terus mengejar karirnya, sampai akhirnya berhasil mencapai
targetnya, ia berhasil menduduki pucuk pimpinan di suatu instansi
pemerintah, berbagai gelar ia sandang dan berbagai penghargaan ia
dapatkan, namanya menjadi terkenal, orang-orangpun menaruh hormat
kepadanya, tapi apakah ia bahagia dengan semua itu?
Setelah mendapatkan apa yang ia kejar, ternyata ia tak merasakan
kebahagiaan yang berarti, serasa hampa. Ia pun mulai menyadari
kesalahannya, kemudian berusaha memperbaiki kehidupannya dan kehidupan
rumah tangganya, tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur.
Hubungannya dengan anak-anaknya sudah terlanjur jauh dan istrinya pun
sudah permanen dengan “kegilaannya”. Akhirnya ia pun memasuki masa
tuanya dalam kesepian dan kesendirian, sebagaimana dulu ia meninggalkan
anak dan istrinya dalam kesepian. Dan yang lebih tragis lagi, di saat
kesepiannya itu dia terkena stroke, maka bertambahlah dukanya…
Seorang suami adalah pemimpin keluarga, di atas pundaknyalah amanah
mengayomi dan membimbing anggota keluarganya menuju keridhoan Allah dan
menjauhi kemurkaan-Nya, karena itu tidak boleh baginya untuk
menyia-nyiakan dan menelantarkan amanah-Nya itu, karena kelak ia akan
ditanya tentang itu di hari kiamat.
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan diminta
pertanggungjawaban tentang orang yang dipimpin.”(HR.Bukhari dan Muslim)
“Cukuplah seseorang dianggap berdosa karena menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggungan hidupnya.”(HR.Abu Daud dan Ahmad)
Selain itu, keluarga juga merupakan orang-orang yang siap menemani
dan membantu kita, baik di masa muda maupun masa tua kita, dan mereka
pulalah yang akan mendoakan kita tatkala terputus seluruh amalan kita
sedangkan ketika itu kita amat membutuhkan apa yang bisa meringankan
penderitaan kita di alam kubur dan dahsyatnya alam Mahsyar serta
panasnya api neraka, maka akankah kita tetap menelantarkan mereka?
==========================
Jakarta,
umaranung@yahoo.co.id
umaranung@yahoo.co.id
No comments:
Post a Comment