06 January 2015

Beribadah dengan Jiwa Bebas

Dalam melaksanakan agamanya, umat tergolong menjadi dua. Ada yang tulus, sering disebut dengan mukhlishin lahu ad-din hunafa (QS al-Bayyinah [98]: 5).

Ada juga yang tidak tulus (disebut ya‘budullaha ‘ala harf, beribadah di tepi. (QS al-Hajj [22]: 11). Tentu saja yang pertama benar, dan yang kedua salah. Tetapi, dalam kelompok pertama pun ada tiga model pendekatan.

Dalam buku Nahj al-Balaghah, sebuah buku kumpulan nasihat, wejangan, dan kata-kata bijak Ali bin Abi Thalib yang disusun dan dikumpulkan Asy-Syarîf ar-Radhiy, sahabat Ali bin Abi Thalib berkata, “Ada orang yang beribadah kepada Allah karena ingin sesuatu, itu adalah cara ibadahnya pedagang. Ada orang yang beribadah kepada Allah karena takut, itu cara ibadahnya budak atau hamba sahaya. Ada pula orang yang beribadah kepada Allah karena rasa syukur, itulah cara ibadahnya orang-orang yang merdeka.”

Jika kita berpikir akan dapat pahala apa atau dapat untung berapa ketika hendak bersedekah, itu artinya kita beribadah dengan cara pedagang, lebih mempertimbangkan untung-rugi. Meski dibolehkan, ibadah cara ini bukan yang terbaik.

Jika kita baru terpanggil untuk beribadah karena takut masuk neraka, itu berarti kita termasuk kelompok kedua, beribadah cara budak. Ini mirip pengendara sepeda motor yang memakai helm karena takut ditangkap polisi, bukan demi keselamatan dirinya.

Kalau tidak ada polisi, dia tidak memakai helm. Polisi boleh saja tidak ada, tetapi kecelakaan bisa terjadi kapan saja.

Ibadah cara seperti ini pun boleh walaupun bukan yang terbaik. Yang ketiga, adalah cara beribadahnya orang-orang yang berjiwa bebas!

Orang seperti ini melaksanakan shalat bukan lantaran takut neraka, tetapi semata-mata karena sadar Allah satu-satunya yang patut disembah. Ibaratnya, ada atau tidak ada polisi, orang seperti ini akan tetap menggunakan helm demi menghindari bahaya.

No comments:

Post a Comment