Saya tertegun tak dapat berkata-kata lagi. Membisu terkunci rapat. Menatapnya miris. Saya menyesal menanyakan tentang hal rumah tangganya. Prasangka baik saya ternyata kali ini sia-sia. Bahkan sama sekali menjadi tidak mengenakan. Duhai sahabat, maafkan saya jika saya membuka luka di hatimu. Sungguh saya tidak tahu atas apa yang kau alami. Dan bukan pula maksud saya mengorek luka itu dan membuatmu perih kembali. Bukan.
Saya menghiba pada Pencipta. Ya Rabb, apa memang pantas Engkau mengujinya dengan hal itu? Dia sahabatku. Aku mengenalnya karena kebaikannya. Juga karena kesalehannya. Juga kefasihannya. Apalagi saat mendengar tausiyah dan khutbahnya. Saya kira, setiap wanita salehah dapat saja akan jatuh hati padanya. Dia pantas jadi imam bukan saja di mimbar jama’ah Jum’at. Tetapi juga imam dalam biduk rumah tangga idaman.
”Gimana, sudah ada tanda-tanda kehamilan isteri?”
“Belum”.
“Wah, tandanya masih diberikan kesempatan untuk bulan madu terus. Saya pun harus menunggu sembilan bulan. Baru kemudian Allah berkenan mengizinkan isteri saya hamil”.
“Oo begitu?”
”Ya. Saya sih asik-asik aja. Tapi, isteri yang uring-uringan”.
”Apa antum tidak mendengar isu tentang ana?”
Air mukanya berubah tak lagi rileks. Kalimat itulah yang mengantar saya harus diam seribu bahasa. Kalimat-kalimat selanjutnya malah membuat hati saya seperti bersalah. Ya Rabb … I don’t believe it.
”Ana dikhianati isteri. Dua bulan setelah pernikahan, saya baru tahu bahwa dia masih menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya”.
Astaghfirullah. Saya terhenyak. Saya menghiba dan meminta maaf sekiranya saya telah memaksanya harus membuka kepahitan hidupnya. Namun wajahnya yang bersih itu begitu sabar dan teguh. Bahkan ia seolah ingin agar saya harus tahu jalan kehancuran bagunan rumah tangganya. Semakin banyak ia bercerita, semakin saya percaya kebaikan budi pekertinya. Saya hanya mematung menyimak tanpa lagi dihantui rasa bersalah.
Nyatanya kesalehan memang benar-benar ruang privat. Kesalehan bukan harta yang bisa diwariskan dan dipindahtangankan secara otomatis. Kesalehan orang tua bukanlah garansi bahwa anak-anaknya kelak sama persis seperti kesalehan ayahnya. Atau sebaliknya, tidak semua anak yang membawa tetesan darah orang tua begundal, hidupnya harus mirip dan sebangun seperti kebegundalan ayahnya. Dalam dua kutub yang bersebrangan itu, saleh dan begundal ada tempatnya sendiri meskipun berbaur dalam satu aliran darah keturunan.
Dalam sejarah kenabian, kenyataan itu adalah faktual. Ibrahim ’alaihissalam adalah ”khalilullaah” meskipun tidak dipungkiri bahwa ayahnya; Azar adalah musyrik dan ”pematung”. Kan’an adalah anak ”brengsek” yang lebih suka menentang ayahnya meskipun ia putera seorang Nabi; Nuh ’alaihissalam. Maka kasus serupa di luar manusia pilihan seperti layaknya nabi dan rasul, semestinya memang lebih mudah saya terima dan saya pahami.
Saya sangat gembira saat menerima undangan pernikahannya dulu. Lebih gembira lagi bahwa wanita yang dinikahinya adalah puteri seorang kyai. Meski saya tidak bisa hadir pada resepsi pernikahannya karena satu dan lain hal, tetapi kegembiraan saya waktu itu benar-benar genap. Kepribadiannya amatlah pantas menjadi menantu seorang kyai, begitu kira-kira penggenapannya.
Tetapi Senin pagi di akhir Juni itu merubah orientasi saya. Bukan pada dirinya, tetapi pada nasib rumah tangga dan wanita yang telah mengkhianatinya. Ternyata “tetesan” kyai memang bukan miliki anaknya dan tidak harus berbanding lurus meski semua orang tua mengharap “hidayah” yang sama atas dirinya.
Kenapa itu terjadi pada sahabat saya, bukan lagi hal penting. Saya pun tidak ingin berburuk sangka, barangkali putri kyai itu punya alasan kuat mengapa ia tega memperlakukan sahabat saya yang suaminya itu dengan caranya yang seperti “preman asmara”. Yang terpenting adalah pelajaran hidup dari cerita sahabat saya itu. Betapa ia telah menjalani semua syarat untuk tetap bertahan dalam ikatan perkawinan walau akhirnya ia “menyerah” pada nasib jodohnya. Bahwa ia tidak mudah percaya pada kabar burung perihal isterinya melainkan menempuh pembuktian sendiri. Maka berbagai keganjilan akhirnya memang meyakinkan dirinya bahwa isterinya “bermain” di belakang punggungnya. Bahwa selama hampir tiga bulan, nyatanya kuliah menjadi alasan isterinya pulang terlambat dan berlama-lama di luar rumah sang suami. Nyatanya pula, selama tiga bulan itu isterinya tidak pernah masuk di ruang perkuliahan. Untuk membuktikan itu, ia merelakan mondar-mandir ke kampus di mana isterinya belajar. Tetapi hanya absensi kosong lebih dari separuh semester yang dijumpai. Kemana hadirnya?
Bahwa ia lebih mengedepankan nasihat dari pada otot ketika memutuskan menemui mantan pacar isterinya dan mengajaknya memahami status mereka masing-masing saat ini. Walau kemudian isterinya memilih minggat dan meninggalkannya selama hampir enam bulan lamanya karena peristiwa pertemuan suami dan mantan pacar yang masih dipacarinya itu, sahabat saya masih menyimpan kesetiaan menunggu dan mencarinya.
“Saya berusaha mencarinya karena ingin menjaga harga diri saya dan air muka orang tuanya. Saya masih berusaha memperbaiki kesalahannya dan tetap ingin menempatkannya sebagai isteri. Sampai kemudian saya menyerah karena mulut ibu saya”.
“Maksud antum?”.
”Saat saya berencana menjernihkan nasib pernikahan ini beberapa hari setelah ia pulang dan saya mengajak kedua orang tua menemui keluarganya, ibu saya bilang,”silahkan jika kamu akan meneruskan rumah tanggamu dengannya. Tetapi ibu tidak akan pernah ridha lagi untuk selamanya”.
”Maaf, saya benar-benar tidak mendengar tentang hal yang selama ini antum alami. Sama sekali tidak tahu”.
”Ya, sekarang antum tahu dan harus tahu. Saya bukan ingin membuka aib. Tetapi juga sebagai tabayyun, bahwa dulu saya mengundang antum hadir dipernikahan saya, sekarang saya tidak lagi menjadi suami wanita yang dulu itu. Ana sudah menikah lagi dua bulan yang lalu setelah segala upaya untuk mengembalikan dan menyadarkan isteri saya gagal saya lakukan. Jadi, memang belum ada tanda-tanda kehamilan. Masih bulan madu”.
Ah, akhirnya saya dapat tersenyum.
Tampaknya sahabat saya tidak menyesal telah diperlakukan seperti itu dan harus berpisah. Ia justeru bersyukur, dari pada ia dikhianati dalam selimut kepalsuan yang tidak diketahuinya. Baginya perpisahan itu adalah yang terbaik dari Allah atas nasehat tegas Ibunya. Yang penting katanya, ia tidak menyakiti wanita itu dan orang tuanya. Lalu saya berpikir keras. Apakah teka-teki anak menantu kyai ini ada juga jawabannya? Ahaa, akhirnya memang tidak menjadi aneh lagi. Waktu di madrasah diniyyah dulu, guru sejarah Islam saya pernah bercerita tentang isteri nabi Luth ’alaihissalam. Ia adalah wanita durhaka di pelaminan suaminya yang seorang nabi yang saleh. Atau Asia; seorang wanita salehah yang berdampingan dengan Fir’aun lelaki durjana. Jadi apabila ada lelaki soleh dikhianati oleh isterinya, atau wanita solehah dikhianati pula oleh suaminya, bukan lagi tekai-teki yang sukar dicari jawabannya. Apalagi jika saling mengkhianati, karena memang tidak ada tanda-tanda kesalehan pada keduanya tentu lebih tidak aneh, sebab zaman telah mempertontonkan hal itu pada kita setiap hari tanpa malu-malu.
Akhirnya, kesalehan memang pilihan atas keikhlasan mengikuti sunnahnya, bukan ketergantungan pada kesalehan nasab, pengakuan dan panggilan hormat semata.
Saya percaya ada hikmah di balik jalan hidup sahabat saya itu, meskipun mendengar cerita kecurangan isterinya terasa perih seperti dirobek sembilu. Di sini saya seolah mendapat apologi lagi, bahwa kecurangan dalam rumah tangga tidak selalu dominasi kelakuan lelaki. Maka pegiat kesetaraan gender yang sering menempatkan nggapan bahwa wanita sebagai melulu korban kekerasan dominasi laki-laki perlu berbesar hati melihat kenyataan bahwa wanita pun menyimpan ”keperkasaan” dan sanggup melakukan hal serupa kepada laki-laki.
Sayangnya kenyataan ini seperti tak dilirik para ”pejuang” kesetaraan itu. Bahkan mereka berani mengajak kita untuk merombak trafsir agama yang menurutnya bias gender. Fiqih ditudingnya sebagai dominasi lelaki atas wanita. Maka digagaslah formula hukum baru seperti hukum waris dengan proporsi 2 banding 2 yang disebutnya lebih adil tanpa bias gender. Lelaki juga harus dikenakan iddah setelah ditinggal mati isterinya. Kaum wanita juga sudah saatnya diberi porsi untuk menjadi khatib dan imam shalat. Dan banyak lagi pemikiran liar, absurd dan lepas dari ruh sopan santun sebagaimana selama ini dipelihara dan dijunjung tinggi oleh para mujtahid dan mufassir generasi terbaik dahulu.
Tapi biarlah, pada akhirnya umat akan tetap tunduk pada otoritas wahyu daripada sekedar mendengar pendapat ganjil dan sensasi belaka.
Kembali soal sahabat saya. Rupanya, syarat bagusnya agama sebagai alasan menjatuhkan pilihan pasangan hidup dalam pernikahan bukanlah syarat bisu. Yaitu agama yang hanya sebatas simbol dan tidak dibunyikan dalam perilaku. Agama ternyata tidak identik dengan anak kyai, anak ustadz atau ulama, bahkan anak nabi sekalipun. Dalam hemat saya yang kecil ini, bagusnya agama sebagai sarat memilih jodoh adalah menjadikan perkawinan sebagai gerbang menuju kokohnya iman, kesempurnaan Islam, memperluas ihsan dan menikmati ”kelezatan’ ibadah dan pengabdian kepada pemilik Cinta dan Kasih Sayang sempurna. Tentu orang yang bagus agamanya akan mampu membunyikannya nilai-nilai agama itu dalam setiap perilakunya.
Duhai sahabat, para isteri dan suami. Jika pernikahan itu diyakini sebagai janji suci di hadapan Tuhan, maka mengkhianatinya butuh keberanian melawan Tuhan. Jika manusia yang lemah berani melawan Tuhan, maka mengkhianati manusia akan seperti membalikkan telapak tangan.
Semoga perkawinan mengantarkan kemuliaan bagi kita di dunia yang fana menuju mahligai surgawi yang abadi. Allahu a’lam.
abdul_mutaqin@yahoo.com
No comments:
Post a Comment